"Rasa tidak pernah bohong. Begitu juga
usia." ~ Dhana
Pagi pertama di camp dengan ketinggian
2000 meter dpl membuat saya sadar bahwa saya bukan anak gunung. Lebih tepatnya
kebodohan saya lah yang membuat saya sadar. Jadi gini, pendakian dari desa
Sembalun ke pos tiga di tengah terik matahari sehari sebelumnya mau tidak mau
membuat kaos yang saya pakai basah kuyup dengan keringat. Mengingat perbekalan
baju ganti saya yang minim, maka ide terbaik yang saya punya adalah menjemur
kaos tersebut dengan harapan bisa dipakai kembali untuk naik ke Plawangan
Sembalun keesokan harinya. Dan tebak di mana saya menjemur kaos tersebut
semalaman? Yap , di
atas tenda. Bukannya kering, yang ada begitu bangun saya hanya bisa
cengar-cengir bodoh ketika menemukan kaos saya basah kuyup setengah membeku
oleh embun pagi. *peres kaos*
Setelah bersusah
payah mendaki tebing untuk menjemur kaos, sekaligus foto-foto si, waktu sarapan
pun tiba. Kali ini menunya roti bakar plus banana pancake lengkap dengan teh
atau kopi panas, tergantung pesanan. Jangan tanya saya bagaimana bapak-bapak
porter ini menyulap roti bakar di tengah-tengah lembah padang savanna, tapi
yang jelas, roti bakar yang terhidang jauh lebih baik dari pada terakhir kali
saya berusaha membakar (literally) roti. Nom..nom..nom…
Karena tugas kami
hari itu cukup sederhana, menyelesaikan etape pos tiga ke Plawangan Sembalun,
maka pagi itu kami cukup santai mempersiapkan perjalanan. Waktu sudah
menunjukkan pukul delapan pagi ketika akhirnya rombongan besar kami mulai
bergerak mendaki bukit. Plawangan Sembalun merupakan pos terakhir sebelum
summit attack keesokan paginya. Dari pos tiga, normally, perjalanan bisa ditempuh
selama 3.5 sampai 4 jam. Saya bilang normal ya, karena di tengah jalan saya
sempat mengobrol dengan seorang Caucasian yang menempuhnya dalam 2 jam. Kampret!
Berbeda dengan
rute sebelumnya, rute pos tiga sampai Plawangan Sembalun ini didominasi
tanjakan, tanjakan dan tanjakan. Dari referensi yang saya baca, dari pos tiga
kita akan melewati total sembilan bukit. Untung…referensi ini saya baca
seminggu setelah saya menyelesaikan pendakian, coba kalau belum…err..ya tetap
mendaki juga si... #pasrah
Menurut bapak porter,
bukit yang kami daki dinamai Bukit Penyesalan, dan di kanan kami menganga
ngarai bernama Jurang Penyesalan. Mengingat berat dan panjangnya medan, saya
tidak heran dengan penamaan itu. “Menyesal aku Mas…aku menyesal!!”
Di tengah jalan, kita
akan menjumpai satu pos extra, yang kondisinya sudah tidak beratap.
Selepas pos tersebut, track semakin menanjak dan akan lebih sering menjumpai
pohon yang memberi kami cukup banyak alasan untuk berteduh di siang yang terik
itu. Jika cuaca cukup bagus, dalam artian kabut belum datang, pemandangan di
jalur ini memanjakan mata. Sepanjang mata memandang ke depan adalah perbukitan
hijau, dengan puncak Rinjani di sisi kiri. Sedangkan kalau kita menoleh ke
belakang, hamparan savannah yang saya lewati sehari sebelumnya membentang hijau
hingga Sembalun. Ketika pendakian kami, sekitar satu jam sebelum pos Plawangan,
kabut yang mulai turun memberi kesan mistis di siang itu. Siang yang tadinya
panas terik dengan jarak pandang berkilometer, seketika menjadi dingin dengan
jarak pandang terbatas. Tambahkan sedikit kegelapan dan deru angin, dan saya
akan berfikir Dementor di sekeliling kami. Expecto
patronum!
