Penang adalah
perjalanan kedua saya di tahun 2013. Perjalanan paling santai dan paling tidak
jelas sepanjang sejarah cerita jalan-jalan saya. Tahun ini. Sebetulnya si, tiap
jalan sendiri, itin saya selalu santai dan tidak jelas. Kebetulan saja, tahun
ini Penang menjadi single trip yang pertama.
Tiket ke Penang ini
sebetulnya adalah impulsif tiket. Baca, lihat, beli. Kelebihannya, tentu saja
murah. Return ticket kurang dari 40 SGD. Kekurangannya, flight KL-Penang-KL.
Belakangan saya ingat banyak direct flight ke Penang dari Singapore. Goblok?
Enggak juga si, impulsif saya bilang.
Karena flight ke
Penang dari LCCT jam 7 pagi, saya memutuskan mempermudah hidup dengan terbang
ke LCCT malam sebelumnya *summon Bartimaeus*. Sampai di
LCCT jam 1 pagi, saya melenggang santai di imigrasi sampai membuat banyak orang
mengular di belakang saya karena saya berjalan lambat-lambat di antrian yang
sepi (ya kenapa juga ga disalip aja?).
Menjelang jam 2
pagi, saya mulai mengakuisisi sepetak ubin di dekat tembok untuk dijadikan tempat
tidur. Spot favorit saya di LCCT adalah di sebelah pintu keberangkatan
internasional. Ada space cukup luas dan tidak dilewati lalu lalang orang di
sana. Pasang alas, berbantal ransel, tidur deh.
Kemudian kalau saya
cerita gini masih aja ada orang yang nanya, emang nyaman tidur di bandara? Ya
menurut ngana? Tidur di lantai keras nan dingin gitu masih pakai
ditanya. Beda antara nyaman dan tidak ketika menginap di LCCT itu tipis,
Saudaraku. Setipis beda antara benci dan cinta lah.. #lha
Penerbangan LCCT-Penang,
yang tidak terasa selama sejam, saya tempuh dengan tidur. Ya mau apa lagi? Ga
mungkin juga saya bantu-bantu pramugari AirAsia jualan sarapan kan?
Bandara Penang
terletak cukup jauh di sebelah selatan Georgetown, yang katanya si pusat kota
lama Penang. Untuk mencapai Georgetown, bisa naik bis nomer …ehm..401E? 402?
OK, lupa. Intinya, tunggu saja di bus stop depan bandara sambil tanya ke siapa
saja yang bertampang orang local, bis mana yang menuju Komtar, terminal bis
paling utama di sana. Sebetulnya Komtar itu bukan terminal si ya, lebih mirip
simpul benang ruwet rute bis pulau Penang. Jadi hampir semua bis mampir ke
Komtar dalam rutenya. Bahkan mau dari Batu Ferrigih yang notabenenya di ujung
utara ke Bandara yang di ujung selatan, tetap lewat Komtar di ujung timur *rolling
eyes*.
Ah sudahlah, kita
tinggalkan saja masalah transportasi mereka. Toh pengaturan semua bis melewati
Komtar ini memudahkan para turis, karena kita tidak perlu repot menghafal semua
rute bis yang mbulet. Cukup nongkrong ke Komtar.
Sampai di Komtar,
berbekal peta gratisan dari bandara, saya menyusuri jalan Penang, mencari
Hutton Lodge di Hutton Lane, tempat saya seharusnya menginap malam itu.
Berhubung masih terlalu pagi, saya hanya bisa menitipkan ransel di sana.
Rekomendasi Hutton Lodge ini saya dapat dari blog virginmojito. OK, to be
exact, all itinerary di perjalanan ini (tadinya) saya dapat dari sana. Tapi
karena satu dan lain hal, akhirnya saya memilih mengikuti kata hati. But hey,
penginapan ini memang rekomended si. Homy. Plus ruang showernya gede, airnya
kenceng, WiFi di kamar tak tercela, kasur empuk, AC adem. *goler-goler di kamar
doang ga mau ke mana-mana*
Tapi baiklah,
terdorong oleh dogma masyarakat bahwa berwisata itu seharusnya diisi dengan
jalan-jalan, foto-foto, mencoba hal baru dan bukannya goler-goler di penginapan
saja, maka saya segera menuju Komtar (lagi) untuk mengambil CATShuttle bus
untuk pusing-pusing Georgetown.
