Calon M[en]antu

Lebih baik disini, rumah kita sendiri
Segala nikmat dan anugerah yang kuasa
Semuanya ada disini
Rumah kita .
.
            Alunan nada “Rumah Kita” dari God Bless membangunkan Pram dari kemasyukannya menekuri angka di monitor sedari dua jam lalu.
            “Assalamualaikum, nggih Pak?” sambut Pram otomatis begitu membaca caller ID yang masuk ke ponselnya.
            “Iki, ibumu arep ngomong. [Ini, ibumu mau bicara]” Untuk beberapa saat Pram hanya mendengar desis statis ditingkahi suara bapaknya di latar belakang. Sepertinya ibunya tidak berada tepat di samping bapaknya. Pram tersenyum membayangkan bapaknya di ruang keluarga sementara ibunya di dapur. Rumah yang sekarang praktis hanya dihuni bapak dan ibunya itu memang memerlukan sedikit usaha untuk berkomunikasi mengingat besarnya.
            “Le..[Nak]” terdengar suara ibunya menyambut setelah beberapa saat.
            “Nggih Bu, wonten napa [Ya Bu, ada apa]?”
            “Ono opo piye tho… Yo arep ngucapke slamet ulang tahun wae. Ra lali tho karo ulang tahunmu dhewe? Dongane ibu moga-moga sehat sluman slumun slamet, akeh rejeki, lan tetep ning perlindungane Gusti Pangeran. [Ada apa gimana tho? Ya mau bilang selamat ulang tahun saja. Enggak lupa sama ulang tahun sendiri kan? Doa dari ibu semoga  sehat selalu, banyak rejeki, dan selalu dalam lindungan Tuhan]”
            “Matur nuwun, Bu. [Terima kasih Bu]”
            “Siji maneh… Ojo lali, kowe ki wis 33. Ojo mikir gawean wae. Wis kudu mikir omah-omah luwih serius. Kapan kowe bakal ngenalke calon mantu ibu? Ngenteni opo tho? [Satu lagi.. jangan lupa, kamu sudah 33 sekarang. Jangan hanya mikir kerjaan. Sudah harus memikirkan untuk berumahtangga lebih serius. Kapan kamu akan mengenalkan calon menantu ibu? Nunggu apa tho?]”
            “Nggih .. Kapan nggih Bu? Kapan-kapan mawon nggih Bu.. [Ya..kapan ya Bu..Kapan-kapan saja lah Bu..]” Pram menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Pembicaraan ini serasa dejavu untuknya tiap kali mendengar suara ibunya di telpon.
            “Ora janji-janji wae kowe. Bosen ibu karo janji-janjimu kuwi. Adhimu, Ratih wae wis arep dhuwe anak 2. Lha kowe kok ora ono kabare. Piye tho le..le? [Jangan janji-janji saja kamu. Bosen ibu dengan janji-janjimu itu. Adikmu, Ratih saja sudah mau punya 2 anak. Kamu kok tidak ada kabarnya. Gimana ini nak..nak?]”
            “Nggih benten Bu, dik Ratih niku rak wadhon [Ya beda lah Bu. Dik Ratih itu kan perempuan]”
            “Ealah, alasanmu ki ono wae. Wis iki..Bapakmu arep ngomong. Ibu lagi nggoreng ayam, mengko bengi wae disambung yo… [Ada saja alasanmu itu. Sudah, ini bapakmu mau bicara. Ibu sedang menggoreng ayam, nanti malam saja disambung lagi.]”
            “Pram…” suara berat Bapaknya mengisi ruang kosong yang baru saja ditinggal ibunya.
            “Met ulang tahun yo. Isi ning kantor kowe? [masih di kantor kamu?]”
            “Taksih Pak. Sampun badhe wangsul niki sekedhap malih. [Masih Pak. Sudah akan pulang sebentar lagi]”
            “Yo wis ngono wae. Sing ngati-ati, ojo lali sholat’e [Ya sudah gitu saja. Jaga diri. Jangan lupa sholat.]. Assalamualaikum” bahkan setelah sekian lama dia meninggalkan rumah, pesan Bapak untuknya untuk tidak meninggalkan kewajiban 5 waktu tidak pernah berubah.
            “Waalaikum salam” Pram menatap ponsel mungilnya dan menghela nafas panjang. Tiba-tiba nafsunya untuk menyelesaikan pekerjaan hari itu menguap entah kemana.
            Pertanyaan itu lagi. Entah untuk ke berapa kalinya sejak .. entah..Pram bahkan sudah lupa sejak kapan. Mungkin sejak adiknya, Ratih yang lebih muda 5 tahun darinya itu menemukan jodohnya 4 tahun lalu. Ah tidak, jauh lebih lama dari itu. Seingat dia, ibunya juga sering menyinggung-singgung itu begitu dia menyandang gelar Sarjana Akuntansi. Dan itu, hmm..sudah lebih dari 10 tahun lalu. Pertanyaan sama, kapan dia kenalkan calon mantu ke orang tuanya.

