Kinabalu: It's Not [Just] About Low's Peak

Kalau ada pemilihan kalimat favorit hari itu, maka dengan suara bulat kalimat “How many of you?” akan terpilih menjadi Quote of The Day. Disusul dengan “Sendiri saja?” sebagai runner up. Bedanya, kalimat tanya kedua akan ditanyakan pada saya dengan nada penuh keheranan. Sebetulnya ini bukan kali pertama saya melakukan perjalanan sendiri. Tapi untuk aktifitas yang biasanya dilakukan berkelompok seperti naik gunung, rasanya memang wajar ketika semua orang menanyakan kesoliteran saya di Kinabalu Park Headquarter pagi itu.
Saya yang penuh antusiasme jelas tidak terlalu perduli. Untuk orang yang dibesarkan di kaki gunung, saya sebenarnya bukan pecinta kegiatan naik gunung. Bahkan saya belum pernah naik gunung sebelumnya. Buat saya Muria, Bromo dan Sikunir itu tidak terhitung naik gunung. Maka gunung tertinggi kedua di Asia Tenggara setelah Cartenz Pyramid, Jayawijaya ini akan menjadi catatan pertama saya.

Persiapan: Fisik, Mental dan Duit
Perjalanan ke Low’s Peak Kinabalu ini saya mulai jauh sebelum tanggal 17 Mei 2012, ketika saya mengirim email ke perwakilan Sutera Sanctuary Lodge di Singapore. Atau mungkin juga jauh sebelum itu.
Setelah semua urusan administrasi dengan SSL selesai di akhir October 2011 lalu, tugas saya berikutnya adalah untuk mempersiapkan fisik dan memastikan SGD 205 yang baru saja saya bayarkan tidak sia-sia. Dari banyak sumber di internet, pendakian di Kinabalu meskipun jauh lebih ringan dari pada gunung lain karena kita tidak perlu membawa logistic dari bawah, tetap saja tidak bisa dianggap ringan. Tahap pertama pendakian merupakan tanjakan (alami maupun buatan) tidak terputus sepanjang 6km dengan tingkat kemiringan antara 30 sampai 60 derajat. Hitung cepat, kalau sebuah tangga gedung sepanjang 10 meter, maka itu sama dengan gedung 600 lantai. Atau sama saja dengan 10 kali One Raffles Place, gedung tertinggi di Singapore yang mempunyai 63 lantai.
Pada banyak referensi yang saya baca, latihan paling bagus, murah dan efektif untuk mempersiapkan diri naik gunung adalah naik tangga. OK, dan itulah yang saya lakukan. Tapi meskipun saya tinggal di apartement 13 lantai, latihan itu tidak menjadi lebih simple. Saya yang aslinya memang cepat bosan (dan susah bangun pagi), hanya bertahan 3 hari menjalani rutinitas pagi itu. Saya menyerah. Akhirnya saya memutuskan untuk bertahan dengan latihan biasa saya di gym. Hanya saja beberapa minggu terakhir saya fokuskan latihan beban di lower body.
Apa latihan itu harus? Saya bilang si tidak. Ada banyak orang yang saya temui kemarin dan banyak dari mereka yang tidak secara khusus menyiapkan diri untuk pendakian itu. And they made it, at least to the Laban Rata. Biasanya, yang membedakan fitness level tiap-tiap orang hanya waktu yang dibutuhkan untuk melahap 6 km dan recovery time. Jadi kalau Anda sehari-hari aktif secara fisik, tidak perlu special training. Tapi kalau dalam keseharian Anda lebih banyak di belakang meja, seperti saya, usahakan setidaknya 1 atau 2 minggu sebelum hari H untuk sedikit melatih otot paha dan betis agar tidak terlalu kaget.
Kalau mental si, not much. It’s a fun hike, and it gonna be fun. Walaupun jujur, sebelum naik saya deg-degan. Kuatir kalau ternyata belum apa-apa saya sudah menyerah, atau ternyata fisik saya tidak sanggup.
Ehm, selain fisik dan mental, sebetulnya persiapan paling utama adalah uang. Kalau kita menggunakan jasa travel agensi, jelas urusan pembayaran sudah kita selesaikan sebelum pendakian. Tapi untuk independen traveler macam saya, pastikan membawa cukup uang tunai dari kota. Berikut adalah senarai kuitansi yang harus saya bayar saat registrasi.
Park entry fee                             : MYR 3,00
Climbing Permit and Insurance    : MYR 107,00
Guide                                           : MYR 128,00
Return Transport HQ-Timpohon  : MYR 67,00
Selain guide fee, semua list di atas adalah pengeluaran personal. Jadi seberapa pun besar group, masing-masing orang harus membayar jumlah yang sama. Sedangkan untuk guide, seorang guide bisa membawa 1-4 pendaki. Jadi misal satu kelompok berempat, ya bearti masing-masing hanya membayar 32 ringgit saja untuk guide.
Entry fee 3 ringgit di atas sebetulnya Malaysian rate. Sedangkan foreigner rate adalah MYR 15. Tapi berhubung kita dan mereka secara fisik tidak banyak beda maka just set your smile and shut your mouth, dan mereka akan membiarkan kita membayar local rate tanpa banyak bertanya.
Hitung-hitung total kerusakan rekening untuk pendakian ini adalah MYR 345 dan SGD 205, exclude air fare and land transport dari dan ke Kinabalu Park HQ.

