Rasa Yang [Belum] Kedaluwarsa

Lalu, waktu menyadarkan saya. Semua punya masa kedaluwarsa. Termasuk rasa. ~Life Traveler

Saya tertegun, lebih lama dari yang diperlukan, pada sebuah baris di novel yang saya baca. Ada yang sedikit tersentil di benak membaca kalimat-kalimat di atas. Sebuah kesadaran, bahwa sepertinya saya terlupa untuk melabeli masa kedaluwarsa sebuah rasa.
Bukan rasa yang berhubungan dengan lidah tentu saja. Kalau itu, semua tahu kalau saya memang buta rasa. Ibu saya sendiri hanya bisa melihat saya dengan putus asa kalau diminta mencicipi masakannya. Jawaban saya tidak pernah lebih dari sekedar “Udah enak.” dan “Belum enak.” Jangan berharap analisa panjang untuk sebuah pertanyaan “Kurang apa?” dari saya. Jauh panggang dari api.
Bukan juga kedaluwarsa yang berhubungan dengan makanan. Walaupun tidak hanya sekali dua kali, makanan kedaluwarsa melewati kerongkongan saya. Silakan salahkan kecerobohan saya saja.
Seperti ketika, bertahun lalu, saya minum sisa kopi ayah sepulang kami dari rumah nenek. Kopi yang ibu buatkan untuk ayah sebelum kami berangkat, tiga hari hari sebelumnya. Kopi yang saya tenggak habis sebelum berkata pada ibu, “Ma, kopinya rasanya aneh.” sambil menyerahkan gelas kosong pada beliau. Reaksi ibu saya? Tepok jidat.
Atau susu kopi buatan saya sendiri beberapa waktu lalu. Susu kopi untuk sarapan yang saya minum sambil berfikir “Tumben rasanya beda.”, tapi tetap tandas tak bersisa. Pemikiran yang baru saya sadari 2 hari kemudian, ketika saya iseng membaca label di kotak susu. Sepertinya selama 2 hari saya minum susu kedaluwarsa.
Tapi bukankah tidak selamanya makanan bermasa kedaluwarsa? Bukankah, konon katanya, semakin lama wine semakin enak? Jangan tanya saya apa beda di rasa. Yang saya tahu, pasti beda di harga.

Tapi bukan. Ini bukan tentang rasa-kedaluwarsa itu. Ini tentang pe-rasa-an. Ini bukan soal lidah yang mengecap. Ini soal hati yang mengucap.
Sebuah perasaan yang seiring waktu terasa seperti sepatu lamamu. Butut dan tak akan kamu pakai ke acara hangoutmu. Tapi sepatu yang pertama kamu cari ketika akhirnya kamu lelah dengan lecet di kaki oleh sepatu barumu.
Sebuah perasaan yang kadang seperti susu, basi. Kadang seperti wine, memabukkan.
Sebuah perasaan yang, bahkan setelah sekian tahun lewat, belum saya beri label kedaluwarsa. Boleh jadi karena saya terlupa. Tapi sepertinya lebih karena hati saya yang tidak bereferensi. Mabuk oleh susu basi.

Ah, tapi siapalah saya berbicara tentang perasaan. Biarlah saja. Toh perasaan bukan sekotak susu atau sebotol wine.
***
*pic taken from here

Hunger Games: Will I Die For You?

Dua puluh empat peserta. Membunuh atau dibunuh. Hanya satu pemenang yang selamat. 


