Thai Seafood Salad for Lunch

           Mungkin orang yang kenal saya akan seketika bilang, "Kepalamu baik-baik saja kan Na? Habis terbentur di mana?", jika saya bilang saya membuat salad untuk lunch hari ini. Well, people changed Baby, so do I. Sebenarnya itu karena hari sebelumnya, saya membaca sebuah resep salad di salah satu citizen community, dan tiba-tiba ingin makan salad. So, inilah jadinya... ^^
Btw, sebelum ada yang tanya..  Yep, ini resep eatable dan sejauh ini tidak meracuni siapapun. 
 



Resep ini hasil modifikasi sesat dari sini.

Bahan:
Lettuce, sobek-sobek sesukanya 
Tomat cherry, utuh boleh, belah dua silakan
Cabe rawit, iris tipis-tipis
Serai, ambil bagian putihnya dan iris tipis-tipis
Saus ikan Thai
Air perasan jeruk nipis/lemon
Telur rebus, putihnya saja, potong sesuai selera (biarin utuh juga ga masalah)
Udang. Belah punggungnya bersihkan kotoran di punggungnya. Berhubung saya suka kulitnya, tidak saya kupas. 
Cumi-cumi. Buang kulit arinya. Potong-potong sesuai selera. 
Dapat juga ditambahkan scallop, fillet ikan, atau seafood apapun di kulkas
Bawang putih, kupas dan memarkan lalu cincang kasar
Jahe, memarkan, cincang halus

Cara membuat:
1. Rendam seafood dengan air jeruk lemon (sedikit saja), bawang putih dan jahe minimum 15 menit.
2. Masak air sampai mendidih. Masukkan seafood. Tunggu sampai seafood matang.Angkat dan tiriskan dan masukkan ke air es. 
3. Saus: campur saus ikan Thai dan air perasan jeruk nipis/lemon sampai rasanya sesuai dengan selera. Lalu masukkan rajangan cabe rawit dan rajangan serai. Taruh di lemari es.
4. Cara penyajian: 
    Option 1: Tata daun selada, telur rebus, tomat cherry, udang, cumi-cumi, seafood apapun itu. Sajikan dingin dengan saus.
    Option 2: Bisa juga untuk isian sandwich. Rendam udang, cumi-cumi, seafood dalam saus. Tiriskan di saat penyajian. Tata roti, daun selada, telur rebus, tomat cherry (jangan yang utuh ya..), udang, cumi-cumi, seafood. Sajikan dingin dengan mayonese. 

Note: Option nomer 2 baru saja saya cobakan, belum ada bukti otentik bahwa itu bisa dimakan. 

Heartbeats

  "Semua bagus, kecuali detak jantungmu."
  Kualihkan pandanganku dari monitor kecil yang menunjukkan 3 angka yang berbeda itu. "110 per menit itu ya Dok?"
  "Iya, terlalu tinggi."
  "Euhm, tadi lari dari halte bus ke sini, Dok" jawabku pelan berusaha memberi alasan, "Biasanya kurang dari 80".
  Perempuan berjas putih itu tampak tak mengacuhkan alasanku dan berkutat dengan catatan medis di hadapannya. Beberapa pertanyaan dia lontarkan padaku, terkait jawaban yang aku tuliskan di sana. Pertanyaan yang aku jawab sambil berusaha menenangkan detak jantungku. Tidak lucu kalau hasil medical cek ini gagal karena alasan sepele. Baiklah, 150% dari normal memang bukan hal sepele.
  "Kita cek lagi heartbeat ratenya ya.." tawarnya yang segera aku sambut dengan anggukan kepala. Tak berapa lama, monitor tadi kembali menampilkan beberapa angka, dan angka 110 tadi sudah berubah ke 90. Tetap tinggi sebetulnya, tapi tampaknya perempuan di hadapanku cukup puas dengan hasilnya. 
  "Oke, kamu bisa lanjut". Segera kuraih formulir yang dia sodorkan dan menuju ruang tunggu, tidak mau menunggu hingga dia berubah pikiran.


  Tak sampai sepuluh langkahku, ketika kusadari detak jantungku mulai kembali merambat naik. Ketika di saat yang sama mataku menemukan sosokmu yang sedang tersenyum di seberang ruangan besar itu. Ah, mungkin benar, terlalu dekat denganmu tidak bagus untuk kesehatan jantungku.


************************
Image diambil dari sini

Love You Love You Not: Ketika Cinta [Tidak] Harus Diperjuangkan

Berbulan lalu seorang teman menyapa saya di jendela Yahoo Messenger tak lama setelah membaca tulisan saya di sini. Sebuah pertanyaan sederhana mengawali pembicaraan kami. “Kisah nyata Na?”. Saya hanya tergelak, tak menjawab. Selama tidak plagiat, seorang story teller tidak perlu memberitahukan sumber inspirasi ceritanya kan? Teman saya ini kemudian menuturkan, dia punya kisah yang mirip, sebuah perasaan istimewa kepada seseorang. Hanya bedanya, jika sang aku dalam cerita saya menyatakan perasaannya dengan lugas, sedangkan teman saya, yang notabenenya perempuan, ini memilih untuk menyimpan rapat-rapat cintanya. Alasannya sederhana, bagaimana kalau sang Arjuna tidak mempunyai perasaan yang sama? Bagaimana kalau rasa perhatian dan sayang yang selama ini diperlihatkan hanyalah sebagai seorang kakak kepada adiknya? Dan apakah pantas seorang perempuan menyatakan perasaannya terlebih dahulu? Sementara etis ketimuran mengharuskan seorang perempuan untuk bertindak lebih pasif dan menunggu.

Di lain waktu, seorang teman, kali ini seorang cowok, di jendela chatting yang berbeda juga memberondong saya dengan pola cerita yang sama hanya saja beda kemasan. Saya bilang beda kemasan di sini karena sebagai seorang laki-laki, dari adat manapun tidak ada halangan baginya untuk bertindak selangkah lebih di depan dan menyatakan perasaannya. Tapi teman saya ini tidak berusaha memperjuangkan cintanya lebih karena kondisi yang dia rasa akan sulit untuk dijembatani. Kewarganegaraan dan domisili.

