Jetlag

Kata orang, jetlag itu urusan tubuh yang merajuk ketika siklus rutinnya terganggu. Ketika matamu tidak berhenti menuntut haknya untuk terpejam meskipun di luar sana matahari sedang girang-girangnya bersinar. Saat kamu lelah menghitung domba di kepala sambil menatap langit-langit kamar dengan mata nyalang pada pukul 3 pagi. Atau tubuh yang kuyup keringat dingin sewaktu panggilan alam di perut meraung-raung di tengah-tengah meeting hanya karena mematuhi jadwalnya seperti biasa. Itu kata orang, tentu saja. Karena di umurnya sudah yang lewat seperempat abad, tubuh saya toh belum pernah salah mengartikan siang dan malam. Wajarlah, sampai di bilangan passport kedua, buku sakti saya itu memang hanya dihiasi cap imigrasi dari 4 negara Asia Tenggara. Tidak lucu kalau saya mengaku pernah jetlag hanya karena perjalanan sepejaman mata dari Kinabalu ke Singapore.
Namun kadang, jetlag tidak melulu perihal garis bujur. Tak hanya bicara belahan bumi sebagai sebab musabab. Dan tak selamanya harus diikuti dengan urusan perbedaan zona waktu.
Jetlag itu, terbangun jam 7 di Senin pagi karena jeritan kucing kawin dari alarm handphone di sebelah bantal. Menyeret tubuh ke dapur dan menyadari tidak ada lagi secangkir teh yang secara ajaib terhidang di meja sebelah menyebelah dengan sepiring ubi rebus. Dan mules yang mulai melanda ketika semakin dikejar detak jam dinding sementara kamar mandi masih dipakai teman kos. Juga ketika membuka lemari pakaian dan berharap sehelai baju rapi tersetrika, namun sedetik kemudian menyadari semua baju kerja teronggok manis di keranjang baju kotor.
Jetlag itu, secangkir kopi kental yang mengantikan susu coklat di pagi hari. Setangkup roti gandum dengan selai kacang untuk sarapan dan bukannya sepiring nasi goreng dengan selembar telur ceplok. Saat saya menekuri sekotak brokoli dan salmon steam untuk makan siang sambil diam-diam merindukan pedas menggigitnya rica-rica ayam buatan ibu saya. Atau sederhana saja, sesederhana bakso di warung pinggir jalan yang tiba-tiba terasa ngangeni sewaktu saya menikmati Yellow Ginger Chicken di kungkungan interior cantik berjuluk Thai Express di bilangan Iluma.
Jetlag itu berlari menuruni escalator di MRT station memaksakan diri mengejar train yang mulai menutup pintunya meskipun saya tahu akan ada train yang lain 2 menit kemudian. Padahal di saat yang sama seminggu lalu saya sedang berbaring di sofa menatap TV berisi siaran basi infotaiment artis ibukota sambil mengelus-elus kucing yang merem-melek keenakan di sebelah saya. Atau di saat saya menatap semburat jingga rembang petang serta masirnya bulatan mentari dari balik kaca bus kota sambil berharap foreground pemandangan indah itu adalah hamparan sawah dan bukannya gedung-gedung bertingkat mewah.
Jetlag itu 500 kalori yang saya bakar di atas treadmill sambil membayangkan 5000 kalori dari beberapa lusin tusuk sate kambing yang kami sekeluarga bakar di atas bara api di sebuah sore yang tenang di akhir pekan.
Jetlag itu saat waktu menunjukkan jam 11 malam dan satu-satunya yang saya khawatirkan adalah jadwal kereta terakhir, bukannya pesan singkat dari Ayah yang menyuruh saya pulang. Juga malam-malam yang saya habiskan dalam remang-remang kamar di depan laptop menekuri Chrome yang sedang loading membuka Sim Social menggantikan riuh celotehan sepupu-sepupu saya yang memenuhi ruang keluarga dan serambi depan.
Yah, atau taruhlah seperti sekarang, saat jetlag itu bearti sekali lagi melewatkan sepenggal malam bersama rembulan dan segelas good day cappuccino. Berteman rindu. Tanpa kamu, senyummu dan percakapan kecil di sudut ruang itu. 

*Picture is private collection.

