Kalau ada pemilihan kalimat favorit hari itu, maka dengan
suara bulat kalimat “How many of you?” akan terpilih menjadi Quote of The Day.
Disusul dengan “Sendiri saja?” sebagai runner up. Bedanya, kalimat tanya kedua
akan ditanyakan pada saya dengan nada penuh keheranan. Sebetulnya ini bukan
kali pertama saya melakukan perjalanan sendiri. Tapi untuk aktifitas yang
biasanya dilakukan berkelompok seperti naik gunung, rasanya memang wajar ketika
semua orang menanyakan kesoliteran saya di Kinabalu Park Headquarter pagi itu.
Saya yang penuh antusiasme jelas tidak terlalu perduli. Untuk orang yang dibesarkan di kaki gunung, saya sebenarnya bukan pecinta kegiatan naik gunung. Bahkan saya belum pernah naik gunung sebelumnya. Buat saya Muria, Bromo dan Sikunir itu tidak terhitung naik gunung. Maka gunung tertinggi kedua di Asia Tenggara setelah Cartenz Pyramid, Jayawijaya ini akan menjadi catatan pertama saya.
Saya yang penuh antusiasme jelas tidak terlalu perduli. Untuk orang yang dibesarkan di kaki gunung, saya sebenarnya bukan pecinta kegiatan naik gunung. Bahkan saya belum pernah naik gunung sebelumnya. Buat saya Muria, Bromo dan Sikunir itu tidak terhitung naik gunung. Maka gunung tertinggi kedua di Asia Tenggara setelah Cartenz Pyramid, Jayawijaya ini akan menjadi catatan pertama saya.
Persiapan: Fisik, Mental dan Duit
Perjalanan ke Low’s Peak Kinabalu ini saya mulai jauh sebelum
tanggal 17 Mei 2012, ketika saya mengirim email ke perwakilan Sutera Sanctuary
Lodge di Singapore. Atau mungkin juga jauh sebelum itu.
Setelah semua urusan administrasi dengan SSL selesai di akhir
October 2011 lalu, tugas saya berikutnya adalah untuk mempersiapkan fisik dan
memastikan SGD 205 yang baru saja saya bayarkan tidak sia-sia. Dari banyak
sumber di internet, pendakian di Kinabalu meskipun jauh lebih ringan dari pada
gunung lain karena kita tidak perlu membawa logistic dari bawah, tetap saja
tidak bisa dianggap ringan. Tahap pertama pendakian merupakan tanjakan (alami
maupun buatan) tidak terputus sepanjang 6km dengan tingkat kemiringan antara 30
sampai 60 derajat. Hitung cepat, kalau sebuah tangga gedung sepanjang 10 meter,
maka itu sama dengan gedung 600 lantai. Atau sama saja dengan 10 kali One
Raffles Place, gedung tertinggi di Singapore yang mempunyai 63 lantai.
Pada banyak referensi yang saya baca, latihan paling bagus,
murah dan efektif untuk mempersiapkan diri naik gunung adalah naik tangga. OK,
dan itulah yang saya lakukan. Tapi meskipun saya tinggal di apartement 13
lantai, latihan itu tidak menjadi lebih simple. Saya yang aslinya memang cepat
bosan (dan susah bangun pagi), hanya bertahan 3 hari menjalani rutinitas pagi
itu. Saya menyerah. Akhirnya saya memutuskan untuk bertahan dengan latihan
biasa saya di gym. Hanya saja beberapa minggu terakhir saya fokuskan latihan
beban di lower body.
Apa latihan itu harus? Saya bilang si tidak. Ada banyak orang
yang saya temui kemarin dan banyak dari mereka yang tidak secara khusus menyiapkan
diri untuk pendakian itu. And they made
it, at least to the Laban Rata. Biasanya, yang membedakan fitness level tiap-tiap
orang hanya waktu yang dibutuhkan untuk melahap 6 km dan recovery time. Jadi kalau Anda sehari-hari aktif secara fisik,
tidak perlu special training. Tapi kalau dalam keseharian Anda lebih banyak di
belakang meja, seperti saya, usahakan setidaknya 1 atau 2 minggu sebelum hari H
untuk sedikit melatih otot paha dan betis agar tidak terlalu kaget.
Kalau mental si, not
much. It’s a fun hike, and it gonna be fun. Walaupun jujur, sebelum naik saya
deg-degan. Kuatir kalau ternyata belum apa-apa saya sudah menyerah, atau
ternyata fisik saya tidak sanggup.