Pelik dan complicated. Atau dibikin pelik dan dibuat complicated? Why don’t just make it simple?
Ah, cinta memang tidak pernah sesederhana itu untuk seseorang yang terlibat di dalamnya. Ironisnya, cinta selalu terdengar sesederhana itu untuk seseorang yang tidak ada kaitannya.

Saya pribadi bukan tipe perempuan konservatif. Saya bukan tipe orang yang menunggu dengan puppy eyes dan berharap the one I starring at akan menoleh dan menyadari keberadaan saya. Saya bukan tipe perempuan yang tabu untuk mengambil inisiatif terlebih dahulu. 

Kalau memang suka ya, beri lah sinyal bahwa kita suka. Kalau memang cinta harus dan pantas diperjuangkan ya perjuangkanlah. Maka jelas, ketika teman cewek saya itu meminta pendapat saya, saya bilang mengapa tidak “ngomong” duluan? Kemungkinannya ada 2, diterima dan ditolak. Kalau diterima, ya happy ending, case close. Kalau ditolak, keadaan toh tidak akan berubah sama seperti sekarang. Nothing to lose. 
Okelah, worse came worst, kemungkinan ketiga, ditolak dan sang pujaan merasa tidak nyaman, kemudian berusaha menghilang dari kehidupan kita. Maka kalau itu yang terjadi, it’s not worth untuk ditangisi. Karena bearti dia tidak cukup dewasa untuk menerima itu. Dan dalam kasus teman saya yang cowok, kalau memang cewek yang dia taksir punya perasaan yang sama, pasti ada jalan untuk memperjuangkan cinta mereka. Intinya, that’s your love and your life, so fight for it.

Well, ngomong itu gampang. Teman-teman dekat saya pasti bilang, “Ngomong ma cermin deh lo Na, emang apa yang lo lakuin untuk memperjuangkan punya lo?!?!”. Nah, kok bolanya jadi ke saya ya?^^’
I did. Atau setidaknya, saya bicara menggebu di atas karena, I did it a couple years ago. Jika saya akhirnya berhenti, itu karena I had enough. Semua orang yang mengenal saya 6 - 7 tahun lalu pasti tahu itu. Tidak perlu saya beberkan di sini.

Lalu mungkin pertanyaan lain mengemuka “Bagaimana dengan yang sekarang?”, Munafik lah kalau saya bilang no body for now. Sementara entry tulisan di blog saya menyatakan sebaliknya. Mengutip kata teman saya, “Lo lagi puber ya?”. (Jangan cuman berani ngomong di telpon lo..!!)

Seperti saya bilang sebelumnya, jika memang harus dan pantas, maka perjuangkanlah. Jika sampai saya do nothing for that, means apapun yang saya rasakan sekarang memang tidak harus dan tidak pantas untuk saya perjuangkan.

Underline, saya bilang perasaan saya yang tidak pantas untuk diperjuangkan, bukan object perasaan saya. Karena bukan tidak mungkin, meskipun saya tidak percaya reinkarnasi, di kehidupan yang berbeda dan takdir yang berbeda pula, saya akan berjuang untuk itu. Tapi tidak dengan apa yang saya dan dia punya sekarang.

Saya tidak ingin memperjuangkan buah simalakama. Untuk sebuah kata “ya”, “saya” dan “dia” tidak akan pernah menjadi “kami”. Sedangkan jika hasilnya “tidak”, saya mungkin akan kehilangan semuanya. Saya tidak ingin merengek pada Tuhan meminta seseorang yang, seperti saya sering bilang, “forbidden” untuk saya.

"Sementara, pada jeda yang engkau buat bisu, sewaktu langit meriah oleh benda-benda yang berpijar, ketika sebuah lagu menyeretmu ke masa lalu, wajahnya memenuhi setiap sudutmu. Bahkan, langit membentuk auranya. Udara bergerak mendesaukan suaranya. Bulan melengkungkan senyumnya. Bersiaplah .. Engkau akan mulai merengek kepada Tuhan. Meminta sesuatu yang mungkin itu telah haram bagimu."
~Galaksi Kinanthi – Tasaro GK~