Six Kilometers, Seven Shelter Huts, and Thousand Steps
Karena saya melakukan pendakian ini atas arrangement saya sendiri tanpa travel agent, yang pertama kali saya lakukan sesampainya di HQ adalah registrasi di resepsionis Sutera Sanctuary Lodge. Iya, tempat saya memelas semalam sebelumnya (untung saja petugas yang jaga sudah ganti - baca di sini). Setelah mendapatkan formulir registrasi dari SSL, saya menuju ke bangunan sebelahnya untuk mendaftarkan pendakian di ranger office. Setelah menyerahkan formulir tadi dan membayar climbing permit dan asuransi, saya diarahkan ke meja pendaftaran guide. Petugas di sana akan mengatur siapa dan berapa guide yang akan menemani selama pendakian. Keberadaan guide di sini hukumnya wajib. Mereka bertanggung jawab akan keselamatan dan kelakuan tamu yang ditemaninya nanti.
Karena saya hanya sendiri, tentu saja mereka hanya menugaskan satu guide untuk saya (ya kali gitu dikasi banyak, kan sapa tau saya pingsan di jalan, susah ngegotongnya klo cuma satu orang).  Setelah itu saya kembali ke meja ranger untuk menerima kalung name tag yang wajib saya pakai selama pendakian. Bersama guide saya, saya mendaftar untuk shuttle bus transport dari dan ke Timpohon gate, gerbang dimulainya pendakian.
Saya memulai pendakian beberapa menit sebelum pukul 9 pagi. Karena rata-rata pendakian normal memakan waktu 5-6 jam, maka tiap-tiap kami dibekali dengan makan siang sederhana. Enam potong sandwich, 2 butir telur rebus, 2 buah pisang kecil, sebutir apel, dan sebotol air minum menjadi bekal saya hari itu. Bekal sekaligus beban saya selain 3 kg ransel yang berisi jaket, toiletris dan pakaian kering. Satu saran saya, minta tolong ke guide untuk menyewakan tongkat berjalan. Trust me, 10 ringgit tambahan itu akan membuat perjalanan 6 km nantinya jauh lebih mudah.
Di rute pendakian yang kira-kira terdiri dari 88% tanjakan, 4% turunan, dan 8% trek datar ini akan melewati 7 shelter. Di shelter-shelter ini disediakan toilet dan air bersih (untreated water tapi bersih). Untuk standard Asia, jelas air yang tersedia di sana bisa diminum. Jadi jangan kuatir kehabisan air di perjalanan. Meskipun begitu, usahakan untuk tidak terpancing rasa haus dengan minum sebanyak-banyaknya air. Kombinasi panas dan lembab hutan hujan tropis membuat orang cepat berkeringat. Minum plain water dalam jumlah banyak dengan kondisi tubuh kekurangan garam, yang banyak keluar dari keringat, berpotensi untuk terjadi water poisoning. Lagi pula, apa enaknya si jalan dengan perut penuh air?
Pemandangan di kilometer-kilometer awal bisa dibilang biasa saja. Hutan. Kiri tebing, kanan jurang. Hanya sesekali hutan di atas kami “terbuka” dan menawarkan pemandangan  indah ke arah jajaran pegunungan di belakang saya. Sebagian besar tanjakan yang ada merupakan tanjakan yang sengaja dibuat. Jadi bukan alami ada. Tidak jarang bahkan trek yang saya lalui itu berupa tangga dari kayu besi yang memang banyak terdapat di Kalimantan. Tapi jangan kira itu menjadikannya mudah. Kalau biasanya tinggi anak tangga sekitar 10 cm, tinggi anak tangga di sini bisa melewati lutut saya. Di situlah guna tongkat berjalan tadi.
Perjalanan naik ini lebih banyak saya habiskan dengan diam. Sementara guide saya yang menguntit di belakang, saya dengar asyik mengobrol dengan rekan sesama guide atau porter yang dia temui di jalan. Apa yang saya rasakan saat itu? Iri. Sementara saya tersengal-sengal mencari nafas  dan menenangkan detak jantung sambil menatap putus asa deretan anak tangga di atas saya, mereka bisa dengan gampang ngobrol seolah-olah tanjakan-tanjakan terjal itu jalan bebas hambatan. Sial.
Lebih banyak lagi salut saya untuk porter logistic penginapan yang beberapa kali melewati saya . Mereka bertugas membawa persediaan logistic penginapan mulai dari bahan makanan, tabung gas, sampai kasur. Iya, kasur busa single yang terikat erat di punggung mereka. Porter-porter itu tidak hanya laki-laki, beberapa saya lihat ibu-ibu setengah baya. Guide dan porter di Kinabalu merupakan penduduk asli sekitar dari suku Kandazan-Dusun (suku mayoritas yang mendiami Sabah). Melihat itu saya jadi maklum dengan harga S$ 205 yang harus saya bayar untuk semalam menginap di kamar dorm berisi 4 orang itu. Ayolah, makanan dan kasur empuk di Laban Rata tidak dihasilkan oleh peri rumah kan?
Selepas Layang-Layang hut, pohon-pohon mulai berubah bentuk lebih rendah dengan daun-daun kecil. Ciri khas pohon dataran tinggi. Mulailah pameran pesona alam dimulai. 

