Merawat Anak: Orangtua atau Suami?

Disclaimer: Jangan tanya "Kapan?"

Tahun belum berganti dari 2013, saat berturutan saya mendengar kabar gembira (atau tidak) teman dekat saya hamil. Atau harus saya sebut teman-teman dekat saya hamil. Sekadar catatan kaki, yang malas saya letakkan di kaki artikel, saya tidak punya banyak teman dekat perempuan. OK, saya tidak punya banyak teman dekat. Damn, fine. Saya tidak punya banyak teman. Puas?

Sampai di mana kita tadi? Oh ya, teman dekat perempuan. Definisi dekat di sini adalah mereka yang ada dalam daftar kontak personal harian saya. Saya tahu di mana dan apa aktifitas mereka sehari-hari, secara personal. Bukan dari social media. Dalam hitungan saya (maaf untuk yang tidak kehitung - I stand corrected), saya hanya punya 8 teman dekat perempuan. Dan dengan berat hati, atas nama dogma sosial masyarakat yang (katanya) menjunjung tinggi adat ketimuran (sense my sarcasm), saya harus mengeluarkan 2 teman saya dari daftar karena mereka belum menikah. Jadilah, hanya 6 teman dekat saya yang berjenis kelamin perempuan dan sudah menikah. Empat di antaranya hamil. Enam puluh enam koma enam tujuh persen! By end of June 2014, tiga dari mereka sudah melahirkan putra-putri yang lucu (?). Kloter keempat diperkirakan sekitar Oktober. 

OK, lets move on dari berita kehamilan.

Saya tidak ingin membahas soal kehamilannya, karena ya buat apa juga. Toh ada yang bertanggungjawab ini. Saya lebih tertarik membahas prosesnya. Bukan proses pembuatannya, para pembaca dengan otak nakal... Tapi proses menjadi seorang (atau dua orang) disebut orangtua.

Beberapa tahun lalu, saya dan salah satu teman saya (termasuk dalam kelompok hamil di atas) mencela pilihan teman saya yang lain (cowok) untuk memulangkan istrinya ke rumah orangtua istri ketika hamil. Dengan bercanda tentu saja. Kami bilang, "Gitu deh ya jadi laki-laki. Habis menghamili aja langsung dibalikin ke ortu". Setahun setelah itu, teman saya terpaksa menelan omongan sendiri dengan meminta suaminya memulangkan dia ke rumah orangtuanya ketika hamil dengan berbagai pertimbangan. Well, now I'm not sure anymore if it was just kidding or a curse.

Pilihan untuk hamil, melahirkan, dan merawat anak yang baru lahir di rumah orangtua seringnya menimbulkan konsekuensi lain. Salah satunya adalah suami yang tidak terus-menerus bisa mendampingi karena harus kerja di kota/pulau/negara yang berbeda.

Another catatan kaki, saya belum menikah, belum berniat hamil, dan masih freak out dengan kehadiran anak kecil. Tapi fenomena di lingkungan saya membuat saya bertanya, ketika hamil, melahirkan hingga merawat anak baru lahir, mending mana, tinggal dengan orangtua dan jauh dari suami? Atau tinggal dengan suami dan jauh dari orangtua?

Sebuah survey hitam putih saya lakukan kepada 4 orang teman saya. Empat orang istri dan ibu luar biasa. Survey hitam putih di sini maksudnya harus milih di antara 2 itu, tanpa ada pilihan lain.

Satu dari mereka memilih tinggal dengan suami dan jauh dari orang tua. Alasannya, agar sang Ayah (pemegang setengah saham) juga ikut bertanggungjawab dan tidak hanya tahu 'bikin'nya saja (tidak diedit - red). Sehingga kedua orangtua di sini mau tidak mau harus bisa belajar secara mandiri tanpa mengharap banyak bantuan dari orangtua mereka.

Tiga dari mereka memilih tinggal dengan orangtua walaupun bearti harus jauh dari suami. Pertimbangannya beragam. Tapi garis besarnya adalah minimnya pengalaman mereka dalam mengurus anak sehingga jauh lebih baik kalau ada orang yang lebih kompeten dalam membantu mereka setidaknya sampai beberapa bulan pertama sang anak.

Saya, dengan segala keterbatasan, memahami pilihan dan pertimbangan mereka. Baby doesn't come with manual book. Apalagi untuk para pasangan muda yang menantikan anak pertama, it's completely new experience, new ride, whole learning progress upside down. Well, I don't even know how to properly carry the baby. Eh, sorry.. itu cuma gue ya?

Dan saya take my hat off untuk teman saya yang memilih menjalaninya berdua saja dengan suami dengan segala usaha, tekad dan niat untuk belajar. Doa saya untuk mereka semoga anaknya baik-baik saja.

Now, if you allow me, let me take my own vote. Jika saya dihadapkan pada pilihan tersebut blindly, tanpa komplikasi, maka saya akan memilih tinggal dengan suami meskipun jauh dari orangtua. 

