Delapan koma delapan sentimeter tepatnya. Iseng saya ukur tinggi sol sepatu yang baru saja menyiksa saya pakai seharian. Ga ada penggaris bukan halangan. Keajaiban dunia abad 21 bernama internet menyediakan segalanya. Silakan ke sini untuk mendapatkan penggaris virtual. Cukup masukan diameter dan aspect ratio layar komputer, maka viola..sebuah penggaris muncul di monitor.
Kembali ke 8.8 cm tadi, sepatu sandal ini memang bukan alas kaki dengan hak tinggi pertama yang saya punya. Saya ingat pernah punya sepatu pantofel hitam dengan hak tidak kurang dari 5 cm, yang hanya saya pakai 3 kali sepanjang sejarah hidupnya. Pertama, ketika wisuda tahun 2005, kedua waktu wawancara kerja pertama kali 2 minggu kemudian dan yang ketiga ketika saya menjalanihukuman psikotest Bank Indonesia tahun 2006. Setelah itu si sepatu hanya teronggok di sudut kamar, sampai akhirnya ketika saya pindah ke Singapore saya baru sadar kalau ternyata ia sudah rusak. Ya, rusak justru karena tidak pernah dipakai. Ironis.
Kembali ke 8.8 cm tadi, sepatu sandal ini memang bukan alas kaki dengan hak tinggi pertama yang saya punya. Saya ingat pernah punya sepatu pantofel hitam dengan hak tidak kurang dari 5 cm, yang hanya saya pakai 3 kali sepanjang sejarah hidupnya. Pertama, ketika wisuda tahun 2005, kedua waktu wawancara kerja pertama kali 2 minggu kemudian dan yang ketiga ketika saya menjalani
Lalu kenapa tiba-tiba bertengger manis sepatu sandal bertali-tali setinggi lebih dari 8 senti itu di rak sepatu saya? Biasa, hidup terus berjalan, Kawan. Karena tuntutan saldo rekening bank satu dan lain hal, saya resmi tidak lagi berkantor di antara wafer, leadframe dan wire bonder sebulan lalu. Dan tentu saja tidak ada ESD shoes di sini. Akhirnya terfikir, sebuah sandal cantik berhak tinggi, kenapa tidak?
Baiklah, untuk yang sudah membaca sampai sini, sepertinya saya harus jujur. Keminiman pengalaman saya bersepatu tinggi sebetulnya tidak hanya karena lingkungan, tapi juga kondisi kejiwaan keseimbangan saya yang super duper jelek. Orang-orang terdekat saya pasti tahu, jangankan pakai sepatu hak tinggi, pakai sandal jepit saja saya bisa kesleo. Terutama kalau berjalan di tempat yang tidak rata. Jadi ingat 6 tahun lalu ketika jatuh cinta kaki saya bengkak parah plus demam gara-gara kesleo waktu main kasti yang pertama kalinya. Padahal waktu itu saya pakai sepatu olahraga yang pastinya flat.
Tapi karena didorong komporan teman keinginan untuk mencoba (baca: sekali-kali pengen seperti ‘perempuan’ kebanyakan), maka berpindah juga alas kali manis itu ke kamar saya.
Pagi itu perjuangan dimulai. Perjalanan dari pintu rumah ke lift yang tidak lebih dari 10 meter saya rasa bertambah jauh. Hal pertama yang saya sadari ketika “berjingkat-jingkat” menuju lift adalah cara saya berjalan mirip kucing. Bedanya kucing bisa melompat-lompat dengan anggun sedangkan saya berusaha untuk bisa menegakkan tubuh saja serasa mati-matian. Didukung ransel laptop di punggung, lengkap sudah kesusahan saya untuk tegak. Untung kerepotan pagi itu tidak ditambah dengan acara berlari-lari mengejar mobilku bis, jadi saya masih bisa selamat sampai di kantor.
Singkat cerita, malam itu saya berhasil menamatkan perjuangan saya memakai sepatu berhak setinggi 8.8 senti tanpa melepaskannya di tengah jalan. Walaupun dengan betis dan ujung jari kaki yang pegal luar biasa. Dan masih terasa sampai sekarang. Padahal praktis yang saya lakukan hanya berjalan dari cubicle ke pantry, kantor ke masjid, bus stop ke rumah, dan sebaliknya. Angkat topi saya untuk perempuan-perempuan di luar sana yang bisa berjalan berjam-jam dengan alas kaki yang mungkin lebih tinggi dari itu. Salut saya Miss, Neng, Mbak!!
So, apakah saya kapok pakai sepatu hak tinggi lagi? Siapa bilang? Tentu saja tidak. Tapi mungkin untuk sementara seminggu sekali saja ya pakai yang 8.8 sentimeter.