Jateng Trip: Long Road to Heaven

Bahkan langit pun masih enggan membuka mata pagi itu ketika saya membangunkan petugas resepsionis guest house untuk check out. Jam 5 pagi. Matahari seharusnya malu dengan saya. Mendahului matahari jelas bukan ide yang menarik untuk saya, apalagi malam sebelumnya saya baru bisa memejamkan mata selepas tengah malam. Namun semangat akan perjalanan ke sebuah negeri di atas awan membuat saya tidak tertarik untuk men-snooze suara kucing kebelet kawin yang jadi alarm saya pagi itu. Satu lagi serpihan surga yang dicipratkan Tuhan untuk Indonesia. Dataran tinggi Dieng. 
Nama Dieng berasal dari bahasa Sansekerta, Di-Hyang. Di bearti tempat dan Hyang bearti Tuhan/Dewa-Dewa. Jadi Dieng diartikan sebagai tempat para Dewa. Buat saya, itu arti harfiah. Karena percayalah, nama itu tidak diberikan tanpa alasan. Dataran yang berada di ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut ini dalam peta administratif Jawa Tengah, terletak di beberapa wilayah kabupaten. Sebut saja Wonosobo, Banjarnegara, Temanggung, Batang, Pekalongan dan Kendal. Kok banyak? Bisa dimengerti karena luasnya wilayah yang disebut sebagai dataran tinggi Dieng. Namun untuk obyek-obyek wisatanya sendiri, kebanyakan berada di wilayah Wonosobo dan Banjarnegara.

The 5th And 10th. Next?

        Yeepy...sebetulnya SMS dari red cross sudah saya terima bulan lalu, tapi karena satu dan banyak hal saya baru bisa collect 2 medal ini hari ini.
        Bener, medallion ini jelas bukan apa-apa, orang cuman sekeping mainan. Tapi saya pribadi salut akan kesungguhan red cross Singapore dalam memberikan apresiasi pada para blood donor. Tidak hanya ini saja, di bulan ulang tahun, seorang donor juga kadang mendapatkan sebuah token sekadarnya atau voucher kecil-kecilan. Atau pajangan ikan-ikan kecil yang mewakili donor dengan jumlah donation 50 kali ke atas yang dipajang di ruang depan Blood Bank. Sebuah apresiasi yang, sekecil apapun, semakin mendekatkan red cross dengan para donor.
       Well, semoga bisa dicontoh PMI sebagai usaha donor rekruitment. Kan semakin kita dekat dengan PMI semakin nyaman kita-kita menjelaskan pada orang-orang yang kurang informasi kalau bertanya "PMI jual darah ya?"


 

***

Jateng Trip: Melipir Jogja – Pulang ke Kotamu

“Jadi ini mau ambil kamar standard ya? Eh mbak, itu kamar mandinya di luar lho..”, tangan yang tadinya hendak menulis check in kamar saya  itu mengantung di udara sementara empunya menatap saya dengan pandangan bertanya.
“Iya, ga papa. Saya tahu kok.”, jawab saya sambil tersenyum.

“Ow..”, kembali ditulisnya data saya di sebuah buku. “Itu isi kamarnya cuma kasur sama kipas angin lho mbak, ga ada apa-apa lagi.”, ujarnya sekali lagi seolah meyakinkan diri sendiri bahwa perempuan di depannya ini benar-benar hendak mengambil kamar paling murah di hostelnya malam itu.

“Ndak papa. Saya juga cuma mau tidur kok, bukan mau ngapa-ngapain.”, balas saya sambil cengar-cengir.