Sebentar, disclaimer, postingan ini bukan synopsis, bukan resume, dan penuh dengan spoiler. Jadi, kalau Anda belum membaca buku atau menonton film Hunger Games dan berminat membaca atau menontonnya lain waktu, saya sarankan sampai di sini saja. See you next posting…
Jadi ceritanya, setelah Amerika Serikat musnah sebagai negara, berdirilah Negara Panem. Negara ini terdiri dari Capitol (semacam ibukota) dan 12 distrik yang menjadi satelit pendukung Capitol. Dikarenakan sebuah pemberontakan di masa lalu, Capitol membuat permainan yang bertujuan untuk menghukum sekaligus sebagai pengingat bahwa 12 distrik berada di bawah kekuasaan Capitol. Dalam permainan tersebut, dipilihlah secara acak sepasang remaja dari masing-masing distrik. Mereka berdua puluh empat, akan ditempatkan di sebuah arena pertempuran, yang kali ini berupa hutan belantara. Tugas mereka hanya satu, bertahan hidup. Karena satu-satunya cara keluar dari permainan ini adalah menjadi satu-satunya yang bisa bertahan hidup. Jadi sebetulnya, inti dari cerita Hunger Games, ya itu tadi, membunuh atau dibunuh.
Sederhana? Jelas tidak. Pemilihan peserta permainan yang secara acak, jelas membuat tidak semua peserta mempunyai kemampuan bela diri dan survival yang mumpuni. Bahkan hanya mereka dengan kemampuan di atas rata-rata yang sanggup bertahan di menit-menit awal. Ditambah lagi, kenyataan bahwa peserta dari distrik yang sama juga harus saling bunuh. Beruntung jika mereka memang bermusuhan, atau setidaknya tidak saling kenal. Yang terjadi di sini Peeta, peserta dari distrik 12, harus terjun ke pertempuran bersama dengan cinta pertama dan satu-satunya, Katniss.
Lantas apakah ini hanya menjadi cerita cinta dan another Romeo and Juliet case? Nope. In fact, buku Hunger Games (bukan filmnya) ini merupakan salah satu buku paling berdarah-darah yang pernah saya baca. Sekaligus paling romantis kalau boleh saya bilang.
Ketika terpilih sebagai salah satu tribute dari distrik 12, bersama dengan Katniss, Peeta tahu bahwa satu-satunya tugasnya di dalam arena sana, bukanlah sekadar untuk bertahan hidup selama mungkin, tapi untuk memastikan keselamatan Katniss, cinta pertamanya. Dan ketika di akhir pertempuran hanya menyisakan mereka berdua, tanpa berfikir Peeta hanya berkata “Do it.” ketika meminta Katniss membunuhnya. Karena hanya dengan cara itu, Katniss bisa hidup dan keluar dari permainan Hunger Games.
Membaca buku dan menonton film Hunger Games (dua kali) membuat saya berfikir, selain keluarga, akankah saya bersedia mati demi hidup orang lain? Akankah saya rela mati agar orang lain tetap hidup?
Saya akan dengan sukarela nyebur ke kolam renang untuk menyelamatkan orang yang nyaris tenggelam, for sure. Tapi itu bukan karena saya berani mati, tapi karena saya tahu saya bisa. Ini si bukan termasuk rela mati.
Atau misalnya, ganti situasi, di tengah laut dengan ombak besar, apakah saya akan menceburkan diri untuk menolong orang, katakanlah tanpa pelampung? Nope. Itu si konyol. Karena dengan situasi seperti itu, yang ada saya hanya menambah jumlah jenasah yang mungkin ditemukan. Orang yang mau saya tolong dan saya.
Pertanyaan saya tadi terbatas kepada rela mati agar orang lain tetap hidup. Are you willing to do that? And for who? Am I? May be not, at least tidak sampai ketika saya menulis postingan ini.
Dan sampai di titik itulah perasaan seorang Peeta ke Katniss tergambarkan. Sedangkan Katniss? Baca bukunya saja lah. Kok bukan minta untuk melihat filmnya saja? Buat saya, versi film terkesan cukup terburu-buru. Seolah-olah, perasaan Peeta dan ketangguhan Katniss tidak terlalu tergambar di sana. Yah, itu hanya pendapat pribadi saya sebagai pecinta buku tentu saja.
Anyway, apapun pilihannya, Hunger Games akan selalu membuat saya bertanya, if I were Peeta, who would be my Katniss?
***

