“Berdiri miring, taruh satu kaki di depan. Terus meluncur aja.”
“Meluncur gimana? Kepeleset lah.. Woaaa.. Nah kan…”,
susah payah saya berusaha menyeimbangkan diri di setapak sempit penuh pasir
itu. Jangankan meluncur seperti yang diajarkan cowok di depan saya, berdiri
seimbang saja hampir mustahil dilakukan di tumpukan pasir ini.
“Jangan ditahan. Kalau ditahan turunnya jadi capek dan makin gampang
tergelincir.”
“Seriusan ga bisa. Ini sepatu sandalnya licin.”
“Sini pegangan.”, tanpa aba-aba dia meraih tangan saya dan menariknya
menuruni setapak berpasir di atas Rinjani rim. Di atas tebing selebar satu
meter, di ketinggian 3600 mdpl.
“Waaaaaa……..wa…wa…woooooaa..”
Plawangan Sembalun, tengah malam
Sedari sore hari, Pak Idah dan Sailih, guide kami , sudah mewanti-wanti
untuk lekas tidur dan bersiap bangun jam 1 pagi. Perjalanan ke puncak akan
dimulai jam 2 tepat. Yet, beliau-beliau masih sempat memanggil kami (yang sudah
mulai bergelung di tenda) untuk makan malam. *burp… Excuse me.
Setelah berhasil menyamankan diri di tenda yang miring, saya terlelap tidak
lama setelah jam 8 malam. Entah karena antusias atau dingin luar biasa yang
membuat saya tidak nyenyak tidur, saya terbangun beberapa menit sebelum alarm
HP berbunyi jam 1 pagi. Di luar tenda terdengar masih cukup senyap. Selain
gemeletuk gigi saya sendiri menahan dingin, hanya terdengar lolongan anjing di
kejauhan. Tak lama, satu per satu dering alarm sayup terdengar dari beberapa
tenda, menandakan dimulainya perjuangan pagi itu menyapa puncak sang Rinjani.
Setelah berjibaku memakai dua lapis pakaian di tengah udara gunung pagi
buta yang menggigit, akhirnya semua anggota team bersiap di depan tenda.
“Dua ribu tujuh ratus, Na”, ujar Dhana tiba-tiba.
“Heh? Apanya?”, sahut saya kebingungan.
“Ketinggian Plawangan Sembalun ini. Sekitar 2700 mdpl. Dapat dari GPS.”
“Eh, masa? Kan Rinjani 3700an. Bearti, … “ *glek
Jam dua pagi dan informasi bahwa kami harus climb up kurang lebih 1000
meter itu bukan kombinasi yang menguatkan semangat. Sebagai gambaran, di
Kinabalu, Laban Rata, tempat saya menginap sebelum summit berada di ketinggian
3270 mdpl. Itu pun, nyaris semaput saya di puncak, gimana ini. Tapi tentunya
hidup harus terus berjalan. Dan tinggal di tenda bukan pilihan.
Kami menjadi team pembuka jalan pagi itu. Hanya beberapa tenda yang tampak
sudah memulai aktivitas ketika kami, diantar Pak Sailih dan Rodi, terengah
menghirup oksigen dingin yang menipis.
Btw, have I told you lately bahwa saya bukan anak gunung? Saya tidak suka
dingin, saya bukan makhluk pagi, saya takut ketinggian. Dan ketika saya di
Rinjani, saya menambahkan satu lagi poin. Saya tidak suka memeluk pasir, di
pagi buta. Jadi sebut saja saya anak kemarin sore when it comes to pergunungan.
Saya bahkan tidak menyadari bahwa puncak gunung di Indonesia itu banyak
didominasi pasir, pasir dan pasir.
Oh.. iya, saya baca novel 5 cm. Jauh sebelum para ABG labil itu tiba-tiba tergila-gila
dengan Semeru. Dan saya tahu medan yang akan saya hadapi di Rinjani pun tak
beda jauh, pasir. Yang saya tidak sadari adalah kuantitas dan kualitas pasirnya.