Hmm..saya kurang yakin apakah informasi ini diberikan oleh semua guide. Beberapa meter dari Layang-Layang hut, tepatnya di pertigaan trek Timpohon dan Mesilau, cobalah keluar dari trek ke arah kanan. Di situ ada hamparan kebun raspberry. Saya rasa guide Anda tidak keberatan kalau Anda mengambil satu dua genggam raspberry di sana. 
Kembali ke trek. Mulai dari sini hampir semua trek tertutup batu-batu alam dalam ukuran besar. Pilih pijakan dengan hati-hati, terutama di hari hujan karena batu-batu tersebut bisa jadi sangat licin. Di beberapa titik,  tanjakan yang makin terjal ditambah udara yang makin tipis betul-betul menantang fisik saya. Beberapa kali saya memaksa Joseph, guide saya untuk berhenti. Inilah enaknya trekking di Kinabalu tanpa group besar. Selain bisa mengatur sendiri kecepatan jalan tanpa tergantung yang lain, juga karena dengan one-to-one guide, memastikan bahwa your guide will catch your back, literally.
Sekitar pukul satu siang akhirnya saya melihat bangunan kuning yang menghiasi banyak brosur-brosur pariwisata Sabah, penginapan Laban Rata. I made it, at least to Laban Rata, dalam waktu empat setengah jam. Not bad record, untuk orang minus pengalaman mendaki gunung.

 
Laban Rata


Kombinasi belum lapar, kantuk dan sesekali kabut di luar penginapan membuat saya menghabiskan sebagian besar siang itu di kamar. Ditambah lagi akses internet yang luar biasa cepat di ketinggian 3270 meter dpl, membuat saya makin betah bergelung di bawah selimut sambil browsing. What a waste (I know). Apalagi kamar yang seharusnya diisi 4 orang itu hanya terisi oleh saya sendiri sampai sekitar jam 5 sore, karena 3 teman sekamar saya baru sampai Laban Rata menjelang petang.
Penginapan di gunung Kinabalu ini terdiri dari beberapa bangunan yagn terpisah cukup jauh. Penempatan jatah penginapan tergantung dari ketersediaan kamar. Beruntung saya mendapatkan tempat di Laban Rata, karena di sana juga ruang makan berada. Saya membayangkan jika mendapat kamar di Gunting Lagadan yang sekitar 200 meter jauhnya dari Laban Rata. Dua ratus meter dengan 100% tanjakan. Saya yakin, selesai makan, balik ke kamar sudah lapar lagi.
By default, paket penginapan di sini sudah termasuk 5 kali makan.  Lunch package, buffet dinner (16.00-19.00), buffet supper breakfast (02.00-03.00), breakfast (06.00-10.30), dan buffet lunch (served at HQ). Jadi jangan kuatir kelaparan di atas sana. Tapi jangan lantas kalap dengan melimpah dan enaknya makanan yang tersajikan, terutama ketika supper breakfast sebelum pendakian ke summit. Kombinasi ketinggian, udara dingin, pasokan oksigen tipis, lelah, dan perut penuh akan sangat menyulitkan.
 
