Rinjani Tale: Mengadu Nyawa di Titian Surga

 “Enggak bisa Na..”
“Bisa. Harus bisa. Pelan-pelan aja.”
Ia benamkan tongkat ke sebelah kiri dan dilangkahkan kaki kanan dengan ragu-ragu ke tanah kering penuh kerikil di depannya. Sontak, puluhan kerikil bercampur pasir longsor menggelincir ke jurang menganga di sisi kirinya. Kami terdiam. Tatapan ngeri saya bersirobok dengan wajahnya yang pucat pasi.

Segara Anak, 6:00 AM
Suara lirih motor lensa dan shutter camera rupanya terlalu keras untuk kedamaian pagi di Segara Anak. Suara familier itu mampu menyadarkan saya, yang biasanya susah terbangun bahkan oleh gedoran alarm, dari tidur yang tidak terlalu nyenyak. Pukul 6 saat itu, pagi sudah jauh dari dini. Meskipun begitu, Segara Anak masih sepenuhnya di bawah bayang-bayang anggun sang dewi. Semburat sinar matahari, yang belum sempurna melewati puncak Rinjani, menyapa pucuk-pucuk cemara di atas perkemahan kami.
Terhuyung saya keluar dari tenda diiringi sapaan dari Dhana yang rupanya sudah terlebih dahulu terbangun untuk mengabadikan pagi di Segara Anak. Tak berapa lama kemudian, satu demi satu penghuni tenda yang lain menyusul keluar dari peraduan. Memanfaatkan waktu yang hanya sesaat sebelum sarapan terhidang, kami bernarsis ria menghadap kamera berlatar puncak Rinjani dan Segara Anak.
Tugas kami cukup berat hari itu. Kami yang mengambil paket 4H3M mau tidak mau dan bisa tidak bisa harus menyelesaikan trek dan sampai di desa Senaru hari itu juga. Yang bearti kami harus menempuh rute Segara Anak – Plawangan Senaru – Pos III – Pos II – Pos I – Gerbang Rinjani – Senaru dalam waktu 12 jam. Yap, hari yang panjang bahkan ketika belum dimulai.
Setelah menyelesaikan sarapan sekadarnya, kami mulai membereskan tenda dan segala perlengkapan lain untuk perjalanan terakhir. Tepat pukul 8 pagi, kami berpamitan pada Segara Anak. Seperti yang dijelaskan Pak Sailih hari sebelumnya, trek mendaki ke Plawangan Senaru terletak tepat di belakan perkemahan kami. Rute di awal berupa trek tanah basah di antara semak belukar yang cukup tinggi. Menurut Rodi, semak-semak masih cukup tinggi karena baru sebulan Rinjani dibuka untuk pendakian setelah ditutup selama musim penghujan dari Januari sampai akhir Maret. Iya, pendakian ini saya lakukan di akhir April. Ndak usah protes mengapa seri terakhir cerita pendakian baru saya selesaikan sekarang.

Di awal, trek masih cukup mudah, didukung cuaca yang masih sejuk dan sinar matahari yang masih terhalang pepohonan di atas kami. Setengah jam berjalan, trek mulai menampakkan taringnya. Beberapa batu yang membentuk anak-anak tangga yang cukup terjal mulai menghadang di depan. no big deal. Setelah tiga hari ditempa rute yang luar biasa, rute di depan saya kali ini hanya menjadi semacam playground. Kami hanya perlu sesekali berhenti, mengatur nafas, minum air, pijit-pijit kaki yang kram, dan banyak lagi yang lain (ya sama aja boong ceu..)
Belum satu jam mendaki saya seperti melihat puncak bukit (karena tampaknya yang paling tinggi dari tempat saya berdiri saat itu).
“Rod, itu Plawangan Senaru?” tanya saya pada Rodi yang setia menemani kami.
“Bukan, itu batu ceper. Nanti kita istirahat di sana. Ada batu besar, bisa tiduran di situ.”
“Dari situ, Plawangan Senarunya udah dekat?” sambut saya antusias.
“Enggak, kan kita baru seperempat jalan ke Plawangan.”
Oh OK, itu baru seperempat jalan ke Plawangan. Sementara Plawangan sendiri adalah sepertiga total rute kami hari itu. Yeah, that cold blood kid. *banting tongkat*