Belum jauh dari tenda ketika pertama kalinya saya menyadari gesekan pasir
di sepatu sandal saya. Saya jadi mengerti kenapa dibilang naik dua
langkah turun satu langkah. Mendaki tanjakan berpasir itu rasanya seperti
semut yang terjebak di lubang undur-undur. Beberapa kali saya benar-benar
frustasi karena clueless di mana harus memijakkan kaki. Di
beberapa tempat yang berpasir dalam, saya hanya bisa mengikuti jejak
teman-teman yang berjalan lebih dulu. Belum lagi ditambah longsoran pasir yang
memenuhi udara membuat tipisnya oksigen bercampur pasir semakin sulit dihirup.
Tidak sampai di bibir rim, saya menyerah.
Melihat saya yang ngambek tidak mau meneruskan perjalanan, mulailah semua
orang mengeluarkan kata-kata pamungkas. “Dikit lagi kok..”
Tergoda iming-iming “sedikit lagi” dan kepulan pasir yang semakin pekat
seiring banyaknya orang naik membangkitkan semangat saya untuk
melanjutkan pendakian. Dan benar saja, tak lama berjibaku dengan pasir kami
tiba di sebuah dataran yang cukup luas. Puncak? Bukan.
Dataran tersebut adalah awal dari rim di sisi puncak. Jadi perjalanan
selanjutnya adalah mengitari rim tersebut. Terdengar mudah, apa si susahnya
mengitari crater rim. Masalahnya, meskipun di rim, jalan ke puncak rinjani
tetap mendaki dengan medan pasir. Ditambah lagi, jurang di kanan kiri.
“Sebatang dulu lah..” adalah ukuran waktu yang jamak saya dengar di
perjalanan kali ini. Apalagi kalau bukan soal rokok. Jadilah kami berhenti
cukup lama di sana, menikmati udara dingin yang menghangat oleh asap rokok.
Di titik ini, pesan saya adalah bawa cukup air minum dari tenda. Saya yang
hanya membawa sebotol sedang, tak henti menyesali kebodohan itu. Mulailah saya
bergerilya menggerataki bekal teman-teman saya. Lumayan, air yang tadinya
tinggal seujung pantat botol, mulai memenuhi leher botol. Beruntungnya, di
salah satu perjalanan paling berat yang pernah saya lakukan, saya bersama
dengan para pria yang easy going dan tidak meributkan hal-hal
kecil, termasuk saat saya merampok perbekalan mereka. Eh, iya
kan ya? Ga ada yang mempermasalahkan itu kan ya? *asah parang*
Perjalanan berlanjut menyusuri rim masih dengan rute berpasir. Meskipun
jalan setapak yang kami lalui terbuka ke segala arah, kanan kiri jurang, tidak
banyak yang bisa dilihat ketika berangkat karena gelapnya malam. Hanya tampak
di kejauhan hamparan kerlip yang menandakan desa Sembalun, dan sedikit di bawah
kami, titik-titik lampu senter para pendaki.
Setengah perjalanan, rombongan kami mulai terbagi beberapa group. Saya yang
dari awal memang tidak berniat memaksakan diri (pembelaan diri), berada di
belakang bersama Pak Sailih dan dua orang teman, sambil sesekali menyumpah. Di
pagi buta itu, tanpa tahu di mana tepatnya puncak Rinjani, percakapan kami
tidak berkisar jauh dari kata-kata berikut:
Kami
|
: “Masih jauh ga Pak?”
|
Pak Sailih
|
: “Masih”
|
Kami
|
: “Pak, rutenya pasir gini terus?”
|
Pak Sailih
|
: “Enggak, di atas lebih berat lagi. Jadi kerikil tajam-tajam.”
|
Kami
|
: “Istirahat dulu Pak..”
|
Kami
|
: “Laper..Masih ada cemilan? Coklat mana coklat? Pak…air….”
|
Kami
|
: “Pak, saya tidur dulu ya… Bapak terus aja gih, ntar baliknya bareng.”
|
Iya saya tahu, percakapan orang-orang yang benar-benar tidak berniat sampai
puncak. Sebetulnya saya pribadi punya alasan sendiri kenapa mengapa saya
menyudahi ego untuk sampai ke puncak. Berdasarkan info yang saya peroleh dari
para guide, dan diamini oleh teman-teman yang sampai di puncak, medan pasir di
atas berubah menjadi kerikil dan batu-batu tajam, sementara saya memakai sepatu
sandal. Potensi saya jatuh, kaki tergores/luka kena batu, atau semacam itu di
atas Rinjani bukan ide yang menyenangkan. Ditambah lagi, perjalanan dua hari
berikutnya tidak semua turunan. Kalau semua turunan si, kalau saya cidera,
tinggal masukin ke tong trus gelundungin. Lha pas naik dari Segara Anak ke Plawangan
Senaru? Bisa dilelepin ke danau sama temen-temen kalau saya nyusahin.
