Rinjani Tale: Mengadu Nyawa di Titian Surga

 “Enggak bisa Na..”
“Bisa. Harus bisa. Pelan-pelan aja.”
Ia benamkan tongkat ke sebelah kiri dan dilangkahkan kaki kanan dengan ragu-ragu ke tanah kering penuh kerikil di depannya. Sontak, puluhan kerikil bercampur pasir longsor menggelincir ke jurang menganga di sisi kirinya. Kami terdiam. Tatapan ngeri saya bersirobok dengan wajahnya yang pucat pasi.

Segara Anak, 6:00 AM
Suara lirih motor lensa dan shutter camera rupanya terlalu keras untuk kedamaian pagi di Segara Anak. Suara familier itu mampu menyadarkan saya, yang biasanya susah terbangun bahkan oleh gedoran alarm, dari tidur yang tidak terlalu nyenyak. Pukul 6 saat itu, pagi sudah jauh dari dini. Meskipun begitu, Segara Anak masih sepenuhnya di bawah bayang-bayang anggun sang dewi. Semburat sinar matahari, yang belum sempurna melewati puncak Rinjani, menyapa pucuk-pucuk cemara di atas perkemahan kami.
Terhuyung saya keluar dari tenda diiringi sapaan dari Dhana yang rupanya sudah terlebih dahulu terbangun untuk mengabadikan pagi di Segara Anak. Tak berapa lama kemudian, satu demi satu penghuni tenda yang lain menyusul keluar dari peraduan. Memanfaatkan waktu yang hanya sesaat sebelum sarapan terhidang, kami bernarsis ria menghadap kamera berlatar puncak Rinjani dan Segara Anak.
Tugas kami cukup berat hari itu. Kami yang mengambil paket 4H3M mau tidak mau dan bisa tidak bisa harus menyelesaikan trek dan sampai di desa Senaru hari itu juga. Yang bearti kami harus menempuh rute Segara Anak – Plawangan Senaru – Pos III – Pos II – Pos I – Gerbang Rinjani – Senaru dalam waktu 12 jam. Yap, hari yang panjang bahkan ketika belum dimulai.
Setelah menyelesaikan sarapan sekadarnya, kami mulai membereskan tenda dan segala perlengkapan lain untuk perjalanan terakhir. Tepat pukul 8 pagi, kami berpamitan pada Segara Anak. Seperti yang dijelaskan Pak Sailih hari sebelumnya, trek mendaki ke Plawangan Senaru terletak tepat di belakan perkemahan kami. Rute di awal berupa trek tanah basah di antara semak belukar yang cukup tinggi. Menurut Rodi, semak-semak masih cukup tinggi karena baru sebulan Rinjani dibuka untuk pendakian setelah ditutup selama musim penghujan dari Januari sampai akhir Maret. Iya, pendakian ini saya lakukan di akhir April. Ndak usah protes mengapa seri terakhir cerita pendakian baru saya selesaikan sekarang.

Di awal, trek masih cukup mudah, didukung cuaca yang masih sejuk dan sinar matahari yang masih terhalang pepohonan di atas kami. Setengah jam berjalan, trek mulai menampakkan taringnya. Beberapa batu yang membentuk anak-anak tangga yang cukup terjal mulai menghadang di depan. no big deal. Setelah tiga hari ditempa rute yang luar biasa, rute di depan saya kali ini hanya menjadi semacam playground. Kami hanya perlu sesekali berhenti, mengatur nafas, minum air, pijit-pijit kaki yang kram, dan banyak lagi yang lain (ya sama aja boong ceu..)
Belum satu jam mendaki saya seperti melihat puncak bukit (karena tampaknya yang paling tinggi dari tempat saya berdiri saat itu).
“Rod, itu Plawangan Senaru?” tanya saya pada Rodi yang setia menemani kami.
“Bukan, itu batu ceper. Nanti kita istirahat di sana. Ada batu besar, bisa tiduran di situ.”
“Dari situ, Plawangan Senarunya udah dekat?” sambut saya antusias.
“Enggak, kan kita baru seperempat jalan ke Plawangan.”
Oh OK, itu baru seperempat jalan ke Plawangan. Sementara Plawangan sendiri adalah sepertiga total rute kami hari itu. Yeah, that cold blood kid. *banting tongkat*

Benar saja, tak lama membentang di hadapan saya sebidang tanah datar dengan beberapa tebaran batu-batu besar. Saya dan Stevan yang sampai pertama segera saja mengakuisisi beberapa batu untuk meluruskan punggung sekaligus berjemur. Batu ceper ini sekaligus juga tempat yang cocok untuk memuaskan hasrat foto-foto narsis karena pemandangan ke arah danau. Ditambah lagi, karena kami berangkat relatif cukup pagi, pemandangan ke arah danau masih belum terhalang kabut.
Dari batu ceper, tampak tujuan siang itu menjulang di atas kami. Di beberapa tempat, tampak bekas-bekas jalur longsor memotong trek. Menurut guide kami, beberapa longsoran baru saja terjadi selama musim hujan tak lama berselang. Setelah istirahat hamper 30 menit sembari menunggu para pria sampai di batu ceper, kami melanjutkan pendakian.
Selepas dari batu ceper, trek berubah menjadi tanah kering berbatu dengan kemiringan rata-rata 20 derajat di jalur datar dan nyaris tegak lurus di banyak bagian. Di beberapa bagian dengan kemiringan ekstrim, tersedia pegangan tangan dari besi.
Di jalur-jalur longsor yang terlihat dari batu ceper, kami harus ekstra hati-hati. Tebaran bebatuan mulai dari pasir, kerikil hingga batu seukuran kepala manusia ditambah struktur tanah labil miring ke jurang membuat kami harus berpikir sebelum melangkah. Longsor juga tidak hanya menyeret bebatuan, beberapa pohon di jalur longsor juga tampak tercerabut bersama akarnya dari tanah dan masih melintang di jalur pendakian. Maka sekali dua, kami harus memanjat batang pohon dengan diameter dua dekapan manusia tersebut.