*pic taken from here


Ketika [Harus] Sakit di Negeri Orang


Sebuah pagi di sebuah pulau in the middle of nowhere
Baru beberapa menit lewat dari jam 2 pagi. Itu informasi yang saya dapatkan dari Xe, HP saya, beberapa saat setelah saya sepenuhnya sadar dari tidur. Kombinasi rasa perih dan gatal luar biasa di sekujur tubuhlah yang membuat saya tersadar sepagi itu. Penasaran dengan apa yang terjadi, dengan segera saya beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi. Pemandangan di cermin kamar mandi saat itu benar-benar membuat saya bangun. Setiap jengkal kulit saya tampak memerah dan jelas terlihat bilur-bilur bekas garukan.  Sebagai informasi, saya adalah satu dari sedikit manusia yang mempunyai kondisi kulit Dermatographic. Apa itu Dermatographic? Baca sendiri lah ya. Yang jelas, kondisi kulit merah, bilur, bengkak dan pedih bukan satu hal yang baru untuk saya. Walaupun itu pertama kalinya saya mengalami separah ini. Jadi pertanyaan besar saya malam itu sebetulnya lebih pada kenapa saya tiba-tiba saja gatal-gatal?
Mengingat penasaran di jam 2 pagi itu sama sekali tidak efektif, maka setelah menunaikan panggilan alam, saya putuskan untuk kembali tidur bersama rasa gatal tadi. Baru beberapa detik berdiri, masih di kamar mandi, saya merasa pusing, terdengar dengung statis di telinga dan diikuti dengan pandangan yang tiba-tiba menggelap. Tanda-tanda saya kalau mau pingsan. Segera saja saya berjongkok untuk menstabilkan aliran darah ke kepala. Perlu beberapa detik hingga akhirnya pandangan saya kembali normal dan pusing di kepala juga berkurang.
Pelan-pelan saya kembali berdiri dan beranjak keluar kamar mandi. Baru satu dua langkah dari pintu, kembali saya rasakan hal yang sama. Sebetulnya saya tahu kasur tinggal 2 langkah lagi, tapi daripada beneran pingsan dan bikin panik 3 teman sekamar saya malam itu, saya berusaha menetralkan blood pressure ke otak dengan kembali “melantai”. Begitu kembali normal, tanpa buang waktu saya segera saja berguling lagi di kasur sebelum “serangan” gejala pingsan tadi datang lagi.
Sambil bergelung di bawah selimut, saya berfikir apa yang terjadi. Gatal, rash skin, gejala-gejala pingsan. Apa gula darah saya turun? Lah, bangun tidur kok gula darah rendah? Gatal-gatal karena alergi? Alergi apa? Sangat tidak mungkin kalau tiba-tiba saya alergi seafood. Beberapa menit berfikir sambil menunggu kantuk kembali datang, saya baru menyadari satu hal. Ini kenapa kamar jadi dingin banget? Seolah-olah suhu ruangan tiba-tiba drop beberapa derajat. ACnya rusak? Saya layangkan pandangan ke teman di kasur sebelah  yang tampak nyaman saja tidur, bahkan di luar selimut. Well, kalau yang lain tampak tidak kedinginan, bearti tidak ada masalah dengan AC. Trus kenapa saya serasa di atas gunung? Akhirnya dengan susah payah, saya memaksakan tidur malam itu. Rentang 5 jam saya habiskan dengan menggigil, tidur, bangun, gatal-gatal, garuk-garuk, kedinginan, tidur lagi, bangun lagi.
Jam 7 pagi, masih dengan sedikit berkunang-kunang dan beberapa kali mau pingsan (walaupun “serangan”nya tidak sehebat waktu malam) saya menyiapkan sarapan, biasa roti dengan jam plus kopi susu. Ceritanya si mau menguji asumsi semalam bahwa gula darah saya drop. Siapa tahu dengan sarapan ini membantu gula darah normal lagi. Jadilah saya pagi itu menikmati sarapan di teras cottage ditemani semilir angin pantai dan suara debur santai ombak.
Cottage? Pantai? Ombak? Nah, ceritanya, sehari sebelumnya, saya dan beberapa teman iseng mengisi libur akhir minggu bertualang ke salah satu pulau di pesisir timur Malaysia. Mana lagi kalau bukan Tioman. Belum puas dengan agenda snorkeling, snorkeling dan snorkeling setengah hari di Sabtu, sebetulnya kami berencana snorkeling lagi pagi itu sebelum check out.
Sayangnya buat saya, rencana tinggal rencana. Karena sehabis sarapan, gejala puyeng masih saja terasa. Bahkan menurut teman-teman, suhu badan saya cukup tinggi. Saya, walaupun tidak bisa merasa kalau sedang demam, tidak cukup nekat untuk melanjutkan rencana snorkeling dengan kepala yang sesekali berkunang-kunang yang tidak juga kunjung hilang dengan 2 dosis paracetamol. Yah, apa boleh buat, pingsan di tengah laut pas snorkeling pasti bukan judul headline yang bagus.