CATShuttle ini
adalah bus gratis yang rutenya mengelilingi Goergetown, dan melewati hampir
semua objek wisata di kota mini ini. Dari Komtar, bus memutar mengarah ke
utara, memutar melalui Hutton Lane. Sounds familier? Yep, bis memutar melewati depan penginapan saya. Kalau
gitu ngapain saya pakai panas-panas ke Komtar? *gigit pundak penumpang sebelah*
Saran saya si
seperti banyak pelancong lainnya, ikut muter aja dulu, putuskan untuk turun di
round kedua. Karena satu rute putaran mengelilingi Goergetown, jika tanpa
berhenti, bisa ditempuh dalam err… 15 menit. Iya, Georgetown itu kecil,
Jendral!
Berbeda dengan
beberapa turis yang memutuskan turun di Queen Victoria clock tower, saya
memutuskan turun agak lambat, di dekat Cityhall, kemudian baru jalan balik ke
clock tower.
Georgetown ini
sebetulnya cukup menarik. Jajaran bangunan tua berarsitektur colonial yang
terawat baik, British landing history, perpaduan budaya peranakan, transportasi
yang memadai, informasi turis yang cukup membantu, kuliner yang (katanya) enak,
pedestrian yang nyaman. Rangkum itu dalam 2 kata, compact Singapore. Ya, sorry
to say, belum genap 3 jam kemudian, saya bosan.
Jam 1 siang, saya
berhasil kembali ke Komtar setelah jalan kaki dari Cityhall. Kok ga naik bis?
Jadi gini, nunggu CATShuttle bis itu mirip-mirip sama nunggu jodoh. Ditunggu
sampe bengong ga nongol-nongol, giliran baru jalan 50 meter dari bus stop, dia
muncul aja gitu di bus stop kaya baru turun dari langit. Fine! Jodohin saja
situ sama orang lain. *emosi* (iya, emosinya bukan lagi soal CATShuttle)
Trus ngapain saya
balik lagi ke Komtar? Nyari bioskop! Ultimate trip itinerary adalah ketika kamu
memutuskan untuk nonton Bruce Wilis tinimbang muter-muter kota. Dan karena
waktu film pilihan saya jam 4, saya memutuskan balik ke penginapan dulu untuk
tidur siang. Hail single trip!!
Kedatangan saya ke
Penang kemarin, bertepatan dengan perayaan Cap Go Meh. Maka sehabis kencan
dengan McClane Jr. saya kembali naik CATShuttle ke jalan Kapitan Keling, karena
menurut selebaran yang saya dapat aka nada perayaan Cap Go Meh di sana.
Ketika saya turun
dari bis, tiba-tiba saja saya mendengar suara, yang hanya saya tangkap
sebagian, dengan nada bertanya “ … Solo?”
Kurang yakin bahwa
pertanyaan itu ditujukan ke saya, saya menoleh ke arah sumber suara. Seorang
perempuan menjajari langkah saya.
“Orang Indonesia?”
tanyanya, yang saya balas dengan anggukan tidak yakin.
“Dari Solo?”,
ulangnya. Kali ini sambil menunjuk kaos yang saya pakai. Kaos hitam bergambar
tokoh Arjuna dalam wayang kulit dan sepotong besar tulisan “SOLO”. Tak butuh
waktu lama, kami berkenalan dan jadilah saya punya teman jalan dari Jakarta
malam itu di Kapitan Keling.
Moral dari
pengalaman itu adalah, lain kali saya akan memakai kaos hitam bergambar boneka
matryoshka dengan tulisan besar-besar “Москва”. Mungkin saat itu seorang
bernama Dmitri yang menghampiri saya dengan pertanyaan, “Rossiyane?” *bebas!!!*
Hari ke dua di
Penang, saya bangun cukup pagi. Sepagi yang bisa diharapkan dari seorang yang
traveling sendirian tanpa itinerary yang jelas.
Rencana jalan saya
pagi itu adalah menuju Bukit Bendera dan Lok Si Temple. Setelah beberapa lama
menunggu, akhirnya bisa berdiri manis di bis 204 (kali ini beneran inget),
karena bis ini sepertinya memang Penang sweetheart, penuh. Rute bus 204 ini akan melewati Lok Si Temple
terlebih dahulu,hanya saja, entah mengapa, saya sama sekali tidak tertarik untuk
berkunjung ke sana. Jadilah, ketika separoh penumpang bus turun di sana, saya
memilih berdiam di bis menuju Bukit Bendera.