Bukan. Saya tidak akan memberi kuliah tentang saya ingin belajar bertanggung jawab, bahwa saya ingin mandiri dan sebagainya. Jauh dari bayangan saya saat ini. Jauh banget. Lantas apa alasan saya?

Seorang pernah membagi mimpinya akan masa depan pada saya. Mimpi yang sangat sederhana. Mimpi akan sebuah keluarga utuh, berusaha sebaik mungkin menjadi suami dan ayah yang baik (apapun hasilnya) termasuk membesarkan anak-anak dengan tangannya sendiri.

Saya hanya tidak ingin menjadi seorang yang memupus mimpi itu dengan menjauhkan seorang ayah dari keluarganya.


***

"Aku Mencintaimu. Itu Yang Kamu Perlu Tahu."

"Za.."
"Hmm..", sahutku malas.
"Can you focus to me dan tinggalin itu monitor sebentar?" suara perempuan dalam kepalaku mulai meminta perhatian.
Aku alihkan perhatianku dari deretan code C# yang sejujurnya mulai membuatku sakit kepala dan membiarkan Zi mengambil alih tubuh kami, “I’m yours, Your Majesty”
“Aku perlu bicara”, ujarnya sambil berjalan menuju sofa bed di ujung kamar kami, spot favoritnya.
“Like you don’t do that all the time, do you?”
“It’s not very good time for your little sarcasm, my Dearest Common Sense”, bibir itu merengut ketika kurasakan hentakan keras tubuh kami menghantam empuknya sofa bed. Aroma vanilla dari lilin yang terbakar di sudut meja menyeruak di penciumanku ketika Zi mengambil nafas panjang, “Kenapa?”
“Karena kamu mencintainya”
“Maksudmu?”
“Jawaban dari pertanyaanmu tadi. Kenapa? Karena kamu mencintainya”
“Itu jawabanmu? Cinta? Yang selalu kau sebut sebagai konsep absurd hasil kerja dari sekumpulan hormon? Clearly, it was not an answer for my question”
"Pertanyaanmu mungkin berbeda, tapi jawabanku akan sampai di sana juga. Ini aku Zi yang bicara. Logikamu. Aku tahu setiap jengkal isi kepalamu"
Zi menggeretakkan geraham persis saat gelombang besar emosi telak menghantam kesadaranku.
"Baiklah, kalau bisa membuatmu merasa lebih lega. Apa persisnya yang ingin kau tanyakan?"
"Kamu sendiri yang pernah bilang Za, betapa berdarahnya membangun hati dari reruntuhan. Kepingan. Demi. Kepingan", luapan kata penuh emosi itu terjeda sejenak ketika Zi mengambil napas. "Kita pernah ada di sana. Kita berhasil merekonstruksi hati itu lagi. Hati yang tidak pernah utuh lagi, hati yang tidak pernah lagi sama. Tapi setidaknya hati itu tidak lagi kepingan"
Aku rasakan tekanan di saraf motorik tangan saat Zi mencengkeram kencang sandaran sofa. "Dan sekarang, kamu, logikaku, dengan sukarela, menyerahkan hati itu ke seorang yang sama, yang pernah menghancurkannya 10 tahun yang lalu. I demand an answer, why?"
“Sebelum aku kembali ke jawabanku, aku ingin bertanya padamu. Taruhlah kita melakukan hal yang berbeda malam itu. Dengan dalih menyelamatkan hati dan hidup, we just walked away. Pretending that nothing happened. Leave him with his life and continue ours. Pertanyaanku, kamu bisa melanjutkan hidupmu seperti itu? Continue live your happy, free, peaceful, boring life?”
Zi terdiam.
“Biar aku yang jawab. Enggak. Dan aku tidak bisa terus-terusan melanjutkan hidup ini sendirian sementara kamu sama sekali tidak beranjak dari tempat kamu sekarang.”
Aku menjeda penjelasanku sementara Zi memainkan gelas kaca di tangannya. Dalam sekali tenggak, es kopi yang aku buat untuk menemaniku menekuri C# tandas.
“Za, kamu tahu persis apa yang kamu lakukan kan? Kamu sedang mempertaruhkan hati”
“Nona, bahkan hanya dengan 2/3 akal sehat, thanks for those dopamine and oxytocin, aku tahu persis apa yang aku lakukan. Kamu ingat kamu pernah bilang, pada akhirnya kita hanya perlu menemukan seorang yang kembali membuat kita percaya. Kamu benar, aku memang sedang mempertaruhkan hati, sekali lagi. Pada seorang yang pernah dan masih kamu cinta. Pada orang yang sama, yang pernah dan masih aku percaya”
“Kamu ingat buku berdebu yang teronggok di sudut meja kehidupanmu? Buku yang berdebu bukan karena terlupakan, namun hanya karena ketidaksanggupanmu untuk menjamahnya selama 10 tahun ini. Sudah waktunya untuk memberi kesempatan pada kalian berdua untuk menulisinya lagi”, aku melanjutkan sementara manik mata Zi menekuri bongkahan es batu yang mulai mencair di hangatnya udara malam.
"How if we ruin up everything this time? How if kita mempertaruhkan hati pada orang yang salah?"
"Aku balik pertanyaanmu. How if dia mempercayakan hidupnya pada orang yang salah? It takes two to tango, Dear. Cinta itu kata kerja dan relationship adalah hasil kerja dua pihak."
Lama Zi terdiam. Hanya alunan pelan lagu All of Me yang diputar di radio, untuk kelima kalinya hari ini, memenuhi udara kamar. 
“Ngomong-ngomong," ujarku memecah keheningan, "do you ever wonder kenapa hati itu tidak pernah utuh lagi seperti kamu bilang? Karena kamu tidak pernah berhasil mengambil semua kepingan itu darinya.”
Gelak tertahan Zi menggema di kamar kecil kami. "Kamu dan sok tahumu itu"
"Now Your Grace, boleh saya ambil alih lagi isi kepala? Just in case kamu lupa, minggu depan kita ada ujian. Well, I know it suck, but life is not just about those chemical reaction things you know. Kadang juga tentang KPI kantor. So, can I?"
Perlahan, aku merasakan keenam indraku saat kesadaranku mulai mengambil alih badan kami.
"Hey Zi," ucapku sebelum Zi sepenuhnya menghilang, "do me a favor, could you? Kalau kalian ketemu lagi, kiss him for me please. You two are the weirdest couple I ever know, you know?"
Sensasi familiar menjalar di tulang belakangku. Butterfly in my spine, Zi menyebutnya.

