Merawat Anak: Orangtua atau Suami?

Disclaimer: Jangan tanya "Kapan?"

Tahun belum berganti dari 2013, saat berturutan saya mendengar kabar gembira (atau tidak) teman dekat saya hamil. Atau harus saya sebut teman-teman dekat saya hamil. Sekadar catatan kaki, yang malas saya letakkan di kaki artikel, saya tidak punya banyak teman dekat perempuan. OK, saya tidak punya banyak teman dekat. Damn, fine. Saya tidak punya banyak teman. Puas?

Sampai di mana kita tadi? Oh ya, teman dekat perempuan. Definisi dekat di sini adalah mereka yang ada dalam daftar kontak personal harian saya. Saya tahu di mana dan apa aktifitas mereka sehari-hari, secara personal. Bukan dari social media. Dalam hitungan saya (maaf untuk yang tidak kehitung - I stand corrected), saya hanya punya 8 teman dekat perempuan. Dan dengan berat hati, atas nama dogma sosial masyarakat yang (katanya) menjunjung tinggi adat ketimuran (sense my sarcasm), saya harus mengeluarkan 2 teman saya dari daftar karena mereka belum menikah. Jadilah, hanya 6 teman dekat saya yang berjenis kelamin perempuan dan sudah menikah. Empat di antaranya hamil. Enam puluh enam koma enam tujuh persen! By end of June 2014, tiga dari mereka sudah melahirkan putra-putri yang lucu (?). Kloter keempat diperkirakan sekitar Oktober. 

OK, lets move on dari berita kehamilan.

Saya tidak ingin membahas soal kehamilannya, karena ya buat apa juga. Toh ada yang bertanggungjawab ini. Saya lebih tertarik membahas prosesnya. Bukan proses pembuatannya, para pembaca dengan otak nakal... Tapi proses menjadi seorang (atau dua orang) disebut orangtua.

Beberapa tahun lalu, saya dan salah satu teman saya (termasuk dalam kelompok hamil di atas) mencela pilihan teman saya yang lain (cowok) untuk memulangkan istrinya ke rumah orangtua istri ketika hamil. Dengan bercanda tentu saja. Kami bilang, "Gitu deh ya jadi laki-laki. Habis menghamili aja langsung dibalikin ke ortu". Setahun setelah itu, teman saya terpaksa menelan omongan sendiri dengan meminta suaminya memulangkan dia ke rumah orangtuanya ketika hamil dengan berbagai pertimbangan. Well, now I'm not sure anymore if it was just kidding or a curse.

Pilihan untuk hamil, melahirkan, dan merawat anak yang baru lahir di rumah orangtua seringnya menimbulkan konsekuensi lain. Salah satunya adalah suami yang tidak terus-menerus bisa mendampingi karena harus kerja di kota/pulau/negara yang berbeda.

Another catatan kaki, saya belum menikah, belum berniat hamil, dan masih freak out dengan kehadiran anak kecil. Tapi fenomena di lingkungan saya membuat saya bertanya, ketika hamil, melahirkan hingga merawat anak baru lahir, mending mana, tinggal dengan orangtua dan jauh dari suami? Atau tinggal dengan suami dan jauh dari orangtua?

Sebuah survey hitam putih saya lakukan kepada 4 orang teman saya. Empat orang istri dan ibu luar biasa. Survey hitam putih di sini maksudnya harus milih di antara 2 itu, tanpa ada pilihan lain.

Satu dari mereka memilih tinggal dengan suami dan jauh dari orang tua. Alasannya, agar sang Ayah (pemegang setengah saham) juga ikut bertanggungjawab dan tidak hanya tahu 'bikin'nya saja (tidak diedit - red). Sehingga kedua orangtua di sini mau tidak mau harus bisa belajar secara mandiri tanpa mengharap banyak bantuan dari orangtua mereka.

Tiga dari mereka memilih tinggal dengan orangtua walaupun bearti harus jauh dari suami. Pertimbangannya beragam. Tapi garis besarnya adalah minimnya pengalaman mereka dalam mengurus anak sehingga jauh lebih baik kalau ada orang yang lebih kompeten dalam membantu mereka setidaknya sampai beberapa bulan pertama sang anak.

Saya, dengan segala keterbatasan, memahami pilihan dan pertimbangan mereka. Baby doesn't come with manual book. Apalagi untuk para pasangan muda yang menantikan anak pertama, it's completely new experience, new ride, whole learning progress upside down. Well, I don't even know how to properly carry the baby. Eh, sorry.. itu cuma gue ya?

Dan saya take my hat off untuk teman saya yang memilih menjalaninya berdua saja dengan suami dengan segala usaha, tekad dan niat untuk belajar. Doa saya untuk mereka semoga anaknya baik-baik saja.

Now, if you allow me, let me take my own vote. Jika saya dihadapkan pada pilihan tersebut blindly, tanpa komplikasi, maka saya akan memilih tinggal dengan suami meskipun jauh dari orangtua. 

Bukan. Saya tidak akan memberi kuliah tentang saya ingin belajar bertanggung jawab, bahwa saya ingin mandiri dan sebagainya. Jauh dari bayangan saya saat ini. Jauh banget. Lantas apa alasan saya?

Seorang pernah membagi mimpinya akan masa depan pada saya. Mimpi yang sangat sederhana. Mimpi akan sebuah keluarga utuh, berusaha sebaik mungkin menjadi suami dan ayah yang baik (apapun hasilnya) termasuk membesarkan anak-anak dengan tangannya sendiri.

Saya hanya tidak ingin menjadi seorang yang memupus mimpi itu dengan menjauhkan seorang ayah dari keluarganya.


***

"Aku Mencintaimu. Itu Yang Kamu Perlu Tahu."