Ada apa di Bukit
Bendera? Selain funicular railways milik Penang Hill Railways yang tersohor
itu, kita bisa melihat seluruh penjuru Penang dari ketinggian. Kalau
beruntung cuaca bagus, kita bisa melihat sampai Butterworth di seberang pulau.
Selain itu? Hmm…ada Owl Museum. Jangan tanya tentang apa, saya tidak masuk.
Trus ngapain di sana?! (yang baca mulai putus asa). Makan Penang laksa. *kalem*
Di luar kenyataan
bahwa bukit Bendera memang biasa aja dan tidak banyak hal yang bisa dilakukan
di atas, funicular trainnya cukup menghibur. Untuk menikmatinya dengan
maksimal, pastikan duduk di ujung kereta. Saya pribadi lebih memilih di bagian
bawah. Karena process memasuki train dengan mengantri, usahakan untuk mengantri
di bagian paling depan, untuk menjamin kelangsungan prosess potret memotret.
Kiasu, kiasu deh…
Dari Bukit Bendera, hari yang masih cukup siang membuat saya mati gaya.
Akhirnya saya putuskan untuk menghabiskan hari mengarah ke barat. Tepatnya ke
Gurney Plaza, untuk mencoba peruntungan kuliner dan potong rambut. Iya potong
rambut, kan sudah saya bilang, trip saya kali ini random bin hedon binti ga
jelas.
Gurney Plaza ini,
menurut seorang teman dan sepertinya memang benar, merupakan mall terbesar
sekaligus mall paling prestisius. Beberapa gerai merek fashion ternama tampak
saya lihat di sana. Setelah berhasil menunaikan tujuan utama, potong rambut,
saya mengikuti kata perut. Mencari makan. Beberapa lemparan kancrut dari mall
ini, terdapat sepetak besar komplek pujasera di pinggir pantai. Cukup banyak
sebetulnya varian makanan di sini, hanya saja (seperti biasa) porsi lapak
makanan halal hanya menempati seperempat petak di ujung komplek. Kali ini tidak
macam-macam, seporsi sup tulang saya pilih untuk makan malam yang terburu tiba.
Waktu masih
menunjukkan pukul 4 sore ketika saya sudah tidak lagi punya tujuan hidup hari
itu. Akhirnya, saya putuskan untuk menutup saja jalan-jalan ke Penang ini
dengan melakukan hal yang paling saya suka dari traveling. Naik bis. Kali ini
saya ambil bis 101 mengarah ke ujung barat pulau, di akhir trayek bis, Teluk
Bahang.
Rute bis ini
sebetulnya cukup menarik. Ada beberapa spot wisata yang dilalui bis ini dari
Gurney. Seperti, Batu Feringgi dan Botanical Spice Garden. Namun karena hari
menjelang sore, saya cukup puas menyaksikan kehidupan berkelebat dari balik
kaca bis.
Dari Teluk Bahang,
saya turun di bus stop terakhir untuk menunggu bis 102 terakhir menuju bandara.
Dan untuk terakhir kalinya pula, sebelum saya terbang pulang malam itu, saya
menyaksikan kelebatan kehidupan Penang menyambut malam dari balik jendela bis selama
2 jam.
What an absurd trip
Anda bilang? Belum, itu belum semua.
Flight saya malam
itu sebetulnya dijadwalkan pukul 11 malam, ke LCCT dan another flight ke
Singapore jam 6 pagi dari LCCT. Tapi apa yang bisa Anda harapkan dari saya
kalau traveling sendirian? Yep, another impulsiveness. Plus didorong rasa malas
membayangkan nongkrong semalam lagi di LCCT, saya menyulap kedua tiket itu
menjadi one-way direct flight Penang-Singapore pada pukul 9 malam itu juga. OK,
membeli tiket baru lebih tepatnya. Iya, Anda tidak salah baca. Dan ndak perlu sinis begitu, bilang jalan-jalan macam apa itu, ga
berkomitment, payah…karena toh bukan kantong nenek Anda yang saya rogoh hari
itu. *naik-naikin alis sambil kipasan debit card*
Btw, have I told
you, kalau dari Teluk Bahang ke bandara saya juga masih harus
melewati titik simpul benang ruwet, Komtar (lagi)?
***