****

Rinjani Tale: Mengadu Nyawa di Titian Surga

 “Enggak bisa Na..”
“Bisa. Harus bisa. Pelan-pelan aja.”
Ia benamkan tongkat ke sebelah kiri dan dilangkahkan kaki kanan dengan ragu-ragu ke tanah kering penuh kerikil di depannya. Sontak, puluhan kerikil bercampur pasir longsor menggelincir ke jurang menganga di sisi kirinya. Kami terdiam. Tatapan ngeri saya bersirobok dengan wajahnya yang pucat pasi.

Segara Anak, 6:00 AM
Suara lirih motor lensa dan shutter camera rupanya terlalu keras untuk kedamaian pagi di Segara Anak. Suara familier itu mampu menyadarkan saya, yang biasanya susah terbangun bahkan oleh gedoran alarm, dari tidur yang tidak terlalu nyenyak. Pukul 6 saat itu, pagi sudah jauh dari dini. Meskipun begitu, Segara Anak masih sepenuhnya di bawah bayang-bayang anggun sang dewi. Semburat sinar matahari, yang belum sempurna melewati puncak Rinjani, menyapa pucuk-pucuk cemara di atas perkemahan kami.
Terhuyung saya keluar dari tenda diiringi sapaan dari Dhana yang rupanya sudah terlebih dahulu terbangun untuk mengabadikan pagi di Segara Anak. Tak berapa lama kemudian, satu demi satu penghuni tenda yang lain menyusul keluar dari peraduan. Memanfaatkan waktu yang hanya sesaat sebelum sarapan terhidang, kami bernarsis ria menghadap kamera berlatar puncak Rinjani dan Segara Anak.
Tugas kami cukup berat hari itu. Kami yang mengambil paket 4H3M mau tidak mau dan bisa tidak bisa harus menyelesaikan trek dan sampai di desa Senaru hari itu juga. Yang bearti kami harus menempuh rute Segara Anak – Plawangan Senaru – Pos III – Pos II – Pos I – Gerbang Rinjani – Senaru dalam waktu 12 jam. Yap, hari yang panjang bahkan ketika belum dimulai.
Setelah menyelesaikan sarapan sekadarnya, kami mulai membereskan tenda dan segala perlengkapan lain untuk perjalanan terakhir. Tepat pukul 8 pagi, kami berpamitan pada Segara Anak. Seperti yang dijelaskan Pak Sailih hari sebelumnya, trek mendaki ke Plawangan Senaru terletak tepat di belakan perkemahan kami. Rute di awal berupa trek tanah basah di antara semak belukar yang cukup tinggi. Menurut Rodi, semak-semak masih cukup tinggi karena baru sebulan Rinjani dibuka untuk pendakian setelah ditutup selama musim penghujan dari Januari sampai akhir Maret. Iya, pendakian ini saya lakukan di akhir April. Ndak usah protes mengapa seri terakhir cerita pendakian baru saya selesaikan sekarang.

