“Mungkin sebenarnya danau itu hanya
mitos dan sekarang kita hanya mengejar fatamorgana. Mungkin sebenarnya, inti
perjalanan ini bukan lagi tentang Segara Anak, tapi tentang diri kita. Dan di
akhir perjalanan, kita akan menemukan danau itu ada dalam hati kita
masing-masing. Sebuah oase kehidupan, sebuah harapan, yang memaksa kita terus
berjalan.” ~ sebut saja R, perempuan lagi PMS, di
tengah tekanan perjalanan tanpa akhir ke Segara Anak.
Segara
Anak merupakan danau vulkanik yang terbentuk dari letusan gunung Rinjani
bertahun silam. Jangan tanya saya kapan tepatnya, ga ketemu literaturnya. Jadi
mari kita hentikan saja cerita soal data, dan fokus ke usaha saya menemukan
danau kawah kaldera Rinjani ini.
Kami
memulai perjalanan dari Plawangan Sembalun lepas tengah hari. Melecut tubuh
yang mulai mencapai batas ketahanan, setelah beberapa jam sebelumnya berjibaku
menuju puncak, kami mulai beranjak ke Segara Anak. Dari Plawangan Sembalun,
rute menuju Segara Anak relatif lebih mudah dibanding pendakian sehari
sebelumnya ketika kami menuju Plawangan. Track kali ini didominasi turunan dan
sedikit tanjakan dan beberapa ruas jalan datar.Tapi jangan terkecoh oleh
iming-iming kata turunan. Kalau Anda membayangkan turunan di sin sebagai track turunan
15 derajat atau deretan anak tangga, maka bersiaplah menelan kekecewaan.
Dari
tempat kami mendirikan tenda malam sebelumnya, kami bergerak balik ke arah kami datang. Lima ratus meter kemudian, jika ke arah
Sembalun belok kanan, untuk menuju Segara Anak kami berbelok ke kiri. Mulailah kami
menuruni tebing di tengah kabut yang mulai turun dengan pekat.
turunan |
Jarak
pandang di siang yang cerah itu hanya sekitar 30 meter. Berhubung track yang
menurun, rombongan kami yang digawangi pak Sailih dan guide cilik, Rodi, dengan
mudah mulai membuat jarak satu sama lain. Di beberapa titik, seorang yang di
posisi paling belakang, hanya bisa mendengar suara temannya yang berada di
depan karena terhalang kabut.
Track
turunan di jalur ini didominasi tanjakan batu alam dengan ketinggian rata-rata
20-30 cm. Di beberapa titik, turunan bisa mencapai tinggi hampir setengah
meter. Walhasil, dengan tinggi saya yang tidak seberapa ini, saya harus mau
tidak mau melempar tongkat berjalan ke bawah, dan mulai menggunakan kedua
tangan untuk pegangan saat meluncur turun.
Wapada
juga dengan batu-batu yang tidak terlalu kokoh. Pastikan sebelum menapak, batu
tumpuan cukup kokoh untuk menopang berat badan. Biasanya, tugas seorang yang di
depan untuk menjajal kemungkinan pijakan yang paling aman dan nyaman. Jadi usahakan,
untuk tidak terpisah terlalu jauh, terutama di rute-rute awal ketika masih
banyak tanjakan ekstrim. Menjelang setengah perjalanan, track turunan berbatu
tadi mulai relative datar. Masih turun, tapi tidak lagi setajam omongan orang.
perdu warna-warni |
Melihat
lagi foto-foto yang dari kamera saya yang dibawa Dedi, track Plawangan Sembalun
– Segara Anak merupakan track paling cantik. Beberapa background foto kami
adalah dinding batu dengan foreground tanaman perdu rendah dan rumpun-rumpun Edelweiss.
Dan saya yakin, pemandangan dari tebing-tebing kami berdiri membentang tak
terhalang ke arah Segara Anak, kalau saja tidak ada kabut yang menghalangi. Tips, usahakan turun agak pagi
sebelum kabut turun. Pemandangan jauh lebih menyenangkan.
Jembatan (iya, dilewati) |
Separuh
jalan, rombongan kami terbagi tiga. Dedi dan Rodi memimpin di depan. Saya, Stevan
dan Galih mengikuti hampir setengah jam di belakang mereka. Disusul Dana dan
Tomi ditemani Pak Sailih jauh di belakang.
