Di Bawah Salib Selatan

Kurapatkan jaket tipis yang membalut tubuhku. Terlambat kusadari waktu sudah mulai memasuki musim kemarau di Jawa selatan ini. Angin musim dingin dari belahan bumi selatan yang terasa kering menusuk tulang mengalun membawa asin aroma laut di depanku. Kutatap siluet Pras yang sedang mematikan api unggun bekas memasak makan malam kami tadi. Laki-laki itu sama sekali tidak berbeda dari kenangan di kepalaku. Satu hal yang berbeda hanyalah rambutnya. Rambut yang dulu tidak pernah mempunyai kesempatan tumbuh lebih dari seujung jari itu kini ia biarkan sedikit panjang. Rambut yang sekarang tampak berantakan dipermainkan angin laut. Bahkan gerakan otot dada liat di balik kaos hitam yang rapat membungkus tubuhnya  itu masih tampak sama ketika terakhir aku menyentuhnya 5 tahun yang lalu. Waktu memang tidak mengubahnya, waktu hanya memahatnya lebih sempurna.
Api unggun itu telah sepenuhnya padam. Pras berjalan ke arahku, “Mau aku ambilkan sesuatu dari tenda?” tanyanya yang aku sambut dengan gelengan kepala.
“Sepertinya pilihan waktu kita untuk camping sekarang tepat.”, ujar Pras sambil merebahkan tubuhnya di sampingku yang segera aku ikuti.
“Iya. Langit cerah dan bertepatan bulan baru”, jawabku sambil mendongak melihat taburan bintang di langit malam di atas kami.
Debur ombak laut selatan membekap kami dalam kesunyian panjang. Bayang-bayang panjang pohon kelapa menari mengikuti alunan cahaya lentera di depan tenda di belakang kami.
Dejavu. Aku seperti terlempar ke masa lalu. Desau angin dingin menyanyikan lagu yang sama, debur ombak mendendangkan nada senada, dan taburan konstelasi yang tak beranjak dari tempatnya. Hanya yang berbeda tak lagi ada tangannya di bahuku dan kepalaku bersandar di pundaknya.
“Mereka masih tetap setia di sana bukan?” gumamku lebih pada diri sendiri. “Bintang-bintang itu.”
Kembali sunyi. “Kau ingat itu?”, tangan Pras menunjuk ke langit di depan kami. Ke sebuah bentuk layang-layang yang tersusun dari lima bintang terang dan taburan pasir bercahaya di belakangnya.
“Gubug penceng dan dayang-dayangnya.”, gumamku tanpa sadar nyaris tak terdengar.
“Crux dan jewel box”, Pras menyambut hampir bersamaan. “Lima tahun ini, tiap kali melihat mereka muncul di bola langit selatan, aku selalu berharap kamu juga melihat ke tempat yang sama. Menyadari kehadiran mereka dan mengingat bahwa kita pernah ada di bawah kaki salibnya di sini waktu itu. Sebelum kepergianmu.”
“Kepergianku setelah keputusanmu untuk menikahi Dina?” balasku gusar. Alih menjawab, Pras hanya menghela nafas pelan. Jeda panjang sebelum aku kembali membuka mulut, lirih “Hampir tidak mungkin untuk menemukan mereka di Singapore, Pras. Tapi bukan bearti melupakanmu menjadi lebih mudah karenanya.”
Kurasakan remasan tangan Pras di tangan kiriku. “Maafkan aku. Aku tahu ini terdengar basi, tapi aku benar-benar minta maaf.”
Dengan enggan aku tarik perlahan tanganku dari genggamannya. “Akan sulit menjelaskan ke istrimu kalau dia terbangun dan melihat kita seperti ini. Sudahlah, tidak ada gunanya kita membahas masa lalu kan? Lagi pula sepertinya Dina istri yang baik, dan lagi kalian sudah punya Laras.”
Kutolehkan kepala ke arah Pras, yang sedang menatapku. Seulas senyum mengambang di bibirnya. Getir. “Tidak ada yang salah dengan Dina, dia perempuan yang hebat. Justru kadang aku merasa bersalah tidak bisa mencintainya sebesar pengabdiannya padaku. Laras, bidadari kecil itu justru alasanku untuk melanjutkan hidupku sekarang." Seperti ada yang memercikkan air laut di atas luka lamaku. Aku cemburu. "Bagaimana denganmu? Lima tahun menghilang ditelan bumi, kau membuatku nyaris menyusul ke negara kecil itu dan menyusuri sudut terkecilnya untuk menemukanmu.”
“Hahahaha” Tawa yang kupaksakan keluar dari tenggorokanku terdengar pahit. “Tapi kau toh tidak melakukannya kan?” Tak mampu kutahan pertanyaan retoris itu terlontar.
Pras menghela nafas panjang. “Aku punya hidup yang harus aku lanjutkan di sini.”
“Dan demi alasan melanjutkan hidup juga aku ada di sini sekarang.” Kataku sambil bangkit dari tidurku. Kutepuk-tepuk ceana jeansku sekedar untuk membersihkan pasir yang menempel. “Tunggu sebentar.” Tak ku acuhkan tatapan bertanya Pras yang mengikutiku ketika aku berjalan ke arah tenda yang lebih kecil d belakang kami.
Pras beranjak duduk ketika ia melihatku kembali ke tempat kami semula. Kusodorkan benda yang aku ambil dari tenda itu kepadanya. Sesaat ada kilas ragu di matanya sebelum meraih kertas karton persegi berwarna biru muda itu.
“Aku hanya merasa harus memberitahunya langsung kepadamu.” Kujajari Pras duduk, mataku menerawang ke tengah kegelapan sempurna di depanku. “Aku akhirnya menyanggupi permintaan ibu untuk menikahi perempuan pilihannya. Tidak ada lagi alasan buatku untuk menolaknya.”
Kutoleh Pras. Jari-jarinya menyusuri namaku yang teremboss tinta emas di undangan itu. Bayu Pradipta. “Seperti kamu bilang Pras, hidup harus terus dilanjutkan.”
Pras membalas tatapanku. Tangannya meraih tanganku dan meremas jemarinya perlahan. Kali ini aku biarkan ia ada di sana. Tidak akan lama dan untuk sekali lagi ini saja, janjiku pada Crux yang memperhatikan kami dari atas sana.

