Kontrak, Kenapa Enggak?


Setahun lalu, tepatnya di awal Juli 2010, sebuah panggilan telepon di siang hari menyeret saya keluar dari ruangan kantor. Dari sebuah agen pekerjaan, head hunter bahasa kerennya. Dan tolong jangan diterjemahkan secara literal, ini malam Jumat Legi. Telepon itu merupakan tindak lanjut dari resume yang saya kirimkan ke website mereka sehari sebelumnya. Sebuah resume yang saya kirimkan untuk menjawab tantangan tersirat dari teman-teman saya (ironisnya, saat ini, itu satu-satunya alasan yang masih bisa saya ingat mengapa saya akhirnya memutuskan memulai keberuntungan saya tahun lalu). Singkat kata mereka ingin menginterview saya lebih lanjut untuk melihat adakah posisi yang cocok untuk criteria dan kemampuan saya.
Banyak pertanyaan dilontarkan terutama yang berkaitan dengan non-teknikal, termasuk status employment saya di perusahaan saat itu. Begitu mengetahui bahwa saat itu saya adalah karyawan permanen, mereka sedikit ragu untuk melanjutkan. Karena kemungkinan besar posisi yang akan mereka tawarkan ke saya adalah posisi kontrak. Seingat saya, setelah hari itu, mereka dua kali memastikan ke saya apakah saya yakin akan meninggalkan posisi permanen di perusahaan sekarang untuk posisi kontrak di perusahaan baru. Well, why not?

Saya baru menyadari bahwa itu adalah sebuah pertanyaan umum, logis dan bagus sebetulnya, ketika 4 dari 5 teman saya yang tahu bahwa saya give up permanent position for a contract offering, indirect contract pula, bertanya, “Kok mau si?”.
Sebetulnya, tidak semua posisi kontrak itu tidak menguntungkan untuk pihak kita sebagai karyawan. tapi jelas, ada beberapa point utama yang harus dipertimbangkan ketika memutuskan untuk mengambil kesepakatan kontrak. Yuks coba lihat per item di contract employment letter.

1. Termination
  Saya orang yang sangat menghargai commitment. Tapi, jujur saya malas terikat commitment yang tidak perlu (Ini soal kerja, bukan curcol yang lain ya..). Maka bagian yang akan mendapat perhatian saya di point awal adalah bagaimana jika saya memutuskan untuk resign, apapun alasannya, sebelum kontrak selesai. Cek berapa notice period yang harus kita berikan, lihat apa saja syarat-syarat yang diajukan perusahaan ketika kita mengajukan resign. Semakin pendek notice period dan semakin sedikit kerewelan dari company, semakin baik. Dan jika memungkinkan, tambahkan juga item benefit yang harusnya Anda dapatkan jika pihak perusahaan yang justru menghentikan kontrak sebelum waktunya.
  Penalty fee, berapa pun angkanya, adalah big no-no. Kecuali jika perusahaan yang membayarnya pada Anda. Mengapa? Jadi gini, ketika seorang memutuskan resign, itu bearti dia sudah tidak ada passion dan motivasi untuk bekerja di perusahaan sekarang. Tidak ada passion bearti not good performance. Kalau performance tidak bagus, tidak ada gunanya lagi buat perusahaan kan? Dengan resignnya dia, bearti membantu perusahaan membersihkan orang-orang yang tidak berguna kan?
   Jadi, ga masuk akal dong, masa kita sudah membantu perusahaan dengan mengajukan resign tapi masih harus bayar penalty fee? *setan mode.

