Titik-titik air mulai menghiasi kaca jendela taksi yang membawaku meninggalkan pelataran bandara Adi Sucipto. Langit rupanya tak lagi mampu menahan beban kelabu pekat yang sedari tadi bergelayut. Angin yang berhembus tergesa menyapu kering dedaunan yang terserak seolah berpacu sebelum tetes hujan kembali menghempasnya ke trotoar basah.
“Akhire hujan juga.” Sopir taksi seusia bapakku itu membuka percakapan sambil menunggu lampu pertigaan jalan Solo itu berubah hijau.
“Sampun dangu mboten jawah tho Pak?” ["Sudah lama tidak hujan ya Pak?"]
“Mpun tigang dinten niki Mbak. Puanase mboten kantenan. Mbak’e tiyang Yogya tho?” ["Sudah tiga hari ini Mbak. Panasnya bukan main. Mbak orang Yogya ya?"]
“Mboten Pak [Tidak Pak]. Tapi saya pernah kuliah di sini.”, jawabku sambil tersenyum yang disambut dengan anggukan kepala pak sopir.
Lalu lintas terasa lengang sore ini di ring road utara. Hamparan petak-petak padi yang terselingi komplek perumahan yang sepertinya makin banyak bermunculan itu melintas kabur. Belum setengah tahun berlalu sejak kedatangan terakhirku ke kota ini. Waktu yang tidak cukup lama untuk mengubah wajah kota yang sudah aku anggap rumah keduaku ini. Namun seharusnya merupakan waktu yang sangat lama untukku yang hidup dengan separuh hati, karena aku masih meninggalkan separuhnya di sini.
“Mbak, maaf. Mbaknya ini mau ke jalan Sardjito atau rumah sakit Sardjito?” pertanyaan itu membawaku kembali ke dalam taksi.
“Oh, ke rumah sakit Pak.”. Rupanya kami sudah melewati perempatan jalan Kaliurang. Untukku, melintasi jalan ini sama saja membenamkan kepalaku dalam sekolam besar kenangan. Dimulai dari kenangan cantik tentang empat tahun yang aku lewatkan, hingga berakhir pada kenangan kelam hampir setahun yang lalu. Kenangan yang membekap ruang udaraku, menyudutkan paru-paruku, dan mendesak kantung airmataku.
“Mbak sudah sampai.”
“Oh, maaf Pak.”, segera kuseka kaca di mataku yang hampir retak.
Perlahan kulangkahkan kaki keluar taksi. Kutatap bangunan di depanku. Langit yang masih muram membingkai bangunan yang makin terlihat suram. Bangunan yang sudut-sudutnya pernah sangat lekat dengan hidupku. Pernah dan masih sangat lekat.
************
“Selingkuh itu bukan hanya urusan fisik. Selingkuh itu ketika hatimu mulai terbagi. Ketika kamu merasa lebih nyaman dengan orang lain yang bukan pasanganmu.”
Tanganku berhenti menggerakkan mouse yang sedari tadi asyik mengatur kontras foto di monitor. Suara Nadya mendesis pelan dari speaker murah yang tersambung ke laptop di depanku. Pelan, namun cukup membuatku memberikan perhatian penuh pada sahabatku ini. Kucondongkan tubuh ke arah mikrofon di sebelah kiriku. Tindakan yang tidak perlu sebetulnya, tapi aku tidak bisa menahan diri atas provokasi yang baru saja dilakukannya.
“Nad, please deh. Pasanganku itu ada di ujung dunia sana. Dan bukan bearti aku tidak lebih nyaman kalau bersama dia. Aku cuma berusaha menikmati hidupku sekarang. Di sini.”, suaraku sedikit lebih tinggi dari yang aku harapkan.
“Menikmati senyum laki-laki lain yang tiap hari ada di sampingmu maksudnya?”, kejar Nadya sinis.
