Sempu: Antara Neraka dan Surga di Bumi

"Are we there yet?"
               Terpaksa aku tanyakan [baca: teriakkan] lagi pertanyaan itu ke I*k* yang sudah melaju mendahului kami. "Hampir..lautnya sudah kelihatan" Setidaknya itu kata-kata yang sempat tertangkap telingaku di tengah rerimbunan hutan kala itu. Entah keberapa kalinya kata itu aku tanyakan dalam 2 jam terakhir. Dan setelah pertanyaan terakhirku itu, perjalanan memang benar-benar telah mendekati akhir. Yah..setidaknya satu jam terakhir. Karena perjalanan yang harusnya ditempuh dalam 1 jam itu menjadi perjuangan yang menggerogoti mental kami selama 3 jam [penuh].

Surabaya, 12 jam sebelumnya...
             Bis yang membawaku dan W* sampai di terminal terbesar di Surabaya satu jam lebih lambat dari yang aku perkirakan. Entah karena kondisi lalu lintas Pantura yang memang padat atau seperti kata W*, "Sopir sarap..pengen tak gantheni nyetir..!!" Entah..karena seperti biasa aku lelap dalam mimpi selepas Tuban. 
Hampir telat dari waktu janjian membuat aku sedikit menguji keberuntungan mencari bis Damri ke bandara yang katanya kemungkinan besar masih beroperasi sampai pukul 9 malem. Sayangnya, dewi fortuna tidak sedang menguntitku di Bungurasih malam itu. Akhirnya, dengan [setengah terpaksa] keluarlah IDR 60.000 dari dompet untuk taksi ke Juanda.
Sesampainya di Juanda, mengirim pesan singkat ke sang ketua rombongan "Di depan rumah makan padang ya..". Yang segera dibalas, "Landed. Sedang nunggu bagasi". Tak sampai 20 menit, muncullah serombongan - bingung nyebutnya - orang dalam berbagai kombinasi style travelling [yang sedikit diluar dugaan]. Sebut saja, semua ada. Mulai dari koper tarik segede kulkas, sampai daypack mungil. Dari ransel 60l, sampai slingbag kamera. Mereka terlihat digawangi seorang cowok yang tampak sibuk dengan ponselnya.

"Kayanya ini ni", bisikku ke W* yang asyik masyuk dengan rokoknya.
"Lah, koncomu sing endi?" tanyanya sambil berkerut.
"Nah ya iku..gag ngerti..sik.. tak coba miscol aja"
"Anjr*t..ga ono sing mbok kenal tho??" umpat W* pelan 
"Kenal..ning internet." jawabku kalem sambil sibuk dengan HP di telinga. Setelah dering ke dua di telingaku, tampak sang ketua rombongan mengangkat telponnya. Gotcha...

* Maaf Bro, tapi bersama orang-orang yang [sebelumnya] ga kita kenal dalam sebuah petualangan adalah bagian dari petualangan itu sendiri. Maka terbiasa dan nikmatilah...

Sempu, pertarungan benci dan cinta ...
             Perjalanan ke Malang selatan ditempuh dalam sekitar 6 jam. Kami dibagi menjadi 3 mobil, membuat aku dan W* yang mendapat porsi di belakang mempunyai cukup ruang untuk [sekali lagi] tidur. Maka, jangan tanya bagaimana kondisi jalan sepanjang Surabaya - Sendang Biru. Sepotong-sepotong aku dengar dari teman-teman [yang dengan tragisnya tidak bisa tidur], jalanan cukup bagus hanya saja berkelak-kelok naik-turun.

Di Sendang Biru, yang merupakan pemberhentian terakhir sebelum menyeberang ke Pulau Sempu. Di sana kami menginap [baca: meluruskan kaki selama 3 jam] di satu-satunya mess milik Perhutani dengan 4 kamar. Aku lebih memilih menghabiskan waktu menunggu pagi sambil mengobrol dengan I*k* dan O*, walau akhirnya terlelap juga selepas subuh.

             Hampir pukul 7 ketika 2 perahu kami akhirnya melaju ke arah Teluk Semut di pulau Sempu. Itu pun setelah tarik ulur antara pergi-tidak, mengingat hujan yang turun sejak malam masih saja menebar rinainya. Dalam perjalanan yang tak sampai 15 menit itu, mas-mas tukang perahunya tak lupa memperingati kami tentang kondisi jalur ke Segara Anakan yang "cukup" becek. Bahkan mereka sempat berpesan kalau sudah akan menyerah, silakan segera kontak mereka untuk menjemput. Pesan dan peringatan yang kami jawab dengan anggukan kepala seraya menggumam dalam hati "Yang bener ajaaaa...."

Kami memulai perjalanan ber-15. Seratus meter pertama, aku masih bisa bercakap-cakap normal, kami masih dalam konvoi anak bebek yang rapi. Beberapa saat setelah itu, serangkaian tragedi mulai "menghantui" perjalanan kami. Kebetulan aku ada di rombongan depan bersama E*i, I*k*, D*n*, Y**sy, W* dan Bang Br**y, dan kemudian menyusul O*i*. Diawali dengan putusnya sandal E*i, hingga akhirnya membuat dia tercecer di belakang. Disusul kemudian bertumbangan kami satu per satu dalam berbagai gaya. Ada gaya terduduk, berlutut, gaya satu kaki diatas kaki lain di lumpur sambil berusaha menyeimbangkan diri dengan berpegangan di batang, ranting, akar, atau apalah yang bisa diraih [dan tak jarang termasuk tangan teman].