2.  Medical support
   Medical support itu meliputi cuti sakit dan tunjangan berobat ke dokter. Paling bagus tentu saja jika perusahaan mau member cuti sakit dan tunjangan berobat yang tidak terbatas, tapi percayalah, impossible. Back to reality, biasanya ijin cuti sakit itu 14 hari setahun, kecuali jika harus opname di rumah sakit. Semakin lama ijin yang diberikan, semakin bagus tentu saja. Tapi ada yang perlu diperhatikan juga, bagaimana perhitungan gaji selama kita dirawat di rumah sakit?
   Untuk tunjangan berobat, pastikan hal ini akan menjadi prioritas utama jika Anda tidak punya asuransi kesehatan pribadi. Terutama jika Anda bertempat tinggal di kota dengan biaya dokter yang cukup mencekik leher.

3.  Cuti tahunan
    Penting banget buat saya, mungkin tidak untuk banyak orang lain yang memang gila kerja. Itu mengapa saya tempatkan di point nomer 3. Dan jelas, semakin banyak semakin baik.
   Tapi ingat, pemberian cuti itu juga tergantung dari kebijakan perusahaan dan ijin bos. Sama saja bohong kalau jatah cuti 45 hari setahun tapi susah diambil dengan alasan no-backup atau loading sedang banyak.
   Nah, kalau belum mulai kerja bagaimana bisa tahu kondisi tempat kerja atau mood bos dalam memberi cuti seperti apa? Yah, ini memang tebak-tebak buah manggis dan seperti membeli kucing dalam karung si. Idealnya si, Anda punya kenalan orang dalam sehingga bisa memberikan bisikan “kucing” macam apa yang ditawarkan pada Anda.

4. Cuti lain-lain
   Cuti lain-lain itu misalnya, cuti hamil, cuti nikah, cuti untuk urusan anak, cuti kematian keluarga, dan sebagainya. Percayalah, meskipun saya belum pernah sekali pun memanfaatkan jatah cuti di atas, saya yakin dengan cuti tahunan saja tidak akan bisa menutupnya.

5.  Salary package
   Kalau PNS di Indonesia mengenal gaji ke-13, atau kalau semua karyawan baik negeri maupun swasta di negeri itu kenal yang namanya Tunjangan Hari Raya, maka kota kecil ini mengenal yang namanya AWS (Annual Wage Supplement) sebesar satu bulan gaji. Biasanya AWS diberikan di akhir tahun ketika pembagian salary bulan Desember. Untuk kasus kontrak, pastikan bahwa paket salary (yang biasanya annually) sudah termasuk AWS ataukah belum. Dan jelas akan menjadi pertimbangan yang sangat bagus mengingat satu kali gaji bisa jadi bukan angka yang sedikit.
   Hmm, menulis paragraph di atas, saya baru sadar satu hal. Jadi PNS di Indonesia dapat 14 kali gaji dong? No wonder.

6. Bonus benefit
   Judul point ini namanya bonus, kalau ada bagus, kalau enggak ada baiknya diusahakan untuk dapat. Point ini sangat tergantung dari company apa yang akan Anda masuki. Perlu diingat, tidak semua company memberikan bonus, bahkan untuk karyawan tetap. Tapi meskipun bukan point utama, mengharap perhitungan bonus di contract letter bukan hal yang salah.

   
Selain point-point di atas, to be fair ada beberapa hal yang memang harus dipikirkan sebelum mengambil tawaran kontrak. Apalagi jika posisi Anda sekarang permanen dan tidak dalam kondisi terdesak untuk segera mendapatkan pekerjaan baru. Seperti banyak hal di dunia ini, posisi kontrak tentu saja banyak pro and cons. Tapi jelas pro-cons di sini sangat-sangat subyektif case by case, person by person.

Cons:

1. It’s not a good ladder for carrier
   Kalau tujuan Anda ingin jadi manajer atau mengincar posisi top perusahaan, lupakan status kontrak. Sekali dua kali masih tidak menjadi masalah, terutama di tahun-tahun awal bekerja. Tapi jangan pernah menjadikan ini sebagai hobi untuk seterusnya.