Untuk saya, dan teman-teman lain yang kebetulan memakai sepatu/sepatu sandal trekking, kondisi tanah kering berpasir yang sedikit miring ke kiri tidak terlalu menjadi masalah. Tapi tidak untuk Stevan. Meskipun berbekal tongkat berjalan yang ditemukan di tengah jalan, sepatu kets yang dia pakai memang bukan alas kaki yang mumpuni di trek Rinjani. Beberapa kali saya lihat dia yang tampak kepayahan menentukan langkah sambil sesekali meraih semak di pinggir trek untuk pegangan.
“Na, yang ini lewat mana?”, tanya Stevan ke saya yang berada tiga meter di depannya sebelum ia melintas di trek selebar setengah meter itu.
“Gue tadi kiri si” jawab saya sambil menunjuk sisi yang paling dekat dengan jurang. “Soale klo di sebelah kanan, jauh lebih miring”
“Yang bener aja, kalau di situ trus kepleset langsung masuk jurang dong!!”
”Ya elu lewat kanan deh klo gitu”
Malang baginya, tidak ada semak yang bisa digunakan untuk pegangan. Diraihnya rumput kecil yang tumbuh di tebing itu. Putus. Dia menyumpah, saya ketawa. Stress.
“Pakai tumpuan tongkat lu itu aja…”
 “Enggak bisa Na..”
“Bisa. Harus bisa. Pelan-pelan aja.”
Ia benamkan tongkat ke sebelah kiri dan dilangkahkan kaki kanan dengan ragu-ragu ke tanah kering penuh kerikil di depannya. Sontak, puluhan kerikil bercampur pasir longsor menggelincir ke jurang menganga di sisi kirinya. Kami terdiam. Tatapan ngeri saya bersirobok dengan wajahnya yang pucat pasi.
Setelah menenangkan diri beberapa saat, ia kembali mulai melangkah. Kali ini tanpa tongkat. Setengah merayap tepatnya. Di lain kesempatan, saya mungkin sudah terpingkal-pingkal tapi saat itu saya hanya bisa berharap tidak terjadi apa-apa. Setelah berjibaku beberapa saat, akhirnya dia berhasil melintasi jalur tersebut.
Mendekati Plawangan, trek makin berat. Tantangan terakhir sebelum menapak Plawangan adalah ketika saya mendapati trek tiba-tiba berhenti di sebuah tebing batu. Saya yakin saya mengambil jalur yang benar, karena itu adalah satu-satunya jalur. Dari tempat saya berdiri, saya bahkan bisa mendengar suara Galeh dan para guide yang sudah tiba di Plawangan terlebih dahulu. Masalahnya, tidak terlihat satu pun jalan di depan saya.
“Woy guys, ini jalannya lewat mana?” teriak saya pada mereka.
“Kamu di mana?”
“Ini menthok di tebing.”
“Ya itu, bener. Panjat aja.”
And I was like; What?! Hey I didn’t sign up for this!  Manjat tebing setinggi 3 meter dengan kemiringan sekitar 80 derajat? *keretekin jari*
Setelah melemparkan tongkat ke atas (trust me, tongkat itu ga guna di sini), saya memulai debut pertama saya dalam urusan panjat tebing. Tidak susah ternyata. Setidaknya tebing itu tidak sesusah yang saya pikir sebelumnya. Ada beberapa pijakan kaki dan tangan untuk menarik tubuh ke atas. Lumayan bikin lengan pegal, tapi tidak susah.
Beberapa meter dari tebing tadi, sampailah saya ke satu dataran cukup luas yang lebih dikenal dengan sebutan Plawanga Senaru. Berbeda dengan Plawangan Sembalun yang cukup luas, Plawangan di sisi Senaru ini relative lebih kecil dan lebih berkontur, sehingga menyulitkan pendirian tenda. Kelebihan Plawangan Senaru ini adalah pemandangannya yang iconic. Siapa yang tidak tergoda menikmati pemandangan seperti ini dari dalam tenda?