Rodi |
Rombongan
saya yang tidak punya guide, hanya mengandalkan insting dan track yang terlihat. Jika
tampak ada persimpangan, kami memilih untuk berhenti sebentar sampai bertemu
dengan rombongan lain atau porter yang kebetulan lewat untuk memastikan jalan.
Menurut
Pak Sailih sebelum kami turun, perjalanan normal ke bawah harusnya bisa
ditempuh selama 4 jam. Mengingat kami memulai perjalanan sebelum pukul 1 siang,
menjelang pukul 4 saya mulai gelisah. Tidak tampak tanda-tanda kami mendekati
danau. Tidak ada suara gemericik air, tidak ada spot pemandangan danau karena
hampir seluruh pemandangan ke bawah tertutup kabut. Sementara perbekalan air nyaris
tandas.
Beberapa
kali, kami bertanya kepada porter yang overtake kami.
Kami
|
:
“Segara berapa lama lagi Pak?”
|
Guide
|
:
“Udah deket. Tiga puluh menit lagi lah..”
|
Tiga
puluh menit kemudian …
|
|
Kami
|
:
“Segara masih jauh Pak?”
|
Another
guide
|
:
“Enggak juga.. Yah, sekitar tiga puluh menitan…”
|
Kami
|
:
*banting ransel*
|
Kombinasi
tujuan yang tidak jelas di sebelah mana, tidak tahu masih sejauh apa, track
yang monoton, perbekalan yang menipis dan usaha kami yang tampak tidak membuat
kemajuan bearti (dan ditambah saya lagi PMS), membuat kekesalan saya memuncaki
ubun-ubun. Begitu melihat seorang porter lagi mendahului kami yang sedang
istirahat, tanpa basa-basi saya segara mengangkat ransel dan menyusul porter
tersebut semampu saya (walaupun tidak tersusul juga).
Beberapa
kali, saya tidak hanya jalan cepat, tapi sudah mulai lari-lari kecil menyusuri
track tanah yang naik turun. Ulah saya membuat group kecil saya yang bejumlah
tiga orang tercerai berai. Stevan, saya lihat tampak mengekor beberapa menit di
belakang saya. Sementara Galih nyari tak lagi tampak. Bahkan beberapa kali
teriakan saya memanggil dia sepertinya tidak terdengar.
Awalnya
si khawatir kalau salah satu teman saya itu salah jalan, tapi demi melihat
track yang cuma satu-satunya tanpa percabangan, saya yakin mereka bisa make
their own way ke danau tanpa kesasar. Dan lagi, ayolah, saya satu-satunya
perempuan di rombongan kami. Kalau ada yang kesasar ketika jalan sendiri,
secara genetic harusnya sayalah orangnya. --'
Segara Anak sudah dekat |
Sungai kecil |
Bersama
Stevan yang sampai beberapa menit kemudian, saya bertanya kepada beberapa
porter yang tampak mulai menyalakan perapian untuk memasak.
“Pak,
ada lihat rombongan saya ada lewat ga ya?”
“Rombongannya
yang mana ya Mbak?”
“Err…..”
Menurut elo aja si Na… Ya
kali orang ingat saya ada di rombongan guide mana. Beruntung,
saya ingat salah satu dari kami pasti dikenali mereka.
“Pak,
ada lihat Rodi lewat sini ga?”
“Oh,
group dari Semarang
ya? Masih di sebelah sana lagi … ”, dan saya
baru sadar tim kami bernama group dari Semarang .
Arah
yang ditunjukkan guide tadi membawa kami berdua menuruni tebing menuju ke danau.
Stevan yang sampai di bawah terlebih dahulu berteriak ke saya, “Bener Na..
tendanya kelihatan.”
Setelah
setidaknya tahu lokasi tenda kami, tanpa turun, saya meminta Stevan jalan
terlebih dahulu sementara saya menunggu Galih yang masih entah di mana. Kenapa saya
harus nunggu dia? Karena kalau sampai orang ini hilang di Rinjani, saya ga akan
bisa pulang ke rumah ortu, karena pasti bakalan dicincang sama nyokapnya, kakak
ibu saya.
Setelah
bertemu Galih dan memberi direction yang saya rasa cukup, saya kembali menuju jalan
saya tadi, sementara dia beristirahat.
Dengan
percaya diri dan kejengkelan yang sudah mereda, saya menuruni tebing tempat
saya terakhir meninggalkan Stevan. Sesampainya di bawah, di pinggiran danau,
saya belum pernah merasa seputus asa itu sepanjang hidup. Tenda kami, melambai-lambai
dari seberang danau. Saya ulangi, SEBERANG DANAU!
