My Head Over My Heart

27 June 2011
GUNTING BATU KERTAS. Dia meninggalkan hatinya di rumah. Kepalanya menang lagi.


Sepenggal status yang saya post di Facebook account saya hari ini mengundang pertanyaan dari seorang teman. 
"elu lg broken heart yah?".
Well...of course not. Lagi pula, bagaimana mungkin hati saya patah kalau saya memutuskan untuk tidak menggunakannya? 
Decided to use my head over my heart. Use my brain over my feeling. 
Memutuskan untuk menyimpan hati saya jauh-jauh dari kehidupan saya, karena well...sebut saja belum saatnya untuk saya pakai. 
Saya sebut belum, karena suatu saat saya pasti akan menggunakan hati. 
Saya sebut belum, karena saya tidak ingin hati saya berkeping untuk sesuatu yang not worth for it.
You might call me heartless. Say that I'm paranoid. Atau munafik mungkin. 
Tapi ijinkan saya menyebutnya logis. 

MiniFiksi: Hidup Dalam Serangkum Kata

              Akhir-akhir ini saya kecanduan untuk menuliskan semua isi kepala saya dalam sebuah mini fiksi di status Facebook. Saya merasa lebih bebas mengekspresikan apa yang saya rasa baik itu fiksi maupun non-fiksi dalam hidup saya ketika saya menuliskannya dalam format mini fiksi. Buat saya, beberapa karakter itu mampu melukiskan perasaan saya tanpa harus terdengar cheesy. 
Yap karena bagaimana pun juga saya tetap selalu bisa mengelak bahwa itu adalah a fiction kan?
Well, akhir kalam, inilah warna hidup saya selama 14 hari dalam serangkum kata.


13 June 2011
MENU MAKAN SIANG. Kali ini sepertinya aq harus mengunyah kepingan hatiku yang baru saja kau patahkan.


13 June 2011
RINDU. Tak tertahan rindunya pada lelaki itu. Sudah sekian lama waktu sejak mereka berpisah. Terhitung, 5 menit yang lalu.


10 June 2011
LAGI. Pasangan itu berlalu. Kudengar derak suara retak. Hatiku.


9 June 2011
KEDINGINAN. Rasanya aku perlu memasang pemanas. Pelukanmu tidak lagi hangat.


8 June 2011
TERKUNCI. Ah sial, kenapa kau kunci pintunya? Aku masih di dalam hatimu.


7 June 2011
SALAH KOSTUM. Hanya aku yang memakai putih. Semua orang memakai baju hitam di pemakamanku.


2 June 2011
KETINGGALAN. Aku berjalan kembali ke pelaminan mereka. Sang mempelai pria masih menyimpan separuh hatiku.


31 May 2011
Merindumu itu tak sulit, bahkan ketika kau di hadapanku.


******************************************

Sang Surya Tak Pernah Ingkar Janji

Sebuah pagi di ujung timur pulau Bali

Merelakan Cinta


Titik-titik air mulai menghiasi kaca jendela taksi yang membawaku meninggalkan pelataran bandara Adi Sucipto. Langit rupanya tak lagi mampu menahan beban kelabu pekat yang sedari tadi bergelayut. Angin yang berhembus tergesa menyapu kering dedaunan yang terserak seolah berpacu sebelum tetes hujan kembali menghempasnya ke trotoar basah.