Di awal, trek masih cukup mudah, didukung cuaca yang masih sejuk dan sinar matahari yang masih terhalang pepohonan di atas kami. Setengah jam berjalan, trek mulai menampakkan taringnya. Beberapa batu yang membentuk anak-anak tangga yang cukup terjal mulai menghadang di depan. no big deal. Setelah tiga hari ditempa rute yang luar biasa, rute di depan saya kali ini hanya menjadi semacam playground. Kami hanya perlu sesekali berhenti, mengatur nafas, minum air, pijit-pijit kaki yang kram, dan banyak lagi yang lain (ya sama aja boong ceu..)
Belum satu jam mendaki saya seperti melihat puncak bukit (karena tampaknya yang paling tinggi dari tempat saya berdiri saat itu).
“Rod, itu Plawangan Senaru?” tanya saya pada Rodi yang setia menemani kami.
“Bukan, itu batu ceper. Nanti kita istirahat di sana. Ada batu besar, bisa tiduran di situ.”
“Dari situ, Plawangan Senarunya udah dekat?” sambut saya antusias.
“Enggak, kan kita baru seperempat jalan ke Plawangan.”
Oh OK, itu baru seperempat jalan ke Plawangan. Sementara Plawangan sendiri adalah sepertiga total rute kami hari itu. Yeah, that cold blood kid. *banting tongkat*

Benar saja, tak lama membentang di hadapan saya sebidang tanah datar dengan beberapa tebaran batu-batu besar. Saya dan Stevan yang sampai pertama segera saja mengakuisisi beberapa batu untuk meluruskan punggung sekaligus berjemur. Batu ceper ini sekaligus juga tempat yang cocok untuk memuaskan hasrat foto-foto narsis karena pemandangan ke arah danau. Ditambah lagi, karena kami berangkat relatif cukup pagi, pemandangan ke arah danau masih belum terhalang kabut.
Dari batu ceper, tampak tujuan siang itu menjulang di atas kami. Di beberapa tempat, tampak bekas-bekas jalur longsor memotong trek. Menurut guide kami, beberapa longsoran baru saja terjadi selama musim hujan tak lama berselang. Setelah istirahat hamper 30 menit sembari menunggu para pria sampai di batu ceper, kami melanjutkan pendakian.
Selepas dari batu ceper, trek berubah menjadi tanah kering berbatu dengan kemiringan rata-rata 20 derajat di jalur datar dan nyaris tegak lurus di banyak bagian. Di beberapa bagian dengan kemiringan ekstrim, tersedia pegangan tangan dari besi.
Di jalur-jalur longsor yang terlihat dari batu ceper, kami harus ekstra hati-hati. Tebaran bebatuan mulai dari pasir, kerikil hingga batu seukuran kepala manusia ditambah struktur tanah labil miring ke jurang membuat kami harus berpikir sebelum melangkah. Longsor juga tidak hanya menyeret bebatuan, beberapa pohon di jalur longsor juga tampak tercerabut bersama akarnya dari tanah dan masih melintang di jalur pendakian. Maka sekali dua, kami harus memanjat batang pohon dengan diameter dua dekapan manusia tersebut.

Untuk saya, dan teman-teman lain yang kebetulan memakai sepatu/sepatu sandal trekking, kondisi tanah kering berpasir yang sedikit miring ke kiri tidak terlalu menjadi masalah. Tapi tidak untuk Stevan. Meskipun berbekal tongkat berjalan yang ditemukan di tengah jalan, sepatu kets yang dia pakai memang bukan alas kaki yang mumpuni di trek Rinjani. Beberapa kali saya lihat dia yang tampak kepayahan menentukan langkah sambil sesekali meraih semak di pinggir trek untuk pegangan.
“Na, yang ini lewat mana?”, tanya Stevan ke saya yang berada tiga meter di depannya sebelum ia melintas di trek selebar setengah meter itu.
“Gue tadi kiri si” jawab saya sambil menunjuk sisi yang paling dekat dengan jurang. “Soale klo di sebelah kanan, jauh lebih miring”
“Yang bener aja, kalau di situ trus kepleset langsung masuk jurang dong!!”
”Ya elu lewat kanan deh klo gitu”
Malang baginya, tidak ada semak yang bisa digunakan untuk pegangan. Diraihnya rumput kecil yang tumbuh di tebing itu. Putus. Dia menyumpah, saya ketawa. Stress.
“Pakai tumpuan tongkat lu itu aja…”
 “Enggak bisa Na..”
“Bisa. Harus bisa. Pelan-pelan aja.”
Ia benamkan tongkat ke sebelah kiri dan dilangkahkan kaki kanan dengan ragu-ragu ke tanah kering penuh kerikil di depannya. Sontak, puluhan kerikil bercampur pasir longsor menggelincir ke jurang menganga di sisi kirinya. Kami terdiam. Tatapan ngeri saya bersirobok dengan wajahnya yang pucat pasi.
Setelah menenangkan diri beberapa saat, ia kembali mulai melangkah. Kali ini tanpa tongkat. Setengah merayap tepatnya. Di lain kesempatan, saya mungkin sudah terpingkal-pingkal tapi saat itu saya hanya bisa berharap tidak terjadi apa-apa. Setelah berjibaku beberapa saat, akhirnya dia berhasil melintasi jalur tersebut.
Mendekati Plawangan, trek makin berat. Tantangan terakhir sebelum menapak Plawangan adalah ketika saya mendapati trek tiba-tiba berhenti di sebuah tebing batu. Saya yakin saya mengambil jalur yang benar, karena itu adalah satu-satunya jalur. Dari tempat saya berdiri, saya bahkan bisa mendengar suara Galeh dan para guide yang sudah tiba di Plawangan terlebih dahulu. Masalahnya, tidak terlihat satu pun jalan di depan saya.
“Woy guys, ini jalannya lewat mana?” teriak saya pada mereka.
“Kamu di mana?”
“Ini menthok di tebing.”
“Ya itu, bener. Panjat aja.”
And I was like; What?! Hey I didn’t sign up for this!  Manjat tebing setinggi 3 meter dengan kemiringan sekitar 80 derajat? *keretekin jari*
Setelah melemparkan tongkat ke atas (trust me, tongkat itu ga guna di sini), saya memulai debut pertama saya dalam urusan panjat tebing. Tidak susah ternyata. Setidaknya tebing itu tidak sesusah yang saya pikir sebelumnya. Ada beberapa pijakan kaki dan tangan untuk menarik tubuh ke atas. Lumayan bikin lengan pegal, tapi tidak susah.
Beberapa meter dari tebing tadi, sampailah saya ke satu dataran cukup luas yang lebih dikenal dengan sebutan Plawanga Senaru. Berbeda dengan Plawangan Sembalun yang cukup luas, Plawangan di sisi Senaru ini relative lebih kecil dan lebih berkontur, sehingga menyulitkan pendirian tenda. Kelebihan Plawangan Senaru ini adalah pemandangannya yang iconic. Siapa yang tidak tergoda menikmati pemandangan seperti ini dari dalam tenda?

