Mungkin salah satu orang yang pantas mendapatkan ucapan terima kasih atas terselenggaranya reuni ini adalah Mark Elliot Zuckerberg. Anak muda Amerika berusia 27 tahun ini (njrit, saya masih ga percaya ni bocah kelahiran ’84. Wikipedia bener ga si?) benar-benar menghadirkan cara terkoneksi yang berbeda. Ini bukan mau promosi Facebook, bukan juga membesar-besarkan salah satu social media popular ini, karena saya yakin tanpa Facebook pun reuni ini akan bisa terlaksana. Tapi saya juga yakin setidaknya 30% kerjaan panitia lebih mudah dengan adanya candu satu ini. Kalau pun keyakinan saya itu salah, saya bisa pastikan 1 hal, bahwa saya sangat terbantu dengan Facebook saat reuni. Kenapa? Karena setidaknya saya cukup update berita terbaru, si A sekarang kerja di mana, si B ternyata sudah menikah dengan salah satu teman SMA kami, atau kabar terbaru si Z tentang anaknya yang lucu-lucu. Well, bisa dibilang, kombinasi update status, upload foto, dan fasilitas chatting yang terkoneksi itu sedikit banyak mengurangi kata-kata seperti, “Itu siapa?”, “Oh ya?” dan “Oh, anakmu tiga tho? Kirain belum nikah.” terlontar dari mulut saya.
Jujur saja, pada awalnya saya tidak terlalu tertarik ide reuni ini. Jadi meskipun wacana reuni sudah dilontarkan sekitar akhir tahun lalu, saya baru mendaftar di akhir July. Bahkan, sampai menjelang hari H, saya masih berfikir untuk tidak datang di acara itu. Mengapa? Err, jadi gini, saya selalu merasa bahwa selama SMP dan SMA (ya kalau SD lain cerita lah ya, secara murid satu angkatan cuma 40 anak), saya itu cukup tidak dikenal. Tidak aktif di OSIS, tidak pernah terlibat kepanitiaan, masuk Pramuka hanya di tahun pertama, tidak pernah terlibat kebandelan-kebandelan anak SMA, tidak pernah ikuran bolos kelas tambahan (Eh, menjadi prookator teman sekelas untuk menolak wali kelas itu tidak termasuk kan ya?). Jenis-jenis murid yang kalau waktu istirahat bisa ditemukan di kelas atau di perpustakaan. Cenderung pendiam dan introvert (dengan nama Tuhan, aku berlidung dari sambitan sandal yang terkutuk). Singkat kata, saya itu bukan jenis siswa popular. Nah, males dong datang di reuni yang kemungkinan besar saya akan menerima banyak pertanyaan “Eh, siapa ya?” atau worse come worst akan jadi terdiam di sudut ruangan menjadi patung yang pandai tersenyum tanpa bisa menanggapi obrolan seru teman-teman saya (ingat! Saya itu introvert).
Satu point lagi kenapa saya setengah hati dengan reuni ini pada awalnya adalah, saya malas mengantisipasi pertanyaan “Kamu kapan nikah Na?” dengan jawaban “Eh, taplak mejanya lucu, boleh dibawa pulang ga?”.
Well, say that I’m too paranoid. Err, yes I’m. Karena kenyataannya acara reuni itu berjalan dengan menyenangkan. Bisa bertemu dengan teman-teman yang sudah 10 tahun tidak bertemu langsung (ya iya, saya sudah setua itu), bertukar cerita tentang apa saja yang sudah kami lewatkan, bergosip tentang guru-guru, bernostalgia dengan sudut-sudut sekolah yang telah banyak berubah dan bertemu kecengan jaman SMA yang ternyata masih sendiri juga (sayangnya mantan kecengan saya ga nongol kemarin). Seru. Dan lebih seru ternyata kenyataanya hanya ada satu pertanyaan tentang nikah yang saya terima. Itu pun lebih terdengar sebagai pertanyaan seorang sobat lama yang terputus kontak selama 10 tahun daripada pertanyaan intimidatif. Well, mungkin saya harus sekali lagi say thanks to Facebook untuk absennya pertanyaan-pertanyaan sejenis. Sering update status dan upload foto ada gunanya juga.
Dan satu hal lagi, di sana saya sadar, saya tidak hanya figur pelengkap dalam sebuah percakapan, saya bukan lagi seorang pendiam yang cukup menjawab sepatah kata atas pertanyaan yang diajukan ke saya untuk kemudian kembali hanyut dalam keheningan, saya menikmati percakapan teman-teman di sekeliling saya meskipun tentang seseorang yang saya tidak ingat lagi namanya. Ternyata, saya bukan lagi gadis introvert yang merasa insecure di tengah-tengah lingkungan asing.
Ah, saya masih mendengar komentar, “Lo pendiam dan introvert? Yang bener aja Na..”