Note:
1. Crux (Bahasa Latin: salib), yang umumnya dikenal sebagai Salib Selatan (berlawanan dengan Salib Utara), adalah rasi bintang terkecil di antara 88 rasi bintang modern, tetapi juga salah satu yang paling dikenal. Ketiga sisi rasi ini dikelilingi oleh Centaurus dan di sebelah selatannya terdapat Musca, sang lalat. Orang Jawa mengenal rasi ini sebagai Gubug pèncèng ("gubuk miring") atau Lumbung.
2. The Jewel Box (also known as NGC 4755, the Kappa Crucis Cluster and Caldwell 94) is an open cluster in the constellation of Crux. As Kappa Crucis, it has a Bayer designation despite the fact that it is a cluster rather than an individual star.

Source: Wikipedia here and here
Pic taken fom here

Backstreet

Perlahan kusesap teh lemon dingin yang tinggal separuh gelas itu sambil melayangkan pandangan ke tengah danau. Air danau di depanku tampak berayun tenang seiring sepoi angin yang kadang berhembus. Sesekali perahu wisatawan yang melaju pelan membuyarkan bayangan gedung-gedung yang mengelilinginya. Sudah tiga hari ini, kalau aku tidak salah hitung, langit begitu bersahabat dengan matahari. Bersinar terik dan membiru cantik tanpa sedikit pun ditingkahi serpihan awan putih. Dan di sinilah aku, di tepi City Lake, duduk manis di kursi malas di depan sebuah café, bernaungkan kamboja Jepang, menyecap segarnya Ice Lemon Tea dan lembut Tiramisu yang membelai lidah. Sabtu siang yang sempurna.
“Drrttt …”, getar lembut dari atas meja menyadarkanku dari lamunan. “Nesa”, gumamku melihat nama yang muncul di layar.
“Ya, Nes?”
“Ka, di mana lo? Pasti di kamar. Enak banget si ni anak, orang pada piket, dianya tidur”, rentetan ocehan dari seberang mau tidak mau membuatku menjauhkan HP dari telinga. “Ka? Kok diem si? Beneran deh ni anak baru bangun tidur.”
“Udah selesai ngocehnya? Lagian sapa yang tidur? Gue di Lake, Neng. Ada apa?”
            “Hahaha, ga ada apa-apa si. Cuma mau nelpon lo aja. Eh tau ga si….?”
            “Apaan?”, kejarku. Biasanya selalu ada gossip baru dari sebuah percakapan yang dimulai dengan kalimat itu.
            “Dewo tadi ngajak gue pulang bareng….!!”
Seketika, keningku berkerut. “Pulang kantor ini maksudnya? Dewo tadi piket juga kan?”
“Iya, terus dia ngajak balik bareng gitu. Sayangnya gue masih ada kerjaan.”
“Jadi intinya sekarang lo masih di kantor dan Dewo sudah balik? Hahahaha”, susah rasanya untuk tidak merasa geli dengan cerita temanku satu ini.
“Gitu deh. Tapi yang jelas kan dia udah perhatian ngajakin gue pulang bareng. Plus pula, rumah gue kan di city, kaga searah dong ama rumah dia yang di urban site sono.”
“Aduh..elo tu ya.. Kan gue dah sering bilang, Dewo itu perhatian ke semua perempuan. Harus dikarantina deh orang seperti itu. Kecenderungan bikin orang patah hati aja. Dan lagi, setau gue Dewo emang ada rencana ke city hari ini habis piket. Wajar lah kalau ngajakin bareng.”
“Ah elo, sekali-kali biarin temen senang kenapa.”
“Gue cuma ga mau teman gue jatuh dari tempat yang  terlalu tinggi. So, sebelum harapan elo ketinggian, sebagai teman yang baik, ya gue suruh turun lah.”
“Iya..iya. Udah ah, mo kerja lagi. Bye.. Met weekend Fierka.”
“Met kerja Nesa.” Tergelak aku ketika sempat kudengar umpat lirih Nesa dari seberang sana sebelum aku tekan tombol merah di HPku.