            Pandhunoto, orang tua Pram hanya punya 2 orang anak. Laki-laki dan perempuan. Pramudya Ajisaka Pandhunoto dan Ratih Wulandari Pandhunoto. Genap dan lengkap kalau orang yang mengenal keluarga ini menyebutnya. Yang laki-laki ganteng, yang perempuan ayu. Terlebih lagi, sejak kecil mereka berdua hampir tidak punya track record jelek. Tidak hanya itu saja, prestasi mereka pun cukup bisa dibanggakan. Pram, seorang Akuntan Public, yang sedang merintis usaha konsultan akuntansi yang berkembang pesat. Ratih, lulusan kedokteran yang meskipun memutuskan menjadi fulltime ibu rumah tangga, mempunyai praktek dokter yang cukup ramai di pavilliun rumah.
            Meskipun begitu, sebagai orang Jawa, tetap saja ada yang kurang lengkap dari keluarga besar Pandhunoto. Pram sebagai anak laki-laki satu-satunya belum menikah. Belum menikah berarti belum bisa memberikan keturunan untuk meneruskan garis silsilah keluarga besar Pandhunoto. Karena dalam budaya Jawa yang patriakal, garis keturunan hanya akan diturunkan dari anak laki-laki. Sebuah tanggung jawab yang mau tidak mau ditanggung oleh Pram, sebagai seorang laki-laki Pandhunoto.

L is for the way you look at me 
O is for the only one I see 
V is very, very extraordinary 
E is even more than anyone that you can adore
Getar lembut dan suara melankolis Nat King Cole dari ponsel yang menandakan panggilan masuk itu menyadarkan Pram dari lamunannya. Dia tersenyum mengenal nada dering yang hanya ia gunakan untuk satu nama di phonebook-nya itu.
“Hai Beib ..”
“Hai birthday boy. Ready to go? Gue udah di depan kantor lo. Langsung cabut aja kan kita?”
“Oke. Bentar lagi gue turun. Love you ..”

Setengah berlari Pram keluar dari kantornya yang terletak di lantai 7 gedung megah di bilangan Sudirman Thamrin itu. Tak ia perdulikan tatapan orang yang dilewatinya sepanjang koridor dan gerutuan kesal bibi cleaning service yang tidak sengaja tersenggol ketika ia berusaha menerobos masuk ke lift.

Tak sampai 5 menit kemudian, ia sudah bisa melihat mobil sedan silver yang sangat dikenalnya di kelokan halaman gedung. Dan sepertinya pengemudi mobil itu pun telah melihatnya, terbukti seketika itu juga mobil berjalan pelan ke arah lobi, tempat ia berdiri.
Miss you Beib.” Sapa sang pengemudi begitu mobil bergulir meninggalkan pelataran gedung.
“Norak lo ah. Baru juga semalem ga ketemu” gelak Pram geli. Namun tak urung juga disambutnya pelukan dan kecup bibir itu. Teraba kulit kasar dan bekas cukuran yang terkesan buru-buru oleh tangannya ketika bibir mereka meradu. Aroma maskulin aftershave dan  campuran kayu manis yang memabukan menguar mengelitik hidungnya. Aroma yang sudah beberapa tahun ini begitu akrab dengan hidupnya.
“Baru habis mandi ya? Masih seger..” tanya Pram sambil membetulkan sabuk pengaman kursinya.
“Hehehe…jujur baru bangun tepatnya. Hampir saja kebablasan.” suara bass Leo menjawabnya dalam tawa, seraya membelokkan mobilnya ke jalan tol arah Bogor, tujuan mereka malam itu.

Nyuwun gung ing samudra pangaksami Bu, Pak..
[Mohon maaf yang sebesar-besarnya Bu, Pak]
Anakmu belum akan bisa memenuhi keinginan untuk meneruskan trah keluarga besar Pandhunoto. Dan mungkin tidak akan pernah bisa. 

Your Mate, Your Soul

Teng..teng..teng..
Suara dentang tiang listrik itu menyadarkan Resti dari lamunan. "Arrggh..dah jam 3 pagii!! Tidur dong please..." erangnya perlahan, lebih ke dirinya sendiri. Mana mau tahu si Bos soal insomnia sialan ini kalau nanti dia sampai telat ke kantor.
Dengan kesal, dia kembali menyusupkan kepalanya ke tumpukan bantal. Mengusahakan tidur yang entah keberapa kalinya malam ini. Tapi meskipun dengan mata terpejam, dia masih bisa mengeja dengan jelas SMS terakhir Dio semalam.
"Resti, biarlah cinta menemukan jalannya sendiri. Cinta telah memilihmu untukku, dan itu cukup bagiku. Jangan tanyakan mengapa, jujurlah pada dirimu sendiri dan kau tahu jawabannya."
Itu bukan satu-satunya hal yang membuatnya tak juga bisa memicingkan mata malam ini. Rentetan percakapan antara Dio dan dia tiga hari ini, baik lewat telepon, SMS maupun YM, terasa seperti triatlon yang begitu menguras tenaganya. Dan dia yakin, tenaga Dio juga.