“Akhire hujan juga.” Sopir taksi seusia bapakku itu membuka percakapan sambil menunggu lampu pertigaan jalan Solo itu berubah hijau.
“Sampun dangu mboten jawah tho Pak?” ["Sudah lama tidak hujan ya Pak?"]
“Mpun tigang dinten niki Mbak. Puanase mboten kantenan. Mbak’e tiyang Yogya tho?” ["Sudah tiga hari ini Mbak. Panasnya bukan main. Mbak orang Yogya ya?"]
“Mboten Pak [Tidak Pak]. Tapi saya pernah kuliah di sini.”, jawabku sambil tersenyum yang disambut dengan anggukan kepala pak sopir.
Lalu lintas terasa lengang sore ini di ring road utara. Hamparan petak-petak padi yang terselingi komplek perumahan yang sepertinya makin banyak bermunculan itu melintas kabur. Belum setengah tahun berlalu sejak kedatangan terakhirku ke kota ini. Waktu yang tidak cukup lama untuk mengubah wajah kota yang sudah aku anggap rumah keduaku ini. Namun seharusnya merupakan waktu yang sangat lama untukku yang hidup dengan separuh hati, karena aku masih meninggalkan separuhnya di sini.
“Mbak, maaf. Mbaknya ini mau ke jalan Sardjito atau rumah sakit Sardjito?” pertanyaan itu membawaku kembali ke dalam taksi.
“Oh, ke rumah sakit Pak.”. Rupanya kami sudah melewati perempatan jalan Kaliurang. Untukku, melintasi jalan ini sama saja membenamkan kepalaku dalam sekolam besar kenangan. Dimulai dari kenangan cantik tentang empat tahun yang aku lewatkan, hingga berakhir pada kenangan kelam hampir setahun yang lalu. Kenangan  yang membekap ruang udaraku, menyudutkan paru-paruku, dan mendesak kantung airmataku.
“Mbak sudah sampai.”
“Oh, maaf Pak.”, segera kuseka kaca di mataku yang hampir retak.
Perlahan kulangkahkan kaki keluar taksi. Kutatap bangunan di depanku. Langit yang masih muram membingkai bangunan yang makin terlihat suram. Bangunan yang sudut-sudutnya pernah sangat lekat dengan hidupku. Pernah dan masih sangat lekat.
************
“Selingkuh itu bukan hanya urusan fisik. Selingkuh itu ketika hatimu mulai terbagi. Ketika kamu merasa lebih nyaman dengan orang lain yang bukan pasanganmu.”
Tanganku berhenti menggerakkan mouse yang sedari tadi asyik mengatur kontras foto di monitor. Suara Nadya mendesis pelan dari speaker murah yang tersambung ke laptop di depanku. Pelan, namun cukup membuatku memberikan perhatian penuh pada sahabatku ini. Kucondongkan tubuh ke arah mikrofon di sebelah kiriku. Tindakan yang tidak perlu sebetulnya, tapi aku tidak bisa menahan diri atas provokasi yang baru saja dilakukannya.
“Nad, please deh. Pasanganku itu ada di ujung dunia sana. Dan bukan bearti aku tidak lebih nyaman kalau bersama dia. Aku cuma berusaha menikmati hidupku sekarang. Di sini.”, suaraku sedikit lebih tinggi dari yang aku harapkan.
“Menikmati senyum laki-laki lain yang tiap hari ada di sampingmu maksudnya?”, kejar Nadya sinis.
“Hei..hei..ayolah, dari awal aku sudah bilang dia cuma teman.”, sekilas aku melirik layar laptopku. Sepasang mata tajam dalam bingkai kacamata dan seulas senyum simpul balas menatapku dari sana. “Well, lagi pula kamu juga ga bisa menyangkal kan klo he has beautiful eyes, adorable smile plus lovely personality. Terus di mana salahnya kalau aku menikmati itu semua?”
“Tepat! Ga ada yang salah. Seperti aku pernah bilang sama kamu setengah tahun lalu, ga akan ada yang menyalahkan, kalau kamu memutuskan untuk … arrghh..“.
Aku bisa mendengar nada putus asa dalam sergah kata-katanya yang tidak tuntas.  Kubiarkan jeda hening menggantung statis sampai akhirnya desah Nadya menghela nafas memecahnya. “Fa, satu-satunya salahmu adalah kamu belum melepas ikatanmu. Jangan salah terima. Candra itu sahabatku, Fa. Aku kenal dia jauh sebelum kamu dan dia memutuskan untuk jadian. Aku pastikan aku orang pertama yang akan mencarimu kalau kamu sampai menyakiti dia. Tapi, aku juga sahabatmu dan ini hidupmu. Kamu berhak mengejar hidupmu sendiri. Hidup yang tidak saharusnya kamu sia-siakan untuk menunggu seseorang yang … bukan aku ingin mendahului kehendak Yang Di Atas, tapi kemungkinan besar tidak akan pernah bisa menyanding kamu.”
Kurasakan panas di mataku yang sedari tadi menggantung runtuh perlahan. Ku tahan isak yang menyumbat kerongkonganku. Aku tidak mau Nadya mendengarnya, meskipun dia pasti memahami arti diamku.
“Lanjutkan hidupmu. Let him go Fa.”, meskipun lirih, aku menangkap getar di suara Nadya sebelum ia mematikan koneksi voice call di Yahoo Messager.