Summit attack: Welcome to Low’s Peak
Setelah memaksakan diri untuk tidur jam 7 malam, saya terbangun dering alarm jam 1.30 pagi. Di sinilah akan terlihat bedanya, apakah seorang melakukan cukup training sebelum mendaki atau tidak. Tanpa cukup latihan, otot-otot yang dipaksa bekerja keras sejauh 6 kilometer di hari sebelumnya mulai terasa kaku dan sakit.
Setelah makan sekadarnya demi menyiapkan gula darah, jam 2.30 pagi saya bersama Joe mulai bergerak ke sebelah Gunting Lagadan, tempat gerbang menuju puncak. Tepat pukul 3, hampir semua rombongan pendaki memulai perjalanan 2.7km menuju Low’s Peak.
Tidak banyak perbekalan yang perlu dibawa ke puncak. Checklist dari guide biasanya hanya headlamp, raincoat, glove, windbreaker (atau jacket yang sudah dipakai) dan air minum. Saya sendiri hanya menambah list itu dengan 1.5 bungkus coklat sisa pendakian hari sebelumnya.
Tujuh ratus meter trek awal berupa tangga kayu atau batu dengan pepohonan di kanan kiri, sedang sisanya berupa tebing batu granit tanpa penghalang apapun. Di trek granit tersedia tali yang bisa digunakan sebagai penanda trek dan bantuan naik mengingat curamnya medan. Di awal kilometer ke-2 ada Sayat-Sayat Hut, pos terakhir pendakian sebelum puncak. Di sini semua data pendaki akan dicatat, untuk memastikan semua orang yang bergerak naik telah benar-benar turun kembali sebelum tengah hari. Ini juga kesempatan terakhir untuk mengambil persediaan air minum dan menggunakan toilet.
Tidak banyak yang saya ingat dari 1.7 km setelahnya. Selain gelap dan tanjakan tanpa ujung. Sejauh ujung cahaya senter saya bisa capai, hanya ada batu, batu dan batu. Sisanya gelap. Joe yang sudah sejak kilometer awal putus asa dengan keseimbangan saya yang sangat jelek akhirnya memutuskan untuk menggandeng saya sepanjang jalan. Yah, jelas hal terakhir yang kami berdua inginkan adalah melihat saya terguling ke jurang berkilo-kilo di bawah.
Sekitar 2 jam saya mensugesti diri sendiri bahwa ini gunung pasti punya puncak yang menjadi akhir perjalanan. Karena hanya itu yang bisa memaksa saya terus menggerakkan kaki. Hingga akhirnya saya bisa melihat papan tanda Low’s Peak di ketinggian 4095 meter.
Tidak banyak yang bisa dilakukan di puncak selebar 2 meter persegi itu. Setelah mengambil foto secukupnya, Joe segera mengajak saya turun beberapa meter ke balik sebuah batu. Untuk berlindung dari angin dingin yang cukup kencang bertiup pagi itu, sekaligus untuk menunggu sunrise.
Seiring matahari yang mulai meninggi menerangi sekeliling saya, saya jadi paham mengapa banyak teman-teman pecinta alam yang menyukai gunung. Kita itu kecil. Jurang batu beratus meter tepat di depan saya, Laut Cina Selatan yang menyambut cakrawala jauh di utara sana, hamparan hutan Kalimantan yang seolah-olah berbisik pada saya bahwa garis imajiner batas 3 negara di sana hanyalah lambang ego manusia. Dari atas sana tidak ada beda.
Sedikit intermezzo, kalau saya punya kesempatan berkunjung ke Low’s Peak lagi, saya ingin menghabiskan lebih banyak waktu di pinggir jurang batu itu sekali lagi. Hanya diam di sana, menikmati matahari yang naik perlahan, sambil mengunyah coklat mungkin, tanpa perlu peduli dengan panggilan ego saya untuk mengambil foto. Cross finger.
Tidak lama saya di atas. Sekitar jam 6 kami memutuskan turun sambil berhenti puluhan kali untuk mengambil foto, atau melipir keluar trek tali demi mendapatkan sudut foto yang bagus. Dalam perjalanan turun, saya tidak henti-henti berfikir, bagaimana cara saya tadi naik? Tebing batu dengan kecuraman hampir 70 derajat, turunan-turunan tajam yang memaksa kaki saya berjuang lebih agar tidak kehilangan pijakan dan meluncur ribuan meter ke bawah. Baru setelah memasuki medan vegetasi, saya bisa mulai santai. Ternyata anak tangga yang saya lewati pagi tadi terletak di bawah tebing batu.
  