Sabtu malam itu seperti akhir pekan yang lain, mereka melewatkannya dengan berburu film di bioskop. "Apa saja, asal bukan horor Indonesia" itu motto mereka. Bingung memutuskan hendak ke mana untuk menghabiskan malam setelahnya, mereka sepakat memborong gorengan dan melanjutkan malam itu di depan rumah Resti.
"Bisa cepet kaya pacarku ntar kalo tiap malem minggu aku mau-maunya nongkrong di teras aja kaya gini" gelak Resti sambil menghempaskan badannya ke sofa yang segera diamini oleh Dio.
Cukup lama mereka asyik dengan gorengan masing-masing, sambil mengamati lalu lintas senyap di jalanan depan.
"Res, lo mau kita gini terus?"suara Dio tiba-tiba memecah hening.
"Terserah si..huff..huff..hahhh..nanas.. hehang hahuh ho hemahna?"
Mau tidak mau Dio tertawa geli melihat tingkah gadis di depannya. "Lo tu ya..jadi cewek berantakan amat.."
"Huah..panas tau..eh tissue dong tolong di depanmu. Mang kamu mo kemana lagi? Dah malem gini lho.."
"Hubungan kita Res..bukan gw.."
Lama Resti terdiam.
"Kamu..Hmm sebentar..hubungan apa ni?" tuntut Resti, meski lebih terkesan seperti bisikan. Gorengan yang akan ditelannya serasa menyangkut di kerongkongan.
"Kita. Ke depannya. Aku dan kamu. Aku mencintaimu Resti"
Dalam kondisi normal, Resti pasti tesedak karena tawa mendengar Dio beraku-kamu dengannya. Tapi kali ini, Resti merasakan dorongan untuk minum bukan karena tersedak, tapi lebih untuk mengulur waktu.
"Ini bukan April mop kan? Kamu ga bercanda? Kalau kamu bercanda, it will gonna to much Yo" ditatapnya Dio yang menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Aku serius Res."
"Tapi kenapa? Kenapa aku? Arrgh..Ya Allah Yo!! Kamu tau persis itu hampir ga mungkin kan Yo..."
"Kenapa ga mungkin? Dan sejak kapan cinta butuh alasan Res?"
"Pertama kalo kamu lupa, kita beda keyakinan. Dan for God sake, kamu jauh lebih muda dari aku Yo.."
"Hei rileks..cuma beda setahun ini. It's not big deal girl.."
"Gimana dengan poin pertama? Doh, aku bahkan ga percaya kita ngomongin ini."
Cukup lama mereka terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Yang jelas aku ga bisa membohongi diri sendiri Res. Dan aku juga ga mau selamanya membohongi kamu, berlaku seolah-olah semua baik-baik saja."
Resti terpekur bergeming.
"Sekarang bola ada di tangan kamu, terserah kamu sepenuhnya. Kalau kamu memang tidak punya perasaan yang sama seperti apa yang aku rasakan, tatap mataku dan bilang bahwa kamu tidak mencintaiku."
Perlahan Resti mengangkat kepalanya, dicarinya manik mata Dio. Lama ia menatap mata elang itu, sebelum akhirnya membuang muka "Andai semudah itu Yo.."

***
Ya, andaikan semudah itu.
Belum lagi genap setahun usia pertemanan mereka. Resti ingat saat pertama mereka bertemu di salah satu toko buku. Kala itu Dio jalan dengan Rama, teman kerjanya. Dari Rama jugalah Resti tahu kalau Dio juga tergila-gila dengan fiksi fantasi, sama seperti dirinya. "Haha..bisa tukeran buku ni!!", sambut Dio yang langsung diiyakan penuh semangat olehnya. Dan dari buku-buku itulah pertemanan mereka berlanjut.
Buat Resti, Dio itu teman jalan yang seirama dengannya sekaligus lawan diskusi yang tangguh. Tak jarang diskusi mereka menjadi ajang cela satu sama lain, meskipun tak akan bertahan lama.
Kebiasaan Dio bertutur puitis tak jarang membuat Resti menemukan amunisi untuk mencela sahabatnya itu. Seperti ketika sehabis mereka melihat film "Soulmate", yang sudah diputar entah yang keberapa kalinya, di teras rumah Resti.
"Menurutmu, apa si soulmate?"
"Belahan jiwa? Hmm...rumah." jawab Dio seketika sambil sedikit menerawang.
"Maksudnya?"
"Iya..rumah..tempat untuk pulang. Tempat kepada siapa kita kembali pulang setelah penat akan dunia. Ke pada siapa kita tidak lagi perlu mengenakan topeng kepalsuan. Seorang yang bakal menemani gue menertawakan dunia dan menangisi bahagia. Buat gue itu soulmate, seorang belahan jiwa"
"Yah Mas.. Orang aneh. Soulmate malah diajak menangisi bahagia. Ketawa dong...kasian amat"
"Menertawakan bahagia itu seperti menabur garam ke lautan Res..sia-sia"
"Hahahaha..pujangga kelas teras lu.." tak lagi bisa ditahan gelak Resti menyembur.

