Lebih baik disini, rumah kita sendiri
Segala nikmat dan anugerah yang kuasa
Semuanya ada disini
Rumah kita ..
Segala nikmat dan anugerah yang kuasa
Semuanya ada disini
Rumah kita ..
Alunan nada “Rumah Kita” dari God Bless membangunkan Pram dari kemasyukannya menekuri angka di monitor sedari dua jam lalu.
“Assalamualaikum, nggih Pak?” sambut Pram otomatis begitu membaca caller ID yang masuk ke ponselnya.
“Iki, ibumu arep ngomong. [Ini, ibumu mau bicara]” Untuk beberapa saat Pram hanya mendengar desis statis ditingkahi suara bapaknya di latar belakang. Sepertinya ibunya tidak berada tepat di samping bapaknya. Pram tersenyum membayangkan bapaknya di ruang keluarga sementara ibunya di dapur. Rumah yang sekarang praktis hanya dihuni bapak dan ibunya itu memang memerlukan sedikit usaha untuk berkomunikasi mengingat besarnya.
“Le..[Nak]” terdengar suara ibunya menyambut setelah beberapa saat.
“Nggih Bu, wonten napa [Ya Bu, ada apa]?”
“Ono opo piye tho… Yo arep ngucapke slamet ulang tahun wae. Ra lali tho karo ulang tahunmu dhewe? Dongane ibu moga-moga sehat sluman slumun slamet, akeh rejeki, lan tetep ning perlindungane Gusti Pangeran. [Ada apa gimana tho? Ya mau bilang selamat ulang tahun saja. Enggak lupa sama ulang tahun sendiri kan ? Doa dari ibu semoga sehat selalu, banyak rejeki, dan selalu dalam lindungan Tuhan]”
“Matur nuwun, Bu. [Terima kasih Bu]”
“Siji maneh… Ojo lali, kowe ki wis 33. Ojo mikir gawean wae. Wis kudu mikir omah-omah luwih serius. Kapan kowe bakal ngenalke calon mantu ibu? Ngenteni opo tho? [Satu lagi.. jangan lupa, kamu sudah 33 sekarang. Jangan hanya mikir kerjaan. Sudah harus memikirkan untuk berumahtangga lebih serius. Kapan kamu akan mengenalkan calon menantu ibu? Nunggu apa tho?]”
“Nggih .. Kapan nggih Bu? Kapan-kapan mawon nggih Bu.. [Ya..kapan ya Bu..Kapan-kapan saja lah Bu..]” Pram menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Pembicaraan ini serasa dejavu untuknya tiap kali mendengar suara ibunya di telpon.
“Ora janji-janji wae kowe. Bosen ibu karo janji-janjimu kuwi. Adhimu, Ratih wae wis arep dhuwe anak 2. Lha kowe kok ora ono kabare. Piye tho le..le? [Jangan janji-janji saja kamu. Bosen ibu dengan janji-janjimu itu. Adikmu, Ratih saja sudah mau punya 2 anak. Kamu kok tidak ada kabarnya. Gimana ini nak..nak?]”
“Nggih benten Bu, dik Ratih niku rak wadhon [Ya beda lah Bu. Dik Ratih itu kan perempuan]”
“Ealah, alasanmu ki ono wae. Wis iki..Bapakmu arep ngomong. Ibu lagi nggoreng ayam, mengko bengi wae disambung yo… [Ada saja alasanmu itu. Sudah, ini bapakmu mau bicara. Ibu sedang menggoreng ayam, nanti malam saja disambung lagi.]”
“Pram…” suara berat Bapaknya mengisi ruang kosong yang baru saja ditinggal ibunya.
“Met ulang tahun yo. Isi ning kantor kowe? [masih di kantor kamu?]”
“Taksih Pak. Sampun badhe wangsul niki sekedhap malih. [Masih Pak. Sudah akan pulang sebentar lagi]”
“Yo wis ngono wae. Sing ngati-ati, ojo lali sholat’e [Ya sudah gitu saja. Jaga diri. Jangan lupa sholat.]. Assalamualaikum” bahkan setelah sekian lama dia meninggalkan rumah, pesan Bapak untuknya untuk tidak meninggalkan kewajiban 5 waktu tidak pernah berubah.
“Waalaikum salam” Pram menatap ponsel mungilnya dan menghela nafas panjang. Tiba-tiba nafsunya untuk menyelesaikan pekerjaan hari itu menguap entah kemana.