Baru
sedikit lewat dari pukul sebelas pagi ketika kami akhirnya melihat cahaya di
ujung terowongan papan penunjuk pos Plawangan Sembalun. Semangat kami
terpompa untuk menyelesaikan bukit terakhir yang sekaligus bukit paling terjal
sepanjang etape.
Begitu sampai di tempat datar, dan bertemu para
porter yang memang sudah mendahului, “Akhirnya sampai juga… Kita camping di
sini Pak?”
“Oh enggak, kita
camping di sebelah sana.”, jawab porter sambil menunjuk ke arah kiri. Sekitar
satu kilometer sebelah kiri tepatnya. *banting backpack*
Plawangan Sembalun
merupakan sebidang dataran yang cukup luas di puncak crater. Jika kita berjalan
ke arah puncak, maka jauh di bawah, di sebelah kiri kita adalah padang savannah
sedang sebelah kanan terlihat Segara Anak. Tentu saja dengan catatan, tidak
sedang berkabut. Ketika akhirnya kami, menginjakkan kaki di camp area, kabut
tampak menyelimuti daerah danau, memberi kami tidak banyak pilihan selain warna
putih.
Camp kami terletak di
paling ujung rute ke puncak, di balik perlindungan tebing kecil dengan
pemandangan terbuka ke arah Segara Anak. Tips untuk menikmati hidup sore di
crater, turuni sedikit jurang ke arah danau, cari tempat yang cukup landai. Jangan
lupa bawa secangkir kopi hangat, sebuah buku, kamera, sleeping bag dan
partner kalau ada. Life partner kalau bisa (makin ngelunjak). Dan silakan menikmati sore sambil menunggu matahari
terbenam sambil memandangi Segara Anak yang sesekali tampak dari balik kabut. Boleh saya sebut ini pinggiran surga?
Oh ya, hati-hati
dengan ilalang di sana. Terkadang kombinasi ilalang dan sleeping bag
menghasilkan efek yang sangat licin *sempat tergelincir sleeping bag sendiri,
di pinggir jurang*.
Karena, seperti biasa
*naik-naikin alis*, saya sampai cukup cepat, saya sempat mengikuti lagi porter mengambil
air ke mata air. Mata air kali ini terletak relative cukup dekat dibanding hari
sebelumnya di pos tiga. Hanya saja, rutenya dua kali lebih sulit. Selain turunan
tajam, tracknya berupa pasir kering dengan beberapa bekas longsor. Mata airnya
sendiri berupa tebing dengan pancuran yang cukup deras.
Belum lagi sampai di
pancuran ketika Rodi, guide cilik saya mewanti-wanti, “Jangan sentuh tanaman
ini. Beracun, kalau kena sakitnya kaya disengat kalajengking.” #what?!
Saya, meskipun belum
pernah disengat kalajengking, jelas tidak berniat merasakan efeknya dari
tanaman apapun tadi. Tapi malang tidak dapat ditolak, ketika beranjak naik, pungggung
tangan saya dengan tidak sengaja menyentuh sedikit ujung daunnya. Hanya
sedikit, tapi efeknya tangan saya nyut-nyutan sepanjang siang.
Menjelang jam 6 sore,
kabut yang sepanjang siang menutupi Segara Anak terkuak. Memberikan kami
pemandangan langit biru bersabut kabut putih dan sapuan jingga senja. Dan jika
biasanya saya menikmati matahari terbenam dengan sapuan ombak di kaki saya,
kali ini saya menikmatinya dengan kemewahan sapuan kabut dingin di puncak kepala
saya.
Malam datang lebih
cepat di Plawangan Sembalun, selain karena
matahari lebih cepat tertelan crater di seberang, juga karena kami harus tidur cepat sore itu. Pendakian ke puncak akan dimulai jam 2 pagi, jadi saya
memutuskan semakin cepat tidur semakin baik. Suara-suara pendaki masih sayup
terdengar ketika saya mulai bergelung di tenda dan berusaha berdamai dengan
lantai tenda yang miring malam itu di bawah bintang-bintang Plawangan Sembalun.
sumpah! saya cuma boost foto ini di picasa |
***FIN***
Note: picture from my camera and
Dhana’s *
* Mbuh ndak tau yang ngambil
fotonya siapa (balada camera beredar di mana-mana)