Kusurukkan muka ke bantal yang ada di pangkuanku. Tak mampu ku tahan lagi, tangisku pecah. Entah berapa lama aku bertahan di posisi itu sampai aku sadari nafasku sesak. Kuangkat kepalaku kembali menatap monitor. Senyum memikat itu masih di sana meskipun kali ini tampak kabur dari balik airmataku. Senyum yang sudah berbulan terakhir ini sanggup menyihirku terpaku berjam-jam di depan laptop dan bermenit-menit memicingkan mata di balik view finder kameraku. Namun kali ini senyum itu seperti kehilangan sentuhan sihirnya. Alih-alih meneruskan mengedit foto yang sudah setengah jalan, aku memilih menutup semua jendela aplikasi dan membuka website maskapai favoritku. Sudah waktunya menata kembali hatiku yang, mungkin benar Nadya bilang, terbagi. Waktunya pulang.
************
“Hai…” sapaku menggantung. Meskipun bukan kali pertama, aku tetap saja tidak terbiasa mendengar suaraku sendiri dalam bekapan facemask seperti ini. Bau tajam antibiotik menguar menyusup ke indra penciumanku. Kulangkahkan kaki mendekati ranjang di tengah ruangan itu. Sesosok tubuh tampak terbujur diam di sana. Beberapa selang dan kabel tampak menjulur keluar dari balik selimut. Kududukkan tubuhku ke kursi plastik yang ada di sebelah ranjang.
“Hai Can, sorry ya, sudah lama aku ga mampir. Biasa… kamu kan tahu sebagai TKW cutiku minim. Kenapa? Terdengar mencari alasan ya? Hehehehe… Tapi beneran deh, ini aja harus argue dulu sama si bos. Bukan…bukan bos yang dulu itu. Sekarang perempuan lho bosku. Baik kok, tapi tetap saja, namanya juga bos. Yah…ga sibuk juga si.. Tapi kamu kan tau, ga mungkin flight ke sini hanya weekend. Eh ya, inget bangunan yang kamu dulu bilang seperti tangan kurang jari di Marina itu? Akhirnya jadi juga lho. Dah beberapa bulan lalu si. Ternyata itu museum. Keren? Ga tau si. Blom pernah masuk.”
Candra bergeming. Di ruangan yang didominasi warna putih itu hanya ada suaraku dan suara bip teratur dari ECG. Kusisipkan jemariku ke  telapak tangannya. Perlahan kubawa ke pipiku.
“Kamu agak gemukan Can. Jangan tidur terus dong. Gimana kalau sekali-kali kita keliling rumah sakit? Atau kamu mau pakai kursi roda dulu? Jangan kuatir, aku dorong deh. Tapi nanti gantian ya…jadi aku juga bisa ngerasain gimana si enaknya jadi pasien, sampai-sampai kamu betah setahun di sini. Tapi kamu bangun dulu dong… buka matamu.”, aku tak mampu lagi memaksakan senyum di suaraku, ketika sebulir airmata mulai membasahi ujung facemaskku.
“Can, kalau kamu bisa mendengar aku, beri aku setidaknya tanda. Apapun. Biarkan aku tahu bahwa kamu masih di sana untuk aku tunggu.”, getar di suaraku makin jelas. “Apa aku terlalu banyak meminta Can? Maaf kalau aku egois, maaf kalau aku tidak mampu kehilangan kamu.” Kususut airmataku dengan sebelah tangan. Kuhela nafas pelan, kami tercekam keheningan yang seperti tak hentinya memantulkan gema kata-kata Nadya di kepalaku.
 “Can, kalau kamu lelah, istrahatlah dengan damai. Aku rela. Pergilah Candra, lanjutkan perjalananmu. Kau tak perlu menungguku di sini, tunggu saja aku di sisiNya.”. Entah berapa lama yang aku habiskan untuk memandang wajah Candra, hingga sebuah tepukan di bahuku menyadarkanku kembali.
“Mbak Rifa, sudah lama?”, sepasang mata teduh itu menatapku. Segurat keriput di ujung mata itu membuatku tahu si empunya sedang tersenyum.
“Eh Ibu, baru satu jam yang lalu Bu.” Menyadari siapa yang datang, segera ku raih tangannya untuk kucium, yang kemudian dibalasnya dengan meraih puncak kepalaku.
“Masih mau ngobrol dengan Candra?” tanyanya, “Ibu bisa bicara sebentar di luar?” sambungnya sebelum aku sempat menjawab.
“Ibu mau bicara soal Candra.” Ujar ibu begitu kami sampai di lounge kecil di sebelah ruang ICU. “Hampir setahun sejak kecelakaan itu. Sejauh ini, Candra tidak menunjukkan kemajuan yang berarti.  Kemarin, ibu dan keluarga besar sedikit berembug soal ini.” Ibu tak pernah melepaskan manik matanya dariku. Tak perlu diteruskan, aku bisa menebak ke arah mana pembicaraan ini.
“Keluarga besar sudah mengikhlaskan Candra pergi Mbak. Tolong jangan berfikiran bahwa ibu tidak punya perasaan. Ibu tetaplah ibunya Candra. Ibu hanya ingin yang terbaik untuk dia. Termasuk jika itu bearti harus kehilangan seorang anak.” hela nafas berat lirih terdengar dari perempuan yang sudah aku anggap ibuku sendiri itu. “Karena itu, ibu mau minta tolong Mbak Rifa. Kami tidak mungkin melepas Candra jika Mbak Rifa tidak setuju.”
Kuraih tangan di depanku. Kupaksakan senyum yang terasa pahit. “Rifa sudah merelakan Candra Bu.”
************
Kusapukan jemari ke layar smartphone kesayanganku, hanya beberapa saat setelah ia berhenti bergetar. Selembar pesan singkat tampak di layar dengan latar belakang sosok bermata elang.
“Fa, masih lama di Yogya? Jangan lupa bakpia kacang ijo ya. Btw, cepet balik dong…sepi ;)”
Kulayangkan pandangan ke arah gedung rumah sakit di belakangku untuk terakhir kalinya. Selamat jalan Candra. Jika mencintai dan memilikimu adalah dua hal yang berbeda, maka ijinkan aku memilih yang pertama*. 
************