Kebersamaan dan kecocokan mereka, sedikit demi sedikit memupuk perasaan berbeda jauh di dasar hatinya. Perasaan yang tidak seharusnya ada dari seorang sahabat ke sahabatnya.
Terlalu menyederhanakan masalah sebenarnya jikalau dia hanya mengambinghitamkan persahabatan atas bungkam diam perasaan di hatinya. Ada lebih dari itu. Semua kesamaan dan kecocokan antara dia dan Dio hanyalah sebuah titian rapuh atas kelam dan dalamnya jurang perbedaan antara mereka. Jurang yang tak akan mungkin terjembatani hanya dengan kesamaan hobi. Lubang menganga itu bernama agama. Atas dasar itu, ia simpan rasa hatinya mungkin sampai selamanya andai saja Dio tidak pernah mengungkapkannya terlebih dulu malam itu.
 *** 
Azan subuh sayup terdengar dari mushalla kecil di ujung gang. Resti baru saja menyelesaikan rekaat terakhir sholat malamnya. Perlahan dia bangkit, mengambil HPnya yang tergeletak serampangan di kasur. Tak butuh waktu lama, sampai dia tekan tombol send message di gadget mungilnya itu. Terdengar hembusan nafas panjang dari bibirnya, "Que sera-sera, Dio."

Sementara itu di sisi lain kota, Dio terjaga dari tidur gelisahnya yang hanya 2 jam. Diraihnya HP, sebuah pesan singkat menyambutnya di halaman muka.
"Temani aku menertawakan dunia dan menangisi bahagia, Dio. I do"

Dio memejamkan mata dan menghela nafas panjang, "I will, Resti..I will"



*****

Work and Fire Collaboration

[July 10th 2010]

Foto berikut diambil dari Esplanade Bridge. Firework launcher-nya sendiri ada di tengah-tengah Marina Bay Reservoir tepat di depan Marina Bay Sand.

Firework ini dalam rangka rehearsal of National Day Parade yang diadakan hampir setiap minggu sejak akhir Juni lalu. National Day of Singapore sendiri jatuh pada tanggal 9 Agustus, tapi bisa dibilang antusiasme sudah mulai jauh dari itu. Bahkan panggung yang digunakan untuk acara sudah mulai dibangun awal Mei lalu.

Tahun ini sedikit berbeda dari 2 tahun lalu. National Day Parade biasanya mengambil tempat di Floating Stadium belakang Esplanade. Tapi tahun 2010, sebuah panggung raksasa didirikan di Padang depan Supreme Court untuk perhelatan ini.
Rangkaian acaranya sendiri sudah dimulai dari pukul 4 PM. Sepertinya acara diawali dengan terjun payung beberapa penerjun ke tengah panggung kemudian diikuti pawai kendaraan tempur dan beberapa civil defence Singapore. Buat kebanyakan dari kami, yang lebih tertarik akan atraksi pesawat tempur dan kembang api, memilih bersiap di Esplanade Bridge yang notabenenya membelakangi panggung utama.
Sekitar pukul 7 air show dari beberapa pesawat tempur mulai memekakkan telinga. Tidak begitu banyak untuk tahun ini. Dan puncak acara adalah kembang api. Tahun ini kembang api tidak hanya diluncurkan dari sekitar panggung dan Marina Bay Reservoir, tapi dari beberapa puncak commercial building di city dan beberapa kali dari Esplanade. Cukup memecah konsentrasi kami yang mengarahkan kamera ke tengah reservoir.

Jadi, jika ada rencana liburan ke Singapore di akhir pekan antara Juni sampai awal Agustus, jangan lupa sempatkan mampir ke sekitar Merlion Park, Esplanade, atau Marina Sand untuk menikmati suguhan tahunan Singapore.


Singapore: Marina Barrage

Kalau Kau Mendengarnya

Rinai hujan masih memainkan nada-nada yang sama
Terkadang hanya sekilas menyapa..sekedar menghapus jejak samar yang tertinggal
Seperti juga embun yang bergulir pelan seolah enggan melepas kecupan ilalang
Hingga mentari membiasnya dalam bayang-bayang
Pun elang laut masih menentang langit dengan angkuhnya
Keangkuhan yang tak mampu tertepis oleh serasa kehilangan
Meski dalam lukanya

Lalu apakah terdengar ironis, jika
Senja tak pernah sama setelah hari itu seiring symphoni malam yang makin sayup
Dan apakah kau tau..
Rembulan yang tergapai dalam serpih kliauan danau di balik pagar berduri itu telah
sempurna?
Mungkin kau tau..tapi akankah aku tau kau menyadarinya?

