Tragedi CPU dan Sang Penggemar

 “Adikmu itu bosen di rumah”, ujar ibuku ketika aku bertanya mengapa si bungsu tidak di rumah. Padahal jelas bulan-bulan ini bukan waktunya dia kuliah.
 “Bukannya biasanya main komputer?”
 “Komputernya error tu katanya..”
 “Lha..yang monitornya kurang gizi kapan hari itu belom dibenerin?”, seingatku terakhir kali pulang berbulan lalu, monitor tabung uzur berumur 7 tahun itu memang bermasalah. Entah bagaimana dan apa yang salah, gambar yang muncul terdistorsi menyempit dan tertampil di tengah.
“Monitornya sudah bener, yang ini lain lagi.”
“Lagi? Apanya yang rusak lagi?” tanyaku tidak habis pikir disusul gelengan kepala ibuku. Yah, untuk urusan komputer ibuku memang tidak perlu ditanya. Jangankan tahu masalahnya apa, cara mematikan komputer yang beliau tahu saja hanyalah dengan mencabut stop kontak listrik.
Komputer itu salah satu dari beberapa hal yang tersisa dari jaman aku kuliah. Orangtuaku akhirnya membelikan Pentium 3 256 MHz berkapasitas simpan 40 GB itu setelah 4 semester aku kuliah ilmu komputer tanpa berbekal komputer. Dan tentu saja setelah rengekan panjang selama hampir 4 semester juga. Bukan komputer mewah dengan spesifikasi handal jelas, bahkan tidak untuk masanya. Pun tetap setia dengan Windows XP bajakan. Tapi untuk bekal mahasiswa Ilkomp yang programmingnya semasa kuliah mentok di Pascal dan Delphi saja, komputer itu cukup mumpuni. Tidak jarang bahkan dia harus begadangan sendirian berhari-hari hanya karena majikannya malas mematikan. Bahkan tahun-tahun terakhir kuliah si monitor harus bekerja ekstra karena keisenganku membelikannya TV tuner eksternal lengkap dengan antena luar. Demi menonton F1 tanpa gangguan tentu saja. Seingatku, selama lebih dari 2 tahun menemani si komputer ini tidak pernah rewel serius. Tapi entah mengapa dan bagaimana, setelah di rumah, itu komputer mulai sering ngambek. Hampir tiap kali pulang, tiap kali itu pula ada laporan si kompy rewel. Seperti juga sekarang ini.
Karena sudah terbiasa dengan laporan error, yang biasanya akan berakhir dengan dibawanya si kompy ke satu-satunya bengkel komputer di “kota” kecil kami, dua hari pertama di rumah, aku tidak acuhkan laporan ibuku. Hingga beberapa hari kemudian adikku sendiri yang complain ketika akhirnya dia pulang ke rumah.
“Ini komputer mbok dibenerin.”
Lha wong bisa dipake gitu lho..”, sahutku karena melihat dia duduk di depan komputer sedang main salah satu game.
“Coba aja tunggu sebentar, pasti langsung mati.”
“Monitornya?”
“CPUnya laaaahhhh….langsung kaya standby gitu dia..”
Hmm, sepertinya aku familiar dengan keluhan ini. “Kepanasan? Kipasnya nyala ga?”
“Ga tahu. Ga ngecek.”, jawabnya sambil cengar-cengir. Segara saja aku toyor kepalanya, “Mau pakai kok ga mau nyari tau kalo komputernya kena masalah”, gumamku sambil geleng-geleng.
Segera saja aku putar meja tempat CPU sehingga bagian power supply bisa terlihat. Seperti dugaanku, kipas power supply tidak bergerak, mati total. Aku coba sentuh kipas itu dengan hati-hati untuk menggerakkannya. Macet. Another familiar symptom. Aku ambil senter untuk menerangi bagian CPU yang cukup berdebu itu, dan benar saja, samar-samar aku lihat sepotong benda berwarna putih pucat melintang di tengah kipas.
Untuk mempermudah akses, komputer segera kami matikan dan membawanya ke tempat yang lebih terang. Menggunakan pinset benang, aku mencoba menjapit benda itu keluar. Cukup sulit ternyata. Bahkan setelah beberapa kali korekan, benda itu justru terlepas dari kaitan kipas dan masuk ke dalam kotak power supply. Tidak ada jalan lain, harus dibuka. Setelah mendapatkan sebuah obeng kembang yang cukup besar, aku segera memulai operasi kecil sang CPU. Tak berapa lama berkutat dengan obeng dan debu, akhirnya benda pucat tadi menampakkan wujudnya di hadapan kami semua, persis seperti dugaanku sebelumnya. Seekor cicak kering.

Ini kali kedua kipas power supply disusupi makhluk tidak diundang bernama cicak. Entah kenapa, si cicak hobi sekali bersembunyi di sana. Entah karena dia mencari kehangatan atau mungkin suara CPU yang mendengung-dengung merdu itu mengundangnya untuk mendengarkan lebih dekat. Yang jelas, aku yakin, cicak ini tidak akan menjadi cicak terakhir yang terbuai rayuan sang CPU.
Ibuku yang mendengar keributan kecil kami segera mendekat sambil menutup hidungnya yang sensitif oleh debu.
“Kemasukan cicak lagi?”, tanyanya begitu melihat hasil temuan yang aku “semayamkan” di atas tissue.
“Hooh”, jawabku singkat sambil sibuk membolak-balik si cicak untuk mendapatkan angle yang bagus di camera.
“Ya sudah, itu komputer cepet diberesin. Sekalian aja, lubang kipasnya itu ditutup, biar ga ada lagi cicak yang masuk.”
Sambil bengong aku dan adikku saling pandang. “Err..Mom..jadi gini..”. Jadilah pagi itu kami akhiri dengan menjelaskan mengapa lubang kipas itu diciptakan. Yah Mom..apa gunanya kami berkutat ngeluarin cicak kalau akhirnya lubang kipasnya ditutup.

****************
 Note: Itu gambar cicak asli dari TKP