Ehm, selain fisik dan mental, sebetulnya persiapan paling
utama adalah uang. Kalau kita menggunakan jasa travel agensi, jelas urusan
pembayaran sudah kita selesaikan sebelum pendakian. Tapi untuk independen traveler macam
saya, pastikan membawa cukup uang tunai dari kota. Berikut adalah senarai
kuitansi yang harus saya bayar saat registrasi.
Park entry fee : MYR 3,00
Climbing Permit and Insurance : MYR 107,00
Guide :
MYR 128,00
Return Transport HQ-Timpohon : MYR 67,00
Selain guide fee, semua list di atas adalah
pengeluaran personal. Jadi seberapa pun besar group, masing-masing orang harus
membayar jumlah yang sama. Sedangkan untuk guide, seorang guide bisa membawa
1-4 pendaki. Jadi misal satu kelompok berempat, ya bearti masing-masing hanya membayar
32 ringgit saja untuk guide.
Entry fee 3 ringgit di atas sebetulnya
Malaysian rate. Sedangkan foreigner
rate adalah MYR 15. Tapi berhubung kita dan mereka secara fisik tidak banyak
beda maka just set your smile and shut your
mouth, dan mereka akan membiarkan kita membayar local rate tanpa banyak bertanya.
Hitung-hitung total kerusakan rekening
untuk pendakian ini adalah MYR 345 dan SGD 205, exclude air fare and land transport dari dan ke Kinabalu Park HQ.
Six Kilometers, Seven
Shelter Huts, and Thousand Steps
Karena saya melakukan pendakian ini atas
arrangement saya sendiri tanpa travel agent, yang pertama kali saya lakukan
sesampainya di HQ adalah registrasi di resepsionis Sutera Sanctuary Lodge. Iya,
tempat saya memelas semalam sebelumnya (untung saja petugas yang jaga sudah ganti - baca
di sini). Setelah mendapatkan formulir registrasi dari SSL, saya menuju ke
bangunan sebelahnya untuk mendaftarkan pendakian di ranger office. Setelah menyerahkan
formulir tadi dan membayar climbing permit dan asuransi, saya diarahkan ke
meja pendaftaran guide. Petugas di sana akan mengatur siapa dan berapa guide yang
akan menemani selama pendakian. Keberadaan guide di sini hukumnya wajib. Mereka
bertanggung jawab akan keselamatan dan kelakuan tamu yang ditemaninya nanti.
Karena saya hanya sendiri, tentu saja
mereka hanya menugaskan satu guide untuk saya (ya kali gitu dikasi banyak, kan sapa
tau saya pingsan di jalan, susah ngegotongnya klo cuma satu orang). Setelah itu saya kembali ke meja ranger untuk
menerima kalung name tag yang wajib saya pakai selama pendakian. Bersama guide
saya, saya mendaftar untuk shuttle bus transport dari dan ke Timpohon gate,
gerbang dimulainya pendakian.
Saya memulai pendakian beberapa menit
sebelum pukul 9 pagi. Karena rata-rata pendakian normal memakan waktu 5-6 jam,
maka tiap-tiap kami dibekali dengan makan siang sederhana. Enam potong sandwich,
2 butir telur rebus, 2 buah pisang kecil, sebutir apel, dan sebotol air minum
menjadi bekal saya hari itu. Bekal sekaligus beban saya selain 3 kg ransel yang
berisi jaket, toiletris dan pakaian kering. Satu saran saya, minta tolong ke
guide untuk menyewakan tongkat berjalan. Trust
me, 10 ringgit tambahan itu akan membuat perjalanan 6 km nantinya jauh lebih mudah.
Di rute pendakian yang kira-kira terdiri
dari 88% tanjakan, 4% turunan, dan 8% trek datar ini akan melewati 7 shelter. Di
shelter-shelter ini disediakan toilet dan air bersih (untreated water tapi bersih). Untuk standard Asia, jelas air yang
tersedia di sana bisa diminum. Jadi jangan kuatir kehabisan air di perjalanan. Meskipun
begitu, usahakan untuk tidak terpancing rasa haus dengan minum sebanyak-banyaknya
air. Kombinasi panas dan lembab hutan hujan tropis membuat orang cepat
berkeringat. Minum plain water dalam
jumlah banyak dengan kondisi tubuh kekurangan garam, yang banyak keluar dari
keringat, berpotensi untuk terjadi water
poisoning. Lagi pula, apa enaknya si jalan dengan perut penuh air?