Elang luka ini telah kembali mengepakkan sayap
Menyanggah segala sakit dan bersandar pada tongkat egonya
Saat kau berlalu dari sisi tertinggal sebuah harap
Dia hanya punya sayap dan angin untuk terbang
Tak lagi seorang teman

Kini untuknya mungkin semua tak lagi sama
Bahkan tak juga hujan dan rembulan diatas air sana
Mungkin hanya sebuah momentum kehilangan yang kian memudar
Atau apa kini egokah yang bicara??
Terserah..

August 2006

Tidung: Antara Sepeda dan Tongkol

Sekilas Lintas Latar Belakang

"Sudah pernah ke Kepulauan Seribu? "

Pertanyaan itu dilontarkan seorang teman 2 tahun yang lalu. Saat itu si terpikir, "Jakarta? Yeah..please deh.. Thanks, but no thanks"

Eh, lama-lama kok banyak ulasan mengenai Kep.Seribu yang totally tidak bercirikan Jakarta. Laut membiru, bebas polusi, jajaran terumbu karang, merah saga langit senja. Rasanya perlu dicoba. Setelah 2 tahun teracunilah juga saya. 

So, lupa kapan tepatnya, tapi pasti lebih dari 5 bulan sebelumnya, saya beli tiket one way Singapore - Jakarta. Ya, cuman one way. Kenapa? Karena yang promo waktu itu ya cuman tiket berangkat ^^. Beberapa bulan setelahnya baru saya menemukan tiket balik dengan harga yang cukupan untuk kantong.

Trus, kenapa Tidung? Salahkan mailing list dan blog-blog itu!!! Kenapa juga semua ngebahas Tidung ya? Hehe..

Selama tahun 2010, pertanyaan saya ke temen-temen di Jakarta adalah "Mei ini ke Tidung yuks..". 
Maklum, single fighter juga perlu temen sharing ongkos kapal. Sayangnya, sampe H minus 2 minggu, belum juga saya bertemu dengan partner yang menganggukkan ketersediaannya. **Padahal sudah pake iming-iming free penginapan dan kapal**

Dengan sedikit putus asa, saya pun menjual diri di milis. 
"Ditemukan anak hilang..halla...Barang siapa hendak ke Tidung (ato bagian mana saja dari Kep. Seribu) tolong adopsi saya dong...."
*Telah diedit seperlunya*

Ga butuh waktu lama, kucuran dana eh tawaran bergabung bermunculan. Aih...benar-benar milis power ^^
Tawaran pertama dan paling menjanjikan datang dari Ade. Rombongan berduapuluh. (Yups..20 saudara-saudara.. Brasa eksodus ga si...) So, dengan senang hati sukarela tralala lala..saya terimalah pinangan itu.

Antara Serangoon North dan Muara Angke
H minus seminggu, bukannya istirahat, biar nanti pas liburan fit, saya menghabiskan hampir 18 jam sehari di kantor. *SIAL* Tidur tidak pernah lebih dari 5 jam setiap pagi (tidur jam 2 bangun jam 7 itu pagi ya..). Beruntung sampe hari Jumat itu bisa terlewati tanpa insiden yang bearti (selain terancam batal gara-gara "rencana" implementasi project gila).

Dan meluncurlah saya jam 3.40 dari gedung ungu-hitam-putih itu. Kerusakan mulai terjadi..Total mencapai S$ 16 untuk taksi ke Changi (hiks..) Setelah melalui rintangan-rintangan mulai dari pesawat delay 1 jam, lupa bawa Rupiah (maaf, kebiasaan..), salah nunggu bis Damri, sampai mengarungi macetnya tol dalam kota (cuman di Jakarta tho ada tol macet???) selama 1.5 jam, akhirnya sampai juga di TMP Kalibata (Kuburan?Bukan..sebelahnya..). 

Setelah mengatupkan mata barang 3-4 jam, bangun jam 3.30 pagi. Siap-siaplah kita.. (yihaa...sekali-kalinya dalam hidup, alarm HP burfungsi di telinga). Jam 4.40 lebih dikit meluncurlah taksi yang dipesan semalam sebelumnya ke Pancoran, tempat janjian dengan rombongan Ade. Hmm..sekedar informasi, Kalibata - Pancoran tu deket bo' (informasinya cukup buat lo aja kali Na!!!). Jadilah ga sampe 15 ribu dan 10 menit kemudian sampelah di halte di seberang Mustika Ratu. 
Spooky..gelap..sendirian.. Sial..salah tempat ternyata. Ada halte yang lebih manusiawi di setelahnya. Setelah berparno-parno ria setiap ada bayangan orang mendekat (sumpah rasanya pengen ngeluarin tripod buat bela diri) selama 10 menitan, taksi yang berpenghunikan Ade, Reiny dan Ruth pun menghampiri (hip hip huree...kalian selamatkan jiwa saya). Dan setelah menjemput satu orang kawan lagi (btw, yang pagi itu sapa si? Sorry gelap..kwkwk..bilang aja lupa cuy..) meluncurlah kami berlima ke Muara Angke.