Demi melihat para momongannya yang makin males, sementara kami tidak mungkin berhenti beristirahat di tebing sempit itu, Pak Sailih
menawarkan ke kami tempat untuk beristirahat sementara menunggu matahari terbit.
Tempat itu berupa dataran batu rata yang cukup luas di tengah-tengah rute
menuju puncak, kurang lebih satu jam sebelum puncak dengan kecepatan normal.
Kami sampai di sana sebelum pukul 5 pagi, hampir 2.5 jam perjalanan. Tempat tersebut memberi perlindungan yang cukup dari
hembusan angin dingin pagi itu. Sekaligus juga memberi pemandangan ke matahari
terbit di sebelah timur dan Segara Anak di sisi lain. Sembari menunggu matahari
terbit, saya, Stevan dan Galeh, memutuskan melanjutkan
agenda kami yang terputus karena perjalanan ini. Melanjutkan tidur. Jadilah
kami pagi itu, berimpitan di sela batu, di bawah lalu lalang pendaki lain,
meringkuk serapat bola di atas tanah keras nan dingin. Bisa tidur? Trust
me, iya, setidaknya saya sempat tidur hampir 30 menit sebelum akhirnya
menyerah oleh dingin dan lebih memilih beranjak dan ngobrol dengan Pak Sailih,
Rodi dan Dedi yang ternyata memutuskan untuk tidak melanjutkan ke puncak.
|
Sunrise dari puncak |
|
Sunrise dari tempat saya berhenti |
Matahari memenuhi janjinya pagi itu. Saya yang tidak sabar merasakan hangat
matahari segera memanjat ke atas batu untuk mengabadikan pemandangan yang mulai
terkuak di hadapan saya. Nun di timur, tampak garis pantai putih berbatas biru
laut, tak jauh dari bibir pantai tampak dua gili (pulau), saya lupa apa namanya. Sementara di batas cakrawala, mengambang di atas awan, tampak puncak
Tambora menantang gagah. Di sebelah kanan saya, puncak sang Anjani menjulang
anggun. Tampak di setapak, titik-titik kecil para pendaki yang masih
berjuang menuju puncak. Di sebelah kiri saya, hamparan savanna tergelar dari
perkemahan kami menyusur punggung gunung hingga Sembalun.
Sedangkan di belakang sebelah kiri, berbatas setapak yang saya lewati
sebelumnya, bekas kawah yang membentuk danau vulkanik Segara Anak menganga. Di
tengah-tengah danau, tepat di bawah kami, menjulang malu-malu gunung Baru,
putra Anjani. Menyusurkan mata ke barat, hingga garis pantai, tampak samar tiga
pulau kecil yang populer dengan nama, Gili Trawangan, Gili Meno,
dan Gili Air. Nun di barat, pandangan saya berhenti di siluet agung Gunung
Agung, Bali.
|
Puncak Rinjani |
|
Segara Anak dan Gunung Baru |
Hampir dua jam kami habiskan di sana. Memutar pandangan ke delapan penjuru
mata angin, sambil sesekali diselingi foto-foto narsis, nyemil biscuit, atau
sekadar menyapa para pendaki yang masih sesekali lewat.
Awalnya, kami berniat menunggu Dhana dan Tomy yang berhasil ke puncak untuk
kemudian bersama-sama turun. Tapi dengan pertimbangan perjalanan turun kami
mungkin lebih lambat, akhirnya pukul 7, saya, Stevan dan Galeh, ditemani Rodi,
memutuskan untuk turun terlebih dahulu. Sedangkan Dedi dan Pak Sailih menunggu
mereka berdua.
Sand Boarding
Benar saja, perjalanan turun bukan hal yang mudah. Jika saat naik, kami
harus memaksa kaki melawan pasir, saat turun kami harus menahan kaki untuk
tidak menyerah pada pasir dan gravitasi. Salah langkah sedikit saja, bersama
gravitasi, pasir-pasir itu akan menyeret kami tanpa ampun ke salah satu sisi
jurang sedalam ratusan meter, Segara Anak atau padang savanna. Dan saya tidak
berniat memakai jalan pintas untuk ke dua-duanya.