*Kalimat tersebut saya sadur dari salah satu karya Kahlil Gibran
*Pic taken from here

Have You Donated Your Platelet This Month?


Saya yang sedang asyik menonton aksi Angelina Jolie di monitor di depan saya tiba-tiba merasa tekanan di lengan mengendur dan kemudian hilang sama sekali. Segera saya menoleh ke kiri, mesin di sebelah saya yang tadinya berdengung tidak lagi menampakkan aktifitasnya. Lampu LED hijau, yang berada di sisi mesin, yang tadinya menyala menenangkan itu juga padam. Sejenak, kepanikan menyelimuti saya. Mesinnya mati? Haruskah saya memanggil petugas medis yang tampak sibuk itu? Untungnya, tepat sebelum saya mengangkat tangan kiri saya untuk meminta perhatian, mesin kembali hidup dan berputar . Begitu juga dengan lampu LED keempat yang sekarang berpijar oranye, tepat seperti yang dijelaskan sebelum jarum itu mengalirkan darah dari lengan kanan saya.

Sebetulnya semua proses tadi berawal dari rasa ingin tahu kami, saya dan beberapa teman, tentang salah satu ruangan di Health Science Authority (HSA), tempat yang kami kunjungi hampir setiap 12 minggu sekali sejak 2 tahun terakhir. Dinding kaca yang memisahkan ruangan itu dari ruang tunggu menyajikan pemandangan yang tidak terhalang ke dalam. Tampak di salah satu sudut seperangkat sofa yang nyaman dan sebuah vending machine. Di dalam, jajaran donation bed meskipun tampak serupa dengan yang biasa kami gunakan namun ada sebuah layar monitor kecil di depannya. Ruangan itu bernama Apheresis Donation Lounge.
Karena penasaran, mulailah kami mencari-cari apa dan bagaimana apheresis donation ini. Dan mengapa sepertinya orang yang donor di ruangan itu tidak keluar secepat donor di ruangan whole blood. Setelah browsing sana-sini, mengambil kesimpulan sana-sini, dan didukung oleh motivasi yang tidak sepantasnya saya beberkan di sini, akhirnya minggu lalu saya mewakili 4 teman lain menelepon ke HSA untuk membuat appointment. Sayangnya, keterbatasan slot untuk appointment tidak memungkinkan untuk 5 orang sekaligus (walaupun akhirnya hanya 3 dari kami yang memenuhi syarat) dan mengharuskan kami melakukan walk in donation, yang artinya kemungkinan besar kami akan menghabiskan waktu cukup lama untuk menunggu giliran.