Pemandangan di kilometer-kilometer awal bisa
dibilang biasa saja. Hutan. Kiri tebing, kanan jurang. Hanya sesekali hutan di
atas kami “terbuka” dan menawarkan pemandangan indah ke arah jajaran pegunungan di
belakang saya. Sebagian besar tanjakan
yang ada merupakan tanjakan yang sengaja dibuat. Jadi bukan alami ada. Tidak jarang
bahkan trek yang saya lalui itu berupa tangga dari kayu besi yang memang banyak
terdapat di Kalimantan. Tapi jangan kira itu menjadikannya mudah. Kalau biasanya
tinggi anak tangga sekitar 10 cm, tinggi anak tangga di sini bisa melewati
lutut saya. Di situlah guna tongkat berjalan tadi.
Perjalanan naik ini lebih banyak saya
habiskan dengan diam. Sementara guide saya yang menguntit di belakang, saya
dengar asyik mengobrol dengan rekan sesama guide atau porter yang dia temui di
jalan. Apa yang saya rasakan saat itu? Iri. Sementara saya tersengal-sengal mencari
nafas dan menenangkan detak jantung sambil menatap putus asa deretan anak tangga di atas saya, mereka bisa dengan gampang ngobrol seolah-olah tanjakan-tanjakan terjal
itu jalan bebas hambatan. Sial.
Lebih banyak lagi salut saya untuk porter
logistic penginapan yang beberapa kali melewati saya . Mereka bertugas membawa
persediaan logistic penginapan mulai dari bahan makanan, tabung gas, sampai
kasur. Iya, kasur busa single yang terikat erat di punggung mereka. Porter-porter
itu tidak hanya laki-laki, beberapa saya lihat ibu-ibu setengah baya. Guide dan
porter di Kinabalu merupakan penduduk asli sekitar dari suku Kandazan-Dusun (suku
mayoritas yang mendiami Sabah). Melihat itu saya jadi maklum dengan harga S$
205 yang harus saya bayar untuk semalam menginap di kamar dorm berisi 4 orang
itu. Ayolah, makanan dan kasur empuk di Laban Rata tidak dihasilkan oleh peri
rumah kan?
Selepas Layang-Layang hut, pohon-pohon mulai berubah bentuk lebih rendah dengan daun-daun kecil. Ciri khas pohon dataran tinggi. Mulailah pameran pesona alam dimulai.
Selepas Layang-Layang hut, pohon-pohon mulai berubah bentuk lebih rendah dengan daun-daun kecil. Ciri khas pohon dataran tinggi. Mulailah pameran pesona alam dimulai.
Hmm..saya kurang yakin apakah
informasi ini diberikan oleh semua guide. Beberapa meter dari Layang-Layang
hut, tepatnya di pertigaan trek Timpohon dan Mesilau, cobalah keluar dari trek
ke arah kanan. Di situ ada hamparan kebun raspberry. Saya rasa guide Anda
tidak keberatan kalau Anda mengambil satu dua genggam raspberry di sana.
Kembali ke trek. Mulai dari sini
hampir semua trek tertutup batu-batu alam dalam ukuran besar. Pilih pijakan
dengan hati-hati, terutama di hari hujan karena batu-batu tersebut bisa jadi
sangat licin. Di beberapa titik, tanjakan yang makin terjal ditambah udara yang
makin tipis betul-betul menantang fisik saya. Beberapa kali saya memaksa
Joseph, guide saya untuk berhenti. Inilah enaknya trekking di Kinabalu tanpa
group besar. Selain bisa mengatur sendiri kecepatan jalan tanpa tergantung yang
lain, juga karena dengan one-to-one guide,
memastikan bahwa your guide will catch
your back, literally.
Sekitar pukul satu siang akhirnya
saya melihat bangunan kuning yang menghiasi banyak brosur-brosur pariwisata
Sabah, penginapan Laban Rata. I made it,
at least to Laban Rata, dalam waktu empat setengah jam. Not bad record, untuk orang minus
pengalaman mendaki gunung.
Kombinasi belum lapar, kantuk dan sesekali
kabut di luar penginapan membuat saya menghabiskan sebagian besar siang itu di
kamar. Ditambah lagi akses internet yang luar biasa cepat di ketinggian 3270
meter dpl, membuat saya makin betah bergelung di bawah selimut sambil browsing.
What a waste (I know). Apalagi kamar
yang seharusnya diisi 4 orang itu hanya terisi oleh saya sendiri sampai sekitar
jam 5 sore, karena 3 teman sekamar saya baru sampai Laban Rata menjelang
petang.