Tidak berapa lama kami habiskan di Plawangan Senaru. Matahari yang mulai tergelincir memaksa kami segera beranjak menuruni punggung gunung menuju pos III. Jalur dari Plawangan menuju pos III berupa kombinasi trek menurun yang penuh dengan bebatuan dan pasir kering. Tidak ada pepohonan maupun perdu di sepanjang trek. Yang ada hanyalah ilalang setinggi lutut. Trek yang sepenuhnya menurun, tanpa jalan datar maupun tanjakan membuat perjalanan kami laksana fast forward. Tanpa berhenti istirahat. Satu-satunya kesempatan kami berhenti adalah ketika harus berpikir, jalan mana yang harus dilalui. Mengapa? Jika trek menuju Plawangan dari Segara, kanan tebing kiri jurang, trek menuju pos III kanan kiri jurang. Salah langkah sedikit saja, makin cepatlah kami sampai di bawah.
Berbeda dengan trek Sembalun yang didominasi sabana sepanjang mata memandang, trek Senaru ini didominasi hutan hujan tropis. Iya, selepas pos III, perjalanan kami tidak lagi di bawah terik matahari, melainkan rimbun pepohonan. Waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang ketika kami meninggalkan pos III selepas mengisi perut. Baru beberapa langkah, tetes-tetes air mulai menerobos rimbunnya kanopi di atas kami. Akhirnya, untuk pertama kalinya sepanjang perjalanan, jas hujan yang saya bawa terpakai. Hujan on and off yang mengguyur punggung Rinjani menemani kami menempuh perjalanan dari pos III hingga pos I. Kami cukup beruntung, karena selama 4 hari pendakian, baru bertemu hujan di hari terakhir. Karena jujur, saya bukan orang yang menikmati perjalanan dalam hujan. Berat ceu.
Tidak banyak yang bisa dinikmati sepanjang perjalanan ke Senaru. Di samping rungkutnya kanopi, langit sudah menggelap jauh sebelum kami mencapai pos I. Dari pos II, praktis pandangan mata saya tergantung sepenuhnya pada head lamp. Setelah sebelumnya terpecah menjadi beberapa group, mulai dari pos II, kami berenam berusaha sebisa mungkin tidak terpisah satu sama lain. Meskipun trek sangat jelas dan tanpa percabangan, sendirian di tengah hutan di saat gelap bukan hal yang menarik untuk dilakukan.
Sekitar pukul 7 malam, masih dengan ditemani rintik gerimis, kami mencapai gerbang Taman Nasional Rinjani di desa Senaru. Jangan girang dulu, karena untuk mencapai desa masih harus menempuh beberapa kilometer lagi. Meskipun begitu, gerbang ini cukup untuk melepas dahaga akan peradaban, atau untuk teman-teman saya, melepas dahaga akan rokok, karena di sini ada warung kecil yang menjual makanan, minuman dan tentu saja rokok.
Trek dari gerbang Taman Nasional menuju desa Renaru melewati kebun penduduk. Jadi jangan kaget kalau sesekali terdengar lolongan anjing, atau suara mendesis. Awalnya, saya pikir suara mendesis yang tepat di sebelah trek adalah suara ular. Ternyata pipa air bocor. K
Di Senaru, semua pendaki diwajibkan untuk melaporkan diri di kantor Taman Nasional untuk memastikan bahwa kami sudah benar-benar turun dan tidak hilang di atas. Waktu itu saya lupa apakah ada di antara kami yang melaporkan diri, karena begitu masuk ke kantor, yang ada kami sibuk berburu souvenir.
Tiga jam kemudian, menjelang tengah malam, setelah diskusi panjang di mana kami akan tidur malam itu, akhirnya kami kembali menginjakkan kaki di Mataram untuk bersiap ke Gili Trawangan keesokan harinya. Mengapa kami kembali ke Mataram malam itu dan bukannya menginap di Bangsal? Karena satu dan banyak pertimbangan yang menjadi alas an diskusi panjang tadi. Tapi kalau saya pribadi, didukung food poisoning ringan, jelas lebih memilih tempat tidur yang nyaman malam itu.
Mengakhiri cerita pendakian Taman Nasional Gunung Rinjani, jalur Sembalun-Senaru 4H3M, untuk siapa aja yang membaca postingan ini sampai akhir dan ingin selembar kartu pos Rinjani, boleh lho DM/YM/email saya alamatnya. Total ada 4 lembar kartu pos untuk 4 orang yang paling cepat. Kartu pos tidak akan saya kirim dari Lombok for sure, tapi dari Singapore. So, kapan lagi punya kartu pos Rinjani dengan perangko Singapore?