Tidak berapa lama kami habiskan di Plawangan Senaru. Matahari yang mulai tergelincir memaksa kami segera beranjak menuruni punggung gunung menuju pos III. Jalur dari Plawangan menuju pos III berupa kombinasi trek menurun yang penuh dengan bebatuan dan pasir kering. Tidak ada pepohonan maupun perdu di sepanjang trek. Yang ada hanyalah ilalang setinggi lutut. Trek yang sepenuhnya menurun, tanpa jalan datar maupun tanjakan membuat perjalanan kami laksana fast forward. Tanpa berhenti istirahat. Satu-satunya kesempatan kami berhenti adalah ketika harus berpikir, jalan mana yang harus dilalui. Mengapa? Jika trek menuju Plawangan dari Segara, kanan tebing kiri jurang, trek menuju pos III kanan kiri jurang. Salah langkah sedikit saja, makin cepatlah kami sampai di bawah.
Berbeda dengan trek Sembalun yang didominasi sabana sepanjang mata memandang, trek Senaru ini didominasi hutan hujan tropis. Iya, selepas pos III, perjalanan kami tidak lagi di bawah terik matahari, melainkan rimbun pepohonan. Waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang ketika kami meninggalkan pos III selepas mengisi perut. Baru beberapa langkah, tetes-tetes air mulai menerobos rimbunnya kanopi di atas kami. Akhirnya, untuk pertama kalinya sepanjang perjalanan, jas hujan yang saya bawa terpakai. Hujan on and off yang mengguyur punggung Rinjani menemani kami menempuh perjalanan dari pos III hingga pos I. Kami cukup beruntung, karena selama 4 hari pendakian, baru bertemu hujan di hari terakhir. Karena jujur, saya bukan orang yang menikmati perjalanan dalam hujan. Berat ceu.
Tidak banyak yang bisa dinikmati sepanjang perjalanan ke Senaru. Di samping rungkutnya kanopi, langit sudah menggelap jauh sebelum kami mencapai pos I. Dari pos II, praktis pandangan mata saya tergantung sepenuhnya pada head lamp. Setelah sebelumnya terpecah menjadi beberapa group, mulai dari pos II, kami berenam berusaha sebisa mungkin tidak terpisah satu sama lain. Meskipun trek sangat jelas dan tanpa percabangan, sendirian di tengah hutan di saat gelap bukan hal yang menarik untuk dilakukan.
Sekitar pukul 7 malam, masih dengan ditemani rintik gerimis, kami mencapai gerbang Taman Nasional Rinjani di desa Senaru. Jangan girang dulu, karena untuk mencapai desa masih harus menempuh beberapa kilometer lagi. Meskipun begitu, gerbang ini cukup untuk melepas dahaga akan peradaban, atau untuk teman-teman saya, melepas dahaga akan rokok, karena di sini ada warung kecil yang menjual makanan, minuman dan tentu saja rokok.
Trek dari gerbang Taman Nasional menuju desa Renaru melewati kebun penduduk. Jadi jangan kaget kalau sesekali terdengar lolongan anjing, atau suara mendesis. Awalnya, saya pikir suara mendesis yang tepat di sebelah trek adalah suara ular. Ternyata pipa air bocor. K
Di Senaru, semua pendaki diwajibkan untuk melaporkan diri di kantor Taman Nasional untuk memastikan bahwa kami sudah benar-benar turun dan tidak hilang di atas. Waktu itu saya lupa apakah ada di antara kami yang melaporkan diri, karena begitu masuk ke kantor, yang ada kami sibuk berburu souvenir.
Tiga jam kemudian, menjelang tengah malam, setelah diskusi panjang di mana kami akan tidur malam itu, akhirnya kami kembali menginjakkan kaki di Mataram untuk bersiap ke Gili Trawangan keesokan harinya. Mengapa kami kembali ke Mataram malam itu dan bukannya menginap di Bangsal? Karena satu dan banyak pertimbangan yang menjadi alas an diskusi panjang tadi. Tapi kalau saya pribadi, didukung food poisoning ringan, jelas lebih memilih tempat tidur yang nyaman malam itu.
Mengakhiri cerita pendakian Taman Nasional Gunung Rinjani, jalur Sembalun-Senaru 4H3M, untuk siapa aja yang membaca postingan ini sampai akhir dan ingin selembar kartu pos Rinjani, boleh lho DM/YM/email saya alamatnya. Total ada 4 lembar kartu pos untuk 4 orang yang paling cepat. Kartu pos tidak akan saya kirim dari Lombok for sure, tapi dari Singapore. So, kapan lagi punya kartu pos Rinjani dengan perangko Singapore?

***THE END***

*picture from Dhana's camera. 
(Dua belas jam perjalanan dan cuma nemu 4 foto dari 4 camera yang bukan foto narsis.)


Rinjani Tale: Segara Anak, Sebuah Mitos

“Mungkin sebenarnya danau itu hanya mitos dan sekarang kita hanya mengejar fatamorgana. Mungkin sebenarnya, inti perjalanan ini bukan lagi tentang Segara Anak, tapi tentang diri kita. Dan di akhir perjalanan, kita akan menemukan danau itu ada dalam hati kita masing-masing. Sebuah oase kehidupan, sebuah harapan, yang memaksa kita terus berjalan.” ~ sebut saja R, perempuan lagi PMS, di tengah tekanan perjalanan tanpa akhir ke Segara Anak.