Penginapan di gunung Kinabalu ini
terdiri dari beberapa bangunan yagn terpisah cukup jauh. Penempatan jatah
penginapan tergantung dari ketersediaan kamar. Beruntung saya mendapatkan
tempat di Laban Rata, karena di sana juga ruang makan berada. Saya membayangkan
jika mendapat kamar di Gunting Lagadan yang sekitar 200 meter jauhnya dari
Laban Rata. Dua ratus meter dengan 100% tanjakan. Saya yakin, selesai makan,
balik ke kamar sudah lapar lagi.
By
default, paket penginapan di sini sudah
termasuk 5 kali makan. Lunch package, buffet dinner (16.00-19.00),
buffet supper breakfast (02.00-03.00),
breakfast (06.00-10.30), dan buffet
lunch (served at HQ). Jadi jangan
kuatir kelaparan di atas sana. Tapi jangan lantas kalap dengan melimpah dan
enaknya makanan yang tersajikan, terutama ketika supper breakfast sebelum pendakian ke summit. Kombinasi ketinggian, udara dingin, pasokan oksigen tipis, lelah,
dan perut penuh akan sangat menyulitkan.
Summit attack: Welcome to Low’s Peak
Setelah memaksakan diri untuk tidur
jam 7 malam, saya terbangun dering alarm jam 1.30 pagi. Di sinilah akan
terlihat bedanya, apakah seorang melakukan cukup training sebelum mendaki atau
tidak. Tanpa cukup latihan, otot-otot yang dipaksa bekerja keras sejauh 6
kilometer di hari sebelumnya mulai terasa kaku dan sakit.
Setelah makan sekadarnya demi menyiapkan
gula darah, jam 2.30 pagi saya bersama Joe mulai bergerak ke sebelah Gunting
Lagadan, tempat gerbang menuju puncak. Tepat pukul 3, hampir semua rombongan
pendaki memulai perjalanan 2.7km menuju Low’s Peak.
Tidak banyak perbekalan yang perlu
dibawa ke puncak. Checklist dari guide biasanya hanya headlamp, raincoat, glove, windbreaker (atau jacket yang sudah
dipakai) dan air minum. Saya sendiri hanya menambah list itu dengan 1.5 bungkus
coklat sisa pendakian hari sebelumnya.
Tujuh ratus meter trek awal berupa
tangga kayu atau batu dengan pepohonan di kanan kiri, sedang sisanya berupa tebing
batu granit tanpa penghalang apapun. Di trek granit tersedia tali yang bisa
digunakan sebagai penanda trek dan bantuan naik mengingat curamnya medan. Di awal
kilometer ke-2 ada Sayat-Sayat Hut, pos terakhir pendakian sebelum puncak. Di sini
semua data pendaki akan dicatat, untuk memastikan semua orang yang bergerak
naik telah benar-benar turun kembali sebelum tengah hari. Ini juga kesempatan terakhir
untuk mengambil persediaan air minum dan menggunakan toilet.
Tidak banyak yang saya ingat dari 1.7
km setelahnya. Selain gelap dan tanjakan tanpa ujung. Sejauh ujung cahaya
senter saya bisa capai, hanya ada batu, batu dan batu. Sisanya gelap. Joe yang
sudah sejak kilometer awal putus asa dengan keseimbangan saya yang sangat jelek
akhirnya memutuskan untuk menggandeng saya sepanjang jalan. Yah, jelas hal
terakhir yang kami berdua inginkan adalah melihat saya terguling ke jurang
berkilo-kilo di bawah.
Sekitar 2 jam saya mensugesti diri
sendiri bahwa ini gunung pasti punya puncak yang menjadi akhir perjalanan. Karena
hanya itu yang bisa memaksa saya terus menggerakkan kaki. Hingga akhirnya saya
bisa melihat papan tanda Low’s Peak di ketinggian 4095 meter.
Tidak banyak yang bisa dilakukan di
puncak selebar 2 meter persegi itu. Setelah mengambil foto secukupnya, Joe
segera mengajak saya turun beberapa meter ke balik sebuah batu. Untuk berlindung
dari angin dingin yang cukup kencang bertiup pagi itu, sekaligus untuk menunggu
sunrise.
Seiring matahari yang mulai meninggi
menerangi sekeliling saya, saya jadi paham mengapa banyak teman-teman pecinta
alam yang menyukai gunung. Kita itu kecil. Jurang batu beratus meter tepat di
depan saya, Laut Cina Selatan yang menyambut cakrawala jauh di utara sana, hamparan
hutan Kalimantan yang seolah-olah berbisik pada saya bahwa garis imajiner batas
3 negara di sana hanyalah lambang ego manusia. Dari atas sana tidak ada beda.
