Baca: Catatan Perjalanan - Final AFF: It's Not About Football - 2
Jika dunia mengenal Carl Schurz dengan ucapan terkenalnya “Our country, right or wrong. When right, to be kept right; when wrong, to be put right”, maka saya mengenal Kumbhakarno yang tetap membela negara tumpah darahnya, Alengka, sampai titik darah penghabisan walaupun tahu bahwa apa yang dilakukan kakaknya, Rahwana, dengan menculik Shinta dari Rama adalah sebuah kesalahan. Dan dari semangat yang sama itulah perjalanan dan tulisan ini lahir. Ini hanyalah sebuah catatan ringan perjalanan sekelompok anak manusia yang tidak tahu sepakbola, bukan pecinta sepakbola, tidak hafal nama punggawa tim nasional satu per satu, yang terkadang tak habis pikir tentang ulah supporter bola yang menghalalkan segala cara untuk menonton pertandingan tim idola mereka dengan mengatasnamakan loyalitas, apalagi ikut terlibat dalam pelik kontroversi dalam tubuh PSSI yang tak kunjung usai.
Ini hanyalah sebuah catatan ringan perjalanan sekelompok anak manusia yang dalam darahnya mengalir Merah Putih, yang dalam adrenalinnya penuh kepak Garuda, yang tak hanya fasih mendendangkan Indonesia Raya di mulutnya tapi juga menggaungkan dalam hatinya, yang masih dan tetap akan bersumpah akan satu bangsa, tanah air dan bahasa Indonesia.
Rabu itu seorang teman tanpa basa-basi dan rencana menanyakan apa saya mau ikut ke Kuala Lumpur tepatnya ke Bukit Jalil untuk menonton langsung final AFF leg 1 antara Indonesia dan Malaysia. Tanpa berfikir pula, segera saya iyakan, urusan teknis lain-lain itu dipikir belakangan. Karena jangankan bagaimana dan di mana Bukit Jalil, tiket pertandingannya saja belum lagi tahu akan dibeli di mana.
Sampai H-2, hari Jumat pagi, belum ada tanda pasti keberangkatan kami. Usaha beberapa teman untuk mencari di Kaskus dan langsung di KL belum juga membuahkan kepastian. Bahkan ada ide untuk nekat saja pergi ke KL walaupun belum dapat tiket, sekadar untuk jalan-jalan. Ide yang jelas saja saya tolak mentah-mentah. Well, KL’s never be one of my favorite city ever anyway.
Akhirnya Jumat sebelum makan siang, teman-teman mengkonfirmasikan kepastian bahwa tiket sudah di tangan, entah di tangan mana dan siapa, itu kembali jadi urusan belakangan. Dengan berbekal informasi itu, saya dan seorang teman yang bertugas mengurus transportasi ke dan dari KL, tepat sepulang kerja segera ikut bergabung dengan ribuan commuter yang sore itu hendak kembali ke Johor untuk membeli tiket bis ke Larkin. Berangkat dari rumah pukul 4 sore, kami baru berhasil menginjakkan kaki di terminal bis Larkin pukul 7 malam. Membeli tiket bis untuk akhir minggu bertepatan dengan hari Natal bukan hal yang mudah ternyata. Kami harus bertanya ke beberapa agent bis sampai akhirnya mendapatkan jadwal yang nyaman untuk berangkat dan pulang. Masih ditambah dengan komunikasi untuk mengkonfirmasikan jadwal tersebut dengan personil yang lain membuat genap 2 jam kami berkeliaran di sana. Akhirnya disepakati berangkat hari Sabtu tengah malam, menggunakan Causeway Link, seharga MYR 31.00. Baliknya dari KL hari Minggu pukul 11 malam, hanya sejam setelah pertandingan dijadwalkan selesai, menggunakan Transnational (yang sedikit saya sesali) seharga MYR 31.10.
Mengantisipasi kemungkinan terburuk macet di check point seperti hari sebelumnya, kami memutuskan untuk berangkat dari Singapore pukul 8 malam. Yang akhirnya membuat kami terdampar di warung kopi Larkin selama lebih dari 2 jam, karena ternyata perjalanan menyeberangi perbatasan hari Sabtu itu benar-benar lenggang. Berkeliaran di Larkin selama itu membuat ada saja pengalaman unik yang membuat saya, yang notabene satu-satunya perempuan di gerombolan kami, tergelak dan teman-teman saya bergidik sepanjang menunggu bis. Entah memang pria-pria di Larkin yang luar biasa ramah, atau para cowok itu yang luar biasa attractive sehingga menarik perhatian para pria-pria di sana. Okay, that's a compliment guys..