Apheresis Donation: Apa lagi itu?
Saya juga baru mendengar istilah apheresis donation ketika saya mulai menjadi pengunjung tetap HSA. Jadi meskipun saya juga melakukan donor darah di Indonesia, saya tidak tahu apakah ada prosedur yang sama di sana.
Apheresis, atau disebut juga aphaeresis, aphæresis berasal dari bahasa Yunani Kuno yang berarti dihilangkan adalah sebuah teknologi medis di mana darah donor atau pasien dialirkan melalui pemisah yang akan memisahkan komponen tertentu dan mengalirkan kembali komponen yang lain. Ada beberapa cara yang berbeda dalam apheresis, tergantung dari komponen apa yang akan dihilangkan/diambil, proses apheresis. Jika ingin memisahkan komponen berdasarkan kerapatan massa, maka metode centrifugation adalah cara umum yang digunakan.
Sedangkan apheresis donation adalah proses pengambilan komponen tertentu saja dari darah donor. Pada umumnya yang diambil adalah platelet dan plasma. Jadi tidak seperti donor darah pada umumnya yang mengambil semua komponen darah, di apheresis donation, komponen darah yang tidak terpakai (sel darah merah dan putih) akan dikembalikan ke tubuh donor.
Mungkin terdengar sedikit lebih mengerikan, tapi percayalah, tidak ada bedanya dengan donor biasa. Kita hanya perlu sit, relax dan membiarkan mesin bekerja. Yang membedakan hanyalah, waktu yang diperlukan untuk donation ini sekitar 1-1.5 jam, tergantung berapa circle yang diperlukan. Jauh berbeda dengan whole blood donation process yang hanya memakan waktu 3-15 menit.
Seperti saya bilang diawal, donor apheresis sendiri terbagi menjadi 2, Plateletpheresis dan Plasmapheresis. Apa itu platelet dan plasma?

Platelet(pheresis)
Platelet, atau saya lebih mengenalnya sebagai trombosit, adalah komponen darah yang berguna dalam proses pembekuan darah. Kekurangan komponen ini akan mengakibatkan pendarahan yang sulit dihentikan. Namun jika jumlah platelet dalam darah terlalu tinggi dapat menyebabkan terbentuknya cloat di pembuluh darah yang pada akhirnya mengakibatkan stroke, serangan jantung, penyumbatan paru-paru atau penyumbatan aliran darah ke bagian tubuh yang lain seperti kaki atau tangan. Orang dewasa sehat rata-rata bisa memproduksi 1x1011 platelet setiap harinya dan mempunyai konsentrasi platelet sebanyak 150 – 400 x 109 per liter darah dengan masa hidup sekitar 5-9 hari sebelum didaur oleh hati.
Product dari donor platelet ini biasanya diberikan kepada pasien yang sedang menjalani kanker kemoterapi, AIDS. transplantasi bone marrow atau organ lainnya, dan juga mereka yang baru saja menjalani operasi bedah seperti bypass jantung.




Plasma(pheresis)
Plasma darah adalah komponen darah berupa cairan berwarna kekuningan. Merupakan komponen darah terbesar, 55% dari total volume darah adalah plasma. Tersusun oleh sebagian besar, hampir 93%, air dan mengandung protein, glukosa, sejumlah mineral, hormone dan karbondioksida.
Sama seperti plateletpheresis, plasmapheresis juga menggunakan metode centrifugal., di mana darah dari pendonor akan diambil, dialirkan ke mesin untuk kemudian diputar hingga plasma terpisah dari komponen lain. Masih di Singapore, ketika melakukan donor platelet sebenarnya secara otomatis kita juga melakukan donor plasma, yang tertampung dalam kantong terpisah. Jumlah plasma yang diambil sama dengan platelet yaitu sekitar 300ml.