***THE END***

*picture from Dhana's camera. 
(Dua belas jam perjalanan dan cuma nemu 4 foto dari 4 camera yang bukan foto narsis.)


Rinjani Tale: Segara Anak, Sebuah Mitos

“Mungkin sebenarnya danau itu hanya mitos dan sekarang kita hanya mengejar fatamorgana. Mungkin sebenarnya, inti perjalanan ini bukan lagi tentang Segara Anak, tapi tentang diri kita. Dan di akhir perjalanan, kita akan menemukan danau itu ada dalam hati kita masing-masing. Sebuah oase kehidupan, sebuah harapan, yang memaksa kita terus berjalan.” ~ sebut saja R, perempuan lagi PMS, di tengah tekanan perjalanan tanpa akhir ke Segara Anak.

Segara Anak merupakan danau vulkanik yang terbentuk dari letusan gunung Rinjani bertahun silam. Jangan tanya saya kapan tepatnya, ga ketemu literaturnya. Jadi mari kita hentikan saja cerita soal data, dan fokus ke usaha saya menemukan danau kawah kaldera Rinjani ini.
Kami memulai perjalanan dari Plawangan Sembalun lepas tengah hari. Melecut tubuh yang mulai mencapai batas ketahanan, setelah beberapa jam sebelumnya berjibaku menuju puncak, kami mulai beranjak ke Segara Anak. Dari Plawangan Sembalun, rute menuju Segara Anak relatif lebih mudah dibanding pendakian sehari sebelumnya ketika kami menuju Plawangan. Track kali ini didominasi turunan dan sedikit tanjakan dan beberapa ruas jalan datar.Tapi jangan terkecoh oleh iming-iming kata turunan. Kalau Anda membayangkan turunan di sin sebagai track turunan 15 derajat atau deretan anak tangga, maka bersiaplah menelan kekecewaan.
Dari tempat kami mendirikan tenda malam sebelumnya, kami bergerak balik ke arah kami datang. Lima ratus meter kemudian, jika ke arah Sembalun belok kanan, untuk menuju Segara Anak kami berbelok ke kiri. Mulailah kami menuruni tebing di tengah kabut yang mulai turun dengan pekat.
turunan
Jarak pandang di siang yang cerah itu hanya sekitar 30 meter. Berhubung track yang menurun, rombongan kami yang digawangi pak Sailih dan guide cilik, Rodi, dengan mudah mulai membuat jarak satu sama lain. Di beberapa titik, seorang yang di posisi paling belakang, hanya bisa mendengar suara temannya yang berada di depan karena terhalang kabut.
Track turunan di jalur ini didominasi tanjakan batu alam dengan ketinggian rata-rata 20-30 cm. Di beberapa titik, turunan bisa mencapai tinggi hampir setengah meter. Walhasil, dengan tinggi saya yang tidak seberapa ini, saya harus mau tidak mau melempar tongkat berjalan ke bawah, dan mulai menggunakan kedua tangan untuk pegangan saat meluncur turun.
Wapada juga dengan batu-batu yang tidak terlalu kokoh. Pastikan sebelum menapak, batu tumpuan cukup kokoh untuk menopang berat badan. Biasanya, tugas seorang yang di depan untuk menjajal kemungkinan pijakan yang paling aman dan nyaman. Jadi usahakan, untuk tidak terpisah terlalu jauh, terutama di rute-rute awal ketika masih banyak tanjakan ekstrim. Menjelang setengah perjalanan, track turunan berbatu tadi mulai relative datar. Masih turun, tapi tidak lagi setajam omongan orang.
perdu warna-warni
Melihat lagi foto-foto yang dari kamera saya yang dibawa Dedi, track Plawangan Sembalun – Segara Anak merupakan track paling cantik. Beberapa background foto kami adalah dinding batu dengan foreground tanaman perdu rendah dan rumpun-rumpun Edelweiss. Dan saya yakin, pemandangan dari tebing-tebing kami berdiri membentang tak terhalang ke arah Segara Anak, kalau saja tidak ada kabut yang menghalangi. Tips, usahakan turun agak pagi sebelum kabut turun. Pemandangan jauh lebih menyenangkan.
Jembatan (iya, dilewati)
Separuh jalan, rombongan kami terbagi tiga. Dedi dan Rodi memimpin di depan. Saya, Stevan dan Galih mengikuti hampir setengah jam di belakang mereka. Disusul Dana dan Tomi ditemani Pak Sailih jauh di belakang.
Rodi
Rombongan saya yang tidak punya guide, hanya mengandalkan insting dan track yang terlihat. Jika tampak ada persimpangan, kami memilih untuk berhenti sebentar sampai bertemu dengan rombongan lain atau porter yang kebetulan lewat untuk memastikan jalan.
Menurut Pak Sailih sebelum kami turun, perjalanan normal ke bawah harusnya bisa ditempuh selama 4 jam. Mengingat kami memulai perjalanan sebelum pukul 1 siang, menjelang pukul 4 saya mulai gelisah. Tidak tampak tanda-tanda kami mendekati danau. Tidak ada suara gemericik air, tidak ada spot pemandangan danau karena hampir seluruh pemandangan ke bawah tertutup kabut. Sementara perbekalan air nyaris tandas.
Beberapa kali, kami bertanya kepada porter yang overtake kami.
Kami           
: “Segara berapa lama lagi Pak?”
Guide  
: “Udah deket. Tiga puluh menit lagi lah..”
Tiga puluh menit kemudian …
Kami
: “Segara masih jauh Pak?”
Another guide          
: “Enggak juga.. Yah, sekitar tiga puluh menitan…”
Kami          
: *banting ransel*


