Laut, Sebuah Cerita

Sebelum knocked down oleh chloropheramine malam ini, saya ingin menuangkan dalam tulisan sebuah cerita kecil yang mungkin sudah bosan didengar oleh teman-teman terdekat saya, tapi worth to write. Tentang saya dan tempat yang saya cintai, laut.
Bertahun lalu, saya sempat tinggal dan bekerja sebagai buruh pabrik di Batam. Sekali dalam setahun, departemen tempat saya mencari sebutir nasi dan sesuap berlian mengadakan acara outing. Sesekali waktu, outing diadakan di sebuah resort di sisi timur Batam, Turi Beach resort. Sebuah resort cantik. Dengan landscape perbukitan di sisi laut Cina Selatan. Resort ini mempunyai sebuah anjungan kayu menuju ke tengah laut.

Hari itu, sebuah pagi yang cerah di bulan December. Saya lupa jam berapa tepatnya. Mungkin beberapa saat setelah sarapan. Saya dan beberapa teman berencana jalan-jalan ke titik terjauh dari anjungan. Beberapa teman ingin berkeliling dengan speed boat dari sana. Beberapa hanya ingin wandering around. Sedang saya sendiri punya agenda yang sedikit berbeda. Saya ingin berenang di laut.
Sesampainya di ujung anjungan, saya segera mempersiapkan diri. Dengan baju renang yang sudah saya pakai dari kamar, dan kacamata renang di tangan, saya menceburkan diri ke birunya air laut. Sendirian. Sementara teman-teman yang lain menunggu di anjungan.
Itu adalah untuk pertama kalinya saya berenang, dalam artian sebenarnya, tidak sekadar main air, di laut. Hal pertama yang saya rasakan adalah ringan. Saya sadar berat jenis air garam membuat saya jauh lebih gampang mengambang dan bergerak bebas di sana. Saya merasa hanya sedikit usaha yang dibutuhkan untuk bergerak ke depan, seperti ada tangan-tangan tak kasat mata yang membantu pergerakan saya.
Hanya beberapa menit di dalam air, ketika akhirnya saya sadar, saya telah cukup jauh meninggalkan anjungan. Saya putuskan bahwa mungkin lebih bijaksana jika saya kembali ke arah anjungan dan berenang di sekitarnya saja. Saya pun mulai berenang berbalik arah. Setelah beberapa saat berenang, saya menyadari suatu hal. Jarak yang membentang antara saya dengan anjungan tidak juga memendek. Sementara, pelan tapi pasti, saya mulai merasa kelelahan. Tangan-tangan tak kasat mata yang tadi membantu saya berenang ke tengah, kali ini berganti menahan usaha saya untuk kembali ke tepian. Beberapa kali ombak-ombak kecil menghantam muka ketika saya megap-megap mengambil nafas. Kaki-kaki saya, dengan putus asa, mencoba menggapai dasar. Tak ada gunanya, karena ketika saya melihat ke bawah, ke kedalaman, sejauh yang terlihat hanya biru gelap, tanpa dasar. Di anjungan, tak terlihat satu orang teman pun untuk saya mintai tolong. Untuk pertama kalinya, saya merasa takut. Detik itu, saya sempat berfikir, apakah waktu saya tiba?
Saya lupa apa yang mendorong saya saat itu untuk tetap menggerakkan kaki dan tangan saya melawan gelombang menuju anjungan. Tapi satu hal yang saya ingat, saya tidak mau mati di sana. Tidak sekarang. Sepelan kucing berenang, saya mendekati anjungan. Ombak musim monsoon laut China Selatan berkali menjauhkan saya dari anjungan tempat tangga berada. Putus asa dan tahu bahwa saya tidak mungkin bertahan lebih lama di dalam air, saya meraih salah satu pilar anjungan yang penuh dengan kerang. Saya merambat di pilar demi pilar anjungan. Berpegangan erat setiap kali ombak datang. Pelan tapi pasti, saya mulai meraih ujung tangga dan menarik diri saya ke atas. Terduduk di tangga, menatap tidak percaya ke arah lautan bergolak di depan saya, saya baru menyadari bahwa seluruh telapak tangan saya penuh sayatan dan mulai berdarah karena tergores cangkang kerang di pilar-pilar anjungan. Begitu juga beberapa bagian tangan dan telapak kaki. Tapi setidaknya saya hidup. Tergores penuh luka, iya, tapi hidup. Dan itu yang paling penting sekarang.
Lama saya duduk diam di tangga anjungan itu, menenangkan detak jantung, menghirup melimpahnya oksigen di atas sini, menatap nanar biru tak berkesudahan di hadapan saya, sampai akhirnya teman saya memanggil, tanpa menyadari apa yang baru saja terjadi pada saya.
Laut mengajari saya dengan sangat keras di usaha pertama saya. Laut bukan tempat bermain. Dia bisa sangat lembut membuai dan menghantam keras di saat yang bersamaan. Saya tidak bisa menceburkan diri hanya berbekal kemampuan berenang ala kolam dan sebuah kacamata renang saja.
Lantas apa saya kapok dan trauma berenang di laut? Oh tidak. Saya dan laut tetap berteman baik. Beberapa tahun setelah itu saya mendapatkan OW diving license saya. Hanya saja sejak itu, saya berusaha memastikan, saya tidak akan menceburkan diri ke air laut melebihi dada, tanpa fin dan snorkel. Dan satu lagi, ombak adalah cara laut memperingatkan. Seberapa hebat pun kamu di kolam renang, laut dengan ombak besar, bukan tempat untuk bermain. I got my lesson, dan tidak berniat mengulanginya lagi.
*****