Perjalanan turun plus sesi foto-foto hanya memakan waktu 1 jam 20 menit. Sesampainya di Laban Rata, saya sudah disambut dengan wangi sarapan di ruang makan.

Betis attack
Karena ingin lebih lama menikmati perjalanan turun, saya sudah meninggalkan Laban Rata sebelum jam 9 pagi, ketika lebih dari ¾ pendaki masih berjuang menuju Low’s Peak. Kalau tidak salah ingat saya mungkin ada di 10 orang pertama yang turun dari Laban Rata pagi itu. Tiga Asian, termasuk saya, sisanya adalah Caucasian yang saya kenal dalam perjalanan naik kemarin.
Joseph yang sengaja saya tinggal di Laban Rata karena masih sarapan, dalam beberapa menit saja bisa menyusul saya yang sudah turun setengah jam sebelumnya. Untunglah, karena menyusuri hutan hujan tropis sendirian itu bukan hal yang menyenangkan. Perjalanan turun itu jelas lebih menghemat persediaan oksigen di paru-paru dibanding ketika naik. Maka kalau ketika naik saya istirahat di tiap shelter, dalam perjalanan turun banyak shelter yang hanya saya lewati saja. Sebagai gantinya, kami berhenti di hampir tiap beberapa meter untuk mengambil foto, mengamati anggek, keluar trek berburu raspberry dan kantong semar, atau sekedar menggoda tupai-tupai jinak yang banyak berkeliaran di sana.


Memasuki kilometer 3 saya mulai bertemu dengan pendaki yang naik hari itu. Membayangkan perjuangan mereka yang masih separoh jalan lagi untuk sampai Laban Rata, saya tidak punya hati untuk bilang “Come on, you can do this. Just a few step ahead”. Sebetulnya itu semacam memberikan semangat si, tapi rasanya kok seperti memberikan harapan palsu. - - ‘
Apalagi kami mengucapkan itu pada orang-orang yang terengah-engah mengatur nafas untuk berjuang naik sementara kami berdua turun santai sambil ngobrol dan cekikikan ga jelas.
Perjalanan turun memang jauh lebih mudah. Buat saya setidaknya. Walaupun beberapa kali terancam tergelincir karena licinnya tangga kayu yang sempat tersiram gerimis, saya berhasil menyelesaikan 6 km itu dalam 3 jam 45 menit.
Derita perjalanan turun itu baru ditagih setelah saya sampai di HQ. Hanya dalam hitungan menit setelah beristirahat sambil makan siang di Balsam Restaurant, saya mulai merasa betis saya tidak berfungsi dengan benar. Walhasil, tiga hari saya berikutnya saya lewatkan dengan meringis tiap kali melangkahkan kaki, terutama jika menemui turunan. Ampun!
Kapok? Mungkin tidak.
Saya memang cinta laut. Kalau hanya boleh memilih antara menyelam di laut atau mendaki gunung, tanpa ragu saya memilih yang pertama. Tapi saya tetap anak kaki gunung Muria dan tepian pesisir utara laut Jawa. Saya dibesarkan di tempat di mana saya bisa merasakan kecipak ombak sambil menatap puncak Songolikur. Itu yang membuat saya selalu ingin kembali ke sana selain keluarga, dan mungkin itu juga yang membuat saya selalu kembali ke city below the wind, Kinabalu.
Hino koh noh, Low’s Peak. Kopiruba kawagu. 