Segara Anak merupakan danau vulkanik yang terbentuk dari letusan gunung Rinjani bertahun silam. Jangan tanya saya kapan tepatnya, ga ketemu literaturnya. Jadi mari kita hentikan saja cerita soal data, dan fokus ke usaha saya menemukan danau kawah kaldera Rinjani ini.
Kami memulai perjalanan dari Plawangan Sembalun lepas tengah hari. Melecut tubuh yang mulai mencapai batas ketahanan, setelah beberapa jam sebelumnya berjibaku menuju puncak, kami mulai beranjak ke Segara Anak. Dari Plawangan Sembalun, rute menuju Segara Anak relatif lebih mudah dibanding pendakian sehari sebelumnya ketika kami menuju Plawangan. Track kali ini didominasi turunan dan sedikit tanjakan dan beberapa ruas jalan datar.Tapi jangan terkecoh oleh iming-iming kata turunan. Kalau Anda membayangkan turunan di sin sebagai track turunan 15 derajat atau deretan anak tangga, maka bersiaplah menelan kekecewaan.
Dari tempat kami mendirikan tenda malam sebelumnya, kami bergerak balik ke arah kami datang. Lima ratus meter kemudian, jika ke arah Sembalun belok kanan, untuk menuju Segara Anak kami berbelok ke kiri. Mulailah kami menuruni tebing di tengah kabut yang mulai turun dengan pekat.
turunan
Jarak pandang di siang yang cerah itu hanya sekitar 30 meter. Berhubung track yang menurun, rombongan kami yang digawangi pak Sailih dan guide cilik, Rodi, dengan mudah mulai membuat jarak satu sama lain. Di beberapa titik, seorang yang di posisi paling belakang, hanya bisa mendengar suara temannya yang berada di depan karena terhalang kabut.
Track turunan di jalur ini didominasi tanjakan batu alam dengan ketinggian rata-rata 20-30 cm. Di beberapa titik, turunan bisa mencapai tinggi hampir setengah meter. Walhasil, dengan tinggi saya yang tidak seberapa ini, saya harus mau tidak mau melempar tongkat berjalan ke bawah, dan mulai menggunakan kedua tangan untuk pegangan saat meluncur turun.
Wapada juga dengan batu-batu yang tidak terlalu kokoh. Pastikan sebelum menapak, batu tumpuan cukup kokoh untuk menopang berat badan. Biasanya, tugas seorang yang di depan untuk menjajal kemungkinan pijakan yang paling aman dan nyaman. Jadi usahakan, untuk tidak terpisah terlalu jauh, terutama di rute-rute awal ketika masih banyak tanjakan ekstrim. Menjelang setengah perjalanan, track turunan berbatu tadi mulai relative datar. Masih turun, tapi tidak lagi setajam omongan orang.
perdu warna-warni
Melihat lagi foto-foto yang dari kamera saya yang dibawa Dedi, track Plawangan Sembalun – Segara Anak merupakan track paling cantik. Beberapa background foto kami adalah dinding batu dengan foreground tanaman perdu rendah dan rumpun-rumpun Edelweiss. Dan saya yakin, pemandangan dari tebing-tebing kami berdiri membentang tak terhalang ke arah Segara Anak, kalau saja tidak ada kabut yang menghalangi. Tips, usahakan turun agak pagi sebelum kabut turun. Pemandangan jauh lebih menyenangkan.
Jembatan (iya, dilewati)
Separuh jalan, rombongan kami terbagi tiga. Dedi dan Rodi memimpin di depan. Saya, Stevan dan Galih mengikuti hampir setengah jam di belakang mereka. Disusul Dana dan Tomi ditemani Pak Sailih jauh di belakang.
Rodi
Rombongan saya yang tidak punya guide, hanya mengandalkan insting dan track yang terlihat. Jika tampak ada persimpangan, kami memilih untuk berhenti sebentar sampai bertemu dengan rombongan lain atau porter yang kebetulan lewat untuk memastikan jalan.
Menurut Pak Sailih sebelum kami turun, perjalanan normal ke bawah harusnya bisa ditempuh selama 4 jam. Mengingat kami memulai perjalanan sebelum pukul 1 siang, menjelang pukul 4 saya mulai gelisah. Tidak tampak tanda-tanda kami mendekati danau. Tidak ada suara gemericik air, tidak ada spot pemandangan danau karena hampir seluruh pemandangan ke bawah tertutup kabut. Sementara perbekalan air nyaris tandas.
Beberapa kali, kami bertanya kepada porter yang overtake kami.
Kami           
: “Segara berapa lama lagi Pak?”
Guide  
: “Udah deket. Tiga puluh menit lagi lah..”
Tiga puluh menit kemudian …
Kami
: “Segara masih jauh Pak?”
Another guide          
: “Enggak juga.. Yah, sekitar tiga puluh menitan…”
Kami          
: *banting ransel*