Trans Mongolian Dream

Kata orang, semua harapan adalah doa.
Kata Arai, "Bermimpilah. Dan Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu."

Dan di sini, saya mencatat mimpi saya. Mimpi saya untuk 18 bulan lagi. 

Trans Mongolian trip with some stop over:
Beijing - Ulan Bator - Irkutsk - Khuzir - Kazan - Veliky Novgorod - Volgograd - Elita - Chegem - Mahachkala - Moscow - Saint Petersburg - Petrozavodsk - Kizhi Island - Moscow - Beijing

So ... Amien, anyone? 

And last words... Join, anyone?


Akhir Pekan di Pulau Pinang

Penang adalah perjalanan kedua saya di tahun 2013. Perjalanan paling santai dan paling tidak jelas sepanjang sejarah cerita jalan-jalan saya. Tahun ini. Sebetulnya si, tiap jalan sendiri, itin saya selalu santai dan tidak jelas. Kebetulan saja, tahun ini Penang menjadi single trip yang pertama.
Tiket ke Penang ini sebetulnya adalah impulsif tiket. Baca, lihat, beli. Kelebihannya, tentu saja murah. Return ticket kurang dari 40 SGD. Kekurangannya, flight KL-Penang-KL. Belakangan saya ingat banyak direct flight ke Penang dari Singapore. Goblok? Enggak juga si, impulsif saya bilang.
Karena flight ke Penang dari LCCT jam 7 pagi, saya memutuskan mempermudah hidup dengan terbang ke LCCT malam sebelumnya *summon Bartimaeus*. Sampai di LCCT jam 1 pagi, saya melenggang santai di imigrasi sampai membuat banyak orang mengular di belakang saya karena saya berjalan lambat-lambat di antrian yang sepi (ya kenapa juga ga disalip aja?).

Menjelang jam 2 pagi, saya mulai mengakuisisi sepetak ubin di dekat tembok untuk dijadikan tempat tidur. Spot favorit saya di LCCT adalah di sebelah pintu keberangkatan internasional. Ada space cukup luas dan tidak dilewati lalu lalang orang di sana. Pasang alas, berbantal ransel, tidur deh.