Pertanyaan itu lagi. Entah untuk ke berapa kalinya sejak .. entah..Pram bahkan sudah lupa sejak kapan. Mungkin sejak adiknya, Ratih yang lebih muda 5 tahun darinya itu menemukan jodohnya 4 tahun lalu. Ah tidak, jauh lebih lama dari itu. Seingat dia, ibunya juga sering menyinggung-singgung itu begitu dia menyandang gelar Sarjana Akuntansi. Dan itu, hmm..sudah lebih dari 10 tahun lalu. Pertanyaan sama, kapan dia kenalkan calon mantu ke orang tuanya.
Pandhunoto, orang tua Pram hanya punya 2 orang anak. Laki-laki dan perempuan. Pramudya Ajisaka Pandhunoto dan Ratih Wulandari Pandhunoto. Genap dan lengkap kalau orang yang mengenal keluarga ini menyebutnya. Yang laki-laki ganteng, yang perempuan ayu. Terlebih lagi, sejak kecil mereka berdua hampir tidak punya track record jelek. Tidak hanya itu saja, prestasi mereka pun cukup bisa dibanggakan. Pram, seorang Akuntan Public, yang sedang merintis usaha konsultan akuntansi yang berkembang pesat. Ratih, lulusan kedokteran yang meskipun memutuskan menjadi fulltime ibu rumah tangga, mempunyai praktek dokter yang cukup ramai di pavilliun rumah.
Meskipun begitu, sebagai orang Jawa, tetap saja ada yang kurang lengkap dari keluarga besar Pandhunoto. Pram sebagai anak laki-laki satu-satunya belum menikah. Belum menikah berarti belum bisa memberikan keturunan untuk meneruskan garis silsilah keluarga besar Pandhunoto. Karena dalam budaya Jawa yang patriakal, garis keturunan hanya akan diturunkan dari anak laki-laki. Sebuah tanggung jawab yang mau tidak mau ditanggung oleh Pram, sebagai seorang laki-laki Pandhunoto.
L is for the way you look at me
O is for the only one I see
V is very, very extraordinary
E is even more than anyone that you can adore
O is for the only one I see
V is very, very extraordinary
E is even more than anyone that you can adore
Getar lembut dan suara melankolis Nat King Cole dari ponsel yang menandakan panggilan masuk itu menyadarkan Pram dari lamunannya. Dia tersenyum mengenal nada dering yang hanya ia gunakan untuk satu nama di phonebook-nya itu.
“Hai Beib ..”
“Hai birthday boy. Ready to go? Gue udah di depan kantor lo. Langsung cabut aja kan kita?”
“Oke. Bentar lagi gue turun. Love you ..”
Setengah berlari Pram keluar dari kantornya yang terletak di lantai 7 gedung megah di bilangan Sudirman Thamrin itu. Tak ia perdulikan tatapan orang yang dilewatinya sepanjang koridor dan gerutuan kesal bibi cleaning service yang tidak sengaja tersenggol ketika ia berusaha menerobos masuk ke lift.
Tak sampai 5 menit kemudian, ia sudah bisa melihat mobil sedan silver yang sangat dikenalnya di kelokan halaman gedung. Dan sepertinya pengemudi mobil itu pun telah melihatnya, terbukti seketika itu juga mobil berjalan pelan ke arah lobi, tempat ia berdiri.
“Miss you Beib.” Sapa sang pengemudi begitu mobil bergulir meninggalkan pelataran gedung.
“Norak lo ah. Baru juga semalem ga ketemu” gelak Pram geli. Namun tak urung juga disambutnya pelukan dan kecup bibir itu. Teraba kulit kasar dan bekas cukuran yang terkesan buru-buru oleh tangannya ketika bibir mereka meradu. Aroma maskulin aftershave dan campuran kayu manis yang memabukan menguar mengelitik hidungnya. Aroma yang sudah beberapa tahun ini begitu akrab dengan hidupnya.
“Baru habis mandi ya? Masih seger..” tanya Pram sambil membetulkan sabuk pengaman kursinya.
“Hehehe…jujur baru bangun tepatnya. Hampir saja kebablasan.” suara bass Leo menjawabnya dalam tawa, seraya membelokkan mobilnya ke jalan tol arah Bogor , tujuan mereka malam itu.
Nyuwun gung ing samudra pangaksami Bu, Pak..
[Mohon maaf yang sebesar-besarnya Bu, Pak]
Anakmu belum akan bisa memenuhi keinginan untuk meneruskan trah keluarga besar Pandhunoto. Dan mungkin tidak akan pernah bisa.