“Hei..hei..ayolah, dari awal aku sudah bilang dia cuma teman.”, sekilas aku melirik layar laptopku. Sepasang mata tajam dalam bingkai kacamata dan seulas senyum simpul balas menatapku dari sana. “Well, lagi pula kamu juga ga bisa menyangkal kan klo he has beautiful eyes, adorable smile plus lovely personality. Terus di mana salahnya kalau aku menikmati itu semua?”
“Tepat! Ga ada yang salah. Seperti aku pernah bilang sama kamu setengah tahun lalu, ga akan ada yang menyalahkan, kalau kamu memutuskan untuk … arrghh..“.
Aku bisa mendengar nada putus asa dalam sergah kata-katanya yang tidak tuntas. Kubiarkan jeda hening menggantung statis sampai akhirnya desah Nadya menghela nafas memecahnya. “Fa, satu-satunya salahmu adalah kamu belum melepas ikatanmu. Jangan salah terima. Candra itu sahabatku, Fa. Aku kenal dia jauh sebelum kamu dan dia memutuskan untuk jadian. Aku pastikan aku orang pertama yang akan mencarimu kalau kamu sampai menyakiti dia. Tapi, aku juga sahabatmu dan ini hidupmu. Kamu berhak mengejar hidupmu sendiri. Hidup yang tidak saharusnya kamu sia-siakan untuk menunggu seseorang yang … bukan aku ingin mendahului kehendak Yang Di Atas, tapi kemungkinan besar tidak akan pernah bisa menyanding kamu.”
Kurasakan panas di mataku yang sedari tadi menggantung runtuh perlahan. Ku tahan isak yang menyumbat kerongkonganku. Aku tidak mau Nadya mendengarnya, meskipun dia pasti memahami arti diamku.
“Lanjutkan hidupmu. Let him go Fa.”, meskipun lirih, aku menangkap getar di suara Nadya sebelum ia mematikan koneksi voice call di Yahoo Messager.
Kusurukkan muka ke bantal yang ada di pangkuanku. Tak mampu ku tahan lagi, tangisku pecah. Entah berapa lama aku bertahan di posisi itu sampai aku sadari nafasku sesak. Kuangkat kepalaku kembali menatap monitor. Senyum memikat itu masih di sana meskipun kali ini tampak kabur dari balik airmataku. Senyum yang sudah berbulan terakhir ini sanggup menyihirku terpaku berjam-jam di depan laptop dan bermenit-menit memicingkan mata di balik view finder kameraku. Namun kali ini senyum itu seperti kehilangan sentuhan sihirnya. Alih-alih meneruskan mengedit foto yang sudah setengah jalan, aku memilih menutup semua jendela aplikasi dan membuka website maskapai favoritku. Sudah waktunya menata kembali hatiku yang, mungkin benar Nadya bilang, terbagi. Waktunya pulang.
************
“Hai…” sapaku menggantung. Meskipun bukan kali pertama, aku tetap saja tidak terbiasa mendengar suaraku sendiri dalam bekapan facemask seperti ini. Bau tajam antibiotik menguar menyusup ke indra penciumanku. Kulangkahkan kaki mendekati ranjang di tengah ruangan itu. Sesosok tubuh tampak terbujur diam di sana. Beberapa selang dan kabel tampak menjulur keluar dari balik selimut. Kududukkan tubuhku ke kursi plastik yang ada di sebelah ranjang. “Hai Can, sorry ya, sudah lama aku ga mampir. Biasa… kamu kan tahu sebagai TKW cutiku minim. Kenapa? Terdengar mencari alasan ya? Hehehehe… Tapi beneran deh, ini aja harus argue dulu sama si bos. Bukan…bukan bos yang dulu itu. Sekarang perempuan lho bosku. Baik kok, tapi tetap saja, namanya juga bos. Yah…ga sibuk juga si.. Tapi kamu kan tau, ga mungkin flight ke sini hanya weekend. Eh ya, inget bangunan yang kamu dulu bilang seperti tangan kurang jari di Marina itu? Akhirnya jadi juga lho. Dah beberapa bulan lalu si. Ternyata itu museum. Keren? Ga tau si. Blom pernah masuk.”