Kombinasi tujuan yang tidak jelas di sebelah mana, tidak tahu masih sejauh apa, track yang monoton, perbekalan yang menipis dan usaha kami yang tampak tidak membuat kemajuan bearti (dan ditambah saya lagi PMS), membuat kekesalan saya memuncaki ubun-ubun. Begitu melihat seorang porter lagi mendahului kami yang sedang istirahat, tanpa basa-basi saya segara mengangkat ransel dan menyusul porter tersebut semampu saya (walaupun tidak tersusul juga).
Beberapa kali, saya tidak hanya jalan cepat, tapi sudah mulai lari-lari kecil menyusuri track tanah yang naik turun. Ulah saya membuat group kecil saya yang bejumlah tiga orang tercerai berai. Stevan, saya lihat tampak mengekor beberapa menit di belakang saya. Sementara Galih nyari tak lagi tampak. Bahkan beberapa kali teriakan saya memanggil dia sepertinya tidak terdengar.
Awalnya si khawatir kalau salah satu teman saya itu salah jalan, tapi demi melihat track yang cuma satu-satunya tanpa percabangan, saya yakin mereka bisa make their own way ke danau tanpa kesasar. Dan lagi, ayolah, saya satu-satunya perempuan di rombongan kami. Kalau ada yang kesasar ketika jalan sendiri, secara genetic harusnya sayalah orangnya. --'
Segara Anak sudah dekat
Sungai kecil
Lima belas menit setelah kegilaan saya, kejengkelan saya terbayar. Deretan pohon pinus, beberapa tenda dan hamparan air membentang di hadapan saya. Pertanyaan berikutnya, di mana tenda kami?
Bersama Stevan yang sampai beberapa menit kemudian, saya bertanya kepada beberapa porter yang tampak mulai menyalakan perapian untuk memasak.
“Pak, ada lihat rombongan saya ada lewat ga ya?”
“Rombongannya yang mana ya Mbak?”
“Err…..”
Menurut elo aja si Na… Ya kali orang ingat saya ada di rombongan guide mana. Beruntung, saya ingat salah satu dari kami pasti dikenali mereka.
“Pak, ada lihat Rodi lewat sini ga?”
“Oh, group dari Semarang ya? Masih di sebelah sana lagi … ”, dan saya baru sadar tim kami bernama group dari Semarang.
Arah yang ditunjukkan guide tadi membawa kami berdua menuruni tebing menuju ke danau. Stevan yang sampai di bawah terlebih dahulu berteriak ke saya, “Bener Na.. tendanya kelihatan.”
Setelah setidaknya tahu lokasi tenda kami, tanpa turun, saya meminta Stevan jalan terlebih dahulu sementara saya menunggu Galih yang masih entah di mana. Kenapa saya harus nunggu dia? Karena kalau sampai orang ini hilang di Rinjani, saya ga akan bisa pulang ke rumah ortu, karena pasti bakalan dicincang sama nyokapnya, kakak ibu saya. 
Setelah bertemu Galih dan memberi direction yang saya rasa cukup, saya kembali menuju jalan saya tadi, sementara dia beristirahat.
Dengan percaya diri dan kejengkelan yang sudah mereda, saya menuruni tebing tempat saya terakhir meninggalkan Stevan. Sesampainya di bawah, di pinggiran danau, saya belum pernah merasa seputus asa itu sepanjang hidup. Tenda kami, melambai-lambai dari seberang danau. Saya ulangi, SEBERANG DANAU!
Tenda di seberang
Saya tahu di gunung, saya tidak boleh mengumpat. Atau berkata-kata kotor lainnya. Jadilah detik itu, yang bisa saya lakukan hanya menghela nafas, terdiam, berusaha kalem, kemudian bertanya kepada seorang yang memancing di dekat situ.
 “Pak, kalau mau ke tenda itu lewat mana ya?”
“Susuri pinggiran danau aja mbak..”
“Yakin ga ada jalan lain Pak? Tadi teman saya lewat sini?”