Kemudian kalau saya cerita gini masih aja ada orang yang nanya, emang nyaman tidur di bandara? Ya menurut ngana? Tidur di lantai keras nan dingin gitu masih pakai ditanya. Beda antara nyaman dan tidak ketika menginap di LCCT itu tipis, Saudaraku. Setipis beda antara benci dan cinta lah.. #lha
Penerbangan LCCT-Penang, yang tidak terasa selama sejam, saya tempuh dengan tidur. Ya mau apa lagi? Ga mungkin juga saya bantu-bantu pramugari AirAsia jualan sarapan kan?
Bandara Penang terletak cukup jauh di sebelah selatan Georgetown, yang katanya si pusat kota lama Penang. Untuk mencapai Georgetown, bisa naik bis nomer …ehm..401E? 402? OK, lupa. Intinya, tunggu saja di bus stop depan bandara sambil tanya ke siapa saja yang bertampang orang local, bis mana yang menuju Komtar, terminal bis paling utama di sana. Sebetulnya Komtar itu bukan terminal si ya, lebih mirip simpul benang ruwet rute bis pulau Penang. Jadi hampir semua bis mampir ke Komtar dalam rutenya. Bahkan mau dari Batu Ferrigih yang notabenenya di ujung utara ke Bandara yang di ujung selatan, tetap lewat Komtar di ujung timur *rolling eyes*.
Ah sudahlah, kita tinggalkan saja masalah transportasi mereka. Toh pengaturan semua bis melewati Komtar ini memudahkan para turis, karena kita tidak perlu repot menghafal semua rute bis yang mbulet. Cukup nongkrong ke Komtar.
Sampai di Komtar, berbekal peta gratisan dari bandara, saya menyusuri jalan Penang, mencari Hutton Lodge di Hutton Lane, tempat saya seharusnya menginap malam itu. Berhubung masih terlalu pagi, saya hanya bisa menitipkan ransel di sana. Rekomendasi Hutton Lodge ini saya dapat dari blog virginmojito. OK, to be exact, all itinerary di perjalanan ini (tadinya) saya dapat dari sana. Tapi karena satu dan lain hal, akhirnya saya memilih mengikuti kata hati. But hey, penginapan ini memang rekomended si. Homy. Plus ruang showernya gede, airnya kenceng, WiFi di kamar tak tercela, kasur empuk, AC adem. *goler-goler di kamar doang ga mau ke mana-mana*
Tapi baiklah, terdorong oleh dogma masyarakat bahwa berwisata itu seharusnya diisi dengan jalan-jalan, foto-foto, mencoba hal baru dan bukannya goler-goler di penginapan saja, maka saya segera menuju Komtar (lagi) untuk mengambil CATShuttle bus untuk pusing-pusing Georgetown.
CATShuttle ini adalah bus gratis yang rutenya mengelilingi Goergetown, dan melewati hampir semua objek wisata di kota mini ini. Dari Komtar, bus memutar mengarah ke utara, memutar melalui Hutton Lane. Sounds familier? Yep, bis memutar melewati depan penginapan saya. Kalau gitu ngapain saya pakai panas-panas ke Komtar? *gigit pundak penumpang sebelah*
Saran saya si seperti banyak pelancong lainnya, ikut muter aja dulu, putuskan untuk turun di round kedua. Karena satu rute putaran mengelilingi Goergetown, jika tanpa berhenti, bisa ditempuh dalam err… 15 menit. Iya, Georgetown itu kecil, Jendral!
Berbeda dengan beberapa turis yang memutuskan turun di Queen Victoria clock tower, saya memutuskan turun agak lambat, di dekat Cityhall, kemudian baru jalan balik ke clock tower.
Georgetown ini sebetulnya cukup menarik. Jajaran bangunan tua berarsitektur colonial yang terawat baik, British landing history, perpaduan budaya peranakan, transportasi yang memadai, informasi turis yang cukup membantu, kuliner yang (katanya) enak, pedestrian yang nyaman. Rangkum itu dalam 2 kata, compact Singapore. Ya, sorry to say, belum genap 3 jam kemudian, saya bosan.





Jam 1 siang, saya berhasil kembali ke Komtar setelah jalan kaki dari Cityhall. Kok ga naik bis? Jadi gini, nunggu CATShuttle bis itu mirip-mirip sama nunggu jodoh. Ditunggu sampe bengong ga nongol-nongol, giliran baru jalan 50 meter dari bus stop, dia muncul aja gitu di bus stop kaya baru turun dari langit. Fine! Jodohin saja situ sama orang lain. *emosi* (iya, emosinya bukan lagi soal CATShuttle)
Trus ngapain saya balik lagi ke Komtar? Nyari bioskop! Ultimate trip itinerary adalah ketika kamu memutuskan untuk nonton Bruce Wilis tinimbang muter-muter kota. Dan karena waktu film pilihan saya jam 4, saya memutuskan balik ke penginapan dulu untuk tidur siang. Hail single trip!!
Kedatangan saya ke Penang kemarin, bertepatan dengan perayaan Cap Go Meh. Maka sehabis kencan dengan McClane Jr. saya kembali naik CATShuttle ke jalan Kapitan Keling, karena menurut selebaran yang saya dapat aka nada perayaan Cap Go Meh di sana.
Ketika saya turun dari bis, tiba-tiba saja saya mendengar suara, yang hanya saya tangkap sebagian, dengan nada bertanya “ … Solo?”
Kurang yakin bahwa pertanyaan itu ditujukan ke saya, saya menoleh ke arah sumber suara. Seorang perempuan menjajari langkah saya.
“Orang Indonesia?” tanyanya, yang saya balas dengan anggukan tidak yakin.
“Dari Solo?”, ulangnya. Kali ini sambil menunjuk kaos yang saya pakai. Kaos hitam bergambar tokoh Arjuna dalam wayang kulit dan sepotong besar tulisan “SOLO”. Tak butuh waktu lama, kami berkenalan dan jadilah saya punya teman jalan dari Jakarta malam itu di Kapitan Keling.
Moral dari pengalaman itu adalah, lain kali saya akan memakai kaos hitam bergambar boneka matryoshka dengan tulisan besar-besar “Москва”. Mungkin saat itu seorang bernama Dmitri yang menghampiri saya dengan pertanyaan, “Rossiyane?” *bebas!!!*