"Za.."
"Hmm..", sahutku malas.
"Can you focus to me dan tinggalin itu monitor sebentar?" suara perempuan dalam kepalaku mulai meminta perhatian.
Aku alihkan perhatianku dari deretan code C# yang sejujurnya mulai membuatku sakit kepala dan membiarkan Zi mengambil alih tubuh kami, “I’m yours, Your Majesty”
“Aku perlu bicara”, ujarnya sambil berjalan menuju sofa bed di ujung kamar kami, spot favoritnya.
“Like you don’t do that all the time, do you?”
“It’s not very good time for your little sarcasm, my Dearest Common Sense”, bibir itu merengut ketika kurasakan hentakan keras tubuh kami menghantam empuknya sofa bed. Aroma vanilla dari lilin yang terbakar di sudut meja menyeruak di penciumanku ketika Zi mengambil nafas panjang, “Kenapa?”
“Karena kamu mencintainya”
“Maksudmu?”
“Jawaban dari pertanyaanmu tadi. Kenapa? Karena kamu mencintainya”
“Itu jawabanmu? Cinta? Yang selalu kau sebut sebagai konsep absurd hasil kerja dari sekumpulan hormon? Clearly, it was not an answer for my question”
"Pertanyaanmu mungkin berbeda, tapi jawabanku akan sampai di sana juga. Ini aku Zi yang bicara. Logikamu. Aku tahu setiap jengkal isi kepalamu"
Zi menggeretakkan geraham persis saat gelombang besar emosi telak menghantam kesadaranku.
"Baiklah, kalau bisa membuatmu merasa lebih lega. Apa persisnya yang ingin kau tanyakan?"
"Kamu sendiri yang pernah bilang Za, betapa berdarahnya membangun hati dari reruntuhan. Kepingan. Demi. Kepingan", luapan kata penuh emosi itu terjeda sejenak ketika Zi mengambil napas. "Kita pernah ada di sana. Kita berhasil merekonstruksi hati itu lagi. Hati yang tidak pernah utuh lagi, hati yang tidak pernah lagi sama. Tapi setidaknya hati itu tidak lagi kepingan"
Aku rasakan tekanan di saraf motorik tangan saat Zi mencengkeram kencang sandaran sofa. "Dan sekarang, kamu, logikaku, dengan sukarela, menyerahkan hati itu ke seorang yang sama, yang pernah menghancurkannya 10 tahun yang lalu. I demand an answer, why?"
“Sebelum aku kembali ke jawabanku, aku ingin bertanya padamu. Taruhlah kita melakukan hal yang berbeda malam itu. Dengan dalih menyelamatkan hati dan hidup, we just walked away. Pretending that nothing happened. Leave him with his life and continue ours. Pertanyaanku, kamu bisa melanjutkan hidupmu seperti itu? Continue live your happy, free, peaceful, boring life?”
Zi terdiam.
“Biar aku yang jawab. Enggak. Dan aku tidak bisa terus-terusan melanjutkan hidup ini sendirian sementara kamu sama sekali tidak beranjak dari tempat kamu sekarang.”
Aku menjeda penjelasanku sementara Zi memainkan gelas kaca di tangannya. Dalam sekali tenggak, es kopi yang aku buat untuk menemaniku menekuri C# tandas.
“Za, kamu tahu persis apa yang kamu lakukan kan? Kamu sedang mempertaruhkan hati”
“Nona, bahkan hanya dengan 2/3 akal sehat, thanks for those dopamine and oxytocin, aku tahu persis apa yang aku lakukan. Kamu ingat kamu pernah bilang, pada akhirnya kita hanya perlu menemukan seorang yang kembali membuat kita percaya. Kamu benar, aku memang sedang mempertaruhkan hati, sekali lagi. Pada seorang yang pernah dan masih kamu cinta. Pada orang yang sama, yang pernah dan masih aku percaya”
“Kamu ingat buku berdebu yang teronggok di sudut meja kehidupanmu? Buku yang berdebu bukan karena terlupakan, namun hanya karena ketidaksanggupanmu untuk menjamahnya selama 10 tahun ini. Sudah waktunya untuk memberi kesempatan pada kalian berdua untuk menulisinya lagi”, aku melanjutkan sementara manik mata Zi menekuri bongkahan es batu yang mulai mencair di hangatnya udara malam.
"How if we ruin up everything this time? How if kita mempertaruhkan hati pada orang yang salah?"
"Aku balik pertanyaanmu. How if dia mempercayakan hidupnya pada orang yang salah? It takes two to tango, Dear. Cinta itu kata kerja dan relationship adalah hasil kerja dua pihak."
Lama Zi terdiam. Hanya alunan pelan lagu All of Me yang diputar di radio, untuk kelima kalinya hari ini, memenuhi udara kamar. 
“Ngomong-ngomong," ujarku memecah keheningan, "do you ever wonder kenapa hati itu tidak pernah utuh lagi seperti kamu bilang? Karena kamu tidak pernah berhasil mengambil semua kepingan itu darinya.”
Gelak tertahan Zi menggema di kamar kecil kami. "Kamu dan sok tahumu itu"
"Now Your Grace, boleh saya ambil alih lagi isi kepala? Just in case kamu lupa, minggu depan kita ada ujian. Well, I know it suck, but life is not just about those chemical reaction things you know. Kadang juga tentang KPI kantor. So, can I?"
Perlahan, aku merasakan keenam indraku saat kesadaranku mulai mengambil alih badan kami.
"Hey Zi," ucapku sebelum Zi sepenuhnya menghilang, "do me a favor, could you? Kalau kalian ketemu lagi, kiss him for me please. You two are the weirdest couple I ever know, you know?"
Sensasi familiar menjalar di tulang belakangku. Butterfly in my spine, Zi menyebutnya.

****