Malam itu sesuai rencana saya menginap di salah satu hostel di Jogja. Sendirian, karena teman saya menginap di tempat saudaranya. Dan sengaja tidak melakukan reservasi karena saya tahu ada banyak sekali penginapan di kota ini. Jadilah untuk menghemat waktu, malam itu selepas menonton Sendratari Ramayana saya menghubungi beberapa penginapan murah yang saya dapatkan di sini, untuk mencari tahu apakah mereka masih punya kamar kosong. Dan pencarian saya berakhir di House 140. Penginapan bergaya kos-kosan ini menawarkan kamar termurah seharga 70 ribu, cocok dengan budget saya. Sebenarnya, kalau mau, saya bisa saja berburu kamar yang lebih murah di Sosrowijayan malam itu. Tapi kombinasi jam 11 malam, ransel berat di punggung, ditambah mata ngantuk membuat saya lebih memilih yang pasti-pasti saja.


Ramayana Ballet: Ketika Sebuah Kesetiaan Dipertanyakan

Belasan laki-laki berwajah sangar tampak mengusung balok-balok kayu besar. Seorang dari mereka menyalakan api, tak lama kobaran api telah melumat balok-balok kayu kering tersebut. Di tengah-tengah mereka seekor kera putih dengan tangan terkungkung ke belakang ditarik ke arah api yang makin membesar. Tiba-tiba, kera itu memberontak lepas. Puluhan pengawal yang seharusnya memanggangnya hidup-hidup tak kuasa menahan kera yang mengamuk. Si kera putih yang menemukan kebebasannya makin tak terbendung, sambil loncat-loncat diambilnya beberapa kayu yang terbakar dan dibawanya berkeliling membakar semua yang dilewati. Api berkobar dahsyat menghanguskan atap-atap rumbia. Sengat hangat bahkan terasa dari tempat saya duduk.
Ya, itu adalah salah satu adegan dalam Sendratari Ramayana yang sempat saya saksikan awal September lalu. Pertunjukan ini digelar di panggung terbuka di belakang candi Prambanan. Untuk menuju ke sana, turun saja di terminal/pasar Prambanan, tepat di depan candi Prambanan. Dari Jogja bisa naik TransJogja dengan hanya 3500 rupiah. Dari pasar, berjalanlah kea rah barat, ke arah Jogja. Sekitar 50 meter, setelah melewati jembatan, beloklah ke kanan (ke arah utara) masuk sebuah gang. Kompleks pertunjukan ada tidak jauh dari pintu gerbang sebelah kanan jalan. Untuk jadwal pertunjukan lengkap bisa diperoleh di sini. Sayangnya, karena bulan Oktober Jawa sudah mulai memasuki musim hujan, maka setelah bulan ini pertunjukan di sana hanya akan kembali digelar tahun depan. Tapi jangan khawatir, selama musim penghujan, Sendratari Ramayana akan digelar di teater tertutup Trimurti.

Jateng Trip: Di Balik Selembar Batik

Kalau ada orang yang iseng bertanya ke saya, ada apa di Solo, pasti jawaban saya melenceng jauh dari urusan traveling. Kota yang katanya unik dengan segala atribut ke-Jawa-annya ini sebetulnya kurang cukup menarik minat saya untuk mengunjunginya dengan alasan traveling. Catatan kunjungan saya ke sana tidak pernah lebih dari sekedar transit, janjian makan siang, dan ke Gramedia. Maka di kunjungan kali ini, saya percayakan saja ke teman saya untuk memilih tempat tujuan selama di Solo yang hanya 6 jam.
Jadilah, setelah perjalanan 3 jam dari Ungaran, kami memutuskan untuk mengunjungi Museum Batik Danarhadi. Turun di ujung jalan Slamet Riyadi, setelah tanya-tanya ke petugas yang berjaga di halte bis, kami naik bis Damri yang pertama melintas. Di pertigaan (atau perempatan) Purwosari, bis membawa kami mengarah ke selatan. Tak berapa lama, bis melewati sebuah gang bertuliskan Kampung Laweyan. Teman saya segera saja menyenggol tangan saya dan bertanya, “Eh, Kampung Laweyan tu, jalan di sini dulu aja po?”. Tanpa menjawab pertanyaan teman saya, segera saja saya berteriak ke kondektur bis untuk berhenti. Sebelum kami turun, kondektur sempat bertanya, “Ga jadi ke Danarhadi Mbak?” yang saya jawab dengan cengiran.