Kinabalu: Awal Sebuah Final

Kinabalu. Percayalah, kota ini tidak terlalu spesial untuk saya. Meskipun seminggu lalu adalah kali kelima saya menghabiskan beberapa hari di kota berjuluk "City Below The Wind" sejak tiga tahun terakhir.  Hanya saja, saya selalu menganggap perjalanan saya sebelumnya ke Borneo utara  ini seperti unfinished mission. Mungkin karena setelah sekian banyak itu, tidak satu kali pun saya berkesempatan untuk menginjakkan kaki lebih tinggi dari 1563 meter di atas permukaan laut. Mengunjungi Kinabalu tanpa mendaki gunung di selatan kota ini sama seperti menyambangi Singapore tanpa ke Merlion, atau menapak Jogja tanpa melenggang di Malioboro.
So, di sanalah saya hari Kamis jam 7.30 pagi itu. Tidak jauh dari Kinabalu Park Headquarter. Terburu-buru gosok gigi dan cuci muka di hostel murah seharga MYR 30 yang saya temukan malam sebelumnya. Mandi? Ah, toh saya baru saja mandi jam 1 pagi tadi. Bukan catatan hostel paling murah sebetulnya, tapi untuk kenyamanan satu kamar tanpa perlu berbagi, plus kenyataan bahwa saya tidak punya banyak pilihan tengah malam sebelumnya, Mountain View Hostel ini tidak terlalu buruk. Setelah meminta pengurus penginapan untuk membuatkan saya omelet telur untuk sarapan, mulailah saya menyandang ransel dan berjalan ke HQ yang hanya berjarak 5 menit untuk secara resmi mendaftar diri sebagai salah satu pendaki hari itu.  Bahkan sebelum dimulai, saya tahu hari itu akan menjadi hari yang panjang untuk saya.  Sangat panjang.

Changi – LCCT – Tawau: Sehari Sebelumnya
Sekian banyak catatan saya tentang Kinabalu ternyata tidak membuat saya makin cerdas. Alih-alih mengambil rute 88 km dari Kota Kinabalu ke Kinabalu Park, saya memutuskan memulai perjalanan darat dari Tawau. Yang berarti 467 km harus saya habiskan di bis. Tidak perlu bertanya kenapa, yang pasti rute aneh itu setidaknya membuat saya merasakan menginap semalam di LCCT dan menikmati asyiknya menyusuri jalanan Tawau di bawah terik matahari khatulistiwa yang naudzubilah panasnya.
Kalau cuma transit beberapa jam di LCCT Kuala Lumpur, saya cukup sering. Tapi kalau betul-betul menginap semalaman, baru kemarin saya mengalaminya. Saya yang landing di LCCT tengah malam harus menunggu 6 jam sampai diperbolehkan masuk ke ruang tunggu keberangkatan untuk penerbangan selanjutnya. Selama itu, saya hanya bisa menunggu di tempat checkin bersama ratusan penumpang transit lainnya. Jujur saya bilang, bandara low-carrier ini bukan tempat yang menyenangkan untuk menghabiskan malam. Ramah, tapi tidak menyenangkan. Terbatasnya jumlah tempat duduk di tempat checkin membuat satu-satunya kesempatan saya untuk menyelonjorkan kaki saat itu adalah ketika saya akhirnya memutuskan untuk mengikuti jejak yang lain, tidur di lantai berbantalkan ransel berselimut pashmina. Not bad.
Berangkat tepat waktu dari LCCT, pesawat saya sudah berada di wilayah udara Borneo ketika jam menunjukkan pukul 9 pagi. Dari mana saya tahu kalau saya sudah di atas pulau Kalimantan? Karena tepat di sisi kiri pesawat saya, menjulang megah puncak gunung yang rasanya begitu saya kenal. Gigi geligi puncak gunung Kinabalu. Tinggal 50 menit lagi sebelum akhirnya saya mendarat di Tawau International Airport.
Puncak Kinabalu dari AK5744 seat 19A
Bandar udara Tawau terletak jauh di sebelah timur kota. Untuk mencapai kota, salah satu pilihan adalah dengan menggunakan taksi seharga MYR 100. Atau, untuk pelancong dompet tipis macam saya, bisa menggunakan shuttle bus dengan hanya MYR 10 saja. Bus berwarna kuning cerah ini seingat saya hanya melayani 4 kali rute bolak-balik airport-kota. Dari bandara jam 9.00, 10.30, 14.00, 16.30. Jadi demi menghemat beberapa lembar ringgit di dompet ada baiknya mempertimbangkan jadwal shuttle bus ini jika berkunjung ke Tawau.
Saran dari saya, jika tujuan satu-satunya Anda di kota ini adalah terminal antar kota Sabah, pastikan Anda turun dari bis 1 sampai 2 persimpangan setelah masjid kota. Apalagi kalau Anda sampai di kota ini tengah hari bolong. Karena berjalan dari masjid kota sampai di terminal di bawah terik matahari menyengat mungkin bukan pilihan yang menyenangkan. Tapi kalau tujuannya memang jalan-jalan iseng, cobalah menyusuri jalan di depan masjid hingga tembus ke belakang terminal. Jalan di selatan kota ini cukup memanjakan mata karena terletak tepat di pinggir pantai. Bukan pantai yang menawan, tapi lumayan lah untuk sekedar cuci mata sambil menunggu jam keberangkatan bis.
Ada beberapa operator bus dari Tawau ke Kinabalu Park HQ. Saya  akhirnya memutuskan naik bis Ali Topan. Tidak ada pertimbangan khusus selain jam keberangkatan bis rute Tawau-Kota Kinabalu ini cocok dengan jadwal saya. Tepat seperti jadwal, kami mulai bergerak dari Tawau  jam 2 siang.