Seberapa banyak?
Biasanya itu pertanyaan orang ketika diminta donor darah. Saya, yang tidak mempersiapkan diri dengan cukup informasi tentang berapa banyak platelet yang akan diambil, cukup kaget ketika pertama kali melihat bag untuk menampung platelet saya. Itu adalah kantong berukuran 1 liter. Apakah 1 unit donor platelet itu 1 liter? Ternyata tidak. Platelet yang diambil hanya berkisar 300ml, atau kira-kira 3x1011 platelet. Platelet sejumlah itu bisa diperoleh dari 2 liter darah yang mengandung platelet normal sekitar 150 x1011. Tentu saja 2 liter itu tidak diambil sekaligus dari dalam tubuh, melainkan terbagi menjadi beberapa circle.
Volume darah sekitar 8% dari berat tubuh, dengan asumsi bahwa berat donor sekitar 50 kg, which total darah sekitar 4 liter, maka tidak lebih dari 50% platelet yang kita donorkan dalam sekali donor. Jumlah itu akan dengan mudah digantikan oleh tubuh dalam 3 hari. Itu mengapa donor platelet bisa dilakukan tiap 3 – 28 hari sekali, tergantung kebijakan masing-masing negara. Di Singapore sendiri, HSA mensyaratkan jeda 28 hari sebelum kita diperbolehkan melakukan donor lagi.

Bisa jadi donor?
 Selain memenuhi semua persyaratan untuk whole blood donation seperti pernah saya tulis di sini, seorang pendonor aphersis juga diharusnya untuk memiliki pembuluh vein yang cukup kokoh (firm). Hal itu dikarenakan selain karena harus bisa bertahan mensuplai darah secara konstan selama kurang lebih satu jam, vein yang kurang firm dikhawatirkan tidak bisa bertahan ketika proses pengembalian darah dari mesin.
Selain itu tidak ada syarat khusus.

Lost in donation
Pertanyaan mungkin muncul, mengapa dibutuhkan donor untuk komponen darah seperti platelet dan plasma secara terpisah? Bukankah bisa diambil dari whole blood donation?
Satu unit whole blood donation, yang biasanya berkisar antara 250 – 500 ml mengandung relatif cukup kecil kandungan platelet. Untuk mendapatkan 1 unit platelet donor dari whole blood donation product, setara dengan 5-10 bag whole blood. Tentu saja sangat tidak efektif untuk mengambil platelet dari whole blood donation.
Satu hal yang saya kurang jelas, ketika saya membuat appointment dengan HSA, petugas yang menerima telepon saya menanyakan golongan darah. Karena setahu saya mayoritas dari kami, meskipun tidak semua, berdarah O+, maka ketika saya jawab O, petugas tersebut langsung merefer saya untuk melakukan donor platelet, instead of plasma. Sebenarnya masuk akal, karena ketika donor platelet, kami juga donor plasma seperti saya bilang sebelumnya, tapi tetap tidak menjawab pertanyaan, dalam kondisi apa seseorang hanya bisa mendonorkan plasma dan apa hubungannya dengan golongan darah yang ditanyakan sebelumnya.
Bicara tentang apheresis donation seperti ini, membuat saya berfikir, bukankah dengan metode yang sama, kita bisa mendonorkan sel darah merah dan putih secara terpisah juga? However even that’s not wrong, kebanyakan organisasi atau tempat-tempat yang melayani donor darah tidak akan mengambil resiko itu. Karena tubuh manusia membutuhkan jauh lebih banyak waktu untuk membentuk sel darah baru dari pada platelet atau plasma. And it sounds a little bit scary to donate a liter of your blood, count red cell, plasma and platelet all together, doesn’t it?