Jateng Trip: Ngafe Dengan Bau Kuda

Pagi belum lama lewat dari pukul tujuh ketika adik saya berpamitan ke kantor. Setelah pemilik kamar, yang terusir dari kamarnya sendiri malam sebelumnya, itu pergi, saya kembali ke alam mimpi. Tidak ada yang bisa mengalahkan damainya tidur seorang pengangguran ketika orang lain sibuk berkutat dengan pekerjaan *pukpuk bantal*. Dan kalau tidak ingat dengan petualangan baru yang menanti, saya dan teman saya mungkin tetap akan bergelung di atas kasur buluk milik adik saya sampai pemiliknya pulang.
Hari kedua rencananya kami akan menyusuri sebagian punggung gunung Ungaran, tepatnya ke kompleks Gedong Songo. Sekitar pukul 9, dari dekat gerbang UNDIP kami mulai perjalanan ke arah patung Pangeran Diponegoro mengendarai kuda. Heran, mengapa patung ini lebih terkenal dengan sebutan patung Kuda dari pada patung Pangeran Diponegoro? Apakah masyarakat kita jauh lebih menghargai kuda daripada pahlawan yang membela tanah air melawan penjajah? *tunjuk-tunjuk langit* Ah sudahlah, daripada saya mendapat tatapan bingung dari penduduk sekitar kalau saya menyebut patung Diponegoro, mending ikutan bilang patung Kuda. Tadinya, saya berfikir untuk jalan karena seingat saya, dari UNDIP sampai patung Kuda tidak jauh (ya lo naik mobil waktu itu Neng…molor pula!), ternyata 15 menit dalam angkot membuat saya tidak berhenti bersyukur. Apa jadinya saya tadi kalau memutuskan jalan kaki, sedangkan naik angkot saja selama itu?

Jateng Trip: Dari Angkot ke Angkot

Dari semua penghuni rumah, hanya saya yang bisa dibilang sama sekali buta kota Semarang, apalagi jalur angkutan umum di sana. Nol besar. Walhasil, karena kota tujuan pertama Semarang, malam itu saya mendapatkan kursus kilat tentang kota Semarang dan bagaimana cara berpindah dari satu titik ke titik lain di sana dari ayah saya. Maka dengan berbekal peta oret-oretan tangan ayah, pagi itu saya dan teman saya (yang sama-sama buta Semarang) memulai perjalanan.
Keluhan saya tentang perjalanan panjang ini berawal terlalu dini, di bis antar kota yang membawa saya ke Teminal Terboyo Semarang. Bisnya luar biasa penuh Saudara-Saudara! Tidak kurang dari 25 kilometer saya berdiri mendekap tas kamera sambil merutuki diri sendiri,yang begitu tololnya mencari susah. Separuh merutuk setengah bersyukur tepatnya. Toh buat saya yang notabenenya seorang turis gembel ini hanya sesekali saja naik kendaraan umum di Indonesia. Hanya sesekali terhimpit jepitan ketiak basah di tengah-tengah bis kota yang gerah. Sementara saya percaya, 90% dari penumpang bis tersebut, menjalani hal yang sama setiap harinya, tanpa pilihan.
Setelah mengkompromikan tujuan kami selama di Semarang, kami sepakat untuk mengunjungi kota Semarang lama,