Dewo, perempuan mana di kantorku yang tidak kenal sosok laki-laki ini. Dewo ibarat seekor elang dengan kadar perhatian laksana induk ayam. Apalagi kepada perempuan-perempuan di sekelilingnya. Tidak hanya penampilan fisiknya yang di atas rata-rata, lebih dari itu dia punya kemampuan mendengarkan, memperlakukan dan memperhatikan perempuan seolah-olah dia satu-satunya perempuan di dunia. Tak kurang sekali dua aku memberitahunya akan hal itu, yang hanya dijawabnya dengan tertawa dan gelengan kepala tak percaya. Satu gerakan tubuhnya yang aku percaya bisa mengepakkan sayap kupu-kupu di rongga hati perempuan manapun.
Belum lagi sempat aku kembali menikmati suapan tiramisuku, ketika ekor mataku menangkap pendar di HPku tanda ada pesan singkat masuk. Dari nomer tak dikenal “Fierka…temen lo itu nyebelin tau ga si!! Dari gue jalan ma dia minggu lalu nyari camera, Dewo belum ada kontak lagi. Akhirnya tadi malem gue ajak jalan hari ini, dia bilang mau piket. Piket kalian itu bukannya cuma setengah hari? Eh, btw..ini Shinta. Ini nomer baru gue, yang lama hapus saja ya..”
Kunikmati sedotan terakhir dari gelas Ice Lemon Teaku yang kini benar-benar telah kosong, sebelum menulis balasan ke Shinta. “Fyi, Dewo memang piket hari ini. Dan emangnya dia ada bilang mau kontak elo lagi ato ada janji mo ngajak elo jalan gitu setelah minggu lalu?” Send.
Tak sampai satu menit pesan dari nomer yang sama kembali masuk. “Dia nggak ada ngomong apa-apa si, tapi kan tetap saja. Apa salah gue minggu lalu sampai tiba-tiba dicuekin gtu??”
Kuletakkan HP yang tadinya aku pegang. Kupijit ringan pelipis kepalaku yang tidak sakit. Mungkin memang masalahnya tidak selalu ada di Dewo. Karena mungkin bukan salahnya menjadi as charming as he is. Tapi tentunya tidak lantas aku bisa menudingkan tangan pada perempuan-perempuan itu yang begitu mudah tersentuh hatinya. Karena bagaimanapun aku tahu persis bagaimana perasaan perempuan-perempuan itu. Rumit. Kulirik HPku lagi, dan sejak kapan aku menjadi manager pribadi seorang Dewo Aryasatya? Kuhembuskan nafas panjang. Sepertinya memang aku harus bicara dengan Dewo lebih serius tentang ini.
“Dibagilah itu masalah. Berat banget kliatannya, sampai panjang gitu ambil nafasnya.” Sebuah suara di sebelah kananku tiba-tiba meyentakku dari lamunan. “Hallo Cinta. Udah lama nunggu?” Diikuti sebuah cengiran jahil yang sudah beberapa lama ini akrab denganku.
“Duh.. Ngagetin orang aja.” protesku, namun tak urung kusambut juga bibirnya yang mengecup ringan ujung bibirku. “Dah dari pagi, tu udah habis segelas.” rajukku.
“Hahahaha…dari pagi ya? Seperti aku ga tau kamu aja.” gelaknya. “Aku pesen dulu ya. Kamu mau minum lagi? Ice Lemon Tea?” ucapnya sambil menunjuk isi gelasku yang tinggal beberapa bongkah es batu dan seiris lemon.
“Boleh.” jawabku singkat kepadanya yang segera beranjak.
“Eh, Dewo! Carrot lime juice aja ya..” teriakku sesaat setelah melihat minuman favoritku di list menu.
“No sugar?” tanyanya dari seberang pelataran café yang segera kusambut anggukan kepala.
Kutatap langkahnya sampai dia menghilang di balik pintu café. Dan baru menyadari bahwa aku menahan nafasku. Efek terpesona yang masih saja aku alami meskipun bulan ini tepat setengah tahun aku dan Dewo memutuskan untuk jalan sebagai pasangan kekasih. Oh, ayolah..kau tak akan menyebutku munafik bukan?
******************