1563 meters above sea level - Midnight
OK, dari titik ini saya ingin berbagi tentang kebohongan internet. Lihatlah dulu peta di bawah. Point A adalah Tawau. Point B adalah Kota Kinabalu, sedangkan lingkaran merah di sana adalah Kinabalu Park HQ. Di titik ini, satu-satunya informasi akurat yang saya tahu tentang rute saya adalah jauh. Tebaran informasi di internet menyebutkan bahwa rute Tawau - Kota Kinabalu bisa ditempuh selama 8 jam. Dan karena saya tahu persis KK-HQ itu 2 jam, maka tidak sulit untuk saya simpulkan bahwa saya akan sampai di HQ tidak lebih dari jam 8 atau 9 malam. Fine, it’s not a big deal. Saya bahkan masih bisa membayangkan wangi dinner yang akan saya santap di warung makan depan HQ. (Dan sekarang dengan melihat rute ini saya sadar betapa cacatnya estimasi jarak saya.)
Road Trip Route
Kenyataannya, jangankan sampai HQ jam 8 malam, ketika jam menunjuk angka 9 saja saya baru saja beberapa miles meninggalkan Beluran. Berhitung cepat, saya perkirakan saya masih punya waktu setidaknya 2 jam lagi sebelum memasuki Ranau. Waktu yang saya gunakan dengan sebaik-baiknya untuk tidur (lagi) tentu saja, walaupun taruhannya adalah saya terbawa sampai Kota Kinabalu. Terbangun tepat  sebelum memasuki Ranau, saya tidak berani memejamkan mata lagi, karena saya yakin Ranau-HQ hanya akan ditempuh sekitar setengah jam.
Kali ini sesuai perhitungan, hampir tengah malam ketika bis yang saya tumpangi akhirnya berhenti di pintu masuk Kinabalu Park Headquarter untuk menurunkan saya. Sendirian. 
Lega? Hmm…ya dan tidak. Ya, karena akhirnya saya betul-betul bisa sampai di HQ sebelum pagi, dan tidak, karena saya belum punya tempat menginap malam itu. Tidur di alam terbuka bukan pilihan bijak karena saya tidak membawa sleeping bag dan saya bisa pastikan udara fajar yang dingin akan menggulung saya dalam beberapa jam saja. Satu-satunya yang bisa saya lakukan adalah bertahan pada rencana sebelumnya, mencoba peruntungan pada beberapa penginapan murah di sana. Banyak keberuntungan mungkin, karena saya yakin harus menambahkan beberapa gedoran di pintu untuk membangunkan penjaga penginapan tengah malam itu.
Maka mulailah saya berjalan ke utara, karena saya tahu di sana ada Hostel Bayu, tempat saya menginap di April 2010 lalu. Mungkin ada 200 meter saya berjalan, ketika saya menyadari bahwa bangunan yang tadinya saya pikir Hostel Bayu itu telah berwujud reruntuhan. Hanya sisa beberapa tembok dan sebuah buldoser kecil di sana. Jalan lebih ke utara hanya menjanjikan kegelapan yang sesekali diterangi lampu bis malam dan truck-truck besar.
Sambil mengutuk diri sendiri saya kembali ke arah HQ. Harapan saya kali ini jatuh ke warung makan depan HQ, walaupun saya tahu, tempat makan sederhana itu tidak mempunyai kamar-kamar untuk disewakan. Setelah menakut-nakuti penjaga warung makan yang sedang menonton TV dengan ketukan saya di jendela, saya mendapat kepastian bahwa satu-satunya harapan saya malam itu adalah menginap di Sutera Sanctuary di HQ. Peluang terakhir saya untuk tidur nyenyak dan sekaligus peluang yang paling saya hindari. Mengapa? Karena jelas saya tidak menempuh rute gila, demi berhemat beberapa puluh ringgit dengan promo flight, hanya untuk berakhir di penginapan yang mahalnya luar biasa ini. Saya belum tahu persisnya kala itu karena saya sengaja tidak mencari tahu.