Enam Hari, Lima Kota, Empat Anak Manusia

Perjalanan kali ini bisa saya bilang semacam win-win solution. Win untuk saya yang bisa menghabiskan seminggu di jalanan di tengah-tengah status saya sebagai anak pingitan. Win untuk orangtua saya yang tahu anak perempuannya hanya akan berkeliaran di “seputaran” rumah mereka. Yap, karena memang trip kali ini saya tidak akan melenceng jauh dari Jawa Tengah, propinsi di mana saya lahir dan dibesarkan. Meskipun menghabiskan 18 tahun pertama hidup saya di propinsi ini, saya cukup buta Jateng. Catatan perjalanan saya di sini tidak pernah beranjak dari rute bis antara rumah orangtua dan kos-kosan di Jogja yang saya tempuh sebulan sekali. Itu pun lebih sering saya habiskan dengan mata terpejam alias tidur.
Meskipun hanya di Jawa Tengah, saya cukup detail merancang leg demi leg perjalanan ini. Ternyata propinsi ini tidak kecil. Itinerary original saya yang meliputi Karimunjawa, Purwadadi, Semarang, Magelang, Solo, Jogja, dan Dieng menghabiskan tidak kurang dari 9 hari perjalanan. Kendala terbesar ada di transportasi, karena ada beberapa mode transportasi yang tidak regular tiap hari dan kebanyakan saya membatasi pergerakan untuk berpindah kota di siang hari.
Tadinya perjalanan ini lebih berupa single trip, meskipun di beberapa kota akan ada beberapa teman yang bergabung. Ternyata, hanya dengan satu kalimat di reuni SMA, umpan trip ini disambar oleh beberapa teman, meskipun hanya 1 yang bergabung dari awal perjalanan. Maka setelah tambal sulam itinerary, pilah-pilih tujuan dan pergantian personil, perjalanan selama enam hari dari Selasa – Minggu, mengunjungi lima kota Semarang bawah, Kab. Semarang, Solo, Jogja, Wonosobo, serta empat rekan perjalanan ini pun dimulai.
PS.   Numpang mohon didoakan supaya ga macet di tengah jalan nulisnya. ^^
PSS. Baru sekali ini catper berhari-hari travelling terlengkapi. What a record!


***

Mount Kinabalu Climbing: Do It Yourself

Eh, fitnah! Siapa bilang saya pernah mendaki di gunung Kinabalu? Disclaimer dulu deh sebelumnya, saya belum pernah sekali pun berkesempatan mendaki gunung tertinggi di pulau Kalimantan ini. Ingat! Gunung tertinggi di pulau Kalimantan, bukan di Asia Tenggara (peluk haru puncak Carstensz Pyramid di Jayawijaya). Ini hanya catatan kecil seorang bebal nan keras kepala yang penasaran bin tertantang untuk melawatkan kakinya ke Low’s Peak. Eh ya, meskipun namanya ada Low-nya bukan bearti puncak setinggi 4.095 meter di atas permukaan laut ini rendah-rendah saja. Nama puncak gunung Kinabalu ini diambil dari nama seorang pendaki berkebangsaan British, Sir Hugh Low yang konon katanya merupakan orang pertama yang menginjakkan kaki di sana pada tahun 1858.
Untuk mendaki gunung ini terbilang gampang-gampang susah. Lebih banyak gampangnya dari pada susahnya. Tentu saja kalau saya bandingkan dengan mendaki Semeru misalnya. Pernah ke Semeru Na? Err..kaga, tapi kan tahu cara pakai Google *hopeless*. Jadi gini, berdasarkan googling saya tentang pendakian di Kinabalu selama hampir 3 tahun ini, terutama dari catatan-catatan perjalanan para pendaki gunung dari Indonesia, saya mendapatkan kesimpulan bahwa Kinabalu adalah pendakian yang cukup mudah.