Love At N-Sight

"Sudah lima menit berlalu dari pertama kali aku menangkap sosoknya dari balik viewfinder kameraku. Dan sudah entah berapa puluh kali aku menekan tombol shutter kameraku mengabadikannya. Laki-laki itu tampak berdiri begitu saja. Bersandar tak acuh di salah satu pilar gedung besar ini sambil sesekali mengedarkan pandangan ke sekeliling. Begitu kontras dengan lalu lalang bising orang di sekitarnya. Namun sekaligus juga begitu melebur tak terasing. Kombinasi yang membuatku semakin sering mencuri-curi menatapnya dalam diam. Aku seratus persen yakin ini untuk pertama kalinya aku melihatnya. Tapi entah kenapa, sosok itu tampak tidak asing. Mata tajam berbingkai kacamata persegi itu seperti menyajikan dejavu buatku. Aku seperti sudah  mengenalnya seumur hidupku, dan tidak keberatan untuk menghabiskan sisanya bersamanya juga."
Oke, saya menyerah. Saya, berusaha lebih tepatnya, menulis paragraf di atas selama hampir seharian, dan belum juga mendapatkan feel yang nyaman untuk menggambarkan sudut pandang perasaan seseorang yang jatuh cinta pada pandangan pertama.
Jika orang mengenal love at first sight, saya cenderung mendeskripsikan itu sebagai lust at first sight. Pardon my word, but that's true. Paragraf di atas contohnya. Imagi saya menyatakan bahwa ketika saya melihat seseorang untuk pertama kali, to be honest, ya fisik. Maka dalam logika saya, jika saya harus jatuh cinta pada pandangan pertama ya pasti karena fisik.
Ironisnya, menurut saya, hampir semua fairy tales menggambarkan cinta pada pandangan pertama. Sebut saja, Cinderella, Snow White, Sleeping Beauty, Rapunzel (bukan Taggled version). Semua dengan kompak menyebutkan seorang putri bertemu pangeran, seketika mereka jatuh cinta dan menikah. Happily ever after. The end. Yeah plastic bag please... Konsep seperti itu mungkin karena tidak mungkin menjelaskan sebuah proses rumit tentang definisi jatuh cinta, berprosesnya hormon Endorpin, Dopamin, Serotonin, kepada anak-anak, sebagai konsumen. Well, mungkin itu juga mengapa saya tidak pernah tertarik dengan cerita-cerita itu, bahkan sejak anak-anak.
Seorang teman yang notabenenya pengikut konsep cinta pada pandangan pertama, menyebut bahwa it's not how it works. Ketertarikan itu bukan karena fisik, tapi lebih ke sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. It's just, in a few second, you know that he/she is the one. Nah, tambah absurd kan? Memang. Atau apa karena cinta itu sendiri sudah absurd, maka tidak jadi soal ditambah lagi satu keabsurdan? Entahlah. Mungkin seperti teman saya bilang, cinta tidak butuh alasan, karena jika cinta butuh alasan, maka cinta juga akan luntur jika alasan itu tak lagi ada di sana. Oke, di point ini saya setuju sekali. Tapi ... 
To be fair, saya penganut "witing tresno jalaran ra ono sing liyo saka kulino". Falsafah Jawa yang sampai sekarang masih berlaku untuk saya. Sebuah konsep akan cinta yang tumbuh dari sebuah kebersamaan. Maka kalau saya ditanya fairy tales favorit saya adalah Beauty and The Beast. Kebersamaan itu bukan untuk mencari alasan untuk jatuh cinta, karena cinta memang tak butuh alasan. Tapi ini lebih kepada bagaimana kita nyaman untuk menjadi diri sendiri di hadapannya, tentang seseorang yang kita tahu bisa mendengarkan kita dan kita dengarkan meskipun dengan diam seribu bahasa. Tentang bagaimana you can not judge the book from its cover, tentang menemukan something inside. Sesuatu yang saya tidak yakin bisa kita dapat pada pandangan pertama.


"True that he's no Prince Charming
But there's something in him that I simply didn't see "

~Something There - Beauty and The Beast~

Bicara konsep bagaimana kita jatuh cinta, membuat saya berfikir bahwa itu mungkin ada kaitannya dengan mengapa saya ketika shopping tidak bisa seketika menyebut "Eh, bagus ni yang ini, I'll take it.". Kebanyakan dari barang yang saya beli, memang saya sudah merasa "cukup" bagus ketika di toko, tapi akan lebih terasa "klop dan cocok" untuk saya ketika sudah sampai di rumah. 
Yah, mungkin ini hanya sebuah perbedaan pandangan yang tidak perlu diperdebatkan, seperti halnya cinta itu sendiri yang tidak bisa dijelaskan dengan logika.



Image Source: http://t1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcR2Li3vzl5bN8m7mr9kONPqhNzn_7LDZq3qoY1W5EhHMtjOZDMgDQ 