Tips: Jangan tanya saya rute dari Pancoran ke Muara Angke. Saat itu saya pasrahkan jiwa dan liburan saya ke temen-temen baru ini dan sopir taksi tentu saja :D Satu hal yang pasti, taksi dari Pancoran - Muara Angke sangat murah..cuman 15 ribu (kan dibagi ber5..hehe)

Muara Angke
Gabungan antara bau amis ikan, bau solar kendaraan, kubangan air menghitam, lubang menganga di jalanan, riuh rendah pasar, lalu lalang macetnya angkutan kota, tebaran gundukan sampah dan malang melintang kapal nelayan. Ya..itu lah Muara Angke.
Kalo tiba-tiba ada setan yang membisiki Anda untuk ikut-ikutan trip ke Kep.Seribu dan menggunakan kapal dari Muara Angke, maka saran saya hal pertama yang harus Anda siapkan bukan duit, tapi mental..
Kapal ke Tidung (dan semua pulau di Kep.Seribu) adalah kapal nelayan. Jangan bermimpi tempat duduk..adanya ya tikar (udah bagus ga pake ada tumpukan ikan). Ada 2 pilihan, duduk di dalam atau di lantai 2 (ok..atap). Semua dengan pros dan cons. Duduk di dalam, ga kena sengatan matahari yang panasnya ga kira-kira, tapi gerah, sumpek dan goyangannya lebih tidak terantisipasi. Atau duduk di lantai 2 (atap sekali lagi..) kena angin, jelas ga sumpek tapi sumpah mampus itu matahari kaga pake kira-kira panasnya.. (catatan: 
Berangkat jam 6.30 pagi aja puanasnya minta ampun..) Jadi wajar kalo pas baliknya ga ada satupun diantara kami yang duduk di ok..atap. Sebetulnya kalo beruntung, bisa mendapatkan kapal yang atapnya beratap (ada beberapa anomali di sini yang bisa diabaikan oleh logika normal).
Jangan bertanya soal standard keselamatan di sini. Kapal itu hanya dan hanya akan berangkat kalo sudah penuh. Penuhnya kapasitas berapa orang? Hmm..hanya yang ngitung dan Tuhan yang tahu. 
Perjalanan memakan waktu 3 jam. Yak..3 jam kepanasan, 3 jam kejepit diantara kaki dan kepala orang, 3 jam antara ada dan tiada. Mangkanya kan tadi dah dibilang, siapin mental bukan uang. Karena total kerusakan di sini ga seberapa. Hanya 33 ribu sekali jalan. (sepertinya ada benang merah kebetulan yang dipaksakan di sini mengenai angka 3.. Ajaran penglaris buat Tidung apa ya?)
Tips: Ada beberapa pilihan lain untuk ke Tidung. Mengutip dari beberapa orang (karena
saya juga baru tau kok) selain dari Angke, ke Tidung juga bisa dari Ancol Marina dan Muara Saban Tangerang. Kedua cara ini memakan waktu yang lebih singkat. Caranya ke Marina dan Muara Saban? Duh..cari ndiri ya..please..










TIDUNG..TIDUNG..dan TIDUNG
Tidung adalah satu dari banyak kecamatan di wilayah Kep.Seribu Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Terdiri dari 2 pulau, Tidung Besar dan Tidung Kecil. Semua aktifitas kemanusian (maksudnya yang berhubungan dengan manusia) ada di Tidung Besar. Karena Tidung Kecil memang pulau kosong tidak berpenghuni. Kalau tidak salah hanya ada 1 rumah penjaga di Tidung Kecil. Kehadiran jembatan yang menghubungkan 2 pulau ini menjadi daya tarik tersendiri dari Tidung. Dari ujung timur Tidung Besar atau ujung barat Tidung Kecil inilah, kita bisa menikmati sunrise dan kalo beruntung sunset.
Fasilitas pulau ini terbilang lengkap. Mulai dari sekolah SD sampai dengan SMK, Puskesmas, Kantor Polisi, Kantor Lurah, sampai dengan kapal cepat untuk kondisi medis darurat yang saya sempat lihat bersandar di dermaga Tidung. Listrik pun menyala 24 jam sehari. Jadi jangan kuatir untuk yang tidak bisa tidur tanpa lampu.

Kesempatan kemarin, kami ber18 menginap di penginapan Audy milik pak Bustanil. 

