"Aku Mencintaimu. Itu Yang Kamu Perlu Tahu."

"Za.."
"Hmm..", sahutku malas.
"Can you focus to me dan tinggalin itu monitor sebentar?" suara perempuan dalam kepalaku mulai meminta perhatian.
Aku alihkan perhatianku dari deretan code C# yang sejujurnya mulai membuatku sakit kepala dan membiarkan Zi mengambil alih tubuh kami, “I’m yours, Your Majesty”
“Aku perlu bicara”, ujarnya sambil berjalan menuju sofa bed di ujung kamar kami, spot favoritnya.
“Like you don’t do that all the time, do you?”
“It’s not very good time for your little sarcasm, my Dearest Common Sense”, bibir itu merengut ketika kurasakan hentakan keras tubuh kami menghantam empuknya sofa bed. Aroma vanilla dari lilin yang terbakar di sudut meja menyeruak di penciumanku ketika Zi mengambil nafas panjang, “Kenapa?”
“Karena kamu mencintainya”
“Maksudmu?”
“Jawaban dari pertanyaanmu tadi. Kenapa? Karena kamu mencintainya”
“Itu jawabanmu? Cinta? Yang selalu kau sebut sebagai konsep absurd hasil kerja dari sekumpulan hormon? Clearly, it was not an answer for my question”
"Pertanyaanmu mungkin berbeda, tapi jawabanku akan sampai di sana juga. Ini aku Zi yang bicara. Logikamu. Aku tahu setiap jengkal isi kepalamu"
Zi menggeretakkan geraham persis saat gelombang besar emosi telak menghantam kesadaranku.
"Baiklah, kalau bisa membuatmu merasa lebih lega. Apa persisnya yang ingin kau tanyakan?"
"Kamu sendiri yang pernah bilang Za, betapa berdarahnya membangun hati dari reruntuhan. Kepingan. Demi. Kepingan", luapan kata penuh emosi itu terjeda sejenak ketika Zi mengambil napas. "Kita pernah ada di sana. Kita berhasil merekonstruksi hati itu lagi. Hati yang tidak pernah utuh lagi, hati yang tidak pernah lagi sama. Tapi setidaknya hati itu tidak lagi kepingan"
Aku rasakan tekanan di saraf motorik tangan saat Zi mencengkeram kencang sandaran sofa. "Dan sekarang, kamu, logikaku, dengan sukarela, menyerahkan hati itu ke seorang yang sama, yang pernah menghancurkannya 10 tahun yang lalu. I demand an answer, why?"
“Sebelum aku kembali ke jawabanku, aku ingin bertanya padamu. Taruhlah kita melakukan hal yang berbeda malam itu. Dengan dalih menyelamatkan hati dan hidup, we just walked away. Pretending that nothing happened. Leave him with his life and continue ours. Pertanyaanku, kamu bisa melanjutkan hidupmu seperti itu? Continue live your happy, free, peaceful, boring life?”
Zi terdiam.
“Biar aku yang jawab. Enggak. Dan aku tidak bisa terus-terusan melanjutkan hidup ini sendirian sementara kamu sama sekali tidak beranjak dari tempat kamu sekarang.”
Aku menjeda penjelasanku sementara Zi memainkan gelas kaca di tangannya. Dalam sekali tenggak, es kopi yang aku buat untuk menemaniku menekuri C# tandas.
“Za, kamu tahu persis apa yang kamu lakukan kan? Kamu sedang mempertaruhkan hati”
“Nona, bahkan hanya dengan 2/3 akal sehat, thanks for those dopamine and oxytocin, aku tahu persis apa yang aku lakukan. Kamu ingat kamu pernah bilang, pada akhirnya kita hanya perlu menemukan seorang yang kembali membuat kita percaya. Kamu benar, aku memang sedang mempertaruhkan hati, sekali lagi. Pada seorang yang pernah dan masih kamu cinta. Pada orang yang sama, yang pernah dan masih aku percaya”
“Kamu ingat buku berdebu yang teronggok di sudut meja kehidupanmu? Buku yang berdebu bukan karena terlupakan, namun hanya karena ketidaksanggupanmu untuk menjamahnya selama 10 tahun ini. Sudah waktunya untuk memberi kesempatan pada kalian berdua untuk menulisinya lagi”, aku melanjutkan sementara manik mata Zi menekuri bongkahan es batu yang mulai mencair di hangatnya udara malam.
"How if we ruin up everything this time? How if kita mempertaruhkan hati pada orang yang salah?"
"Aku balik pertanyaanmu. How if dia mempercayakan hidupnya pada orang yang salah? It takes two to tango, Dear. Cinta itu kata kerja dan relationship adalah hasil kerja dua pihak."
Lama Zi terdiam. Hanya alunan pelan lagu All of Me yang diputar di radio, untuk kelima kalinya hari ini, memenuhi udara kamar. 
“Ngomong-ngomong," ujarku memecah keheningan, "do you ever wonder kenapa hati itu tidak pernah utuh lagi seperti kamu bilang? Karena kamu tidak pernah berhasil mengambil semua kepingan itu darinya.”
Gelak tertahan Zi menggema di kamar kecil kami. "Kamu dan sok tahumu itu"
"Now Your Grace, boleh saya ambil alih lagi isi kepala? Just in case kamu lupa, minggu depan kita ada ujian. Well, I know it suck, but life is not just about those chemical reaction things you know. Kadang juga tentang KPI kantor. So, can I?"
Perlahan, aku merasakan keenam indraku saat kesadaranku mulai mengambil alih badan kami.
"Hey Zi," ucapku sebelum Zi sepenuhnya menghilang, "do me a favor, could you? Kalau kalian ketemu lagi, kiss him for me please. You two are the weirdest couple I ever know, you know?"
Sensasi familiar menjalar di tulang belakangku. Butterfly in my spine, Zi menyebutnya.

****