Saya Dan Tomat

Salah satu hal yang saya syukuri dalam hidup ini, selain banyak hal yang lain, adalah kenyataan bahwa untuk saya rasa makanan itu hanya ada 2 jenis, enak dan enak sekali. Dengan referensi rasa seperti itu saya tidak pernah khawatir jika berpergian, bahkan ke tempat-tempat yang paling ajaib selera makanannya sekali pun, termasuk Singapura. Kenapa Singapura saya sebut selera makannya ajaib? Meskipun terkesan “gebyah uyah” atau pukul rata, mayoritas masakan di negeri kecil ini less salt, less sugar, less oil. Kombinasi yang mungkin pas jika diterapkan ke western food, tapi jelas-jelas berantakan kalau diperuntukan bagi kuliner Asia. Nah, untungnya, saya tidak bermasalah dengan itu, karena dengan referensi rasa saya, semua masakan di negeri ini jatuh pada wilayah enak.
Kembali pada referensi rasa. Makin ke sini, makin tua maksudnya, saya makin menyadari bahwa ada satu lagi referensi makanan untuk saya selain 2 di atas. Yaitu, don’t even think to touch it. Ini adalah jenis-jenis makanan/masakan yang tidak terpikir [lagi] untuk saya makan.
Sebagian, saya pernah makan dan hasilnya “That’s it, that’s the first and the last”. Misalnya, sayur boros. Atau setidaknya separoh orang Jawa menyebutnya seperti itu. Saya sudah lupa rasa sayur yang bahan pokoknya adalah batang tanaman temu kunci (boros) ini, tapi satu hal yang pasti tidak pernah saya lupa adalah janji pada diri sendiri untuk tidak lagi pernah makan itu sayur. Atau, contoh lain, daun ketumbar. Saya pertama kali menemui makhluk bernama daun ketumbar di mangkuk Tom Yam saya sekitar 3.5 tahun yang lalu. Detik ketika lidah saya menyentuh daun itu, adalah detik di mana saya berfikir “What’s on the earth this walang sangit doing in my soup bowl?”. Eugh..
Sebagian lain, simply karena saya tidak terpikir untuk memakannya. Salah satunya adalah tomat. Sebetulnya tidak pernah ada pengalaman buruk dengan buah satu ini. Bahkan saya tidak keberatan dengan jus tomat. Tapi ternyata, beberapa tahun belakangan ini saya sadar bahwa saya tidak bisa makan tomat selama buah kuning atau merah itu masih terlihat seperti tomat. Contoh sederhana, selain jus tomat, saya akan tetap memakan oseng-oseng dengan bumbu tomat yang dirajang halus, Atau sandwich dengan irisan tomat, selama saya tidak melihat itu tomat sebelum saya lumat dalam mulut, saya tidak keberatan untuk menelannya. Tapi jangan pernah minta saya memakan tomat mentah yang masih berbentuk tomat, baik itu tomat besar (tomat yang dipakai untuk sayur) atau tomat kecil (yang biasa untuk salad).
Kalau ditanya alasan tidak kenapa tidak suka tomat, mungkin sama dengan alasan kenapa ada teman saya yang tidak suka wortel (tapi tidak masalah selama wortelnya dirajang halus dan tidak terlihat seperti wortel). Ya intinya ga suka aja. Buat saya, ada rasa di tomat yang aneh untuk lidah saya. Sampai-sampai, pernah ada seorang teman yang secara demonstrative nyemil tomat cherry di depan saya dan yang bisa saya lakukan adalah memberinya tatapan “Are you sure, gonna eat that thing?”.
Nah, people changes. Masa saya tidak? Berawal dari keharusan saya memastikan diri makan setidaknya 5 kali sehari, baik itu makan besar atau nyemil, saya mulai berfikir cemilan apa yang cukup mengisi perut, rendah kalori, dan membuat mulut saya tetap sibuk? Pilihan pertama saya jatuh ke almond. Tapi mengingat kacang-kacangan ini mengandung kalori yang cukup tinggi, maka saya tidak bisa sering-sering mengunyahnya. Konsumsi maksimal hanya satu genggam per hari, meskipun sering saya langgar. Pilihan kedua jatuh ke apel. Buah ajaib ini sebetulnya ideal untuk cemilan, rendah kalori, banyak serat dan segala kelebihan apel lainnya. Tidak perlu khawatir makan sebanyak apapun. Tapi setelah beberapa kali nyemil saya baru sadar suara crunchy di tengah-tengah kantor yang khusyuk ternyata tidak nyaman untuk didengar.
Jadilah saya mulai kasak-kusuk mencari alternatif lain. Kemudian terpikirlah tomat cherry. Tomat kecil-kecil ini pas satu gigitan, harganya relatif tidak mahal (dibandingkan anggur), rendah kalori, dan jelas tidak berisik jika dicemil di suasana kantor yang hening. Maka begitulah, hari ini untuk pertama kalinya saya berdamai dengan tomat. Rasanya? Tidak seburuk yang saya duga. Setidaknya hari ini saya bisa bilang bahwa saya mentasbihkan tomat cherry utuh sebagai makanan enak.