Kombinasi tujuan yang tidak jelas di sebelah mana, tidak tahu masih sejauh apa, track yang monoton, perbekalan yang menipis dan usaha kami yang tampak tidak membuat kemajuan bearti (dan ditambah saya lagi PMS), membuat kekesalan saya memuncaki ubun-ubun. Begitu melihat seorang porter lagi mendahului kami yang sedang istirahat, tanpa basa-basi saya segara mengangkat ransel dan menyusul porter tersebut semampu saya (walaupun tidak tersusul juga).
Beberapa kali, saya tidak hanya jalan cepat, tapi sudah mulai lari-lari kecil menyusuri track tanah yang naik turun. Ulah saya membuat group kecil saya yang bejumlah tiga orang tercerai berai. Stevan, saya lihat tampak mengekor beberapa menit di belakang saya. Sementara Galih nyari tak lagi tampak. Bahkan beberapa kali teriakan saya memanggil dia sepertinya tidak terdengar.
Awalnya si khawatir kalau salah satu teman saya itu salah jalan, tapi demi melihat track yang cuma satu-satunya tanpa percabangan, saya yakin mereka bisa make their own way ke danau tanpa kesasar. Dan lagi, ayolah, saya satu-satunya perempuan di rombongan kami. Kalau ada yang kesasar ketika jalan sendiri, secara genetic harusnya sayalah orangnya. --'
Segara Anak sudah dekat
Sungai kecil
Lima belas menit setelah kegilaan saya, kejengkelan saya terbayar. Deretan pohon pinus, beberapa tenda dan hamparan air membentang di hadapan saya. Pertanyaan berikutnya, di mana tenda kami?
Bersama Stevan yang sampai beberapa menit kemudian, saya bertanya kepada beberapa porter yang tampak mulai menyalakan perapian untuk memasak.
“Pak, ada lihat rombongan saya ada lewat ga ya?”
“Rombongannya yang mana ya Mbak?”
“Err…..”
Menurut elo aja si Na… Ya kali orang ingat saya ada di rombongan guide mana. Beruntung, saya ingat salah satu dari kami pasti dikenali mereka.
“Pak, ada lihat Rodi lewat sini ga?”
“Oh, group dari Semarang ya? Masih di sebelah sana lagi … ”, dan saya baru sadar tim kami bernama group dari Semarang.
Arah yang ditunjukkan guide tadi membawa kami berdua menuruni tebing menuju ke danau. Stevan yang sampai di bawah terlebih dahulu berteriak ke saya, “Bener Na.. tendanya kelihatan.”
Setelah setidaknya tahu lokasi tenda kami, tanpa turun, saya meminta Stevan jalan terlebih dahulu sementara saya menunggu Galih yang masih entah di mana. Kenapa saya harus nunggu dia? Karena kalau sampai orang ini hilang di Rinjani, saya ga akan bisa pulang ke rumah ortu, karena pasti bakalan dicincang sama nyokapnya, kakak ibu saya. 
Setelah bertemu Galih dan memberi direction yang saya rasa cukup, saya kembali menuju jalan saya tadi, sementara dia beristirahat.
Dengan percaya diri dan kejengkelan yang sudah mereda, saya menuruni tebing tempat saya terakhir meninggalkan Stevan. Sesampainya di bawah, di pinggiran danau, saya belum pernah merasa seputus asa itu sepanjang hidup. Tenda kami, melambai-lambai dari seberang danau. Saya ulangi, SEBERANG DANAU!
Tenda di seberang
Saya tahu di gunung, saya tidak boleh mengumpat. Atau berkata-kata kotor lainnya. Jadilah detik itu, yang bisa saya lakukan hanya menghela nafas, terdiam, berusaha kalem, kemudian bertanya kepada seorang yang memancing di dekat situ.
 “Pak, kalau mau ke tenda itu lewat mana ya?”
“Susuri pinggiran danau aja mbak..”
“Yakin ga ada jalan lain Pak? Tadi teman saya lewat sini?”
“Iya.. tuh..”, tunjuknya ke arah pepohonan yang menyembunyikan Stevan.
Jadi gini, pinggiran danau yang dimaksud pemancing tadi bukanlah dataran landai tempat kita bisa berjalan santai sambil berkecipak air danau. Pinggiran itu lebih ke tebing sempit selebar 10 sentimeter di antara akar-akar pepohonan. Atau di beberapa tempat yang sedikit lebih baik, pinggiran itu berupa titian batu berlumut yang terendam air danau semata kaki.
Satu yang ada di pikiran saya saat itu, walaupun otak rasanya sudah mau meledak karena jengkel, saya yakin ada penjelasan masuk akal mengapa tenda kami dibuka di ujung dunia seperti itu. Yakin ada dan untuk keselamatan bersama, lebih baik ada. 
Sambil menggeratakkan geraham, saya berusaha menyusul Stevan yang bahkan belum separuh jalan. Alih-alih mengikuti cara Stevan yang mendaki akar-akar pohon, saya mengambil rute yang buat saya lebih masuk akal. Nyebur ke danau. Toh barang-barang berharga saya ada di dry bag, pikir saya. Dengan cara itu, walaupun basah kuyup dari pinggang ke bawah, sampai ke perkemahan lebih dahulu dari Stevan yang masih berjuang melewati akar pohon.
Sesampainya di perkemahan, saya segera menghampiri Dedi yang juga baru saja sampai. “Kenapa kita buka tenda di sini?! Emang besok rutenya lewat sini?”, geram saya pada Dedi yang tidak tahu apa-apa.
“Ga tahu juga. Aku sama Rodi juga baru sampai, dan tenda udah di sini. Tadi aja nanya guide di atas.”
Baiklah, setelah akhirnya setelah bertanya ke Pak Idah yang bertugas membawa tenda tersebut, jawaban yang saya dapat sedikit mendinginkan kepala. Satu-satunya jalan dari Segara Anak menuju Plawangan Senaru yang harus kami lewati keesokan paginya memang melewati area perkemahan kami. Jadi mau tidak mau, kami tetap harus melewati rute neraka di pinggir danau tadi, entah hari ini atau esok pagi.
Dengan kepala yang jauh lebih dingin, saya baru menyadari, lokasi perkemahan kami malam itu luar biasa cantik. Dari apa yang saya bisa lihat tepat di depan tenda, saya bisa bilang area itu adalah the best spot buat buka tenda di Segara Anak.
Dan untuk lebih mendinginkan kepala, sambil menunggu rombongan terakhir sampai, saya memutuskan menceburkan diri ke danau. Menikmati sore dengan pengalaman pertama seumur hidup. Berenang di danau yang luar biasa dingin dengan pemandangan deretan pinus, puncak Gunung Baru dan puncak Rinjani mengelilingi saya. AWESOME!!
Pesan saya, jangan tidur cepat di Segara Anak. Atau setidaknya, kalau harus tidur cepat, bangunlah sebelum fajar menjelang. Anda tidak akan mau melewatkan pemandangan tenda berlatar belakang danau dan gugusan Bima Sakti kan?
Sky and us
Milky Way and Segara Anak
Full team
Yah, untuk saya, perjalanan Plawangan Sembalun ke Segara Anak memang bukan perjalanan paling menyenangkan sepanjang trekking Rinjani, tapi yang jelas, perjalanan hari itu berakhir di tempat yang paling luar biasa dari tiga hari perjalanan kami. And now, I want to do that again. Anyone?
***FIN***

Hai there..

"Ehm...Hai there.. Maaf, boleh saya telan biji palem ini dulu?"

Mungkin itu yang dikatakan tatapan burung ini pada saya yang sedang membidik dari balik lensa tepat ketika dia menikmati makan siangnya.

Lokasi: Jurong Bird Park
Diupload ulang dari multiply dan Facebook untuk mengikuti #TurnamenFotoPerjalanan di sini.

F12 Berlinetta

Katanya si ngantuk. Katanya si mau tidur begitu sampai rumah. Katanya pulang cepat biar bisa istirahat cukup.