Ketika Hidup Bukan di Atas Kertas …

                Tepat seperti tertulis di user requirement document, enhancement system yang saya pegang dirilis pada tanggal 12 January 2011. Yang berarti kemarin malam, tepat pukul 06.30 PM. Sepuluh menit sebelum saya mengemasi barang-barang saya dan berlari pulang, setelah memastikan tidak ada yang salah dari deployment yang dilakukan tim operational. Karena everything goes well, secara official berakhir juga kerusuhan testing yang selama hampir 2 minggu ini membuat saya “bekerja”. Dan di sini lah saya hari ini, kembali ke pekerjaan utama saya, nulis blog. Fiuh…
                User Requirement Document, masyarakat IT biasa menyebutnya UREQ, URS, atau apapun sebutan lainnya, adalah sebuah document di mana keinginan user dijelaskan dengan detail dalam bahasa manusia. Tidak ada format resmi atau baku dalam sebuah user requirement. Tapi biasanya sebuah perusahaan pasti punya template design masing-masing. Di perusahaan tempat saya sekarang mencari sesuap berlian, UREQ selain mencantumkan semua hal yang berhubungan dengan system yang akan dibangun, juga mencantumkan target tanggal testing dan tanggal implementasi. Tanggal yang jelas harus dipatuhi, tanpa mendiskreditkan pihak lain, bukan sekedar hiasan dan “pantes-pantesan”.
                Dalam kehidupan nyata, baik sadar atau tidak, kita pasti punya yang namanya requirement. Sebuah kehendak, keinginan, sesuatu yang akan mengarahkan kita untuk melakukan hal-hal demi mencapai apa yang kita mau tersebut. Dari sana, akan lahirlah sebuah rencana-rencana baik jangka panjang maupun jangka pendek untuk mewujudkannya. Biasanya orang menyusunnya di awal sebuah hitungan, baik tahun atau umur. Dan menyebutnya sebagai resolusi.
Berbeda dengan URS system yang hanya urusan binary nol dan satu, true dan false, kehidupan mempunyai variable yang lebih kompleks. Variable-variable tersebut yang akhirnya menentukan final product, atau keberhasilan kita dalam meraih apa yang sudah kita impikan dari awal.
Dari situ muncul pertanyaan, apakah kita perlu mempertimbangkan segala variable-variable yang mungkin ada dalam membuat URS kehidupan? Sebagai informasi, saya bukan risk taker. Maka jika pertanyaan itu ditujukan ke saya, saya akan menjawab ya, penting untuk mempertimbangkan beberapa hal sebelum memutuskan akan seperti apa requirement hidup kita  ke depan.
Sebagai contoh, saya merencanakan untuk membeli rumah begitu saya mempunyai penghasilan. Membeli di sini bearti meliputi segala scope seperti, menentukan daerah yang saya ingin tinggali, mempersiapkan design atau mencari design jika tidak memungkinkan untuk mendesign sendiri, menabung untuk untuk keperluan uang muka, dan mempersiapkan KPR. Setelah saya mulai bekerja, saya menengok kembali requirement saya. Setelah beberapa pertimbangan, saya memutuskan untuk membekukan requirement tersebut hingga waktu yang saya belum tahu. Mengapa? Pertimbangan yang paling utama adalah saya belum bisa berkomitment untuk settle down. Yang artinya, saya tidak bisa memutuskan hendak tinggal di mana saya setahun atau dua tahun lagi, dan jelas mempunyai rumah di Singapore adalah di luar spesifikasi requirement. Tidak perlu bertanya mengapa karena pertanyaan itu akan mengarah ke penjelasan-penjelasan yang sangat tidak relevan.
Buat saya, mempertimbangkan beberapa variable yang bisa kita kendalikan atau kita tahu batasannya adalah sebuah keharusan yang masuk akal. Tapi, saya garisbawahi di sini, bukan bearti kita perlu untuk mempertimbangkan semua variable. Let say, saya sudah memutuskan untuk settle down, design sudah ada, rumah impian sudah ditemukan, ada tabungan atau berencana menabung untuk uang muka, maka bukan tidak mungkin saya akan mengeksekusi requirement saya.
Bagaimana dengan variable lain? Apakah tidak menjadi pertimbangan saya? Bagaimana dengan cicilan? Biasanya cicilan akan memakan waktu 15 tahun. Bagaimana jika dalam 15 tahun itu, ada masa dimana saya tidak lagi berpenghasilan sebesar sekarang? Bagaimana kalau sebelum 15 tahun saya dipecat dari perusahaan dan tidak bekerja? Bagaimana kalau umur saya tidak sampai 15 tahun lagi? Sampai di sini, pasti semua setuju jika saya menjawab tidak. Karena hal-hal tersebut ada di luar kendali kita.
Mempersiapkan hal yang terburuk bukan bearti kita berhenti mengharapkan yang terbaik. Karena kekhawatiran-kekhawatiran tidak perlu itu hanya akan membuat kita berhenti di tempat. Mengkhawatirkan semua hal yang belum terjadi sama saja seperti kita mendahului takdir berbicara.
Panjang lebar nulis ini sebetulnya saya hanya ingin bilang, hidup bukan di atas kertas, maka sudah seharusnyalah hitung-hitungan dan pertimbangan kita tidak terbatas di atas kertas. Tidak perlu kuatir untuk memimpikan dan merancang hidup kita hanya karena ‘kertas’ kita tidak cukup untuk memuatnya. Karena sekali lagi, hidup bukan di atas kertas.
“Bermimpilah, Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu”, kata Arai dalam “Sang Pemimpi”.
“Gusti Alloh ga pinter matematika”, kata ayah saya dalam semua kesempatannya.

Galaksi Kinanthi: Sekali Mencintai Sudah Itu Mati?


Category:Books
Genre:Romance
Author:Tasaro GK
“Perempuan yang kuharap menemaniku jika kuberuntung memasuki surga yang dibangunNya. Aku tidak butuh 1.000 bidadari.”


“Aku tidak ingin sendiri mencicipi teh pahit sepat karena kurang gula. Aku butuh kamu, Juj. Kumohon, bangunlah...sadarlah”

“Kinanthi hanya butuh seseorang untuk mendengarkan ceritanya. Mengapa kita begitu kikir untuk memberikan telinga kita, sekadar untuk mendengarkan?”

       Membaca sebuah novel selama 10 jam nonstop tanpa jeda bukan hal yang tidak biasa saya lakukan. Maka pastinya novel ini bukan yang pertama yang membuat saya tidak memicingkan mata semalaman. Yang membuat lain adalah saya sama sekali tidak menduga akan begitu terseret dalam alurnya selama 10 jam ke depan ketika melihat buku ini di salah satu toko diskon di sudut Kota Jogja sebulan lalu. 

       Saya akui sedikit melibatkan emosi ketika meletakkan buku ini di pelukan tangan kiri saya hanya dengan membaca subtitle-nya. “Sekali Mencintai Sudah Itu Mati?”. Emosi yang sama sekali tidak berhubungan dengan novel ini. Tasaro GK, sang penulis, benar-benar bukan nama yang akrab di mata saya. Belum lagi ketika akhirnya melirik ke nama penerbitnya, saya menyiapkan mental untuk membaca sebuah dongeng melankolis kacangan. Bahkan saya sengaja meletakkannya di urutan pertama yang akan dibaca. Bukan tanda positif dari seorang yang mempunyai prinsip save the best for the last. Maka tak salah, ketika akhirnya saya menyelesaikan kata terakhir di buku ini, saya masih tidak bisa mempercayai mata saya ketika melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 8 pagi. 

       Sebetulnya jam-jam membaca itu bukannya tanpa jeda. Saya harus berkali-kali mengambil jeda membaca untuk menyeka mata dan hidung saya yang basah. Atau sekedar mengatur nafas menahan isak agar tidak terlampau mengganggu teman yang tidur tepat di sebelah. Dan juga sesekali meraih air minum untuk membasahi tenggorokan yang terasa berat karena tangis tertahan. Well, saya toh sudah bilang di atas, saya memang sedang penuh emosi di waktu-waktu itu.