Candra bergeming. Di ruangan yang didominasi warna putih itu hanya ada suaraku dan suara bip teratur dari ECG. Kusisipkan jemariku ke telapak tangannya. Perlahan kubawa ke pipiku.
“Kamu agak gemukan Can. Jangan tidur terus dong. Gimana kalau sekali-kali kita keliling rumah sakit? Atau kamu mau pakai kursi roda dulu? Jangan kuatir, aku dorong deh. Tapi nanti gantian ya…jadi aku juga bisa ngerasain gimana si enaknya jadi pasien, sampai-sampai kamu betah setahun di sini. Tapi kamu bangun dulu dong… buka matamu.”, aku tak mampu lagi memaksakan senyum di suaraku, ketika sebulir airmata mulai membasahi ujung facemaskku.
“Can, kalau kamu bisa mendengar aku, beri aku setidaknya tanda. Apapun. Biarkan aku tahu bahwa kamu masih di sana untuk aku tunggu.”, getar di suaraku makin jelas. “Apa aku terlalu banyak meminta Can? Maaf kalau aku egois, maaf kalau aku tidak mampu kehilangan kamu.” Kususut airmataku dengan sebelah tangan. Kuhela nafas pelan, kami tercekam keheningan yang seperti tak hentinya memantulkan gema kata-kata Nadya di kepalaku.
“Can, kalau kamu lelah, istrahatlah dengan damai. Aku rela. Pergilah Candra, lanjutkan perjalananmu. Kau tak perlu menungguku di sini, tunggu saja aku di sisiNya.”. Entah berapa lama yang aku habiskan untuk memandang wajah Candra, hingga sebuah tepukan di bahuku menyadarkanku kembali.
“Mbak Rifa, sudah lama?”, sepasang mata teduh itu menatapku. Segurat keriput di ujung mata itu membuatku tahu si empunya sedang tersenyum.
“Eh Ibu, baru satu jam yang lalu Bu.” Menyadari siapa yang datang, segera ku raih tangannya untuk kucium, yang kemudian dibalasnya dengan meraih puncak kepalaku.
“Masih mau ngobrol dengan Candra?” tanyanya, “Ibu bisa bicara sebentar di luar?” sambungnya sebelum aku sempat menjawab.
“Ibu mau bicara soal Candra.” Ujar ibu begitu kami sampai di lounge kecil di sebelah ruang ICU. “Hampir setahun sejak kecelakaan itu. Sejauh ini, Candra tidak menunjukkan kemajuan yang berarti. Kemarin, ibu dan keluarga besar sedikit berembug soal ini.” Ibu tak pernah melepaskan manik matanya dariku. Tak perlu diteruskan, aku bisa menebak ke arah mana pembicaraan ini.
“Keluarga besar sudah mengikhlaskan Candra pergi Mbak. Tolong jangan berfikiran bahwa ibu tidak punya perasaan. Ibu tetaplah ibunya Candra. Ibu hanya ingin yang terbaik untuk dia. Termasuk jika itu bearti harus kehilangan seorang anak.” hela nafas berat lirih terdengar dari perempuan yang sudah aku anggap ibuku sendiri itu. “Karena itu, ibu mau minta tolong Mbak Rifa. Kami tidak mungkin melepas Candra jika Mbak Rifa tidak setuju.”
Kuraih tangan di depanku. Kupaksakan senyum yang terasa pahit. “Rifa sudah merelakan Candra Bu.”
************
Kusapukan jemari ke layar smartphone kesayanganku, hanya beberapa saat setelah ia berhenti bergetar. Selembar pesan singkat tampak di layar dengan latar belakang sosok bermata elang.
“Fa, masih lama di Yogya? Jangan lupa bakpia kacang ijo ya. Btw, cepet balik dong…sepi ;)”
Kulayangkan pandangan ke arah gedung rumah sakit di belakangku untuk terakhir kalinya. Selamat jalan Candra. Jika mencintai dan memilikimu adalah dua hal yang berbeda, maka ijinkan aku memilih yang pertama*.
************