Kenyataannya, 11.02 PM dan saya ngulik "studio foto" buat hot wheel yang iseng dibeli minggu lalu.

Ferrari F12Berlinetta
Behind the screen

Rinjani Tale: Sand Boarding di Rinjani

“Berdiri miring, taruh satu kaki di depan. Terus meluncur aja.”
 “Meluncur gimana? Kepeleset lah.. Woaaa.. Nah kan…”, susah payah saya berusaha menyeimbangkan diri di setapak sempit penuh pasir itu. Jangankan meluncur seperti yang diajarkan cowok di depan saya, berdiri seimbang saja hampir mustahil dilakukan di tumpukan pasir ini.
“Jangan ditahan. Kalau ditahan turunnya jadi capek dan makin gampang tergelincir.”
“Seriusan ga bisa. Ini sepatu sandalnya licin.”
“Sini pegangan.”, tanpa aba-aba dia meraih tangan saya dan menariknya menuruni setapak berpasir di atas Rinjani rim. Di atas tebing selebar satu meter, di ketinggian 3600 mdpl.
“Waaaaaa……..wa…wa…woooooaa..”

Plawangan Sembalun, tengah malam
Sedari sore hari, Pak Idah dan Sailih, guide kami , sudah mewanti-wanti untuk lekas tidur dan bersiap bangun jam 1 pagi. Perjalanan ke puncak akan dimulai jam 2 tepat. Yet, beliau-beliau masih sempat memanggil kami (yang sudah mulai bergelung di tenda) untuk makan malam. *burp… Excuse me.
Setelah berhasil menyamankan diri di tenda yang miring, saya terlelap tidak lama setelah jam 8 malam. Entah karena antusias atau dingin luar biasa yang membuat saya tidak nyenyak tidur, saya terbangun beberapa menit sebelum alarm HP berbunyi jam 1 pagi. Di luar tenda terdengar masih cukup senyap. Selain gemeletuk gigi saya sendiri menahan dingin, hanya terdengar lolongan anjing di kejauhan. Tak lama, satu per satu dering alarm sayup terdengar dari beberapa tenda, menandakan dimulainya perjuangan pagi itu menyapa puncak sang Rinjani.
Setelah berjibaku memakai dua lapis pakaian di tengah udara gunung pagi buta yang menggigit, akhirnya semua anggota team bersiap di depan tenda.
“Dua ribu tujuh ratus, Na”, ujar Dhana tiba-tiba.
“Heh? Apanya?”, sahut saya kebingungan.
“Ketinggian Plawangan Sembalun ini. Sekitar 2700 mdpl. Dapat dari GPS.”
“Eh, masa? Kan Rinjani 3700an. Bearti, … “ *glek
Jam dua pagi dan informasi bahwa kami harus climb up kurang lebih 1000 meter itu bukan kombinasi yang menguatkan semangat. Sebagai gambaran, di Kinabalu, Laban Rata, tempat saya menginap sebelum summit berada di ketinggian 3270 mdpl. Itu pun, nyaris semaput saya di puncak, gimana ini. Tapi tentunya hidup harus terus berjalan. Dan tinggal di tenda bukan pilihan.
Kami menjadi team pembuka jalan pagi itu. Hanya beberapa tenda yang tampak sudah memulai aktivitas ketika kami, diantar Pak Sailih dan Rodi, terengah menghirup oksigen dingin yang menipis.
Btw, have I told you lately bahwa saya bukan anak gunung? Saya tidak suka dingin, saya bukan makhluk pagi, saya takut ketinggian. Dan ketika saya di Rinjani, saya menambahkan satu lagi poin. Saya tidak suka memeluk pasir, di pagi buta. Jadi sebut saja saya anak kemarin sore when it comes to pergunungan. Saya bahkan tidak menyadari bahwa puncak gunung di Indonesia itu banyak didominasi pasir, pasir dan pasir.
Oh.. iya, saya baca novel 5 cm. Jauh sebelum para ABG labil itu tiba-tiba tergila-gila dengan Semeru. Dan saya tahu medan yang akan saya hadapi di Rinjani pun tak beda jauh, pasir. Yang saya tidak sadari adalah kuantitas dan kualitas pasirnya.
Belum jauh dari tenda ketika pertama kalinya saya menyadari gesekan pasir di sepatu sandal saya. Saya  jadi mengerti kenapa dibilang naik dua langkah turun satu langkah.  Mendaki tanjakan berpasir itu rasanya seperti semut yang terjebak di lubang undur-undur. Beberapa kali saya benar-benar frustasi karena clueless di mana harus memijakkan kaki. Di beberapa tempat yang berpasir dalam, saya hanya bisa mengikuti jejak teman-teman yang berjalan lebih dulu. Belum lagi ditambah longsoran pasir yang memenuhi udara membuat tipisnya oksigen bercampur pasir semakin sulit dihirup. Tidak sampai di bibir rim, saya menyerah.
Melihat saya yang ngambek tidak mau meneruskan perjalanan, mulailah semua orang mengeluarkan kata-kata pamungkas. “Dikit lagi kok..”
Tergoda iming-iming “sedikit lagi” dan kepulan pasir yang semakin pekat seiring banyaknya orang  naik membangkitkan semangat saya untuk melanjutkan pendakian. Dan benar saja, tak lama berjibaku dengan pasir kami tiba di sebuah dataran yang cukup luas. Puncak? Bukan.
Dataran tersebut adalah awal dari rim di sisi puncak. Jadi perjalanan selanjutnya adalah mengitari rim tersebut. Terdengar mudah, apa si susahnya mengitari crater rim. Masalahnya, meskipun di rim, jalan ke puncak rinjani tetap mendaki dengan medan pasir. Ditambah lagi, jurang di kanan kiri.
 “Sebatang dulu lah..” adalah ukuran waktu yang jamak saya dengar di perjalanan kali ini. Apalagi kalau bukan soal rokok. Jadilah kami berhenti cukup lama di sana, menikmati udara dingin yang menghangat oleh asap rokok.