# Pic taken from here

It's Midnight..

              Membaca lagi tulisan sendiri lewat 6 tahun lalu, saya jadi melontarkan sebuah statement impulsif, "Saya masih perempuan for God sake!!"
*Memang ada yang meragukan Na?!?! 
#Err..ga penting si..
*Nah trus ngapain lo bahas?
#Dibilang impulsif.. Dan kenapa juga tengah malem gini gw monolog ama diri sendiri? 
*Gud question..karena toh emang ada yang perduli gitu?
#Setan! Temen macem apa si lo... --'

Kubersimpuh mengiring mimpi yang terlupa
Mimpi seorang perempuan dalam diam
Menjalin roncean asa yang menghias bawah sadarnya
Merenda kepingan-kepingan tanya yang tak tergapai logika kecilnya

#* Sorry...atas persetujuan bersama kami tidak menerima comment!

127 Hours - A Reflection

             Suatu saat, saya akan mengingat bahwa saat menulis ini tangan saya masih terasa gemetar dan dengan detak jantung yang masih di atas normal. Bukan karena habis "ditembak" seseorang atau terbangun dari mimpi buruk, tapi karena baru saja 15 menit yang lalu saya menamatkan sebuah film yang menurut saya, hmm..saya tidak tahu harus menilai bagaimana. 
             Well, I'm not a big fan of movie after all, tapi film ini membuat saya tidak beranjak dari tempat tidur selama hampir 2 jam. Terlebih lagi, ini adalah sebuah movie yang cenderung ke one man show, yang saya pikir pada awalnya akan sangat membosankan. Dan ternyata saya salah besar!! Mengobral keindahan luar biasa dari Canyonland, Utah bukan satu-satunya daya tarik film ini. Penyajian scene yang menarik, seperti membagi layar menjadi 3 untuk mengambarkan adegan yang lebih dinamis, atau selingan selera humor dari Aron, sang tokoh utama yang unik, di ambang mautnya, cukup membuat film ini jauh dari membosankan, setidaknya untuk saya.
Dan, oh come on..kalau Anda penggemar James Franco, pastikan nonton deh. Meski tidak tampil secakep Harry Osborn, he still has a cute adorable smile as always. LOL. 