Source: Wikipedia, private collection pic

Bali Series: Dive Your Plan

“Hah? Yang bener Pak, langsung praktek di laut?” tanya saya setengah heran pada Pak Wayan, instruktur diving saya ini.
“Iya, ga papa. Kebetulan lautnya sedang tenang. Lagi pula, sudah sering snorkeling kan?” tanyanya balik yang segera saya sambut anggukan kepala. “Nanti prakteknya di tempat dangkal dulu. Terus di kedalaman 2 meteran situ ada pasir yang cukup luas, kita bisa duduk-duduk di sana sambil saya jelaskan kemudian Na bisa ikuti.” sambungnya lagi.
Saya mengarahkan pandangan ke laut lepas 3 meter di hadapan saya. Permukaan laut pasang pagi itu memang tidak banyak bergelombang. Ombak pun hanya berkecipak pelan menyentuh bebatuan di pantai. Ditambah lagi matahari yang bersinar cerah menjanjikan visibility yang baik di bawah sana. Meskipun tampak bersahabat, tetap saja saya merasa ciut nyali karena sebenarnya, jadwal saya pagi itu adalah praktek di kolam renang.
Pak Wayan, yang meskipun setelah mengoreksi jawaban2 pra ujian saya merasa cukup puas, sempat memberikan beberapa pengulangan materi teori terutama yang berkaitan dengan pengenalan dan bagaimana menggunakan peralatan menyelam seperti BCD, regulator, tank. Beliau juga menjelaskan beberapa teknik yang harus kami praktekkan di bawah air nanti, mulai dari bagaimana menemukan regulator yang terlepas, membersihkan mask dalam air, melepas pasang weight belt sampai bagaimana menggunakan alternate air dari buddy. Tak lupa juga mendiskusikan isyarat-isyarat tangan yang akan kami pakai di bawah sebagai cara berkomunikasi.
Lebih dari 3 jam saya digelontor penjelasan demi penjelasan dan pengulangan demi pengulangan untuk memastikan saya terbiasa. Sampai akhirnya lepas tengah hari saya dinyatakan siap untuk selaman pertama saya. Setelah berganti body suit, Pak Wayan mengulurkan 5 timah pemberat yang sudah terangkai di belt. Tidak siap dengan beratnya timah yang akan saya terima, saya sempat terperangah ketika sabuk itu sampai di tangan saya. Itu berat ya… Dan jauh lebih terasa berat ketika sudah terpasang erat di pinggang. Teman-teman di dive centre, yang tertawa geli melihat reaksi saya, menyeletuk, “Itu belum pake BCD lho...”. Benar saja, setelah semuanya bertengger di badan saya, derita saya menggendong backpack biru ke mana-mana belum ada apa-apanya. Fiuh … 
Karena penyelaman dekat dengan garis pantai, kami menggunakan teknik beach entry. Yang bearti selain kami harus menggendong-gendong tank, menenteng fin, mask dan snorkel, kami juga hanya bisa memakai fin di dalam air. Setelah masuk ke air dan mengembungkan BCD, saya membersihkan mask dari pasta gigi yang sebelumnya dioleskan untuk mencegahnya berembun. Ombak yang beberapa kali datang, meskipun tidak besar, cukup membuat saya oleng ke sana kemari. Apalagi saat saya berusaha meraih ujung kaki untuk memakai fin. Akhirnya setelah berjuang beberapa menit dengan dibantu Pak Wayan yang memegangi BCD saya, terpasang juga si kaki katak. Setelah dirasa air cukup dalam, segera snorkel yang sudah saya pakai sebelumnya saya lepas untuk digantikan dengan first stage regulator. Begitu Pak Wayan memberikan kode jempol menunjuk bawah, mulailah saya membenamkan kepala saya ke air, deflate BCD, siap menyelam.
Belum ada semeter di bawah permukaan ketika saya merasakan ketidaknyamanan di telinga. Ups, saya lupa equalizing. Teknik ini dibutuhkan untuk menyamakan tekanan di dalam telinga dengan tekanan air di luar yang semakin meningkat seiring dengan semakin dalam kita menyelam. Jujur, dalam beberapa penyelaman saya beberapa hari setelahnya pun, saya cukup mengalami kesulitan untuk equalizing. Tak jarang saya harus berhenti sesaat bahkan kadang harus kembali naik beberapa centi agar bisa ber-equalizing.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, di sebelah kanan kami ada semacam hamparan pasir hitam tanpa batu yang cukup luas. Segera saja kami menuju ke sana. Pak Wayan memberi saya tanda untuk mengikuti gerakan beliau. Pertama, berlutut di pasir dan memposisikan tubuh vertikal. Rasanya bermenit-menit sampai akhirnya saya bisa mendaratkan lutut saya di pasir dan menahan badan agar tetap tegak, bukannya satu kaki di mana, kaki lain di mana, badan saya ke mana. Pelajaran kedua berkaitan dengan mask, mulai dari membersihkan mask dari air yang masuk sampai melepas mask di dalam air dan memakainya kembali. Di sinilah untuk pertama kalinya ketenangan kita dalam air diuji. Karena untuk sebagian orang, membiarkan mata dan hidung terpapar air laut dalam kondisi tetap harus bernafas bukan pengalaman yang menyenangkan, apalagi di kedalaman 3 meter.
Yang terakhir, Pak Wayan meminta saya menjatuhkan tubuh ke depan dari posisi berlutut, hingga hampir menyentuh dasar, tapi tidak sampai di dasar. Intinya, beliau meminta saya melayang. Di sinilah saya akhirnya tahu mengapa hampir semua penyelam pemula ribut tentang buoyancy. Menjaga buoyancy netral itu susah Jendral! Mengikuti instruksi, saya berusaha tetap melayang dengan beberapa kali deflate dan inflate BCD. Sampai-sampai terpikir, bisa-bisa udara dalam tank bukannya saya habiskan untuk bernafas, tapi untuk inflate BCD.
Setelah dirasa cukup, pak Wayan mulai mengajak saya berkeliling coral garden. Tentu saja, saya yang cukup tahu diri tentang buoyancy saya yang masih di bawah standard, tidak berani melayang terlalu dekat ke coral. Tidak lama kami berkeliling karena pada dasarnya ini hanya perkenalan saya bagaimana menyelam. Tak lama kemudian, kami kembali ke hamparan pasir untuk mengulang kembali beberapa teknik yang harus saya pelajari, sebelum kembali ke daratan.
Meskipun hanya terasa sebentar, penyelaman pertama saya ternyata cukup lama. Total 40 menit dengan kedalaman max 13 meter. Berhubung sudah tengah hari dan penyelaman yang beberapa menit itu benar-benar membuat naga di perut saya terbangun, saya memanfaatkan surface interval time untuk makan siang. Lepas pukul 2, kami kembali menyelam. Kali ini Pak Wayan memfokuskan saya untuk melatih cara mendapatkan buoyancy netral.
 