Benar saja, tak lama membentang di hadapan saya sebidang tanah datar dengan beberapa tebaran batu-batu besar. Saya dan Stevan yang sampai pertama segera saja mengakuisisi beberapa batu untuk meluruskan punggung sekaligus berjemur. Batu ceper ini sekaligus juga tempat yang cocok untuk memuaskan hasrat foto-foto narsis karena pemandangan ke arah danau. Ditambah lagi, karena kami berangkat relatif cukup pagi, pemandangan ke arah danau masih belum terhalang kabut.
Dari batu ceper, tampak tujuan siang itu menjulang di atas kami. Di beberapa tempat, tampak bekas-bekas jalur longsor memotong trek. Menurut guide kami, beberapa longsoran baru saja terjadi selama musim hujan tak lama berselang. Setelah istirahat hamper 30 menit sembari menunggu para pria sampai di batu ceper, kami melanjutkan pendakian.
Selepas dari batu ceper, trek berubah menjadi tanah kering berbatu dengan kemiringan rata-rata 20 derajat di jalur datar dan nyaris tegak lurus di banyak bagian. Di beberapa bagian dengan kemiringan ekstrim, tersedia pegangan tangan dari besi.
Di jalur-jalur longsor yang terlihat dari batu ceper, kami harus ekstra hati-hati. Tebaran bebatuan mulai dari pasir, kerikil hingga batu seukuran kepala manusia ditambah struktur tanah labil miring ke jurang membuat kami harus berpikir sebelum melangkah. Longsor juga tidak hanya menyeret bebatuan, beberapa pohon di jalur longsor juga tampak tercerabut bersama akarnya dari tanah dan masih melintang di jalur pendakian. Maka sekali dua, kami harus memanjat batang pohon dengan diameter dua dekapan manusia tersebut.

Untuk saya, dan teman-teman lain yang kebetulan memakai sepatu/sepatu sandal trekking, kondisi tanah kering berpasir yang sedikit miring ke kiri tidak terlalu menjadi masalah. Tapi tidak untuk Stevan. Meskipun berbekal tongkat berjalan yang ditemukan di tengah jalan, sepatu kets yang dia pakai memang bukan alas kaki yang mumpuni di trek Rinjani. Beberapa kali saya lihat dia yang tampak kepayahan menentukan langkah sambil sesekali meraih semak di pinggir trek untuk pegangan.
“Na, yang ini lewat mana?”, tanya Stevan ke saya yang berada tiga meter di depannya sebelum ia melintas di trek selebar setengah meter itu.
“Gue tadi kiri si” jawab saya sambil menunjuk sisi yang paling dekat dengan jurang. “Soale klo di sebelah kanan, jauh lebih miring”
“Yang bener aja, kalau di situ trus kepleset langsung masuk jurang dong!!”
”Ya elu lewat kanan deh klo gitu”
Malang baginya, tidak ada semak yang bisa digunakan untuk pegangan. Diraihnya rumput kecil yang tumbuh di tebing itu. Putus. Dia menyumpah, saya ketawa. Stress.
“Pakai tumpuan tongkat lu itu aja…”
 “Enggak bisa Na..”
“Bisa. Harus bisa. Pelan-pelan aja.”
Ia benamkan tongkat ke sebelah kiri dan dilangkahkan kaki kanan dengan ragu-ragu ke tanah kering penuh kerikil di depannya. Sontak, puluhan kerikil bercampur pasir longsor menggelincir ke jurang menganga di sisi kirinya. Kami terdiam. Tatapan ngeri saya bersirobok dengan wajahnya yang pucat pasi.
Setelah menenangkan diri beberapa saat, ia kembali mulai melangkah. Kali ini tanpa tongkat. Setengah merayap tepatnya. Di lain kesempatan, saya mungkin sudah terpingkal-pingkal tapi saat itu saya hanya bisa berharap tidak terjadi apa-apa. Setelah berjibaku beberapa saat, akhirnya dia berhasil melintasi jalur tersebut.
Mendekati Plawangan, trek makin berat. Tantangan terakhir sebelum menapak Plawangan adalah ketika saya mendapati trek tiba-tiba berhenti di sebuah tebing batu. Saya yakin saya mengambil jalur yang benar, karena itu adalah satu-satunya jalur. Dari tempat saya berdiri, saya bahkan bisa mendengar suara Galeh dan para guide yang sudah tiba di Plawangan terlebih dahulu. Masalahnya, tidak terlihat satu pun jalan di depan saya.
“Woy guys, ini jalannya lewat mana?” teriak saya pada mereka.
“Kamu di mana?”
“Ini menthok di tebing.”
“Ya itu, bener. Panjat aja.”
And I was like; What?! Hey I didn’t sign up for this!  Manjat tebing setinggi 3 meter dengan kemiringan sekitar 80 derajat? *keretekin jari*
Setelah melemparkan tongkat ke atas (trust me, tongkat itu ga guna di sini), saya memulai debut pertama saya dalam urusan panjat tebing. Tidak susah ternyata. Setidaknya tebing itu tidak sesusah yang saya pikir sebelumnya. Ada beberapa pijakan kaki dan tangan untuk menarik tubuh ke atas. Lumayan bikin lengan pegal, tapi tidak susah.
Beberapa meter dari tebing tadi, sampailah saya ke satu dataran cukup luas yang lebih dikenal dengan sebutan Plawanga Senaru. Berbeda dengan Plawangan Sembalun yang cukup luas, Plawangan di sisi Senaru ini relative lebih kecil dan lebih berkontur, sehingga menyulitkan pendirian tenda. Kelebihan Plawangan Senaru ini adalah pemandangannya yang iconic. Siapa yang tidak tergoda menikmati pemandangan seperti ini dari dalam tenda?