Tidak sekali dua kali, kami tersusul oleh rombongan pendaki asing yang
menuruni setapak pasir itu seperti jalan raya biasa saja, sembari ngobrol pula.
Sial. Sementara saya, harus melangkahkan kaki satu demi satu, menjajal pasir
kalau tidak mau terjungkal.
Seorang guide, entah
guide siapa, mungkin guide salah satu rombongan di depan saya, menjajari
langkah kami. “Ga usah direm, mbak..”, ucapnya tiba-tiba melihat saya yang
berjibaku dengan pasir.
“Heh?”
“Berdiri miring, taruh satu kaki di depan. Terus meluncur aja.”
“Meluncur gimana? Kepeleset lah.. Woaaa.. Nah kan…”,
susah payah saya berusaha menyeimbangkan diri di setapak sempit penuh pasir
itu. Jangankan meluncur seperti yang diajarkan cowok di depan saya, berdiri
seimbang saja hampir mustahil dilakukan di tumpukan pasir ini.
“Jangan ditahan. Kalau ditahan turunnya jadi capek dan makin gampang
tergelincir.”
“Seriusan ga bisa. Ini sepatu sandalnya licin.”
“Sini pegangan.”, tanpa aba-aba dia meraih tangan saya dan menariknya
menuruni setapak berpasir di atas Rinjani rim. Di atas tebing selebar satu
meter, di ketinggian 3600 mdpl.
“Waaaaaa……..wa…wa…woooooaa..wwuuuuuuuhuuuu…”
Tak lama
jeritan-jeritan saya membelah pagi. Begitu bisa menguasai pelajaran baru berselancar
di atas pasir, jeritan saya segera berubah menjadi teriakan-teriakan
kegirangan, seperti anak kecil menemukan mainan baru. Saking girangnya saya
bahkan tidak sadar kapan akhirnya guide yang mengajari saya tadi meninggalkan
rombongan kami.
|
Perkemahan dari atas |
Begitu tahu cara
turun dengan cepat dan menyenangkan, perjalanan kami menjadi jauh lebih baik.
Tak perlu waktu lama kami akhirnya sampai di titik permulaan rim. Berikutnya,
kami harus menuruni tebing berpasir menuju perkemahan, Dengan cara yang kurang
lebih sama, walaupun beberapa kali harus merelakan celana karena harus literally ngesot (pilihannya ngesot atau
terpelanting kepala terlebih dahulu), kami menapakan kaki di perkemahan pukul 9
pagi. Hampir satu jam lebih cepat dari pada perjalanan naik. Sedangkan para
veteran Rinjani, Dhana dan Tomy ditemani Dedi, menyusul sampai di tenda hanya
satu jam setelah kami.
Sesampainya di
tenda, setelah membersihkan tubuh (yang penuh pasir dari ujung rambut sampai
ujung kuku, plus sampai ke dalam mulut) sekadarnya, kami menyerbu pisang goreng
dan teh hangat yang sudah disiapkan Pak Idah yang tidak ikut kami naik.
Hati-hati dengan
monyet-monyet di Plawangan. Sebagian dari mereka tidak takut berdekatan dengan
manusia dan tidak ragu-ragu mencomot pisang goreng dari piring jika kita
lengah. Dan jangan sekali-kali memberi mereka makan. Satu monyet mendapat
makanan, maka monyet-monyet yang lain akan dengan beringasnya menuntut hak yang
sama.
Kombinasi badan
remuk redam, kurang tidur, perut kenyang, udara yang mulai hangat membuat
kantuk tak tertahan. Sembari menunggu siang, kami memanfaatkan waktu
sebaik-baiknya dengan tidur dan mempersiapkan diri untuk melanjutkan perjalanan
menuju Segara Anak sekitar jam 1 siang.
Perjalanan ke Segara
Anak merupakan perjalanan menuruni tebing berbatu, menyusuri crater. Perjalanan
yang sebetulnya tidak terlalu berat secara fisik, tapi untuk saya pribadi,
cukup menguras emosi. But let
me blame the hormone in the next posting. See
ya.
***FIN***
Note: foto-foto dari kamera saya dan Dhana (yang moto? mbuh)