              Pelan tapi pasti kami mulai meninggalkan rombongan belakang. Dengan sedikit tertatih. Namun pelan tapi pasti juga, I*k* dan Y**sy juga meninggalkan kami. Masih ga habis pikir bagaimana mereka memilih jalan [kalo itu bisa disebut jalan].

Dua jam kemudian..
              Baru kali itu aku benar-benar "mengumpat mencaci" catatan perjalanan teman-teman di internet tentang Sempu. Empat puluh lima menit [catat: 45 menit] jalan kaki dari Teluk Semut adalah cerita pengantar tidur belaka. Trekking yang bisa ditempuh dengan menggendong logistik untuk camping tampak seperti omong kosong buat kami saat itu. Jangankan untuk mengabadikan kecantikan sang perawan hutan Sempu, untuk mempertahankan ke dua tangan bebas dari memegang akar, batang dan ranting pohon saja hampir tidak mungkin dilakukan. Bahkan di beberapa titik kami harus memeluk batang pohon hanya untuk mendapatkan pijakan dan topangan yang sedikit lebih mantap. Dan di beberapa titik [yang berdasarkan info awal hanya satu], kami harus memanjat pohon tumbang dan melompat ke dalam kubangan lumpur setinggi betis setelahnya. Bagian dari jalur yang paling aku tunggu-tunggu adalah kubangan-kubangan air berlumpur yang masih cukup menyisakan air [catat: kebanyakan kubangan adalah lumpur berair bukan lagi air berlumpur]. Karena di situ aku bisa sekedar menghilangkan lumpur yang licin itu dari sepatu sandalku [yang malang].

Tak berapa lama [dalam hitungan 20 menit kemudian], kami sudah bisa melihat hijau tosca air Segara Anakan yang seolah melecut semangat kami untuk terus berjalan. Diawali dengan you-call-it jembatan titian kayu yang membentang di sungai kecil, kami berjalan menyusuri pinggiran tebing selebar tak lebih dari setengah meter dengan tebing tanah licin penuh tonjolan akar pohon di sebelah kiri dan karang-karang tajam Segara Anakan di sisi lain.

Segara Anakan, serpihan surga itu ...
               Perjuangan berlanjut hingga setidaknya 30 menit kemudian ketika akhirnya kami sampai di ujung jalan [itu..sebulan kemarin...]. Pemandangan Segara Anakan dari ketinggian lengkap dengan celah ombaknya yang terkenal itu [untuk sementara] membuat kami lupa betapa beratnya perjuangan kami sampai di titik ini. Tempat itu seperti .. muncul dari penggalan cerita dongeng. Beri aku cukup waktu, dan aku bisa membayangkan para bidadari itu sedang bercengkerama bersama ombak [untungnya ga ada cukup waktu untuk membayangkan itu]. 










OK, maka perjalanan selesai? O..belum..
                  Potongan perjuangan terakhir adalah menuruni tebing tanah licin sampai di bibir pantai. Cara pintar yang terpikir olehku saat itu adalah melempar sandal [yang sudah menemaniku tanpa mengeluh selama 3 jam terakhir] dulu, kemudian turun "nyeker" dengan perhitungan "grip" kaki telanjang akan lebih mantap. Asumsi yang secara mutlak terbukti salah setelah 3 detik dan 1 langkah kemudian. Dengan suksesnya kaki, yang aku pikir akan mencengkeram tanah dengan mesra itu, mengkhianatiku dan membawaku ke permukaan tanah basah. D*mn. Sakit? Iya.. Malu? Lebih dari itu. Akhirnya terlanjur basah mandi sekali, sisa tebing [perosotan] itu aku tempuh dengan ngesot. [Njr*t..masih ga habis pikir sampai sekarang, why on the earth I did that?!?!]

              Sudahlah, mari kita lupakan malu dan lumpur itu. Sambil berpura-pura lupa akan perjalanan pulang yang mau tidak mau harus mau kita tempuh lagi. Jalan yang sama, lumpur yang sama, lubang yang sama, tanjakan dan tebing yang sama. Sudahlah..
Saatnya menikmati salah satu serpihan surga yang dengan murah hati Dia "cipratkan" ke muka bumi. 






Gitu aja? Trus cerita pulangnya? 
:SIGH: Gini ya..kami pulang melalui jalan yang sama, lumpur yang sama, lubang yang sama, tanjakan dan tebing yang sama. Satu-satunya yang membedakan adalah kalikan lumpur dan kedalaman lubang itu dengan 2. Kalikan tingkat kelicinan itu dengan 2. Kalikan jumlah kami memeluk pohon, ranting, akar dan tanah dengan 2. Kalikan waktu yang kami butuhkan untuk menempuh dan membayar serpihan surga itu dengan 2. 

Percayalah, aku belum pernah sesenang itu mendengar suara ombak dan merasakan pasir di kakiku, lebih dari 5 jam setelahnya.


** Yang berjanji hanya akan ke Sempu lagi kalau ada ajakan camping dan ga pake hujan.
*** Yang merasa mengkhianati keperawanan Sempu dengan menulis ini. Trust me guys, aku berbuat semaksimal mungkin agar orang tidak tertarik.

0 Responses

Thanks for leaving comment..