Di titik ini, pesan saya adalah bawa cukup air minum dari tenda. Saya yang hanya membawa sebotol sedang, tak henti menyesali kebodohan itu. Mulailah saya bergerilya menggerataki bekal teman-teman saya. Lumayan, air yang tadinya tinggal seujung pantat botol, mulai memenuhi leher botol. Beruntungnya, di salah satu perjalanan paling berat yang pernah saya lakukan, saya bersama dengan para pria yang easy going dan tidak meributkan hal-hal kecil, termasuk saat saya merampok perbekalan mereka. Eh, iya kan ya? Ga ada yang mempermasalahkan itu kan ya? *asah parang*
Perjalanan berlanjut menyusuri rim masih dengan rute berpasir. Meskipun jalan setapak yang kami lalui terbuka ke segala arah, kanan kiri jurang, tidak banyak yang bisa dilihat ketika berangkat karena gelapnya malam. Hanya tampak di kejauhan hamparan kerlip yang menandakan desa Sembalun, dan sedikit di bawah kami, titik-titik lampu senter para pendaki.
Setengah perjalanan, rombongan kami mulai terbagi beberapa group. Saya yang dari awal memang tidak berniat memaksakan diri (pembelaan diri), berada di belakang bersama Pak Sailih dan dua orang teman, sambil sesekali menyumpah. Di pagi buta itu, tanpa tahu di mana tepatnya puncak Rinjani, percakapan kami tidak berkisar jauh dari kata-kata berikut:
Kami           
: “Masih jauh ga Pak?”
Pak Sailih  
: “Masih”
Kami         
: “Pak, rutenya pasir gini terus?”
Pak Sailih  
: “Enggak, di atas lebih berat lagi. Jadi kerikil tajam-tajam.”
Kami          
: “Istirahat dulu Pak..”
Kami          
: “Laper..Masih ada cemilan? Coklat mana coklat? Pak…air….”
Kami          
: “Pak, saya tidur dulu ya… Bapak terus aja gih, ntar baliknya bareng.”
Iya saya tahu, percakapan orang-orang yang benar-benar tidak berniat sampai puncak. Sebetulnya saya pribadi punya alasan sendiri kenapa mengapa saya menyudahi ego untuk sampai ke puncak. Berdasarkan info yang saya peroleh dari para guide, dan diamini oleh teman-teman yang sampai di puncak, medan pasir di atas berubah menjadi kerikil dan batu-batu tajam, sementara saya memakai sepatu sandal. Potensi saya jatuh, kaki tergores/luka kena batu, atau semacam itu di atas Rinjani bukan ide yang menyenangkan. Ditambah lagi, perjalanan dua hari berikutnya tidak semua turunan. Kalau semua turunan si, kalau saya cidera, tinggal masukin ke tong trus gelundungin. Lha pas naik dari Segara Anak ke Plawangan Senaru? Bisa dilelepin ke danau sama temen-temen kalau saya nyusahin.
Demi melihat para momongannya yang makin males, sementara kami tidak mungkin berhenti beristirahat di tebing sempit itu, Pak Sailih menawarkan ke kami tempat untuk beristirahat sementara menunggu matahari terbit.
Tempat itu berupa dataran batu rata yang cukup luas di tengah-tengah rute menuju puncak, kurang lebih satu jam sebelum puncak dengan kecepatan normal. Kami sampai di sana sebelum pukul 5 pagi, hampir 2.5 jam perjalanan. Tempat tersebut memberi perlindungan yang cukup dari hembusan angin dingin pagi itu. Sekaligus juga memberi pemandangan ke matahari terbit di sebelah timur dan Segara Anak di sisi lain. Sembari menunggu matahari terbit, saya, Stevan dan Galeh, memutuskan melanjutkan agenda kami yang terputus karena perjalanan ini. Melanjutkan tidur. Jadilah kami pagi itu, berimpitan di sela batu, di bawah lalu lalang pendaki lain, meringkuk serapat bola di atas tanah keras nan dingin. Bisa tidur? Trust me, iya, setidaknya saya sempat tidur hampir 30 menit sebelum akhirnya menyerah oleh dingin dan lebih memilih beranjak dan ngobrol dengan Pak Sailih, Rodi dan Dedi yang ternyata memutuskan untuk tidak melanjutkan ke puncak.
Sunrise dari puncak
Sunrise dari tempat saya berhenti
Matahari memenuhi janjinya pagi itu. Saya yang tidak sabar merasakan hangat matahari segera memanjat ke atas batu untuk mengabadikan pemandangan yang mulai terkuak di hadapan saya. Nun di timur, tampak garis pantai putih berbatas biru laut, tak jauh dari bibir pantai  tampak dua gili (pulau), saya lupa apa namanya. Sementara di batas cakrawala, mengambang di atas awan, tampak puncak Tambora menantang gagah. Di sebelah kanan saya, puncak sang Anjani menjulang anggun. Tampak di setapak, titik-titik kecil para pendaki yang masih berjuang menuju puncak. Di sebelah kiri saya, hamparan savanna tergelar dari perkemahan kami menyusur punggung gunung hingga Sembalun.
Sedangkan di belakang sebelah kiri, berbatas setapak yang saya lewati sebelumnya, bekas kawah yang membentuk danau vulkanik Segara Anak menganga. Di tengah-tengah danau, tepat di bawah kami, menjulang malu-malu gunung Baru, putra Anjani. Menyusurkan mata ke barat, hingga garis pantai, tampak samar tiga pulau kecil yang populer dengan nama, Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air. Nun di barat, pandangan saya berhenti di siluet agung Gunung Agung, Bali.
Puncak Rinjani 