Tenda di seberang |
Saya
tahu di gunung, saya tidak boleh mengumpat. Atau berkata-kata kotor lainnya. Jadilah
detik itu, yang bisa saya lakukan hanya menghela nafas, terdiam, berusaha
kalem, kemudian bertanya kepada seorang yang memancing di dekat situ.
“Pak, kalau mau ke tenda itu lewat mana ya?”
“Susuri
pinggiran danau aja mbak..”
“Yakin ga ada jalan lain Pak? Tadi
teman saya lewat sini?”
“Iya..
tuh..”, tunjuknya ke arah pepohonan yang menyembunyikan Stevan.
Jadi
gini, pinggiran danau yang dimaksud pemancing tadi bukanlah dataran landai
tempat kita bisa berjalan santai sambil berkecipak air danau. Pinggiran itu
lebih ke tebing sempit selebar 10 sentimeter di antara akar-akar pepohonan. Atau
di beberapa tempat yang sedikit lebih baik, pinggiran itu berupa titian batu berlumut
yang terendam air danau semata kaki.
Satu
yang ada di pikiran saya saat itu, walaupun otak rasanya sudah mau meledak
karena jengkel, saya yakin ada penjelasan masuk akal mengapa tenda kami dibuka
di ujung dunia seperti itu. Yakin ada dan untuk keselamatan bersama, lebih baik ada.
Sambil
menggeratakkan geraham, saya berusaha menyusul Stevan yang bahkan belum separuh
jalan. Alih-alih mengikuti cara Stevan yang mendaki akar-akar pohon, saya
mengambil rute yang buat saya lebih masuk akal. Nyebur ke danau. Toh barang-barang
berharga saya ada di dry bag, pikir saya. Dengan cara itu, walaupun basah kuyup
dari pinggang ke bawah, sampai ke perkemahan lebih dahulu dari Stevan yang
masih berjuang melewati akar pohon.
Sesampainya
di perkemahan, saya segera menghampiri Dedi yang juga baru saja sampai. “Kenapa
kita buka tenda di sini?! Emang besok rutenya lewat sini?”, geram saya pada
Dedi yang tidak tahu apa-apa.
“Ga
tahu juga. Aku sama Rodi juga baru sampai, dan tenda udah di sini. Tadi aja
nanya guide di atas.”
Baiklah,
setelah akhirnya setelah bertanya ke Pak Idah yang bertugas membawa tenda
tersebut, jawaban yang saya dapat sedikit mendinginkan kepala. Satu-satunya
jalan dari Segara Anak menuju Plawangan Senaru yang harus kami lewati keesokan
paginya memang melewati area perkemahan kami. Jadi mau tidak mau, kami tetap
harus melewati rute neraka di pinggir danau tadi, entah hari ini atau esok
pagi.
Dengan
kepala yang jauh lebih dingin, saya baru menyadari, lokasi perkemahan kami
malam itu luar biasa cantik. Dari apa yang saya bisa lihat tepat di depan
tenda, saya bisa bilang area itu adalah the best spot buat buka tenda di Segara
Anak.
Dan
untuk lebih mendinginkan kepala, sambil menunggu rombongan terakhir sampai,
saya memutuskan menceburkan diri ke danau. Menikmati sore dengan pengalaman
pertama seumur hidup. Berenang di danau yang luar biasa dingin dengan
pemandangan deretan pinus, puncak Gunung Baru dan puncak Rinjani mengelilingi
saya. AWESOME!!
Pesan
saya, jangan tidur cepat di Segara Anak. Atau setidaknya, kalau harus tidur
cepat, bangunlah sebelum fajar menjelang. Anda tidak akan mau melewatkan pemandangan
tenda berlatar belakang danau dan gugusan Bima Sakti kan ?
Sky and us |
Milky Way and Segara Anak |
Full team |
Yah,
untuk saya, perjalanan Plawangan Sembalun ke Segara Anak memang bukan
perjalanan paling menyenangkan sepanjang trekking Rinjani, tapi yang jelas,
perjalanan hari itu berakhir di tempat yang paling luar biasa dari tiga hari
perjalanan kami. And now, I want to do that again. Anyone?
***FIN***
Kepingiiiin....... :D
@Ipuy: Ayooookk... Semeru aja yuk tahun depan. :D
pengen kapan dong rinjani lg
sumpah pengen . ....
pengen kapan dong rinjani lg
sumpah pengen . ....
mantep gan
makasih banayk