       Meskipun begitu, kenyataan bahwa - dengan atau tanpa emosi saat membacanya - novel ini menyuguhkan sesuatu yang berbeda, tidak bisa dipungkiri. 
       Di sisi dominannya, novel ini membuai kita dengan kisah cinta Ajuj dan Kinanthi yang terpisahkan waktu, jarak dan jurang sosial. Sebuah kisah yang akan saya sebut sebagai Romeo&Juliet versi ke 5437 (sebagai informasi, saya samasekalibukan penggemar R&J), jika saja cinta itu tidak dibalut dengan tekad, semangat, keikhlasan dan akal sehat untuk membedakan antara romantis dan tolol. Masih sebagai informasi pembanding, bagi saya, bunuh diri karena cinta adalah salah satu bentuk ketololan ironis yang tak termaafkan. 
Sebuah cinta yang terangkum tulus dari seorang pemuda dusun bahkan sebelum dia mengetahui apa hakekat cinta itu sendiri, “Sebab ada tidaknya kamu disampingku, tetap saja kamu menemaniku”.
       Dan sebaris kewarasan seorang perempuan muda dalam memahami definisi cinta tanpa menjadi babi buta “Suatu saat, mencintai adalah memutar hari tanpa seseorang yang engkau cintai. Sebab dengan atau tanpa seseorang yang kamu kasihi, hidup harus tetap dijalani.”

       Di sisi yang terjalin erat lainnya, novel ini membawa kita pada kepolosan cinta platonis dunia anak-anak. Mereka yang tak terkontaminasi segala atribut orangtua dan sosial. Mereka yang tidak pernah mengerti, bagaimana mungkin sebuah pertemanan terhadang kepentingan seluruh warga desanya. Pertemanan anak seorang rois desa dengan anak seorang penjudi yang berkakakkan lonthe.

       Novel ini membentangkan setting imajiner kita dari deretan pegunungan Rocky di USA, Empire State Building, pusat kota Riyadh sampai ke sebuah rumah reyot di pinggiran dusun kering di kaki pegunungan kapur di Gunung Kidul. Membimbing kita menyusuri kita lusinan tradisi masyarakat dari pelosok Gunung Kidul hingga gemerlap dunia di negara yang dianggap super power, Amerika.

       Membuka mata kita tak hanya pada perpaduan klasik novel cinta, tapi lebih jauh pada issue dunia yang sedang hangat, human trafficking. Menyentil ketidakmampuan negeri gemah ripah loh jinawi ini membela anak-anak bangsanya sendiri, baik ketika dalam gendongan atau setelah bisa lari dan berjalan. Menyengat nasionalisme basi yang tidak bisa bicara banyak ketika seorang Kinanthi berlari ke pelukan negara yang membentangkan perlindungan untuknya. Negara yang ironisnya dipandang dengan kebencian setengah hati oleh negara kandung yang tak pernah ada untuknya.

       Mengumbar kata-kata puitis tentang perpaduan galaksi alam semesta tidak lantas membuat novel ini seperti nyanyian nina bobo. Rangkaian kata itu justru membawa kita menjelajah ketiadabatasan jagad raya. Jauh membentuk imajimasi kita pada sebuah konstelasi bintang-bintang di bawah Gubuk Penceng yang dipersembahkan Ajuj pada cinta masa kecilnya, Kinanthi. Galaksi yang dia beri nama Galaksi Cinta.

Will you remember me?

Kadang saya merasa gagap dengan waktu. Saya merasa dia begitu cepat bergulir bahkan di saat-saat buruk, apalagi di waktu terbaik. Bilangan tahun terkadang hanya menjadi angka-angka yang berkelebatan di jalur hidup saya. Masih ingat betul saya akan gegap millennium baru di angka 2000 waktu itu. Riuh rendah dunia menyusul kekhawatiran Y2K, pesona tren silver metalik yang menyapa dunia, dan antusiasme saya menghadapi kelas 3 SMA. Satu dasawarsa bergulir, dan di sinilah dunia dan saya sekarang berada, di tahun 2011, di mana jejaring social bertambah kuat pengaruhnya, ketika iPad mengantikan setumpuk buku bacaan, dan saya yang, kali ini,  terjebak dalam labirin kota kecil bernama Singapura.
Saya mengakhiri tahun 2009 dan mengawali 2010, bersama dengan ribuan orang yang memadati pantai Patong Phuket, yang berlomba menerbangkan ribuan lentera setinggi mungkin, seolah menggantungkan mimpi dan harapan mereka di sana. Saya akhiri 2010 dan membuka 2011 bersama ribuan orang berbeda di puncak sebuah lambang hedonism duniawi bernama Marina Bay Sand, menikmati kemewahan pijar kembang api yang meledak tepat di bawah kaki saya.

Lucu dan munafik terdengar sebetulnya, jika saya yang selalu mengeluh tentang waktu yang begitu cepat berlalu, dua tahun terakhir ini ikut “merayakan” bergantinya bilangan waktu dengan segala huru-hara itu. Well, mengutip ucapan saya di album foto di salah satu account jejaring social saya yang terbaru, “As always, it’s not just about the event, it’s more about the people”. Dan kali ini, “the people” itu adalah teman-teman saya. Mungkin di lain album “the people” itu adalah keluarga saya, atau mungkin Anda. It’s about the people I love. Orang-orang yang membuat saya ingin membekukan waktu saat saya besama mereka, orang-orang yang membuat saya bersedia memutar waktu untuk sedetik lebih lama mendengar celotehan mereka.

Menulis ini membuat saya sadar, saya memang tidak bisa menghentikan waktu. Saya tidak bisa mencegah orang datang dan  pergi di hidup saya. Atau saya yang keluar masuk seenaknya dalam hidup mereka. saya juga tidak mampu menahan takdir yang kelak merenggut mereka dari saya atau saya dari mereka.
Tapi menulis ini adalah cara saya untuk membekukan memori atas mereka. Seperti juga ketika saya membekukan waktu dengan menekan shutter kamera saya. Akan apa yang sudah kami lewati bersama, akan semua kenangan yang mungkin bisa kami ceritakan pada orang-orang yang kami cintai kelak.
Atau sekedar menjadi cara saya untuk membantu orang-orang yang saya cintai tetap mengingat saya jika waktu saya tiba untuk meninggalkan mereka. Will they?

