Selayaknya orang yang lahir dan dibesarkan di negeri gemah ripah
loh jinawi yang terkenal dengan beragam kopi kualitas dunia, Indonesia, dari
kecil saya akrab dengan bubuk hitam ini. Mulai dari kopi instan, 3 in 1, yang
tinggal tuang air panas, hingga butiran utuh biji kopi. Saya ingat masa kecil
saya masih menyempati menikmati harum kopi yang baru saja digongso nenek saya
di dapur. Digongso dengan potongan-potongan kelapa kemudian ditumbuk di lesung
sebelum terhidang di atas meja dengan wangi menggoda.
Gelas-gelas
kopi pertama saya tentu saja berasal dari gelas kopi Ayah tiap pagi dan sore.
Satu dua teguk saja tentu. Tawaran Ibu untuk membuatkan kopi terpisah tidak
pernah saya iyakan. Tidak ada yang lebih enak dari kopi di gelas Ayah. Saya
hanya akan membuat segelas kopi untuk saya sendiri ketika masuk musim ujian.
Segelas kopi pahit kental sehitam langit jam sepuluh malam, sudah menjadi
kebiasaan untuk melengkapi sistem kebut semalam.
Hanya
sebatas itu saja hubungan saya dan kopi. Tidak pernah lebih jauh. Bahkan hingga
akhirnya saya meninggalkan rumah untuk kuliah. Saat itu, karena tidak lagi ada
gelas kopi Ayah, praktis jadwal minum kopi saya hanya ketika malam ujian.
Itupun bukan dengan tujuan bersenang-senang. Well, empat sachet Nescafe Classic
yang diseduh dalam secangkir kecil air panas tanpa gula memang tidak bisa
dibilang sebagai cara bersantai kan? Tapi yang jelas cangkir itu efektif untuk
menjaga mata dan otak saya tetap pada tempatnya semalaman.
Ketika
mulai kerja, ketika hidup mulai santai, ketika begadang saya lebih sering
ditemani ocehan teman-teman atau film tengah malam, kopi bukan lagi pilihan.
Kehadiran kopi hanyalah pelengkap cara bersenang-senang atau sekadar ganjal
mata selepas makan siang.
Hingga
dua setengah tahun lalu, ketika saya memutuskan untuk mendisiplinkan diri
sarapan pagi. Dan setelah puluhan kali mencoba segala kombinasi teman sarapan,
pilihan lidah saya jatuh pada segelas susu kopi. Sesendok penuh kopi,
diencerkan dengan sedikit air panas, dan dilengkapi segelas penuh susu low fat
high calcium cair. Kopi yang sama, susu yang sama, dan takaran yang sama untuk
memulai pagi di waktu yang sama selama dua tahun.
A
lovely routine I can say. Namun karena rutin itu melibatkan kopi dan susu
tertentu, saat tidak mungkin mendapat kopi dan susu yang sama, saya lebih
sering memilih untuk melewatkan rutin pagi saya. Saat saya jalan-jalan ke luar
kota misalnya. Kenyataan bahwa saya biasanya tetap bisa berfungsi normal ketika
absen dari kopi membuat saya mengklaim diri sebagai bukan pecandu kafein.
Hingga
akhir minggu kemarin. Ketika saya pulang ke rumah orangtua untuk menghadiri
pernikahan saudara.
Sebetulnya
saya baru memulai perjalanan Jumat siang. Tapi karena satu dan lain hal, stok
susu di kulkas sudah habis dari Kamis pagi. Karena kuatir rusak selama saya
tinggal pergi, saya sengaja tidak beli susu hari itu. Jadilah saya melewatkan
sarapan Jumat pagi tanpa kopi. No big deal, as usual.
Sabtu
malam, setelah semua acara selesai, saya mulai merasa tidak nyaman di kepala.
Bukan migraen, bukan juga karena gigi bungsu saya berulah. Dugaan pertama saya
tentu saja kecapekan, setelah seharian penuh dengan kesibukan. Atau kebanyakan
makan. Maklum, we got the
party, Dear...
Minggu
pagi, bahkan setelah tidur sekian jam lamanya, sakit kepala itu masih setia
menyertai saya. Rasanya seperti ada yang sesekali mencengkeram kepala saya.
Sensasinya bisa datang selama beberapa detik sampai beberapa menit. Walaupun
begitu, saya masih cuek-cuek saja. Paling sesekali meringis kalau serangan
cengkeraman tadi datang. Minggu malam, frekuensi sakit kepala makin menjadi.
Cengkeraman yang tadinya saya anggap lucu-lucuan, jadi makin tidak lucu lagi.
Yang tadinya hanya membuat saya meringis, malam itu sudah sanggup membuat saya
menggeretakkan geraham sambil guling-guling di karpet depan tivi.
Saya
mulai memaksakan diri mencari kemungkinan penyebab sakit kepala sialan itu.
Mungkin karena apa yang saya makan? Sup iga sapi atau bistik daging?
Skip, saya tidak punya masalah dengan daging sapi. Sate kambing? Tidak mungkin,
saya bahkan hanya makan satu tusuk. Mangga? Makin tidak masuk akal. Nah, kalau
bukan karena makanan yang saya makan dua hari terakhir, bagaimana dengan yang
tidak saya makan dua hari terakhir? Setengah tidak yakin, saya ingat bahwa saya
belum minum kopi tiga hari terakhir. Masa karena lack of caffeine?
Singkat cerita,
segelas kopi kental menemani saya melanjutkan acara menonton tivi malam itu.
Setelah segelas tandas dan tiga puluh menit menunggu, Evanesco!, sakit kepala
saya hilang dan kantukpun datang. Malam itu tubuh saya mencumbu yang dirindu,
caffeine.
Dan pagi ini,
berteman susu kopi dan sekerat roti gandum, saya tercenung di depan laptop.
Betapa kadang kita tidak menghargai apa yang kita punya, sebelum kita
kehilangan. Kali ini, caffeine untuk tubuh saya. Lain kali, mungkin, seseorang
di recent call telepon genggam saya, atau senarai
pesan singkat yang biasa membuka pagi saya. Or
even worse, detak jantung saya. Mungkin, kejadian minggu lalu itu cara
semesta untuk mengingatkan saya to
slow down my phase, pay
more attention of what I have and to not just take it for granted every single
second of my life.
Oh ya, so kesimpulannya apa saya pecandu kafein? Hmm… nope, I’m not a caffeine addict. My body is.
***