Tips:
1. Pastikan jangan makan ikan setidaknya seminggu sebelum ke Tidung. Karena dalam 5 kali makan, pasti akan ketemu ikan..ikan dan ikan..tongkol..tongkol..dan tongkol..
2. Kalo ga mau rugi dan keluar uang lagi, bawa air minum dari Jakarta. Karena pengeluaran tak terduga di Tidung banyak jatuh ke air mineral.
3. Belajar naik sepeda dulu sebelum ke Tidung. Repot tau klo sampe ga bisa naik sepeda. Secara alat transportasi satu2nya di Tidung ya sepeda itu ato silakan jalan kaki :D
4. Belajar berenang. Setidaknya belajar ga takut sama air lah..Kenapa? Ga perlu dijelaskan kaliii...
5. Belajarlah naik tangga vertikal. Itu akan membantu pas naik ke kapal setelah snorkeling. (KOk ga ada yang bilang klo naik kapal itu susah ssseeee???)
6. Pergilah berombongan. Banyak yang bisa dishare dengan rombongan. Selain cerita dan kegokilan, duit juga salah satu hal. Dan satu lagi..ada yang memfoto-foto selama snorkeling.
7. Bawa kipas. Sumpah asli puanas di dalem rumah di sana. Apalagi klo pas pulsa listrik habis --"
8. Penduduk Tidung benar-benar welcome dengan pendatang. So, jangan ragu-ragu untuk tebar senyum dan menyapa mereka dengan riang..

Note: Perjalaanan ini mengurangi kantong saya sebanyak Rp 300.000 terhitung dari Kalibata - Angke - Tidung - Angke. Belum termasuk ongkos terbang dan ongkos terkapar keracunan di hotel semaleman :(

Karimunjawa: They call it archipelago, I call it "HEAVEN"


Sumpah, beneran.. hasrat paling menggebu untuk menulis catatan perjalanan adalah ketika dalam perjalanan itu sendiri. Begitu juga perjalanan kali ini. 

Hasrat paling menggigit justru aku rasakan ketika saat berangkat. Emosi yang luar biasa plus guyuran adrenalin yang aku rasakan sejak pagi membuatku nyaris tidak bisa menikmati perjalanan ribuan kilometer sepanjang Singapore - Jakarta - Semarang. Semua berawal dari keputusan nekat mengambil maraton transport tanpa jeda dari Tiger Air untuk Singapore - Jakarta, KA Argo Bromo Anggrek untuk Jakarta - Semarang, bis AKDP untuk Semarang - Jepara, dan KMP Muria untuk Jepara - Karimunjawa. Buffer waktu untuk tiap transport 2 jam. Itinerary itu benar-benar menyentak adrenalinku ke ubun-ubun, terutama ketika pengumuman di boarding room menyebutkan bahwa flightku akan delay satu jam. Dan, diiringi sumpah serapah ke diri sendiri, menyeretku, sekalinya dalam hidup, memutuskan menggunakan jasa "Burung Perak" sesampainya aku di Cengkareng.
SIN - CGK IDR 300,000.-
CGK - Gambir "Burung Perak" IDR 200,000.-
Gambir - Tawang IDR 265,000.-
Menginjakkan kaki tepat waktu di pelabuhan Kartini Jepara - PRICELESS
KMP Muria memanggil rombongan anak ilang, yang akhirnya lengkap berjumlah 4 orang, tepat pukul 9 pagi. Perjalanan ke Pulau Karimun, pulau utama di Kep. Karimunjawa, memakan waktu 6 jam. Kemewahan AC dan kursi yang nyaman menyambut kami di kelas VIP yang harus ditebus sebelumnya dengan IDR 60,000.-. Yang aku rasa sangat jauh lebih mewah dibanding IDR 30,000.- di kelas ekonomi dengan fasilitas kursi plastik dan angin laut.

Jam belum menunjukkan pukul 3 ketika kapal terasa merapat di dermaga pulau Karimun. Mas Bayu, dari Cekeran Management, sudah siap menyambut dengan mobil pickup, bergelas-gelas es kelapa muda dan banyak jajanan pasar. Yummy...yipppieee....

Sore itu cukup diisi dengan bermalas-malasan dan bego-begoan di Nirwana Resort dan menikmati after sunset di dermaga wisata.













Pulau Karimun, sebagai pusat adminstrasi Kecamatan Kep. Karimunjawa, bisa dibilang cukup lengkap. Mulai dari Puskesmas, Kecamatan, hingga alun-alun. Dan di sanalah kami memutuskan menghabiskan malam minggu itu. Lesehan ditemani nasi hangat, ikan bakar, banyak lalapan, sambal yang dasyat dan bergelas-gelas es teh manis (Terima kasih untuk Bu Ester atas sambalnya yang luar biasa).
Hingga malam menjemput kami dalam lelap..

Hari ke dua...
Matahari sudah cukup terik ketika kami memulai petualangan hari itu. Bersama 2 orang dari Jerman dan 1 pelaut Perancis, kami berperahu menyusuri sisi barat Karimunjawa. Dimulai dari Pulau Menjangan besar, ber-snorkeling di lepas pantai Menjangan kecil. 