Catatan Perjalanan - Final AFF: It's Not About Football - 2

Baca: Catatan Perjalanan - Final AFF: It's Not About Football - 1


     Di Bukit Bintang, kami bertemu teman-teman Indonesia yang berdomisili di KL sembari makan siang di salah satu gerai cepat saji di sana. Dilanjutkan dengan sesi pencarian hostel dan nge-mall (lagi) di Pavilion. Jangan dikira aktifitas mall dari mall kami di sini untuk belanja. Kunjungan mall ke mall ini hanya untuk memuaskan nafsu foto-foto narsis berlatar belakang gemerlap hiasan Natal yang banyak bertebaran di sana. Siang itu kami akhiri dengan cemilan singkat ke ISetan depan Pavilion. 

Mungkin karena masih termasuk jam makan siang, basement food court itu luar biasa penuh. Perjuangan kami untuk mendapatkan meja baru terbayar hampir setengah jam dan lebih dari 4 kali tawaf. Saya yang masih kenyang "hanya" memesan minum dan beberapa butir gorengan bola-bola talas dan ubi jalar. Awalnya, saya tidak yakin ada yang bisa saya "makan" di sana. Karena memang sepertinya kebanyakan adalah makanan yang tidak halal. Tapi karena melihat seorang penjualnya berjilbab, saya pun meembeli gorengan itu. Ketika saya pesan, ibu-ibu penjual itu melontarkan kata-kata yang saya anggap sebagai pertanyaan, "Dibungkus?". Saya yang berniat makan di tempat tentu saja bilang "Tidak, makan sini". Eh, tidak disangka si ibu dengan keukeuh-nya bilang "Dibungkus saja ya..". Sepersekian detik otak saya teringat adegan "pengusiran" di salah satu gerai fast food di Mersing pada bulan puasa lalu, "Not again.." pikir saya. Tapi demi melihat senyum si ibu akhirnya saya mengerti maksud dan tujuannya, segera saya iyakan untuk dibungkus.
     Pukul 4 sore kami sudah bersiap menuju ke Bukit Jalil. Sepanjang stasiun ke arah bukit Jalil sudah penuh dengan teriakan-teriakan suporter yang cukup membuat nyali ciut. Apalagi, meskipun ada beberapa orang berbaju merah, supporter Garuda, jauh lebih banyak lagi supporter-supporter Harimau yang berseragam kuning. Meski terdengar berisik deengan segala macam yel-yel yang mereka teriakkan, saya jujur salut, mereka memasuki gerbong dengan tertib. Tidak ada aksi dorong meskipun gerbong kereta begitu penuh dengan ribuan orang yang tidak semuanya "berwarna" seragam. Bahkan saya masih bisa menyelipkan tas saya yang cukup besar tanpa kerepotan dan seorang teman bahkan masih sempat, dan berani, memotret dalam gerbong. Sesuatu yang langka saya jumpai di negeri saya sendiri.
     Dari pukul 5 sesampainya kami di Bukit Jalil, sampai pukul 7 adalah waktunya menunggu tiket. Waktu selama itu kami habiskan berkeliling mencari apa saja untuk melengkapi penampilan, mulai dari atribut kaos, bendera, slyer, ikat kepala atau sekedar saya manfaatkan untuk mengabadikan moment-moment perpaduan Merah dan Kuning.

Kami benar-benar larut ke dalam euforia Merah Putih. Kenal tidak kenal selama beratribut Merah Putih adalah saudara. Saya, kami, yang tidak pernah, sama sekali, menonton langsung pertandingan sepakbola dan terkadang merasa aneh melihat orang-orang yang mau-maunya berdandan konyol untuk tim kesayangan mereka menjadi sedikit bisa mengerti. Ini bukan lagi hanya soal sepakbola, ini masalah kebanggaan. 
Ketika pukul 7 pintu  gerbang dibuka, kami mulai bergabung dengan pasukan merah lainnya menyemut ke arah gerbang khusus suporter Indonesia, seperti tercantum di tiket.      Yang sebetulnya tidak seorang pun dari kami tahu di mana. Cukup mengikuti keramaian saja lah..selama masih warna yang sama ditanggung sampai gerbang yang benar. Sepanjang mengelilingi stadium beberapa kali kami melewati konsentrasi massa Kuning, dan sekali lagi saya salut dengan mereka yang tidak melakukan tindak provokasi fisik dan membiarkan kami lewat dengan tenang. 

     Begitu memasuki gerbang, mencari tribun seperti tercantum di tiket, kami baru sadar satu hal. Tribun kami bukan salah satu tribun Indonesia, dengan kata lain tiket kami harusnya tiket untuk Malaysia saja. Karena tidak mungkin mencari tribun yang benar, akhirnya kami bertujuh memutuskan untuk menyelinap saja di salah satu tribun terdekat dari pintu keluar.
     Satu hal yang baru saya sadari ketika menonton pertandingan langsung adalah tidak ada komentator yang menjelaskan jalannya pertandingan termasuk tim mana berseragam warna apa. Lebih parah lagi karena saat itu tim Garuda tidak mengenakan seragam merah seperti dugaan kami sebelumnya. Riuh rendah suara suporter juga tidak membantu kami mengidentifikasikan dengan jelas tim dengan seragam biru atau hijau yang harus kami bela. Sampai akhirnya kami bisa mengenali lambang Pancasila di kaos salah satu pemain yang berhasil saya foto. Dan karena ramai suporter yang luar biasa itu juga kami melewatkan moment menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Deg-degan, itu yang bisa saya gambarkan saat itu. Antara deg-degan melihat aksi tim Garuda, dan deg-degan dengan status kami sebagai supporter tim lawan di antara puluhan ribu suporter tuan rumah yang mulai panas. Walaupun kebanyakan aksi berbahaya mereka lebih banyak terjadi di tribun seperti menyalakan petasan, menyulut kembang api dan yang terakhir, lebih cocok disebut kocak, adalah menggelar bendera besar Malaysia yang ternyata dalam posisi terbalik ketika lagu kebangsaan dikumandangkan.