“Iya.. tuh..”, tunjuknya ke arah pepohonan yang menyembunyikan Stevan.
Jadi gini, pinggiran danau yang dimaksud pemancing tadi bukanlah dataran landai tempat kita bisa berjalan santai sambil berkecipak air danau. Pinggiran itu lebih ke tebing sempit selebar 10 sentimeter di antara akar-akar pepohonan. Atau di beberapa tempat yang sedikit lebih baik, pinggiran itu berupa titian batu berlumut yang terendam air danau semata kaki.
Satu yang ada di pikiran saya saat itu, walaupun otak rasanya sudah mau meledak karena jengkel, saya yakin ada penjelasan masuk akal mengapa tenda kami dibuka di ujung dunia seperti itu. Yakin ada dan untuk keselamatan bersama, lebih baik ada. 
Sambil menggeratakkan geraham, saya berusaha menyusul Stevan yang bahkan belum separuh jalan. Alih-alih mengikuti cara Stevan yang mendaki akar-akar pohon, saya mengambil rute yang buat saya lebih masuk akal. Nyebur ke danau. Toh barang-barang berharga saya ada di dry bag, pikir saya. Dengan cara itu, walaupun basah kuyup dari pinggang ke bawah, sampai ke perkemahan lebih dahulu dari Stevan yang masih berjuang melewati akar pohon.
Sesampainya di perkemahan, saya segera menghampiri Dedi yang juga baru saja sampai. “Kenapa kita buka tenda di sini?! Emang besok rutenya lewat sini?”, geram saya pada Dedi yang tidak tahu apa-apa.
“Ga tahu juga. Aku sama Rodi juga baru sampai, dan tenda udah di sini. Tadi aja nanya guide di atas.”
Baiklah, setelah akhirnya setelah bertanya ke Pak Idah yang bertugas membawa tenda tersebut, jawaban yang saya dapat sedikit mendinginkan kepala. Satu-satunya jalan dari Segara Anak menuju Plawangan Senaru yang harus kami lewati keesokan paginya memang melewati area perkemahan kami. Jadi mau tidak mau, kami tetap harus melewati rute neraka di pinggir danau tadi, entah hari ini atau esok pagi.
Dengan kepala yang jauh lebih dingin, saya baru menyadari, lokasi perkemahan kami malam itu luar biasa cantik. Dari apa yang saya bisa lihat tepat di depan tenda, saya bisa bilang area itu adalah the best spot buat buka tenda di Segara Anak.
Dan untuk lebih mendinginkan kepala, sambil menunggu rombongan terakhir sampai, saya memutuskan menceburkan diri ke danau. Menikmati sore dengan pengalaman pertama seumur hidup. Berenang di danau yang luar biasa dingin dengan pemandangan deretan pinus, puncak Gunung Baru dan puncak Rinjani mengelilingi saya. AWESOME!!
Pesan saya, jangan tidur cepat di Segara Anak. Atau setidaknya, kalau harus tidur cepat, bangunlah sebelum fajar menjelang. Anda tidak akan mau melewatkan pemandangan tenda berlatar belakang danau dan gugusan Bima Sakti kan?
Sky and us
Milky Way and Segara Anak
Full team
Yah, untuk saya, perjalanan Plawangan Sembalun ke Segara Anak memang bukan perjalanan paling menyenangkan sepanjang trekking Rinjani, tapi yang jelas, perjalanan hari itu berakhir di tempat yang paling luar biasa dari tiga hari perjalanan kami. And now, I want to do that again. Anyone?
***FIN***

Hai there..

"Ehm...Hai there.. Maaf, boleh saya telan biji palem ini dulu?"

Mungkin itu yang dikatakan tatapan burung ini pada saya yang sedang membidik dari balik lensa tepat ketika dia menikmati makan siangnya.

Lokasi: Jurong Bird Park
Diupload ulang dari multiply dan Facebook untuk mengikuti #TurnamenFotoPerjalanan di sini.