Belajar dari pengalaman pertama, saya cukup bisa mengontrol buoyancy dengan lebih baik. Namun tetap dengan menjaga jarak aman dari karang dan pak Wayan yang memimpin di depan saya, tentu saja. Tidak begitu lama, pak Wayan menunjuk ke arah jam 9, yang segera saya toleh. Seekor ikan putih panjang tampak berenang dengan tenang. Gurat-gurat di sisi badannya dan kepalanya yang khas, meskipun saya tidak bisa melihat gigi runcingnya dengan jelas, membuat saya teringat ikan apa ini. Yap, that’s Barracuda. Sayangnya, saya hanya melihat satu Barracuda, berlawanan dengan habbit mereka yang biasanya berburu berkelompok. Suatu kali, Pak Wayan juga menunjukkan semacam rumpon di depan saya, dan ketika saya ikuti telunjuknya, ternyata persis di sebelah saya, adalah rumpon berbentuk pesawat yang saya ceritakan di sini.
Pukul 3 sore Pak Wayan mengakhiri sesi pelajaran untuk hari ini. Saya yang masih full energy, setelah membereskan peralatan menyelam, segera kembali menyambar fin dan snorkel. Hampir 2 jam saya menyusuri kembali jalur menyelam dari atas. Beberapa kali sempat melihat para diver sedang mengamati gugusan anemone laut. Tiba-tiba, seorang dive master yang kebetulan berada di bawah saya mengarahkan pointernya ke arah jam 3. Ketika saya ikuti, di sebelah kanan saya meluncur pelan seekor ikan terbesar yang pernah saya lihat 2 hari ini. Dengan mulut terbungkam snorkel, saya hanya bisa jerit-jerit takjub dalam hati. Setelah di atas, saya bertanya pada dive master tadi, dan menurut dia, ikan itu adalah bumphead. Saya kurang tahu, jenis bumphead apa tadi, tapi masih menurut beliau, jika kita dive di wreck cukup pagi bisa menjumpai sekumpulan schooling bumphead. Membayangkan puluhan ikan sebesar itu bergerak bersama-sama, membuat saya tidak sabar menunggu besok pagi, karena jadwal besok pagi adalah diving di Liberty dan Drop Off.
Sayangnya, sebelumnya malam ini saya harus menyelesaikan 50 soal final exam dengan tubuh pegal-pegal kecapekan dan pingul lebam menahan beban weight belt.

* Pic taken from herehere and here. Maklum, no underwater camera :)