2. Bukan keputusan yang baik jika Anda punya tanggungan
   OK, sebelumnya saya harus bilang, PHK tetaplah PHK. Mau Anda permanen mau kontrak, tetap saja ada kemungkinan untuk mendapatkan surat pemecatan. Tapi untuk karyawan kontrak, selain kemungkinan pemecatan di tengah-tengah kontrak (yang biasanya tidak merugikan perusahaan), jobless di akhir kontrak itu sudah pasti. Akhir kontrak bearti akhir bekerja. Dan sayangnya, bagi hampir separo dari seluruh penduduk bumi, akhir bekerja bearti akhir pendapatan.
   Maka jika Anda punya tanggungan dan tidak terlalu jago mengatur cash flow selama Anda bekerja, lupakan opsi untuk menjadi karyawan kontrak. Masalah Anda sudah cukup banyak Bung!

Pros:
1. Annual salary review
   Selama saya menjadi permanen staff, adjustment gaji tahunan selalu menjadi keputusan sepihak perusahaan. Seorang karyawan hanya akan mendapatkan surat pemberitahuan kenaikan gaji sebesar sekian. Titik. Dan berapa dari kita yang punya nyali untuk mempermasalahkannya ke management? Karena toh company selalu akan bilang, take it or leave it.
   Untuk karyawan kontrak, dengan catatan bahwa perusahaan menawarkan perpanjangan kontrak, selalu ada option untuk menegoisasikan ulang kesepakatan tentang salary dari dua belah pihak. Tentu saja teori “lo jual, gue beli” berlaku di sini. Jika di akhir negoisasi tidak ditemukan keputusan bulat, tentu masing-masing pihak bisa mengatakan take it or leave it. Trus apa bedanya dengan perm staff dong kalau akhirnya seperti itu? Beda, karena Anda punya suara di sana. Beda, karena Anda tetap bisa memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak. Nothing to lose.

2. Sabbatical leave option
   Sabbatical leave di sini saya artikan dari freedictionary.com yaitu sebuah rentang waktu di mana seseorang absen dari pekerjaannya namun tetap terdaftar sebagai pegawai perusahaan tersebut. Popular juga dikenal sebagai gap-year di kalangan pelajar. Yang intinya adalah mengambil jeda terbebas dari rutinitas sehari-hari selama rentang waktu tertentu.
   Sebetulnya kalau ini si istilah saya saja, mengacu pada istilah yang sudah ada. Karena jika terkait dengan kontrak status adalah kita bisa menentukan kapan kontrak baru akan dimulai. Bisa dengan company baru atau company lama. Dan jelas, maksud saya di sini adalah no-pay leave. (Ehm, kalau ada company yang memberi gaji ketika kita mengambil cuti panjang, tolong kabari saya ya..)
   Ini sama saja dengan jika seorang permanen staff resign dan memutuskan untuk mengambil jeda sebelum bekerja di tempat baru. Namun karena adanya notice period yang harus kita served,dalam  prakteknya sangat sulit sekali dilakukan jika sebelumnya kita adalah permanen staff. 
  Apa bedanya dengan pengangguran? Jelas beda. Meskipun sama-sama tidak berpenghasilan, setidaknya satu hal yang pasti, setelah rentang waktu itu selesai kita tetap bisa kembali pekerjaan (ah, makin saya baca makin saya tidak yakin ini sebuah kelebihan).


   OK, sebetulnya saya menulis panjang ini pointnya hanya di item pros nomer 2 di atas. Kenapa? Karena ini adalah hari terakhir saya bekerja sebelum saya mengambil long leave, sabbatical leave, contract-gap leave, you name it, selama 3 minggu. Dua puluh tiga hari to be exact. Yah memang, jumlah yang tidak ada apa-apanya dibandingkan teman-teman saya yang bekerja lapangan di sector pertambangan, yang bisa memperoleh sebulan penuh cuti. Ah, how I envy you guys!

But well, setidaknya ini liburan terpanjang yang bisa saya harapkan saat ini. So, ready or not, let’s pack your bag! 


* Pict taken from here

So, What's Next?

