Dear Little Sunshine..


Dear kau, gadis kecil berkacamata...


Percayalah, bukan gombal kalau aku bilang kamu  adalah salah satu orang yang moment pertama bertemu masih lekat dalam ingatanku hingga sekarang. Juga saat pertemuan kedua. Tapi hei, setelah aku pikir lagi, aku bahkan tak ingat bagaimana pertama kali bertemu cinta pertamaku. Jadi bolehlah kamu berbangga untuk itu.


Rambut berponi, kuncir ekor kuda. Kacamata warna keemasan, membingkai mata malu-malu ketika menanyakan jalan ke gedung berjendela banyak itu.
Juga pertemuan kedua kita. Beberapa hari setelah itu. Masih dengan gayamu yang sama saat kau kembali menghampiriku untuk bertanya tempat fotokopi terdekat.


Maafkan aku yang, kamu tahu, selalu sok tahu. Aku yang selalu menyesatkanmu, bahkan di dua pertemuan pertama kita. Dan tidak perlu kuatir, aku sudah lama memaafkanmu yang terlalu bebal untuk tetap bertanya padaku meskipun kamu tahu jawabanku selalu membuatmu memutar lebih jauh.


Dear kau, si gadis hitam manis...
Iya, aku tahu, kamu dulu yang pendiam dan pemalu. Jangan khawatir, aku tidak akan mengambil kredit dengan mengaku telah mengubahmu seperti sekarang. Toh, seperti selalu aku bilang, tingkat pendiam dan pemalu kita dulu sama kan? *siap dicincang*


Baiklah, kali ini ijinkan aku menulis hal yang mungkin selama ini belum pernah aku ucapkan. Tenang..tenang, aku tidak akan mengucap aku cinta padamu, karena untuk itu biarlah hanya aku dan Tuhan yang tahu.
Aku ingin bilang terima kasih, untuk pinjaman komputer di tahun-tahun awal kuliah. Terima kasih sudah bersedia mengerjakan laporan praktikum jauh sebelum jam pengumpulan tugas agar aku bisa bergantian memakai komputer setelahnya. Padahal kita semua tahu, betapa kamu tergila-gila memacu adrenalin bekerja mendekati deadline.
Untuk semua malam yang kita lalui dengan cerita hingga membuat kita enggan memejamkan mata. 
Untuk tawa yang kamu bagi. Tentang seprai dan sarung bantal setengah jadi itu misalnya.
Untuk telinga yang kamu pinjamkan, atas semua sampah hati yang dimuntahkan temanmu ini.


Satu dekade terlewat. Seperti selalu kita bilang, waktu cepat sekali berputar ya? 
Pernahkah terpikir olehmu saat itu, bahwa sekarang, sepuluh tahun kemudian, kita terkadang masih selalu mengenang masa itu sambil tertawa cekikikan?
Atau begini saja, bagaimana kalau sekarang kita bayangkan, dua atau tiga puluh tahun lagi kita akan mengenang cerita itu tak hanya berdua, tapi bersama anak dan cucu kita. 


Deal?


Dariku,
Seorang yang dalam diamnya memanggilmu "Little Sunshine"


*  Ditulis untuk mengikuti  hari ke-6

Ujung Jalan Itu



Kutemukan foto ini di sebuah kotak berdebu di sudut hatiku. Masih ingatkah kamu ujung jalan itu? Pasti tidak. Tak apa. Aku saja yang bercerita.


Di sebuah warung kecil di sudut jalan itu, bertahun lalu, kau tepati janji pertamamu padaku. Janji sambil lalu, bahwa suatu hari akan kita sempatkan mengunjunginya. Bukan kencan. Hanya janji antara dua mangkuk bakso dan sepasang es teh manis.


Ijinkan aku mengaku. Aku bahkan tidak ingat bagaimana rasa baksonya kala itu. Enak? Entahlah. Tapi aku masih ingat persis, kejutan kecilmu tatkala menjemputku dari tugas mengajarku siang itu. Bukannya mengantarku kembali pulang, kau arahkan motor ke arah berlawanan. "Makan dulu ya. Bakso di ujung jalan itu. Kan kapan hari aku janji.", penjelasan singkatmu menjawab keherananku. Ah, kalau saja kau tahu, meronanya aku di belakang waktu itu. Atau mungkin juga sebaiknya kamu tidak pernah tahu.


Tahun berlalu. Hidup berjalan. Kau. Aku. Dan mungkin juga ujung jalan itu.


Tapi kali ini biarkan aku yang berjanji. Kalau suatu hari nanti kamu tiba-tiba kangen bakso bening di ujung jalan itu, kamu tahu harus menghubungiku ke mana. Oh, maaf, aku tidak berjanji akan menemanimu, tapi aku pasti akan memberimu arahan bagaimana menemukannya. 


Sampaikan saja salamku. Untuk penjual bakso di situ. Dan sepenggal masa lalu.


Dariku, 
yang jauh dari ujung jalan itu.


*  Ditulis untuk mengikuti  hari ke-5
**Besok ganti objek, mulai ga sehat otaknya.

Kau dan Kenangan



22.45
Dan jarum detik terus berdetak. Beberapa putaran lagi menuju Senin kurasa. Saat di mana aku seharusnya menutup mata dan memasuki tidurku.
Bukan satu hal yang mudah, ketika dalam terjagaku saja kau tak henti menarikan bayangmu di kepalaku. Apalagi katupan mataku.


Ya, kamu. Siapa lagi. Ah, atau haruskah ku sebut saja imagimu dalam kenanganku? Kenangan yang telah disunting oleh waktu.


Tak banyak memang. Karena tak banyak yang sudah kita lewatkan bersama. Tepatnya, tak banyak masa  yang kau ijinkan untuk kulewatkan lebih banyak denganmu. Tapi tahukah kau, betapa lihai sang waktu merangkai cuplikan singkat kenangan itu menjadi menjadi tak sekadar masa lalu?


Pagi yang diawali dengan sembur gelakku melihatmu minum kopi tubruk beserta ampasnya, "Memang kenapa? Enak kok..", pembelaanmu menjawab gelengan kepala tidak percayaku.


Melewati siang di atas motor menembus jajaran jingga dedeaunan hutan karet yang sedang menyambut kemarau, "Seperti musim gugur ya", ucapku. "Bikin kotor", balasmu.


Atau tatkala senja, saat kita menatap bulatan surya di sela pohon kelapa. "Cantik, seperti di kartu pos.", ucapmu kala itu yang kujawab doa dalam diamku, "Waktu, bisakah kau turunkan kami di sini?".


Juga malam-malam, bersama bercangkir teh, setumpuk buku dan percakapan kita di sudut ruang itu.


Hei, tak perlu kau mengerutkan keningmu mengingat itu. Aku menyimpan semua kenangan itu untukmu. Kau hanya perlu memintaku memutarkannya, hanya untukmu. Di sebuah sore di ruang baca kita kelak mungkin? Sambil menatap surya yang mulai memudar, berteman secangkir teh untukku dan kopi tubrukmu.


Dariku,
Yang bersama waktu sedang menyunting masa lalu


*  Ditulis untuk mengikuti # hari ke-3