A Journey to A & E
Singkat cerita, as scheduled, walaupun molor 2 jam, sore itu kami bertolak kembali ke daratan. Sekitar jam 10 malam, kami menginjakkan kaki di checkpoint. Dikawal seorang teman, malam itu juga saya, yang masih gatal-gatal dan keukeuh tidak merasa demam, bertaksi ke clinic 24 jam dekat rumah saya. Idenya, periksa, dapat obat terus pulang. Sampai di clinic, seperti biasa sebelum sesi dengan dokter, nurse di resepsionis mengukur suhu badan terlebih dahulu. Dan yak, 39.9°C Saudara-Saudara! Mungkin karena tidak disertai dengan pilek, pusing dan segala macam lainnya, saya tidak terlalu merasa kalau demam. Walaupun sempat terpikir, “Mam, termometernya ga rusak kan?”
Beberapa menit kemudian saya pun diperiksa dokter. Diperiksa di sini hanya berupa pertanyaan-pertanyaan yang 90% saya jawab “No”.
                “Running nose? Vomit? Headache? Stomached? Diarrhea? ”
“No.”
                “Recently travelled from overseas?”
“Yes, just back from Tioman. And I just feel itchy all over my body and fever. That’s all.”
                “It can be anything. In fact, you just back from rural area. OK, I’ll give you reference letter to A&E.” 
What??! Tapi apa boleh buat, karena dokter di klinik tidak mau memberi obat, jadilah tengah malam itu, untuk pertama kalinya saya mengunjungi UGD dalam kapasitas sebagai pasien karena gatel-gatel. Ga terlalu keren, huh? I know.
Dengan pertimbangan jarak dan biaya, kami menuju salah satu government hospital di daerah Novena. Sampai di sana, karena tidak ada dari kami berdua yang tampak seperti orang sakit, butuh beberapa kali bertanya sebelum akhirnya bisa registrasi. Sekitar 15-30 menit menunggu, nama saya dipanggil untuk pemeriksaan oleh beberapa suster cantik. Pertama, kembali diukur suhu tubuh. Kali ini tepat 40°C. Well, setidaknya saya tahu satu hal, thermometer di clinic tidak rusak.  K
OK, silakan sebut saya norak, tapi to be honest, sebetulnya pagi itu saya sedikit overexcited. Plus ngantuk si tentu saja. Karena keseluruhan  pemeriksaan baru selesai jam 4 pagi. Thanks untuk teman saya yang menemani sampai rumah, setidaknya bikin saya ga kaya anak ilang di UGD.
Ngapain saja di A&E sampai jam 4 pagi? Pertama, menunggu test darah keluar. Karena tidak ada gejala-gejala selain panas tinggi dan rash all over my body, dokter tidak bisa menyimpulkan apa pun tanpa lab test. Sekitar 2 jam, hasil test darah dan ECG keluar. Semua dalam range normal, kecuali tentu saja sel darah putih yang 4-5 kali dari normal. Karena masih tidak jelas apa yang terjadi, dokter meminta saya untuk X-Ray dan urine test. Maka menunggulah kami lagi sekitar 1 jam. Ketika hasil X-Ray dan urine semuanya juga normal, bingunglah dokternya.
Akhirnya, setelah membekali saya dengan resep dan surat pengantar ke outpatient clinic (untuk pemeriksaan lanjut 2 hari kemudian), dokter membolehkan saya pulang. Apalagi mengingat, setelah 2 pil paracetamol dan 2 kantung infuse, demam saya mulai turun ke 38°C.
Itulah kenapa saya bilang tadi saya overexcited plus norak. Selain pertama kalinya saya ke UGD sebagai pasien, pagi itu untuk pertama kalinya juga saya diinfus, ECG test, dan wandering around UGD dengan kursi roda. What a story.
Bagian selanjutnya adalah bagian yang cukup mendebarkan. Bayar bill. Dengan segitu banyaknya test dan penanganan tengah malam di UGD, wajar lah kalau saya berfikir setidaknya akan merogoh dompet sekitar 200 sampai 300 dollar. Apalagi sebelumnya, di klinik, yang hanya memberi saya surat pengantar saja, menagih bill 60 dollar (masih tidak habis pikir). Ternyata ketika bill keluar, saya hanya perlu membayar S$95 saja. Tidak lebih dari Rp 700,000!
Belakangan, dari kuitansi, saya baru tahu ternyata seharusnya total yang harus saya bayar lebih dari 200 dollar. Tapi ada subsidi government sekitar 60% dari tagihan. Jujur, subsidi gov tadi sedikit mengejutkan saya, karena status saya di negara ini yang hanya sebagai orang asing pemegang visa migrant worker, bukan permanent resident.
Setelah dari kasir, saya menuju apotik untuk mengambil obat. Tebak apa obat yang diresepkan oleh dokter saya pagi itu? Yap, the one and only, a bunch of paracetamol. *ngerujak paracetamol