             
           Sebuah percakapan tidak penting di sebuah sesi makan siang membuat saya tertantang untuk menantang diri sendiri. Bisa ga si berlari nonstop 5 kilometer selama 30 menit di kecepatan 9? Ternyata mungkin dan tidak sesulit yang saya pikir. Ayolah, di blog sendiri boleh dong menyombong sesekali. =)
Sebenarnya tantangan terbesar menyelesaikan laps diatas sebetulnya bukan pada larinya sendiri, tapi lebih pada mengatasi kebosanan akut saya memelototi Singapore Flyer ganti warna selama lebih dari 30 menit.
Oke, saya ngaku  saja. Sebetulnya itu tidak nonstop sama sekali, karena saya harus berhenti 2x15 detik untuk membetulkan tali sepatu yang entah kenapa sering sekali terlepas.

So, what's next? Additional 30 minutes? Or make it 10 kilometers in an hour may be? 
Ah, biarkan saya putuskan besok setelah bangun tidur saja lah, core muscle saya rasanya mau putus setelah menyelesaikan 13 lap di atas. Selamat tidur semua....

MYR 200

IDR 550K.
SGD 83.
Jauh lebih sedikit dari jatah transport saya selama bulan July. Kurang dari angka yang tertera di receipt pembelian dompet saya minggu lalu. Lima dollar lebih sedikit dari harga paket promo 2H1M Cameron Highland yang baru saja saya tebus kemarin.
Sebuah pesan pendek dari teman saya membuat sore yang dingin di ruangan ini terasa makin menusuk. Teman saya seorang TKI di Malaysia. Johor tepatnya. Memberitahu saya, bahwa separuh bulan uang gajinya sudah dipersiapkan oleh majikannya, jadi saya bisa ambil sewaktu-waktu ke Johor. Separuh bulan uang gaji itu rencananya akan saya bawa ke Jawa, sebagai uang lebaran untuk keluarganya di sana.
Dua ratus ringgit Malaysia. Maaf, saya masih takjub dengan angkanya. Itu gaji pertama dia setelah bekerja selama 6.5 bulan. Anda tanya kenapa? Karena para pahlawan devisa itu tidak mendapatkan gaji selama 6 bulan pertama dengan alasan sebagai biaya agent. Yap, tidak digaji. Seberat apapun pekerjaan mereka. Sedekat apapun mereka dengan maut selama bekerja.

Saya migrant worker. OK, saya TKI. Yang jauh lebih beruntung daripada rekan-rekan saya yang diakui pemerintah Indonesia tercinta sebagai pahlawan devisa negara. Selama 3 tahun ini, saya kenal beberapa TKI yang bekerja di sector rumah tangga. Saya tahu betapa polosnya sebagian dari mereka. Dan betapa tidak berdayanya mereka. Ditampung di rumah penampungan. Menunggu giliran dikirim ke luar negeri tanpa tahu pasti ke mana mereka akan dipekerjakan. Dioper dari satu tangan ke tangan lain. Tanpa satu dokumen pun di tangan. Tanpa punya pilihan lagi atas hidup mereka. Dan pemerintah saya bilang mereka mengirim para pahlawan devisa? Hell ya, maaf, tapi untuk saya itu lebih terdengar seperti human trafficking.  
Oh ya, salam untuk para petinggi BNP2TKI. Boleh tahu ga Pak, alamat tempat teman saya bekerja? Semua harusnya tercatat kan ya di KTKLN, si kartu canggih ber-chip itu? Ah, pasti kartu itu tak hanya canggih, punya six sense juga mungkin? Mirip dukun gitu. Karena teman saya sendiri tidak pernah tahu hendak dipekerjakan di mana. Ah sudahlah….
Delapan puluh tiga dollar Singapura.
Saya tutup jendela browser i-banking di layar monitor. Saya sudah tak lagi berminat mengeluhkan angka rekening tabungan saya yang babak belur bulan ini. Sigh.
**********

*Picture taken from here