Hari ke-2

Hari ke dua di Penang, saya bangun cukup pagi. Sepagi yang bisa diharapkan dari seorang yang traveling sendirian tanpa itinerary yang jelas.
Rencana jalan saya pagi itu adalah menuju Bukit Bendera dan Lok Si Temple. Setelah beberapa lama menunggu, akhirnya bisa berdiri manis di bis 204 (kali ini beneran inget), karena bis ini sepertinya memang Penang sweetheart, penuh. Rute bus 204 ini akan melewati Lok Si Temple terlebih dahulu,hanya saja, entah mengapa, saya sama sekali tidak tertarik untuk berkunjung ke sana. Jadilah, ketika separoh penumpang bus turun di sana, saya memilih berdiam di bis menuju Bukit Bendera.
Ada apa di Bukit Bendera? Selain funicular railways milik Penang Hill Railways yang tersohor itu, kita  bisa melihat seluruh penjuru Penang dari ketinggian. Kalau beruntung cuaca bagus, kita bisa melihat sampai Butterworth di seberang pulau. Selain itu? Hmm…ada Owl Museum. Jangan tanya tentang apa, saya tidak masuk. Trus ngapain di sana?! (yang baca mulai putus asa). Makan Penang laksa. *kalem*
Di luar kenyataan bahwa bukit Bendera memang biasa aja dan tidak banyak hal yang bisa dilakukan di atas, funicular trainnya cukup menghibur. Untuk menikmatinya dengan maksimal, pastikan duduk di ujung kereta. Saya pribadi lebih memilih di bagian bawah. Karena process memasuki train dengan mengantri, usahakan untuk mengantri di bagian paling depan, untuk menjamin kelangsungan prosess potret memotret. Kiasu, kiasu deh…


Dari Bukit Bendera, hari yang masih cukup siang membuat saya mati gaya. Akhirnya saya putuskan untuk menghabiskan hari mengarah ke barat. Tepatnya ke Gurney Plaza, untuk mencoba peruntungan kuliner dan potong rambut. Iya potong rambut, kan sudah saya bilang, trip saya kali ini random bin hedon binti ga jelas.
Gurney Plaza ini, menurut seorang teman dan sepertinya memang benar, merupakan mall terbesar sekaligus mall paling prestisius. Beberapa gerai merek fashion ternama tampak saya lihat di sana. Setelah berhasil menunaikan tujuan utama, potong rambut, saya mengikuti kata perut. Mencari makan. Beberapa lemparan kancrut dari mall ini, terdapat sepetak besar komplek pujasera di pinggir pantai. Cukup banyak sebetulnya varian makanan di sini, hanya saja (seperti biasa) porsi lapak makanan halal hanya menempati seperempat petak di ujung komplek. Kali ini tidak macam-macam, seporsi sup tulang saya pilih untuk makan malam yang terburu tiba.
Waktu masih menunjukkan pukul 4 sore ketika saya sudah tidak lagi punya tujuan hidup hari itu. Akhirnya, saya putuskan untuk menutup saja jalan-jalan ke Penang ini dengan melakukan hal yang paling saya suka dari traveling. Naik bis. Kali ini saya ambil bis 101 mengarah ke ujung barat pulau, di akhir trayek bis, Teluk Bahang.
Rute bis ini sebetulnya cukup menarik. Ada beberapa spot wisata yang dilalui bis ini dari Gurney. Seperti, Batu Feringgi dan Botanical Spice Garden. Namun karena hari menjelang sore, saya cukup puas menyaksikan kehidupan berkelebat dari balik kaca bis.
Dari Teluk Bahang, saya turun di bus stop terakhir untuk menunggu bis 102 terakhir menuju bandara. Dan untuk terakhir kalinya pula, sebelum saya terbang pulang malam itu, saya menyaksikan kelebatan kehidupan Penang menyambut malam dari balik jendela bis selama 2 jam.
What an absurd trip Anda bilang? Belum, itu belum semua.
Flight saya malam itu sebetulnya dijadwalkan pukul 11 malam, ke LCCT dan another flight ke Singapore jam 6 pagi dari LCCT. Tapi apa yang bisa Anda harapkan dari saya kalau traveling sendirian? Yep, another impulsiveness. Plus didorong rasa malas membayangkan nongkrong semalam lagi di LCCT, saya menyulap kedua tiket itu menjadi one-way direct flight Penang-Singapore pada pukul 9 malam itu juga. OK, membeli tiket baru lebih tepatnya. Iya, Anda tidak salah baca. Dan ndak perlu sinis begitu, bilang jalan-jalan macam apa itu, ga berkomitment, payah…karena toh bukan kantong nenek Anda yang saya rogoh hari itu. *naik-naikin alis sambil kipasan debit card*
Btw, have I told you, kalau dari Teluk Bahang ke bandara saya juga masih harus melewati titik simpul benang ruwet, Komtar (lagi)?
***