             Yups, saya bicara soal film 127 Hours. Setelah dipikir-pikir, saya merasa bersyukur saya menonton film ini di kamar, sendirian pula. Karena, hampir sepanjang scene, saya bisa tertawa, berteriak takjub, berteriak ngeri, sampai memeluk kedua lengan saya karena merasa ngilu saat bertahan untuk tidak memalingkan muka ketika melihat adegan itu. Oke, silakan tonton, dan Anda akan mengerti adegan apa itu.
             Sebulan yang lalu, ketika pertama kali film ini diputar, seorang teman yang kebetulan menonton, ketika bertemu saya seketika mewanti-wanti, "Lain kali klo jalan ntah ke mana gtu jangan lupa ngasih tahu dulu.". Well, nasihat yang akan saya abaikan, walaupun saya tahu itu benar, sampai saya melihat film ini. Saya jelas tidak seekstrim Aron yang melakukan rock climbing atau canyoning, or those others extreme activity, but satu yang pasti adalah kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. But if anything happened, touch the wood,  setidaknya seseorang di luar sana tahu bahwa ada yang tidak beres sedang terjadi pada kita.
             Jujur, walaupun dibilang sering menghilang entah ke mana untuk travelling, saya hampir tidak pernah melakukan trip sendirian. Saya bilang hampir. Seingat saya, hanya sekali saya melakukan solo traveling. Dua tahun lalu, ke Tioman. Itu pun masih sepengetahuan orang tua saya, walaupun saya menelpon mereka setelah saya dengan selamat menjejakkan kaki di sana. Justru yang cukup saya ingat adalah ketika saya, dalam perjalanan pulang, menembus hutan antara Juara - Tekek, selama 1.5 jam. Tanpa peta, hanya dengan berbekal pesan dari penduduk lokal untuk mengikuti jalur kabel listrik, sambil menggendong ransel yang tidak ringan, saya menerobos semak-semak, meniti tebing bebatuan, menaiki tangga, menyeberang sungai, dan sesekali mendaki pohon tumbang yang melintang di tengah trek. Saat itu, jelas, tidak ada seorang pun yang tahu di mana saya. Dan hal terburuk dari itu semua adalah, dari 2 HP yang saya bawa, tidak ada satupun yang berfungsi. Satu tidak bisa roaming international, satu lagi no pulsa. Hal yang saat ini saya sadari sebagai, a perfect stupidity. Thanks God, I made to get out from that jungle in one piece :)
             Film ini juga menggarisbawahi pentingnya persiapan. Bahkan untuk kategori Aron yang sudah membawa sekian banyak barang (yang tidak mungkin akan terpikirkan oleh saya), ada saja sesuatu yang tidak ia siapkan dengan baik. Walaupun saya juga tidak akan berfikir bahwa kemungkinan saya membawa Swiss Army knife adalah untuk memotong tangan saya sendiri. Oh great, another touch the wood!!
             End of the story, film ini membuat saya berfikir, benar-benar berfikir, jika suatu saat ada yang terjadi pada saya out there, will anyone realize that I was missing?