Tidak berapa lama kami habiskan di Plawangan Senaru. Matahari yang mulai tergelincir memaksa kami segera beranjak menuruni punggung gunung menuju pos III. Jalur dari Plawangan menuju pos III berupa kombinasi trek menurun yang penuh dengan bebatuan dan pasir kering. Tidak ada pepohonan maupun perdu di sepanjang trek. Yang ada hanyalah ilalang setinggi lutut. Trek yang sepenuhnya menurun, tanpa jalan datar maupun tanjakan membuat perjalanan kami laksana fast forward. Tanpa berhenti istirahat. Satu-satunya kesempatan kami berhenti adalah ketika harus berpikir, jalan mana yang harus dilalui. Mengapa? Jika trek menuju Plawangan dari Segara, kanan tebing kiri jurang, trek menuju pos III kanan kiri jurang. Salah langkah sedikit saja, makin cepatlah kami sampai di bawah.
Berbeda dengan trek Sembalun yang didominasi sabana sepanjang mata memandang, trek Senaru ini didominasi hutan hujan tropis. Iya, selepas pos III, perjalanan kami tidak lagi di bawah terik matahari, melainkan rimbun pepohonan. Waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang ketika kami meninggalkan pos III selepas mengisi perut. Baru beberapa langkah, tetes-tetes air mulai menerobos rimbunnya kanopi di atas kami. Akhirnya, untuk pertama kalinya sepanjang perjalanan, jas hujan yang saya bawa terpakai. Hujan on and off yang mengguyur punggung Rinjani menemani kami menempuh perjalanan dari pos III hingga pos I. Kami cukup beruntung, karena selama 4 hari pendakian, baru bertemu hujan di hari terakhir. Karena jujur, saya bukan orang yang menikmati perjalanan dalam hujan. Berat ceu.
Tidak banyak yang bisa dinikmati sepanjang perjalanan ke Senaru. Di samping rungkutnya kanopi, langit sudah menggelap jauh sebelum kami mencapai pos I. Dari pos II, praktis pandangan mata saya tergantung sepenuhnya pada head lamp. Setelah sebelumnya terpecah menjadi beberapa group, mulai dari pos II, kami berenam berusaha sebisa mungkin tidak terpisah satu sama lain. Meskipun trek sangat jelas dan tanpa percabangan, sendirian di tengah hutan di saat gelap bukan hal yang menarik untuk dilakukan.
Sekitar pukul 7 malam, masih dengan ditemani rintik gerimis, kami mencapai gerbang Taman Nasional Rinjani di desa Senaru. Jangan girang dulu, karena untuk mencapai desa masih harus menempuh beberapa kilometer lagi. Meskipun begitu, gerbang ini cukup untuk melepas dahaga akan peradaban, atau untuk teman-teman saya, melepas dahaga akan rokok, karena di sini ada warung kecil yang menjual makanan, minuman dan tentu saja rokok.
Trek dari gerbang Taman Nasional menuju desa Renaru melewati kebun penduduk. Jadi jangan kaget kalau sesekali terdengar lolongan anjing, atau suara mendesis. Awalnya, saya pikir suara mendesis yang tepat di sebelah trek adalah suara ular. Ternyata pipa air bocor. K
Di Senaru, semua pendaki diwajibkan untuk melaporkan diri di kantor Taman Nasional untuk memastikan bahwa kami sudah benar-benar turun dan tidak hilang di atas. Waktu itu saya lupa apakah ada di antara kami yang melaporkan diri, karena begitu masuk ke kantor, yang ada kami sibuk berburu souvenir.
Tiga jam kemudian, menjelang tengah malam, setelah diskusi panjang di mana kami akan tidur malam itu, akhirnya kami kembali menginjakkan kaki di Mataram untuk bersiap ke Gili Trawangan keesokan harinya. Mengapa kami kembali ke Mataram malam itu dan bukannya menginap di Bangsal? Karena satu dan banyak pertimbangan yang menjadi alas an diskusi panjang tadi. Tapi kalau saya pribadi, didukung food poisoning ringan, jelas lebih memilih tempat tidur yang nyaman malam itu.
Mengakhiri cerita pendakian Taman Nasional Gunung Rinjani, jalur Sembalun-Senaru 4H3M, untuk siapa aja yang membaca postingan ini sampai akhir dan ingin selembar kartu pos Rinjani, boleh lho DM/YM/email saya alamatnya. Total ada 4 lembar kartu pos untuk 4 orang yang paling cepat. Kartu pos tidak akan saya kirim dari Lombok for sure, tapi dari Singapore. So, kapan lagi punya kartu pos Rinjani dengan perangko Singapore?

***THE END***

*picture from Dhana's camera. 
(Dua belas jam perjalanan dan cuma nemu 4 foto dari 4 camera yang bukan foto narsis.)