Gugus karang yang begitu cantik, memberi makan ikan dengan tangan kosong, pengalaman yang sangat tidak biasa. Pengalaman luar biasa sekali lagi menyambut, menangkap ikan dengan panah. Pengalamanku sendiri bukan di memanahnya, namun pengalaman mengikuti orang berusaha memanah ikan (yang ga berhasil juga) sambil berusaha keras jangan sampai dikira ikan. Tak terasa tengah hari ketika kami memutuskan melanjutkan perjalanan untuk makan siang di Cemara Kecil. Menu hari itu ikan bakar tangkapan sendiri. Oh ya, sudahkah aku bilang kalau tongkol yang dibakar pun hasil memancing tanpa gagang pancing?



 Dua spot lagi, yang tidak kalah cantik, Pulau Cemara dan Gosong Cemara kami datangi sore itu. Dalam perjalanan ke Tanjung Gelam, sesekali kami disuguhi tarian camar dan lompatan ikan tongkol. 
Sambil menikmati semilir angin di atas kapal, kupejamkan mata sejenak. Tiba-tiba tetes gerimis menyentuh kulit, padahal langit begitu cerah dan terik matahari masih terasa di punggungku. Ketika membuka mata terpampanglah pelangi sempurna di depanku berhias bulan pucat disampingnya. Benar-benar atraksi alam yang membuat tak bisa berkata-kata. 

Sore itu kami tuntaskan dengan menikmati, sekali lagi keajaiban alam, matahari terbenam sempurna lengkap dengan lukisan perahu nelayan pulang. 

Hari berikutnya kami ganti menyusuri sisi timur, yang lebih jauh. Perjalanan banyak kami habiskan di perahu, lengkap dengan diskusi kecil soal diving. Kebetulan Pak Nurul, salah satu pendamping kami adalah diver profesional. Membawa angan kembali ke keinginan untuk mengambil diving lisence.  Diawali dari Gosong Seloka, sebuah pulau pasir (gosong) dengan hamparan laut dangkal jernih kebiruan pucat cantik.

Menyusuri Pulau Kemojan, akhirnya tak berapa lama pulau tujuan kami tampak juga. Pulau Cilik, Pulau Tengah dan Pulau Sintok. Tak banyak bicara, kami puaskan diri bersnorkeling di laut di antara pulau-pulau itu. Sementara itu Pak Nurul masih sibuk dengan panah ikannya, bekal makan siang kita hari itu.
Di Pulau Tengah kesempatan datang, berbekal fin, mask dan snorkel, aku memilih berenang ke pantai sementara yang lain menyusul dengan kapal. Waktunya makan siang yang sedikit terlambat.
Setelah mengisi tenaga lagi, kali ini giliran Pulau Cilik yang kami explore. Spot snorkeling kali ini di seputaran dermaga saja. Tapi walaupun di dermaga, bisa dibilang terumbu karangnya masih sangat perawan. Cukup lama kami habiskan di Pulau Cilik, sampai tiba saat pulang. 

Namun sebelum kembali ke pulau utama, ada satu tempat yang wajib dan mutlak untuk dikunjungi. Penangkaran hiu di Menjangan Besar.

Di sana kita bisa berenang dengan hiu di kolam yang bisa dibilang cukup besar. Mungkin lebih tepat kalo aku bilang, mengganggu mereka dari tidur siangnya. Ada belasan hiu di kolam itu plus satu kura-kura, beberapa bintang laut, dan puluhan jenis ikan, termasuk beberapa Nemo si Clown Fish yang berenang santai di anemonnya. Dan tidak ketinggalan beberapa gelintir bulu babi. 

Sekilas info, kebanyakan hiu akan menghindari manusia, bahkan di habitat mereka. Dan sangat jelas, manusia bukanlah makanan favorit mereka. Bahkan lebih ironisnya, kitalah sebenar-benarnya predator untuk mereka. So, kalo ada yang masih takut berenang di laut dengan alasan takut hiu, trust me, mereka sama sekali tidak tertarik.

Puas di kolam hiu, walaupun tidak ada satupun foto dengan hiu, perjalanan dilanjutkan ke kandang elang. Satu hal yang ga habis dipikir, tempat itu disebut penangkaran elang, tapi elang yang dipelihara hanya satu? Hmm...

Terkapar, capek, penuh goresan luka, dan sedikit demam, kami pulang ke penginapan. Malam itu bulan tampil sangat cantik dengan hallo-nya.

Hari kepulangan kami pun tiba. Karena satu dan lain hal, tidak ada kursi VIP di KMP Muria untuk kami hari itu. Maka terpaksalah selama 6 jam aku habiskan dengan mengutuki orang-orang yang merokok dengan santainya di depan tulisan"Dilarang Merokok". Dan ketika suara peluit sember kapal meraung, tanda kapal telah merapat di Pelabuhan Kartini Jepara, maka secara resmi episode Karimunjawa kali ini berakhir juga.

+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Special thanks to Mas Bayu Cekeran Management buat sambutan, pertemanan dan hospitality-nya yang all-in-one selama di sana. Dahsyat boss.... :)