Dengan enggan saya menggendong ransel saya menaiki tangga HQ. Kali ini saya tidak perlu menggedor atau menakut-nakuti siapapun, karena di meja resepsionis tampak petugas jaga yang cukup ramah menerima anak ilang di atas gunung tengah malam ini.
“Hello Miss, boleh saya bantu?”
“Hi, I’ll climb tomorrow. Do you still have a dorm for tonight? For one person only.”
Setelah beberapa kali membolak-balik buku yang sepertinya adalah buku tamu, dia menggeleng pelan, “Sorry, the dorm is fully booked. Tapi kalau bilik private untuk 4 orang, masih ada kosong. Saya boleh bagi kita Malaysia rate saja.”, penjelasannya panjang lebar dalam bahasa Melayu aksen Sabah yang menyebut "kita" sebagai kata ganti orang kedua. “Berapa semalam?”
“With breakfast jadi 325 ringgit.”, mendengar angka itu air muka saya pasti berubah menjadi sangat memelas sampai-sampai dia merasa harus menambahkan, “Kalau tanpa breakfast boleh jadi 250 ringgit sahaja.”
Mampus. Dengan hanya 500 ringgit tunai di tangan, saya bahkan tidak akan bertahan sampai besok pagi kalau saya ambil kamar itu, dengan atau tanpa sarapan. Masih dengan setelan tampang memelas yang sebetulnya tidak perlu, saya bertanya, “Boleh bayar dengan kredit card tak?”
“Boleh.”
Kenyataan bahwa saya tidak perlu menyerahkan uang tunai saya yang tidak seberapa itu pasti tidak banyak mengubah air muka saya karena belum sempat saya mengeluarkan plastik sakti itu dari dompet ketika cowok resepsionis tadi kembali berkata, “Atau kita turun saja ke depan, lepas tu belok kiri. Ada penginapan murah di sana. Lima menit saja jalan kaki. Mungkin 30 ringgit saja.”
“Really? Tak jauh kah? Saya tak ada tengok rumah tadi waktu lewat sana.”
“Dekat saja. Turun depan itu, jalan ke kiri. Tak payah cross street. Rumahnya sedikit di atas dan mungkin sudah gelap. Tapi saya tidak yakin ada bilik kosong.
Well, may be better I try my luck then.
Setelah mengucapkan banyak terima kasih pada penunjuk jalan saya itu, tanpa membuang waktu saya segera kembali turun. Menyusuri pinggiran highway tanpa lampu dengan diterangi headlamp yang berfungsi ganda, menerangi jalan dan memastikan pengemudi truk-truk raksasa itu menyadari keberadaan saya. Tepat di balik tikungan, ketika saya akhirnya melihat papan tanda itu. Mountain View Hostel. Jadilah pagi buta itu seorang lagi saya bangunkan dari mimpinya, bernegosiasi harga, dan akhirnya membukakan pintu sebuah kamar dengan 3 tempat tidur itu untuk saya. Maka setelah lebih dari 24 jam, 4 jam flight dan 467 km road trip, saya akhirnya menemukan juga benda surga itu. Kasur.
Kopisanangan do totuong.

***********

I Won't Give Up

God might know we're worth it 
You know I'm not the one who walks away so easily 
And you know I'll be there to stay and make the difference that i can make 
But did you give me enough reason to stay? 


Then sorry, I gave up ...