Segara Anak dan Gunung Baru 
Hampir dua jam kami habiskan di sana. Memutar pandangan ke delapan penjuru mata angin, sambil sesekali diselingi foto-foto narsis, nyemil biscuit, atau sekadar menyapa para pendaki yang masih sesekali lewat.
Awalnya, kami berniat menunggu Dhana dan Tomy yang berhasil ke puncak untuk kemudian bersama-sama turun. Tapi dengan pertimbangan perjalanan turun kami mungkin lebih lambat, akhirnya pukul 7, saya, Stevan dan Galeh, ditemani Rodi, memutuskan untuk turun terlebih dahulu. Sedangkan Dedi dan Pak Sailih menunggu mereka berdua.

Sand Boarding
Benar saja, perjalanan turun bukan hal yang mudah. Jika saat naik, kami harus memaksa kaki melawan pasir, saat turun kami harus menahan kaki untuk tidak menyerah pada pasir dan gravitasi. Salah langkah sedikit saja, bersama gravitasi, pasir-pasir itu akan menyeret kami tanpa ampun ke salah satu sisi jurang sedalam ratusan meter, Segara Anak atau padang savanna. Dan saya tidak berniat memakai jalan pintas untuk ke dua-duanya.
Tidak sekali dua kali, kami tersusul oleh rombongan pendaki asing yang menuruni setapak pasir itu seperti jalan raya biasa saja, sembari ngobrol pula. Sial. Sementara saya, harus melangkahkan kaki satu demi satu, menjajal pasir kalau tidak mau terjungkal.
Seorang guide, entah guide siapa, mungkin guide salah satu rombongan di depan saya, menjajari langkah kami. “Ga usah direm, mbak..”, ucapnya tiba-tiba melihat saya yang berjibaku dengan pasir.
“Heh?”
“Berdiri miring, taruh satu kaki di depan. Terus meluncur aja.”
 “Meluncur gimana? Kepeleset lah.. Woaaa.. Nah kan…”, susah payah saya berusaha menyeimbangkan diri di setapak sempit penuh pasir itu. Jangankan meluncur seperti yang diajarkan cowok di depan saya, berdiri seimbang saja hampir mustahil dilakukan di tumpukan pasir ini.
“Jangan ditahan. Kalau ditahan turunnya jadi capek dan makin gampang tergelincir.”
“Seriusan ga bisa. Ini sepatu sandalnya licin.”
“Sini pegangan.”, tanpa aba-aba dia meraih tangan saya dan menariknya menuruni setapak berpasir di atas Rinjani rim. Di atas tebing selebar satu meter, di ketinggian 3600 mdpl.
“Waaaaaa……..wa…wa…woooooaa..wwuuuuuuuhuuuu…”
Tak lama jeritan-jeritan saya membelah pagi. Begitu bisa menguasai pelajaran baru berselancar di atas pasir, jeritan saya segera berubah menjadi teriakan-teriakan kegirangan, seperti anak kecil menemukan mainan baru. Saking girangnya saya bahkan tidak sadar kapan akhirnya guide yang mengajari saya tadi meninggalkan rombongan kami.


Perkemahan dari atas
Begitu tahu cara turun dengan cepat dan menyenangkan, perjalanan kami menjadi jauh lebih baik. Tak perlu waktu lama kami akhirnya sampai di titik permulaan rim. Berikutnya, kami harus menuruni tebing berpasir menuju perkemahan, Dengan cara yang kurang lebih sama, walaupun beberapa kali harus merelakan celana karena harus literally ngesot (pilihannya ngesot atau terpelanting kepala terlebih dahulu), kami menapakan kaki di perkemahan pukul 9 pagi. Hampir satu jam lebih cepat dari pada perjalanan naik. Sedangkan para veteran Rinjani, Dhana dan Tomy ditemani Dedi, menyusul sampai di tenda hanya satu jam setelah kami.
Sesampainya di tenda, setelah membersihkan tubuh (yang penuh pasir dari ujung rambut sampai ujung kuku, plus sampai ke dalam mulut) sekadarnya, kami menyerbu pisang goreng dan teh hangat yang sudah disiapkan Pak Idah yang tidak ikut kami naik.
Hati-hati dengan monyet-monyet di Plawangan. Sebagian dari mereka tidak takut berdekatan dengan manusia dan tidak ragu-ragu mencomot pisang goreng dari piring jika kita lengah. Dan jangan sekali-kali memberi mereka makan. Satu monyet mendapat makanan, maka monyet-monyet yang lain akan dengan beringasnya menuntut hak yang sama.
Kombinasi badan remuk redam, kurang tidur, perut kenyang, udara yang mulai hangat membuat kantuk tak tertahan. Sembari menunggu siang, kami memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dengan tidur dan mempersiapkan diri untuk melanjutkan perjalanan menuju Segara Anak sekitar jam 1 siang.
Perjalanan ke Segara Anak merupakan perjalanan menuruni tebing berbatu, menyusuri crater. Perjalanan yang sebetulnya tidak terlalu berat secara fisik, tapi untuk saya pribadi, cukup menguras emosi. But let me blame the hormone in the next posting. See ya.

***FIN***


Note: foto-foto dari kamera saya dan Dhana (yang moto? mbuh)