Buku-Buku Kehidupan

Ada satu waktu dalam hidup saya ketika saya suka membaca novel chicklit dari para pengarang Indonesia. Nama Alberthine Endah, Clara Ng atau Dewie Sekar pernah dan masih mengisi rak buku kaca di salah satu sudut rumah orangtua saya. Khusus untuk nama terakhir, saya punya koleksi lengkap dari semua karyanya. Sebutlah Zona @ Tsunami, Zona @ Last, Perang Bintang, Langit Penuh Daya, Alita @ First, dan Alita @ Heart. Ada keunikan sendiri dari jajaran karya Dewie Sekar ini. Meskipun terpisah dan tidak tergantung satu sama lain, namun hampir semua tokoh yang muncul dalam buku-bukunya saling terkait. Misal, dalam buku terakhirnya Alita @ Heart, meskipun tokoh dan cerita utama di novel ini tentang kisah cinta Alita, namun ada beberapa fragment nama Zona disebutkan walaupun hanya selintas. Atau di buku Zona @ Last, kemunculan Wira dan Rezia, dua tokoh utama dalam buku Perang Bintang menjadi sepupu Nora, sang tokoh perempuan utama. Buku-buku itu menghubungkan tokoh demi tokoh dari satu buku ke buku-buku yang lain dalam porsi yang wajar.
Hampir sama dengan hidup. Jika tiap keputusan yang kita ambil dalam hidup kita torehkan menjadi separagraf cerita, maka episode-episode hidup kita merupakan sebuah buku dengan kita sebagai penulisnya. Hingga kumpulan dari buku-buku itulah yang menyusun rak kehidupan kita.
Tiap buku itu akan mempunyai tokoh utama masing-masing. Terkadang, tokoh utama dalam salah satu buku akan menjadi sosok figuran di buku kita yang lain. Atau mungkin kemunculan selintas lalu satu tokoh di buku kita 10 tahun lalu, menjadi  tokoh utama pada  buku yang sedang kita tulis sekarang. Dan tak juga melulu dalam cerita yang sama, seorang bisa jadi adalah tokoh utama dalam buku romansa merah jambu. Namun di lain lini masa, seseorang itu menjadi tokoh dalam buku kehidupan kita yang paling membiru.
Sebuah buku, mungkin akan terselesaikan dalam satu waktu. Episode ketika kita bekerja di satu tempat misalnya, di mana antiklimaks terjadi seiring dengan selembar surat pengunduran diri. Namun jauh lebih banyak dari kitab kehidupan itu yang tersusun lintas waktu. Sebuah persahabatan adalah contoh riilnya, yang bisa jadi coretan dimulai dengan setting seragam merah putih dan masih terbuka hingga sekarang untuk kita tulisi. Dan pastinya saya percaya, saat ini kita punya banyak buku  terbuka untuk terus kita torehkan cerita di dalamnya. Buku-buku yang belum lagi mencapai pungkasannya.
Demikian juga saya. Termasuk juga satu buku berdebu yang teronggok di sudut meja kehidupan saya. Buku yang berdebu bukan karena terlupakan, namun hanya karena ketidaksanggupan saya untuk menjamahnya. Tujuh tahun lalu, kata pertama dalam buku itu mulai saya goreskan. Mengisinya dengan catatan merah jambu, biru dan abu. Dan mungkin untuk kebanyakan orang, buku itu harusnya sudah mencapai akhirnya 5 tahun lalu. Selesai. The end. Di saat akhirnya saya harus menutup buku itu dan menyematkannya dalam rak kehidupan saya bersama ribuan buku-buku saya yang lain.

Namun kenyataannya, buku itu masih terbuka di sana. Entah menunggu saya berbesar hati membubuhkan kata “Tamat” di halaman terakhirnya atau bernyali besar untuk kembali menorehkan cerita selanjutnya dengan taruhan kepingan hati saya.
Atau mungkin juga jauh di dalam hati saya, saya berharap tokoh utama dalam buku itulah yang menyelesaikannya untuk saya.
Tapi yang jelas untuk saat ini, jika ada orang yang iseng bertanya, mungkin saya bilang saja, takdir belum mengijinkan saya, bahkan untuk sekadar, menyentuhnya lagi.


* Picture taken from here