Bukan
postingan serius (ya kapan juga postingan di sini pernah serius). Sekadar pecah
telur saja karena baru sadar sudah 2 bulan blog ini tidak tersambangi.
*bersihin sarang laba-laba*
Pagi ini, terdorong rasa antusias karena 3 minggu lagi pulang
kampung, dan kebetulan mendarat pagi di Solo, saya ubek-ubek internet mencari
referensi sarapan di Solo. Tidak perlu waktu lama, tertimbunlah saya dengan
banyak postingan kuliner Solo. Karena tidak mau ngiler di meja kerja pagi-pagi, berat hati
saya tutup tab browser pencarian dan memutuskan kembali
mengubek-ubek lain kali di waktu yang lebih kondusif untuk ngiler.
Bicara tentang kuliner Solo, terutama sarapannya, saya jadi
teringat sebuah pagi di pertengahan Mei. Bukan tepat di Solo memang. Di
Colomadu Karanganyar, selemparan kolor sebelah barat kota Surakarta. Hari itu
Rabu. Saya terpaksa check out pagi dari penginapan karena
menyesuaikan dengan jadwal teman yang harus ke kantor pagi itu. Setelah
menyelesaikan beberapa urusan, teman saya menurunkan saya
depan pabrik gula Colomadu. Dari sana saya harus mencari jalan saya sendiri
menuju terminal bus. Kenapa tidak sekalian diantar ke terminal? Err..panjang
ceritanya dan lebih enak diceritakan sambil ngopi-ngopi cantik di cafe
pinggiran Marina. Gimana? Saya yang traktir? #Lah
Balik ke cerita pagi itu. Apa saya tahu jalan ke terminal? Ya,
saya tahu, tapi saya tidak tahu cara ke sana. Ya masa jalan kaki..
Celingak-celinguk di perempatan pabrik gula, saya melihat bis Trans Solo
melintas dari arah bandara. Berbekal logika bahwa semua bis kota pasti ke arah
kota, saya segera menyusur ke utara untuk mencari halte bis trans tersebut.
Benar saja, baru sebentar berjalan, saya sudah melihat anjungan (seadanya)
untuk bis trans.
Beberapa meter sebelum halte, fokus saya untuk segera pulang
terpecahkan oleh seorang yang sedang menikmati sarapannya. Bubur gudeg.
Didukung fakta bahwa saya memang belum sarapan dan pemikiran bahwa pulang ke
rumah orangtua dengan muka pucat kurang makan bisa membuat mereka sedih, saya
segera bergabung di dasaran pinggir jalan tersebut. Baru saja
meletakkan pantat di dingklik, si ibu yang jualan memberi saya
berita buruk, "Buburnya habis, Mbak". Lha apa terus saya harus nyemil
krecek aja?
Ketika saya masih berfikir apa yang bisa saya comot, tiba-tiba
mata saya melihat bubur ketan hitam di tangan ibu penjual. Segeralah saya
bertanya, "Ketan hitamnya masih Bu?"
"Saya ga jual ketan hitam Mbak, ini saya beli dari ibu
itu", jawab beliau sambil menunjuk seorang ibu penjaja sayur
keliling, "Tanya saja, mungkin masih ada".
Segera saja, saya menghampiri ibu penjual sayur dan bertanya bubur
ketan hitam. Praise the Lord,
tinggal satu-satunya Saudara-Saudara. Sebungkus plastik besar bubur ketan hitam
hangat lengkap dengan santan yang terkemas terpisah pun saya dapatkan.
Pertanyaan berikutnya, itu bubur gimana makannya?! Melihat saya
yang menimang-nimang bungkusan bubur dengan muka bingung (dan lapar tentunya),
ibu penjual gudeg menawarkan sesuatu yang tidak saya duga.
"Pakai ini Mbak..", katanya sambil mengulurkan pincuk
daun pisang yang seharusnya untuk para pembeli bubur gudeg. Saya menatap ibu
itu dengan pandangan tidak percaya dan berkaca-kaca (karena kelilipan debu).
Singkat kata, pagi itu saya sarapan bubur ketan hitam beli dari
ibu penjual sayur, beralaskan pincuk dari ibu penjual gudeg dan di dalam warung
ibu penjual gudeg, yang tampaknya sama sekali tidak keberatan saya nebeng makan
di sana tanpa membeli dagangan beliau.
Entah memang ibu itu yang kelewat baik, atau memang dasarnya saya
saja yang kelewat tidak tahu diri.
*Ngomong-ngomong, ga perlu tanya lah ya kenapa saya
yang notabenenya penduduk pantura memilih mendarat di Solo bulan depan. Iya,
sudah... ga perlu tanya.