Dan officially juga, sejak hari ini bawaan saya ke kantor nambah satu box untuk tomat. Ehm..mungkin sudah saatnya berpikir untuk membawa tikar dan keranjang piknik.

Overnight at CGK Airport



       Diakui atau tidak, menginap di bandara itu membutuhkan sedikit nyali dan banyak seni. Apalagi kalau bicara tentang menginap di Cengkareng. Untuk teman-teman backpacker atau orang-orang yang memilih berpergian dengan gaya budget minimum, stay di airport tentu adalah hal yang biasa saja. 
       Tapi coba saja sebut rencana overnight gaya Tom Hanks di film Terminal ini pada random people di sekeliling Anda. Mulai dari kerutan kening, sampai tatapan “Are you sure?” pernah saya dapatkan, termasuk dari boss saya Jumat malam itu. Apalagi kalau bandara itu ada di salah satu negara ketiga seperti yah..negara kita. Jangankan kursi malas untuk tiduran atau kursi pijat untuk melonggarkan kaki yang pegal selama menunggu (seperti banyak bertebaran di Changi), kemewahan seperti menyelonjorkan kaki sambil tidur ayam saja sulit untuk didapatkan.
       Tips untuk kalau terpaksa tinggal semalam di Cengkareng, cobalah terminal 3. Terminal baru ini secara arsitektur cukup sangat berbeda dari 2 terminal sebelumnya. Dibangun dengan gaya minimalis, terminal ini cukup menyenangkan terutama jika Anda phobia dengan ruangan beratap rendah dan toilet busuk seperti banyak bangunan terminal di Cengkareng. Ada juga coffee shop dan convenience store yang buka sampai pagi. 
       Dan yang paling utama, di terminal ini, di area keberangkatan (sebelum imigrasi dan boarding lounge) ada sejumlah besar sofa empuk yang bisa digunakan sebagai tempat tidur. Kalau belum check in, bagaimana cara masuk area keberangkatan? Jadi, agak beda dengan terminal yang lain, di terminal ini, kita bisa masuk ke area keberangkatan melalui gate kedatangan (untuk para penjemput). Tinggal masuk, scan barang bawaan, trus naik ke lantai 2. Dua jajar sofa akan menyambut Anda dan kantuk Anda di sana. Persiapkan saja kaus kaki tebal (atau pakai saja sepatu kets) karena AC di dalam luar biasa dingin. Kalau perlu charging electronic device (yang sudah merupakan kebutuhan primer jaman sekarang) jangan khawatir, puluhan stop kontak siap melayani.
       Memang bisa tidur? Ah maaf, pertanyaan itu sedikit tidak tepat kalau ditanyakan ke saya, karena saya hanya tidak bisa tidur kalau matanya tidak merem.