Reuni SMA

Mungkin salah satu orang yang pantas mendapatkan ucapan terima kasih atas terselenggaranya reuni ini adalah Mark Elliot Zuckerberg. Anak muda Amerika berusia 27 tahun ini (njrit, saya masih ga percaya ni bocah kelahiran ’84. Wikipedia bener ga si?) benar-benar menghadirkan cara terkoneksi yang berbeda. Ini bukan mau promosi Facebook, bukan juga membesar-besarkan salah satu social media popular ini, karena saya yakin tanpa Facebook pun reuni ini akan bisa terlaksana. Tapi saya juga yakin setidaknya 30% kerjaan panitia lebih mudah dengan adanya candu satu ini. Kalau pun keyakinan saya itu salah, saya bisa pastikan 1 hal, bahwa saya sangat terbantu dengan Facebook saat reuni. Kenapa? Karena setidaknya saya cukup update berita terbaru, si A sekarang kerja di mana, si B ternyata sudah menikah dengan salah satu teman SMA kami, atau kabar terbaru si Z tentang anaknya yang lucu-lucu. Well, bisa dibilang, kombinasi update status, upload foto, dan fasilitas chatting yang terkoneksi itu sedikit banyak mengurangi kata-kata seperti, “Itu siapa?”, “Oh ya?” dan “Oh, anakmu tiga tho? Kirain belum nikah.”  terlontar dari mulut saya.
Jujur saja, pada awalnya saya tidak terlalu tertarik ide reuni ini. Jadi meskipun wacana reuni sudah dilontarkan sekitar akhir tahun lalu, saya baru mendaftar di akhir July. Bahkan, sampai menjelang hari H, saya masih berfikir untuk tidak datang di acara itu. Mengapa? Err, jadi gini, saya selalu merasa bahwa selama SMP dan SMA (ya kalau SD lain cerita lah ya, secara murid satu angkatan cuma 40 anak), saya itu cukup tidak dikenal. Tidak aktif di OSIS, tidak pernah terlibat kepanitiaan, masuk Pramuka hanya di tahun pertama, tidak pernah terlibat kebandelan-kebandelan anak SMA, tidak pernah ikuran bolos kelas tambahan (Eh, menjadi prookator teman sekelas untuk menolak wali kelas itu tidak termasuk kan ya?). Jenis-jenis murid yang kalau waktu istirahat bisa ditemukan di kelas atau di perpustakaan. Cenderung pendiam dan introvert (dengan nama Tuhan, aku berlidung dari sambitan sandal yang terkutuk). Singkat kata, saya itu bukan jenis siswa popular. Nah, males dong datang di reuni yang kemungkinan besar saya akan menerima banyak pertanyaan “Eh, siapa ya?” atau worse come worst akan jadi terdiam di sudut ruangan menjadi patung yang pandai tersenyum tanpa bisa menanggapi obrolan seru teman-teman saya (ingat! Saya itu introvert).
Satu point lagi kenapa saya setengah hati dengan reuni ini pada awalnya adalah, saya malas mengantisipasi pertanyaan “Kamu kapan nikah Na?” dengan jawaban “Eh, taplak mejanya lucu, boleh dibawa pulang ga?”.

Well, say that I’m too paranoid. Err, yes I’m. Karena kenyataannya acara reuni itu berjalan dengan menyenangkan. Bisa bertemu dengan teman-teman yang sudah 10 tahun tidak bertemu langsung (ya iya, saya sudah setua itu), bertukar cerita tentang apa saja yang sudah kami lewatkan, bergosip tentang guru-guru, bernostalgia dengan sudut-sudut sekolah yang telah banyak berubah dan bertemu kecengan jaman SMA yang ternyata masih sendiri juga (sayangnya mantan kecengan saya ga nongol kemarin). Seru. Dan lebih seru ternyata kenyataanya hanya ada satu pertanyaan tentang nikah yang saya terima. Itu pun lebih terdengar sebagai pertanyaan seorang sobat lama yang terputus kontak selama 10 tahun daripada pertanyaan intimidatif. Well, mungkin saya harus sekali lagi say thanks to Facebook untuk absennya pertanyaan-pertanyaan sejenis. Sering update status dan upload foto ada gunanya juga.

Dan satu hal lagi, di sana saya sadar, saya tidak hanya figur pelengkap dalam sebuah percakapan, saya bukan lagi seorang pendiam yang cukup menjawab sepatah kata atas pertanyaan yang diajukan ke saya untuk kemudian kembali hanyut dalam keheningan, saya menikmati percakapan teman-teman di sekeliling saya meskipun tentang seseorang yang saya tidak ingat lagi namanya. Ternyata, saya bukan lagi gadis introvert yang merasa insecure di tengah-tengah lingkungan asing.
Ah, saya masih mendengar komentar, “Lo pendiam dan introvert? Yang bener aja Na..”