Sedikit intermezzo, kalau saya punya
kesempatan berkunjung ke Low’s Peak lagi, saya ingin menghabiskan lebih banyak
waktu di pinggir jurang batu itu sekali lagi. Hanya diam di sana, menikmati
matahari yang naik perlahan, sambil mengunyah coklat mungkin, tanpa perlu
peduli dengan panggilan ego saya untuk mengambil foto. Cross finger.
Tidak lama saya di atas. Sekitar jam
6 kami memutuskan turun sambil berhenti puluhan kali untuk mengambil foto, atau
melipir keluar trek tali demi mendapatkan sudut foto yang bagus. Dalam perjalanan
turun, saya tidak henti-henti berfikir, bagaimana cara saya tadi naik? Tebing batu
dengan kecuraman hampir 70 derajat, turunan-turunan tajam yang memaksa kaki
saya berjuang lebih agar tidak kehilangan pijakan dan meluncur ribuan meter ke bawah.
Baru setelah memasuki medan vegetasi, saya bisa mulai santai. Ternyata anak
tangga yang saya lewati pagi tadi terletak di bawah tebing batu.
Betis attack
Karena ingin lebih lama menikmati
perjalanan turun, saya sudah meninggalkan Laban Rata sebelum jam 9 pagi, ketika
lebih dari ¾ pendaki masih berjuang menuju Low’s Peak. Kalau tidak salah ingat
saya mungkin ada di 10 orang pertama yang turun dari Laban Rata pagi itu. Tiga
Asian, termasuk saya, sisanya adalah Caucasian yang saya kenal dalam perjalanan
naik kemarin.
Joseph yang sengaja saya tinggal di
Laban Rata karena masih sarapan, dalam beberapa menit saja bisa menyusul saya
yang sudah turun setengah jam sebelumnya. Untunglah, karena menyusuri hutan
hujan tropis sendirian itu bukan hal yang menyenangkan. Perjalanan turun itu jelas
lebih menghemat persediaan oksigen di paru-paru dibanding ketika naik. Maka kalau
ketika naik saya istirahat di tiap shelter, dalam perjalanan turun banyak
shelter yang hanya saya lewati saja. Sebagai gantinya, kami berhenti di hampir
tiap beberapa meter untuk mengambil foto, mengamati anggek, keluar trek berburu
raspberry dan kantong semar, atau sekedar menggoda tupai-tupai jinak yang
banyak berkeliaran di sana.
Memasuki kilometer 3 saya mulai bertemu dengan pendaki yang naik hari itu. Membayangkan perjuangan mereka yang masih separoh jalan lagi untuk sampai Laban Rata, saya tidak punya hati untuk bilang “Come on, you can do this. Just a few step ahead”. Sebetulnya itu semacam memberikan semangat si, tapi rasanya kok seperti memberikan harapan palsu. - - ‘
Apalagi kami mengucapkan itu pada
orang-orang yang terengah-engah mengatur nafas untuk berjuang naik sementara
kami berdua turun santai sambil ngobrol dan cekikikan ga jelas.
Perjalanan turun memang jauh lebih
mudah. Buat saya setidaknya. Walaupun beberapa kali terancam tergelincir karena
licinnya tangga kayu yang sempat tersiram gerimis, saya berhasil menyelesaikan 6
km itu dalam 3 jam 45 menit.
Derita perjalanan turun itu baru
ditagih setelah saya sampai di HQ. Hanya dalam hitungan menit setelah beristirahat
sambil makan siang di Balsam Restaurant, saya mulai merasa betis saya tidak
berfungsi dengan benar. Walhasil, tiga hari saya berikutnya saya lewatkan
dengan meringis tiap kali melangkahkan kaki, terutama jika menemui turunan.
Ampun!
Kapok? Mungkin tidak.
Saya memang cinta laut. Kalau hanya
boleh memilih antara menyelam di laut atau mendaki gunung, tanpa ragu saya memilih
yang pertama. Tapi saya tetap anak kaki gunung Muria dan tepian pesisir utara
laut Jawa. Saya dibesarkan di tempat di mana saya bisa merasakan kecipak ombak sambil
menatap puncak Songolikur. Itu yang membuat saya selalu ingin kembali ke sana
selain keluarga, dan mungkin itu juga yang membuat saya selalu kembali ke city below the wind, Kinabalu.
Hino
koh noh, Low’s Peak. Kopiruba kawagu.