Sakit di negeri orang (atau negeri sendiri)
Selama tinggal di Indonesia saya bisa dibilang cukup jarang sakit. Well, pada dasarnya saya memang cukup jarang sakit serius. Paling sering juga flu, itu pun kondisi terberat hanya saya alami 1-2 kali setahun. Atau maag, kalau ini walaupun cukup sering, biasanya saya bisa menanganinya sendiri dengan resep andalan dari dokter saya, minum susu.
Karena pada umumnya dari company ada medical support untuk dokter visit dan hospitalization, saya awalnya merasa tidak terlalu perlu khawatir kalau sakit. Biasanya saya hanya perlu ke klinik-klinik tertentu yang ditunjuk perusahaan, menunjukkan staff ID, dan that’s all, biaya pengobatan dan konsultasi gratis. Sementara kalau datang ke dokter di klinik yang di luar daftar yang ditunjuk, bisa claim sebesar $20 per visit. Nah, masalahnya sekarang, sepulang saya dari A&E, saya masih harus beberapa kali check up ke klinik rumah sakit (tidak ada dalam list company clinic). Yang bearti setiap kali visit hanya akan bisa saya klaim $20, padahal untuk sekali konsultasi dokter saja, bisa mencapai 40-50 dollar. Itu hanya konsultasi dokter, belum obat dan lab test kalau ada.
Sementara dalam kasus saya yang tidak terlalu jelas ujung pangkalnya, saya perlu beberapa kali ke klinik dan perlu test darah untuk beberapa sample. Kalau saya tidak salah ingat ada lebih dari selusin test darah yang dilakukan. Harga tiap test bervariasi antara beberapa dollar sampai beberapa ratus dollar. Yak, beberapa ratus dollar yang tidak akan tercover company insurance.
In the end, total jendral pengeluaran selama saya “menikmati” cuti sakit seminggu di rumah itu lebih dari S$1000. Dan hampir 90% dari angka itu saya gunakan untuk sekian banyak test lab saja, bukan treatment (karena ketidakjelasan penyakitnya). Angka yang harus saya sebutkan untuk menggambarkan betapa mahal ongkos sakit di negara ini. Jujur, ketika membobol tabungan sebesar itu, pasti ada rasa rela tidak rela. Antara “Gila!!” dan “Apa boleh buat lah..”.
Moral cerita si, jaga kesehatan baik-baik. Kita baru akan sadar betapa berharganya hidup kita ketika kita diminta untuk membayar tiap detik kesempatan kita bisa bernafas atau tiap degup jantung kita berdetak. Usahakan mempunyai dana darurat yang cukup untuk keadaan-keadaan yang tidak terduga. Well, shit happened anyway.
Dan last but not least, usahakan untuk punya asuransi kesehatan pribadi dan tidak tergantung pada asuransi perusahaan. Minimal asuransi untuk kecelakaan dan rumah sakit. Asuransi jiwa mungkin bisa jadi prioritas kedua, kalau Anda merasa bertanggung jawab akan hidup orang-orang yang Anda cintai sepeninggalan Anda. Oh, saya bukan insurance agent, bukan juga orang yang bekerja di salah satu perusahaan asuransi. Saya hanya orang yang merasakan leganya ketika tabungan saya kembali utuh setelah claim asuransinya disetujui.
Yep, in the end bukan saya kok yang membayar semua pengeluaran tadi. Semua dibayarkan kembali oleh asuransi kesehatan saya sampai hitungan sen. Akhirnya, untuk pertama kalinya selama 1.5 tahun menjadi policy holder sebuah asuransi, saya merasakan manfaat dari apa yang saya bayar tiap bulan.
Ngomong-ngomong, asuransi yang saya punya (dalam kasus ini) adalah asuransi kecelakaan (accident insurance). Beberapa bulan sebelumnya, mungkin sekitar awal tahun, saya sempat menyeletuk ke ibu saya, “Ngerasa rugi ambil asuransi kecelakaan, orang aku ga bawa kendaraan sendiri. Kapan pakainya?”
Ibu saya langsung menyahut dengan sewot, “Mending kamu bayar terus dan ga pernah pakai!! Orang aneh.”

Yah, so mungkin sakit kemarin itu cara Tuhan menjawab pertanyaan saya.

***