Tepat tengah malam, bis kami mulai bergerak meninggalkan Larkin. Bis 2-1 tempat duduk berkapasitas lebih dari 15 orang itu hanya berisi kami berlima plus 3 orang penumpang lain. Hip..hip..hurayyy.. Sehabis foto-foto narsis ala kadarnya di dalam bis segeralah kami terlelap dalam mimpi masing-masing. Terasa hanya sebentar perjalanan nyaman itu, hingga sekitar pukul 4 pagi kami dibangunkan oleh teriakan sopir bis yang memberitahukan bahwa kami sudah sampai di Buki Jalil terminal. Masih sedikit terhuyung dan otak pekat akan kantuk, kami berlima harus berjuang menolak tawaran sopir taksi yang berkeras menawarkan jasanya. Akhirnya pagi yang masih sangat belia itu kami habiskan sekadar tidur-tidur ayam sambil memesan beberapa gelas kopi di warung kopi tepat di depan Bukit Jalil Stadium.
Pukul 6 kami sudah berbaris di belakang banyak orang yang lain mengantri tiket kereta. Kali ini menuju Masjid Jamek untuk transit sebelum meneruskan ke KLCC station atau yang lebih terkenal sebagai Twin tower Petronas, kemudian mengantri tiket naik ke connector bridge. Itu rencananya, tapi pelaksanaannya, sesampainya di Masjid Jamek, panggilan alam mengharuskan kami rehat sebentar di sana. Setelahnya, panggilan alam yang lain, kali ini dari perut-perut kelaparan membuat kami memutuskan sedikit berjalan kaki ke seputaran Petaling untuk sekadar mengisi perut. Terbiasa memegang pecahan "Yusof bin Ishak", meskipun sudah beberapa kali ke Malaysia, saya masih saja takjub ketika tiba giliran untuk membayar. Semangkuk bubur ditambah seporsi besar cakwey plus segelas es teh tawar hanya membuat saya mengeluarkan MRY 2.60 atau tidak lebih dari SGD 1.10.
Kenyang perut senang hati. Dan perjalanan pun lanjut ke KLCC dari Pasar Seni. Sayangnya, atau untungnya, tiket ke connector bridge untuk hari itu telah ludes terjual. Sisi positifnya, kami masing-masing bisa berhemat MRY 10.00. Akhirnya pagi itu kami habiskan dengan foto-foto narsis di seputaran Twin Tower dan Suria KLCC Mall. Mulai dari bagian depan, ke dalam mall, dan berakhir di taman belakang KLCC yang cukup rimbun dengan pepohonan.
Saya akui, Malaysia jelas tahu betul bahwa Petronas Twin Tower adalah satu dari sedikit hal yang bisa mereka jual. Terlihat dari penataan kawasan mall dibuat sangat menarik, dengan taman dan kolam yang luar biasa luas.Bahkan tersedia pancuran air minum yang lumayan dingin. Dan yang paling utama, kawasan itu sangat bersih dan modern. Sangat kontras dengan area-area lain yang sebelumnya kami lalui.
Bosan bersantai dan memamah biak cemilan di taman belakang mall, kami kembali berjibaku dengan moda transportasi KL yang imut-imut itu. Maksud saya, tentu saja LRT dan monorel di sana. Saya bilang imut-imut karena system kereta di KL tidak selalu full peron. Jadi jangan heran, jika suatu saat mengantri di salah satu pintu, dan ternyata pintu itu tidak terbuka karena kereta yang melewatinya memang hanya membawa beberapa gerbong. Dari KLCC, tujuan kami selanjutnya adalah Bukit Bintang.
Berbicara tentang system transportasi Malaysia, tentu tidak pada tempatnya jika saya melayangkan kritikan. Karena saya sendiri datang dari negara dengan carut-marut system transportasi yang tak jua kunjung terpecahkan. Tapi, sebagai turis (ehem) bolehlah saya bilang kalau saya sedikit sebal dengan sistem di sana. Sebagai contoh, dari KLCC ke Bukit Bintang yang notabenenya hanya 4 stasion, kami harus turun dulu di Dang Wangi kemudian ganti kereta ke Bukit Bintang. Turun dan ganti kereta di sini bukan hanya ganti peron tapi betul-betul secara harfiah keluar dari stasiun, berpindah ke stasiun lain, dan mengantri tiket baru. Lebih runyamnya lagi, dari Dang Wangi ini stasiun monorel berikutnya berada cukup jauh. Alhasil kami harus berjalan sekitar 200 meter, tebak-tebak buah manggis jalan mana yang harus diambil, berlari-lari menyeberang jalan sebelum akhirnya bertemu dengan stasiun monorel.