Kurapatkan jaket tipis yang membalut tubuhku. Terlambat kusadari waktu sudah mulai memasuki musim kemarau di Jawa selatan ini. Angin musim dingin dari belahan bumi selatan yang terasa kering menusuk tulang mengalun membawa asin aroma laut di depanku. Kutatap siluet Pras yang sedang mematikan api unggun bekas memasak makan malam kami tadi. Laki-laki itu sama sekali tidak berbeda dari kenangan di kepalaku. Satu hal yang berbeda hanyalah rambutnya. Rambut yang dulu tidak pernah mempunyai kesempatan tumbuh lebih dari seujung jari itu kini ia biarkan sedikit panjang. Rambut yang sekarang tampak berantakan dipermainkan angin laut. Bahkan gerakan otot dada liat di balik kaos hitam yang rapat membungkus tubuhnya itu masih tampak sama ketika terakhir aku menyentuhnya 5 tahun yang lalu. Waktu memang tidak mengubahnya, waktu hanya memahatnya lebih sempurna.
Api unggun itu telah sepenuhnya padam. Pras berjalan ke arahku, “Mau aku ambilkan sesuatu dari tenda?” tanyanya yang aku sambut dengan gelengan kepala.
“Sepertinya pilihan waktu kita untuk camping sekarang tepat.”, ujar Pras sambil merebahkan tubuhnya di sampingku yang segera aku ikuti.
“Iya. Langit cerah dan bertepatan bulan baru”, jawabku sambil mendongak melihat taburan bintang di langit malam di atas kami.
Debur ombak laut selatan membekap kami dalam kesunyian panjang. Bayang-bayang panjang pohon kelapa menari mengikuti alunan cahaya lentera di depan tenda di belakang kami.
Dejavu. Aku seperti terlempar ke masa lalu. Desau angin dingin menyanyikan lagu yang sama, debur ombak mendendangkan nada senada, dan taburan konstelasi yang tak beranjak dari tempatnya. Hanya yang berbeda tak lagi ada tangannya di bahuku dan kepalaku bersandar di pundaknya.
“Mereka masih tetap setia di sana bukan?” gumamku lebih pada diri sendiri. “Bintang-bintang itu.”
Kembali sunyi. “Kau ingat itu?”, tangan Pras menunjuk ke langit di depan kami. Ke sebuah bentuk layang-layang yang tersusun dari lima bintang terang dan taburan pasir bercahaya di belakangnya.
“Gubug penceng dan dayang-dayangnya.”, gumamku tanpa sadar nyaris tak terdengar.
“Crux dan jewel box”, Pras menyambut hampir bersamaan. “Lima tahun ini, tiap kali melihat mereka muncul di bola langit selatan, aku selalu berharap kamu juga melihat ke tempat yang sama. Menyadari kehadiran mereka dan mengingat bahwa kita pernah ada di bawah kaki salibnya di sini waktu itu. Sebelum kepergianmu.”
“Kepergianku setelah keputusanmu untuk menikahi Dina?” balasku gusar. Alih menjawab, Pras hanya menghela nafas pelan. Jeda panjang sebelum aku kembali membuka mulut, lirih “Hampir tidak mungkin untuk menemukan mereka di Singapore, Pras. Tapi bukan bearti melupakanmu menjadi lebih mudah karenanya.”
Kurasakan remasan tangan Pras di tangan kiriku. “Maafkan aku. Aku tahu ini terdengar basi, tapi aku benar-benar minta maaf.”
Dengan enggan aku tarik perlahan tanganku dari genggamannya. “Akan sulit menjelaskan ke istrimu kalau dia terbangun dan melihat kita seperti ini. Sudahlah, tidak ada gunanya kita membahas masa lalu kan? Lagi pula sepertinya Dina istri yang baik, dan lagi kalian sudah punya Laras.”
Kutolehkan kepala ke arah Pras, yang sedang menatapku. Seulas senyum mengambang di bibirnya. Getir. “Tidak ada yang salah dengan Dina, dia perempuan yang hebat. Justru kadang aku merasa bersalah tidak bisa mencintainya sebesar pengabdiannya padaku. Laras, bidadari kecil itu justru alasanku untuk melanjutkan hidupku sekarang." Seperti ada yang memercikkan air laut di atas luka lamaku. Aku cemburu. "Bagaimana denganmu? Lima tahun menghilang ditelan bumi, kau membuatku nyaris menyusul ke negara kecil itu dan menyusuri sudut terkecilnya untuk menemukanmu.”
“Hahahaha” Tawa yang kupaksakan keluar dari tenggorokanku terdengar pahit. “Tapi kau toh tidak melakukannya kan?” Tak mampu kutahan pertanyaan retoris itu terlontar.
Pras menghela nafas panjang. “Aku punya hidup yang harus aku lanjutkan di sini.”
“Dan demi alasan melanjutkan hidup juga aku ada di sini sekarang.” Kataku sambil bangkit dari tidurku. Kutepuk-tepuk ceana jeansku sekedar untuk membersihkan pasir yang menempel. “Tunggu sebentar.” Tak ku acuhkan tatapan bertanya Pras yang mengikutiku ketika aku berjalan ke arah tenda yang lebih kecil d belakang kami.
Pras beranjak duduk ketika ia melihatku kembali ke tempat kami semula. Kusodorkan benda yang aku ambil dari tenda itu kepadanya. Sesaat ada kilas ragu di matanya sebelum meraih kertas karton persegi berwarna biru muda itu.
“Aku hanya merasa harus memberitahunya langsung kepadamu.” Kujajari Pras duduk, mataku menerawang ke tengah kegelapan sempurna di depanku. “Aku akhirnya menyanggupi permintaan ibu untuk menikahi perempuan pilihannya. Tidak ada lagi alasan buatku untuk menolaknya.”
Kutoleh Pras. Jari-jarinya menyusuri namaku yang teremboss tinta emas di undangan itu. Bayu Pradipta. “Seperti kamu bilang Pras, hidup harus terus dilanjutkan.”
Pras membalas tatapanku. Tangannya meraih tanganku dan meremas jemarinya perlahan. Kali ini aku biarkan ia ada di sana. Tidak akan lama dan untuk sekali lagi ini saja, janjiku pada Crux yang memperhatikan kami dari atas sana.
Note:
1. Crux (Bahasa Latin: salib), yang umumnya dikenal sebagai Salib Selatan (berlawanan dengan Salib Utara), adalah rasi bintang terkecil di antara 88 rasi bintang modern, tetapi juga salah satu yang paling dikenal. Ketiga sisi rasi ini dikelilingi oleh Centaurus dan di sebelah selatannya terdapat Musca, sang lalat. Orang Jawa mengenal rasi ini sebagai Gubug pèncèng ("gubuk miring") atau Lumbung.
2. The Jewel Box (also known as NGC 4755, the Kappa Crucis Cluster and Caldwell 94) is an open cluster in the constellation of Crux. As Kappa Crucis, it has a Bayer designation despite the fact that it is a cluster rather than an individual star.