     Aksi yang paling membuat saya senam jantung adalah ketika gelombang besar massa Kuning mulai memasuki area suporter Indonesia. Lebih gawatnya lagi adalah karena mereka berusaha menguasai tribun bagian atas dari tribun Indonesia. Walhasil jadilah adu makian dan perang botol air mineral dari atas ke bawah dan sebaliknya. Puncaknya adalah di awal babak kedua ketika Markus, penjaga gawang Garuda melancarkan protes keras karena ulah suporter Malaysia yang mengarahkan laser hijau ke mukanya. Sebetulnya itu bukan pertama kalinya, karena kamera saya sempat mengabadikan laser hijau yang sama jatuh di badan Firman Utina, sang kapten Garuda ketika melakukan tendangan sudut di babak pertama. Mulai dari situ, yang berbuntut kebobolannya gawang Garuda 3 kali dalam waktu kurang dari 10 menit, satu per satu suporter Garuda mulai beringsut meninggalkan tribun. Hingga akhirnya kami mengikuti keluar bersama dengan satu gelombang besar teman-teman yang lain. Saat itu posisi saya ada di bangku tribun paling belakang, dan di barisan belakang, tepat di balik punggung saya adalah massa Harimau. Maka demi melihat suasana yang sudah sangat panas, kami memutuskan untuk mengikuti keluar dari stadion dengan dada sesak mendengar riuh rendah sorakan supporter Malaysia yang masih dengan semangat penuh memberi semangat tim mereka.
    Sebetulnya apa yang dilakukan suporter Malaysia kala itu masih dalam kisaran normal dan wajar. Karena saya yakin, kalau pertandingan dilakukan di Indonesia dan supporter Malaysia yang hadir di GBK puluhan ribu seperti kami saat itu di Bukit Jalil, maka hanya Tuhan yang tahu apa jadinya itu GBK. 
     Di luar stadion, sambil menunggu bis pukul 11, kami habiskan waktu dengan menandaskan 2 mangkok sup ayam, semangkok sup daging, dan sepiring ayam madu dalam diam.
     Juga ketika dalam bis, yang ternyata tempat duduknya 2-2 (itu mengapa saya menyesal), kami hanya mengatur posisi tidur masing-masing tanpa banyak antusiasme seperti ketika kami berangkat. Separoh karena aura kekalahan yang masih menyesakkan dan selebihnya karena memang kantuk yang sudah luar biasa.
     Tiba di Singapore pukul 7 pagi, perjalanan kurang dari 36 jam ini menguras dompet saya sebanyak MRY 183, yang seperti biasa, tidak tahu rinciannya.


Courtesy Foto: Tommy Khoe, Lily Sumiko

Catatan Perjalanan - Final AFF: It's Not About Football - 1

    Baca: Catatan Perjalanan - Final AFF: It's Not About Football - 2 


    Jika dunia mengenal Carl Schurz dengan ucapan terkenalnya “Our country, right or wrong. When right, to be kept right; when wrong, to be put right”, maka saya mengenal Kumbhakarno yang tetap membela negara tumpah darahnya, Alengka, sampai titik darah penghabisan walaupun tahu bahwa apa yang dilakukan kakaknya, Rahwana, dengan menculik Shinta dari Rama adalah sebuah kesalahan. Dan dari semangat yang sama itulah perjalanan dan tulisan ini lahir.
     Ini hanyalah sebuah catatan ringan perjalanan sekelompok anak manusia yang tidak tahu sepakbola, bukan pecinta sepakbola, tidak hafal nama punggawa tim nasional satu per satu, yang terkadang tak habis pikir tentang ulah supporter bola yang menghalalkan segala cara untuk menonton pertandingan tim idola mereka dengan mengatasnamakan loyalitas, apalagi ikut terlibat dalam pelik kontroversi dalam tubuh PSSI yang tak kunjung usai.
     Ini hanyalah sebuah catatan ringan perjalanan sekelompok anak manusia yang dalam darahnya mengalir Merah Putih, yang dalam adrenalinnya penuh kepak Garuda, yang tak hanya fasih mendendangkan Indonesia Raya di mulutnya tapi juga menggaungkan dalam hatinya, yang masih dan tetap akan bersumpah akan satu bangsa, tanah air dan bahasa Indonesia.
     Rabu itu seorang teman tanpa basa-basi dan rencana menanyakan apa saya mau ikut ke Kuala Lumpur tepatnya ke Bukit Jalil untuk menonton langsung final AFF leg 1 antara Indonesia dan Malaysia. Tanpa berfikir pula, segera saya iyakan, urusan teknis lain-lain itu dipikir belakangan. Karena jangankan bagaimana dan di mana Bukit Jalil, tiket pertandingannya saja belum lagi tahu akan dibeli di mana.
Sampai H-2, hari Jumat pagi, belum ada tanda pasti keberangkatan kami. Usaha beberapa teman untuk mencari di Kaskus dan langsung di KL belum juga membuahkan kepastian. Bahkan ada ide untuk nekat saja pergi ke KL walaupun belum dapat tiket, sekadar untuk jalan-jalan. Ide yang jelas saja saya tolak mentah-mentah. Well, KL’s never be one of my favorite city ever anyway.
     Akhirnya Jumat sebelum makan siang, teman-teman mengkonfirmasikan kepastian bahwa tiket sudah di tangan, entah di tangan mana dan siapa, itu kembali jadi urusan belakangan. Dengan berbekal informasi itu, saya dan seorang teman yang bertugas mengurus transportasi ke dan dari KL, tepat sepulang kerja segera ikut bergabung dengan ribuan commuter yang sore itu hendak kembali ke Johor untuk membeli tiket bis ke Larkin. Berangkat dari rumah pukul 4 sore, kami baru berhasil menginjakkan kaki di terminal bis Larkin pukul 7 malam. Membeli tiket bis untuk akhir minggu bertepatan dengan hari Natal bukan hal yang mudah ternyata. Kami harus bertanya ke beberapa agent bis sampai akhirnya mendapatkan jadwal yang nyaman untuk berangkat dan pulang. Masih ditambah dengan komunikasi untuk mengkonfirmasikan jadwal tersebut dengan personil yang lain membuat genap 2 jam kami berkeliaran di sana. Akhirnya disepakati berangkat hari Sabtu tengah malam, menggunakan Causeway Link, seharga MYR 31.00. Baliknya dari KL hari Minggu pukul 11 malam, hanya sejam setelah pertandingan dijadwalkan selesai, menggunakan Transnational (yang sedikit saya sesali) seharga MYR 31.10.
     Mengantisipasi kemungkinan terburuk macet di check point seperti hari sebelumnya, kami memutuskan untuk berangkat dari Singapore pukul 8 malam. Yang akhirnya membuat kami terdampar di warung kopi Larkin selama lebih dari 2 jam, karena ternyata perjalanan menyeberangi perbatasan hari Sabtu itu benar-benar lenggang. Berkeliaran di Larkin selama itu membuat ada saja pengalaman unik yang membuat saya, yang notabene satu-satunya perempuan di gerombolan kami, tergelak dan teman-teman saya bergidik sepanjang menunggu bis. Entah memang pria-pria di Larkin yang luar biasa ramah, atau para cowok itu yang luar biasa attractive sehingga menarik perhatian para pria-pria di sana. Okay, that's a compliment guys..