Images taken from here

Suara di Dapur

Rembang petang baru saja turun. Gema adzan Magrib bahkan masih sayup terdengar dari langgar di tengah dusun. Tapi tampaknya malam tak sudi lama menunggu. Kegelapan dengan cepat melingkupi rumah di ujung dusun itu. Rapat tersembunyi di balik kebun singkong yang mengapit di halaman kanan dan kiri serta rungkutnya rumpun bambu yang menjadi latar belakang, membuat suasana malam di rumah itu menua dengan segera. Bahkan bias cahaya lampu petromak yang biasa menerobos sela dinding anyaman bambu pun tak tampak. Sebagai gantinya, selarik kuning redup tampak menari dari lentera yang bergelayut malas di ruang depan.
Di ruang itu, Murti tak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Entah sudah yang keberapa kali dia seberangi ruangan itu hanya untuk melongokkan kepala ke halaman depan. Mencari tanda-tanda kepulangan Anggoro, suaminya. Tidak biasanya suaminya itu belum pulang sampai lepas Magrib. Biasanya kalau pun ada piket malam, dia selalu menyempatkan diri pulang setidaknya untuk sholat Magrib sebelum kembali ke kantor yang hanya berjarak 2 kilometer dari rumah mereka. Untuk meredakan cemas hati, dijajarinya anak perempuan satu-satunya yang sedang tekun bermain kain-kain bekas jahitannya tadi siang. Sesekali gadis kecil berumur 3 tahun itu tampak bergumam, seperti berbicara dengan seseorang. Tidak cukup keras, tapi cukup bisa ditangkap oleh telinga Murti.
“Fi, sedang bicara sama siapa?”
“Sama Tunuk.”
“Tunuknya mana?”
“Itu. Sebelah situ. Mama geser deh.”, ujar Fifi sambil menunjuk ruang kosong di sebelah Murti.
Tunuk adalah teman khayalan Fifi. Murti tahu itu. Ini bukan pertama kalinya Murti melihat Fifi bermain dengan temannya itu. Biasanya ia hanya tertawa geli bahkan ikut bermain bersama teman khayalan putrinya, seolah-olah dia benar bisa merasakan kehadirannya. Tapi entah mengapa, kali ini ia tak bisa menahan bulu kuduknya yang tiba-tiba meremang.
“Papa belum pulang ya Ma?” tanya Fifi menghentikan aktifitasnya.
“Belum Sayang. Fifi makan dulu yuk?” ajak Murti.
“He em…mau makan” angguk Fifi.
“Oke, Mama ambilkan dulu ya..” balas Murti sambil beranjak menuju dapur. Setidaknya makan malam akan menyibukkan Fifi dari teman khayalannya dan dirinya sendiri dari kekhawatirannya akan keberadaan sang suami.
Dapur itu relatif cukup besar untuk ukuran perabot mereka yang tidak seberapa. Lampu minyak tanah yang sempat ia nyalakan dari ruang tengah tadi tidak mampu menerangi seluruh penjuru dapur. Diletakkannya lampu minyak di atas meja kecil di sebelah lemari makan, sementara ia dengan cekatan menata nasi dan lauk ke piring sambil memunggungi kegelapan. Tiba-tiba gerakannya terhenti. Murti merasa seperti ada yang berbeda dari irama nyanyian malam yang sedang berdengung. Dipasangnya telinga lekat-lekat sambil mengedarkan pandangan ke arah kegelapan di seberang dapur. Lagi. Suara itu terdengar lagi. Seperti suara langkah kaki tergesa yang tersuruk dalam dedaunan kering. Srek..srek..srek.. Suara itu seperti bergema di kelapangan dapur. Lalu berhenti. Digantikan hening panjang ditingkahi bunyi serangga malam. Tujuh hitungan, Murti menghitung dalam hati, berlalu sebelum suara itu kembali, bersumber di tempat yang sama.
Murti bukan perempuan penakut. Ia terbiasa dengan kesendirian di rumah kontrakan mereka yang sederhana itu jika Anggoro harus berjibaku dengan karung-karung beras Bulog yang harus diantarkan di luar sana. Namun entah mengapa malam itu dia tak bisa menepis bayangan-bayangan ketakutan di kepalanya.
Segera disambarnya piring yang sudah berisi nasi dan bergegas ke ruang depan menghampiri anaknya. “Fi, makan di halaman yuk.” Tanpa menunggu anggukan samar Fifi, digendongnya gadis itu ke depan rumah.