     Tepat tengah malam, bis kami mulai bergerak meninggalkan Larkin. Bis 2-1 tempat duduk berkapasitas lebih dari 15 orang itu hanya berisi kami berlima plus 3 orang penumpang lain. Hip..hip..hurayyy.. Sehabis foto-foto narsis ala kadarnya di dalam bis segeralah kami terlelap dalam mimpi masing-masing. Terasa hanya sebentar perjalanan nyaman itu, hingga sekitar pukul 4 pagi kami dibangunkan oleh teriakan sopir bis yang memberitahukan bahwa kami sudah sampai di Buki Jalil terminal. Masih sedikit terhuyung dan otak pekat akan kantuk, kami berlima harus berjuang menolak tawaran sopir taksi yang berkeras menawarkan jasanya. Akhirnya pagi yang masih sangat belia itu kami habiskan sekadar tidur-tidur ayam sambil memesan beberapa gelas kopi di warung kopi tepat di depan Bukit Jalil Stadium. 
     Pukul 6 kami sudah berbaris di belakang banyak orang yang lain mengantri tiket kereta. Kali ini menuju Masjid Jamek untuk transit sebelum meneruskan ke KLCC station atau yang lebih terkenal sebagai Twin tower Petronas, kemudian mengantri tiket naik ke connector bridge. Itu rencananya, tapi pelaksanaannya, sesampainya di Masjid Jamek, panggilan alam mengharuskan kami rehat sebentar di sana. Setelahnya, panggilan alam yang lain, kali ini dari perut-perut kelaparan membuat kami memutuskan sedikit berjalan kaki ke seputaran Petaling untuk sekadar mengisi perut. Terbiasa memegang pecahan "Yusof bin Ishak", meskipun sudah beberapa kali ke Malaysia, saya masih saja takjub ketika tiba giliran untuk membayar. Semangkuk bubur ditambah seporsi besar cakwey plus segelas es teh tawar hanya membuat saya mengeluarkan MRY 2.60 atau tidak lebih dari SGD 1.10. 
     Kenyang perut senang hati. Dan perjalanan pun lanjut ke KLCC dari Pasar Seni. Sayangnya, atau untungnya, tiket ke connector bridge untuk hari itu telah ludes terjual. Sisi positifnya, kami masing-masing bisa berhemat MRY 10.00. Akhirnya pagi itu kami habiskan dengan foto-foto narsis di seputaran Twin Tower dan Suria KLCC Mall. Mulai dari bagian depan, ke dalam mall, dan berakhir di taman belakang KLCC yang cukup rimbun dengan pepohonan. 
Saya akui, Malaysia jelas tahu betul bahwa Petronas Twin Tower adalah satu dari sedikit hal yang bisa mereka jual. Terlihat dari penataan kawasan mall dibuat sangat menarik, dengan taman dan kolam yang luar biasa luas.Bahkan tersedia pancuran air minum yang lumayan dingin. Dan yang paling utama, kawasan itu sangat bersih dan modern. Sangat kontras dengan area-area lain yang sebelumnya kami lalui.

     Bosan bersantai dan memamah biak cemilan di taman belakang mall, kami kembali berjibaku dengan moda transportasi KL yang imut-imut itu. Maksud saya, tentu saja LRT dan monorel di sana. Saya bilang imut-imut karena system kereta di KL tidak selalu full peron. Jadi jangan heran, jika suatu saat mengantri di salah satu pintu, dan ternyata pintu itu tidak terbuka karena kereta yang melewatinya memang hanya membawa beberapa gerbong. Dari KLCC, tujuan kami selanjutnya adalah Bukit Bintang. 
     Berbicara tentang system transportasi Malaysia, tentu tidak pada tempatnya jika saya melayangkan kritikan. Karena saya sendiri datang dari negara dengan carut-marut system transportasi yang tak jua kunjung terpecahkan. Tapi, sebagai turis (ehem) bolehlah saya bilang kalau saya sedikit sebal dengan sistem di sana. Sebagai contoh, dari KLCC ke Bukit Bintang yang notabenenya hanya 4 stasion, kami harus turun dulu di Dang Wangi kemudian ganti kereta ke Bukit Bintang. Turun dan ganti kereta di sini bukan hanya ganti peron tapi betul-betul secara harfiah keluar dari stasiun, berpindah ke stasiun lain, dan mengantri tiket baru. Lebih runyamnya lagi, dari Dang Wangi ini stasiun monorel berikutnya berada cukup jauh. Alhasil kami harus berjalan sekitar 200 meter, tebak-tebak buah  manggis jalan mana yang harus diambil, berlari-lari menyeberang jalan sebelum akhirnya bertemu dengan stasiun monorel.