Awan kelabu yang sedari tadi siang menyembunyikan matahari sedikit tersibak di horizon timur, memberi kesempatan purnama untuk mengintip dan menebar cahaya keperakannya menerangi halaman yang cukup luas itu. Menciptakan tarian bayang-bayang rimbun dedaunan yang bergerak seirama sepoi angin. Sebetulnya, rumah itu terletak tepat di tepi jalan utama kampung. Dan jalan itu cukup ramai jika siang hari. Tapi begitu menjelang petang, penduduk desa lebih memilih untuk sedikit memutar. Entah siapa yang memulai, sebuah cerita tentang penampakan kereta kuda gaib di sepanjang jalan itu selalu didongengkan dari mulut ke mulut dan menjadi legenda.
Tapi Murti tidak perduli. Pilihannya hanya antara dikelilingi suara tanpa wujud atau seekor kuda setan yang belum pernah dilihatnya. Dan dia memilih yang kedua. Sambil terus menyuapi Fifi, Murti tak henti mengajak anaknya bicara. Apapun yang bisa mengalihkan pikirannya dari singup yang menyelimuti.
Tak lama, sayup terdengar suara sepeda motor yang sangat dikenalnya menuju ke arah mereka. Sempat terfikir bahwa itu hanya halusinasi saja, Murti menghela nafas lega ketika Fifi meronta turun dari pelukannya sambil berteriak, “Papa pulang!”. Segera ia menghampiri Anggoro yang baru saja memasuki halaman rumah.
“Kok makan di luar malam-malam begini?” tanya Anggoro begitu selesai mematikan mesin motornya.
“Di dapur ada suara orang jalan.” bisik Murti pelan yang langsung disambut kerut di kening suaminya.
“Ada maling?”
“Ga ada orangnya.”, sambung Murti.
Dalam diam, mereka berjalan ke dalam rumah. Anggoro segera memompa lampu petromak. Diikuti Murti dan Fifi yang mengekor tepat di belakangnya, Anggoro membawa petromak itu ke arah dapur. Seketika dapur yang tadinya remang oleh cahaya lampu minyak menjadi benderang karena cahaya petromak.
Anggoro mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru dapur. Dapur itu senyap. Hanya suara jengkerik di luar yang terdengar. Ditolehnya sang istri sambil menyerngitkan dahi, “Mana?” bisiknya.
“Sstt..”, desis istrinya lirih sambil meletakkan satu jari di bibir. Tepat saat itu juga Anggoro mendengar gemerisik di seberang dapur.
Anggoro kembali menoleh ke arah Murti. Kerut di dahinya semakin dalam. Untuk yang ini, Anggoro tak perlu berkata apapun, Murti tahu persis artinya. Mana ada setan yang masih berisik di cahaya terang seperti ini.
Suara itu kembali terdengar. Kali ini dengan bergegas mereka meyeberangi dapur ke arah sumber suara, rak tempat Murti menyimpan bumbu dapurnya. Tepat di rak tingkat pertama, di atas tumpukan bawang putih, sebuah kantong plastik hitam tampak bergerak pelan, seirama dengan gemerisik suara yang dihasilkan. Anggoro menjulurkan tangan memegang ujung plastic, kemudian diangkatnya perlahan. Dan, plop…sepotong benda putih jatuh dari dalam plastik.
“Icak..” ujar Fifi kecil sambil menunjuk ke arah binatang kecil yang tampak kebingungan sesaat sebelum akhirnya menyadari kemerdekaannya dan melesat ke dinding bambu di balik rak itu.
Murti menoleh ke arah Anggoro yang juga sedang menatapnya dan meledaklah tawa kecil mereka.
“Ternyata Mamamu lebih memilih ketemu kuda setan dari pada ngadepin cicak”, kata Anggoro sambil mengusap kepala Fifi yang segera disambut dengan pukulan pelan Murti di bahunya.
***********

PS      : Image diambil dari sini
PPS    : Bukan cicak yang sama dengan di sini
PPPS  : Ketika menuliskan kembali kisah ini, syaraf ketidaknyamanan saya sedikit terusik atas kombinasi panggilan “Papa”/”Mama” dengan setting cerita. Maka salut saya untuk beliau berdua yang “menentang jaman” ketika dengan konsisten mengenalkan panggilan itu kepada kami, anak-anaknya, hampir 28 tahun silam.