Sebuah pagi di sebuah pulau in the middle of nowhere
Baru
beberapa menit lewat dari jam 2 pagi. Itu informasi yang saya dapatkan dari Xe,
HP saya, beberapa saat setelah saya sepenuhnya sadar dari tidur. Kombinasi rasa
perih dan gatal luar biasa di sekujur tubuhlah yang membuat saya tersadar
sepagi itu. Penasaran dengan apa yang terjadi, dengan segera saya beranjak dari
tempat tidur menuju kamar mandi. Pemandangan di cermin kamar mandi saat itu
benar-benar membuat saya bangun. Setiap jengkal kulit saya tampak memerah dan
jelas terlihat bilur-bilur bekas garukan. Sebagai informasi, saya adalah
satu dari sedikit manusia yang mempunyai kondisi kulit Dermatographic. Apa itu
Dermatographic? Baca sendiri lah ya. Yang jelas, kondisi kulit merah, bilur,
bengkak dan pedih bukan satu hal yang baru untuk saya. Walaupun itu pertama
kalinya saya mengalami separah ini. Jadi pertanyaan besar saya malam itu
sebetulnya lebih pada kenapa saya tiba-tiba saja gatal-gatal?
Mengingat
penasaran di jam 2 pagi itu sama sekali tidak efektif, maka setelah menunaikan
panggilan alam, saya putuskan untuk kembali tidur bersama rasa gatal tadi. Baru
beberapa detik berdiri, masih di kamar mandi, saya merasa pusing, terdengar
dengung statis di telinga dan diikuti dengan pandangan yang tiba-tiba
menggelap. Tanda-tanda saya kalau mau pingsan. Segera saja saya berjongkok
untuk menstabilkan aliran darah ke kepala. Perlu beberapa detik hingga akhirnya
pandangan saya kembali normal dan pusing di kepala juga berkurang.
Pelan-pelan
saya kembali berdiri dan beranjak keluar kamar mandi. Baru satu dua langkah
dari pintu, kembali saya rasakan hal yang sama. Sebetulnya saya tahu kasur
tinggal 2 langkah lagi, tapi daripada beneran pingsan dan bikin panik 3 teman
sekamar saya malam itu, saya berusaha menetralkan blood pressure ke otak dengan
kembali “melantai”. Begitu kembali normal, tanpa buang waktu saya segera saja
berguling lagi di kasur sebelum “serangan” gejala pingsan tadi datang lagi.
Sambil
bergelung di bawah selimut, saya berfikir apa yang terjadi. Gatal, rash skin,
gejala-gejala pingsan. Apa gula darah saya turun? Lah, bangun tidur kok gula
darah rendah? Gatal-gatal karena alergi? Alergi apa? Sangat tidak mungkin kalau
tiba-tiba saya alergi seafood. Beberapa menit berfikir sambil menunggu kantuk
kembali datang, saya baru menyadari satu hal. Ini kenapa kamar jadi dingin
banget? Seolah-olah suhu ruangan tiba-tiba drop beberapa derajat. ACnya rusak?
Saya layangkan pandangan ke teman di kasur sebelah yang tampak nyaman
saja tidur, bahkan di luar selimut. Well, kalau yang lain tampak tidak
kedinginan, bearti tidak ada masalah dengan AC. Trus kenapa saya serasa di atas
gunung? Akhirnya dengan susah payah, saya memaksakan tidur malam itu. Rentang 5
jam saya habiskan dengan menggigil, tidur, bangun, gatal-gatal, garuk-garuk,
kedinginan, tidur lagi, bangun lagi.
Jam
7 pagi, masih dengan sedikit berkunang-kunang dan beberapa kali mau pingsan
(walaupun “serangan”nya tidak sehebat waktu malam) saya menyiapkan sarapan,
biasa roti dengan jam plus kopi susu. Ceritanya si mau menguji asumsi semalam
bahwa gula darah saya drop. Siapa tahu dengan sarapan ini membantu gula darah
normal lagi. Jadilah saya pagi itu menikmati sarapan di teras cottage ditemani
semilir angin pantai dan suara debur santai ombak.
Cottage?
Pantai? Ombak? Nah, ceritanya, sehari sebelumnya, saya dan beberapa teman iseng
mengisi libur akhir minggu bertualang ke salah satu pulau di pesisir timur
Malaysia. Mana lagi kalau bukan Tioman. Belum puas dengan agenda snorkeling,
snorkeling dan snorkeling setengah hari di Sabtu, sebetulnya kami berencana
snorkeling lagi pagi itu sebelum check out.
Sayangnya
buat saya, rencana tinggal rencana. Karena sehabis sarapan, gejala puyeng masih
saja terasa. Bahkan menurut teman-teman, suhu badan saya cukup tinggi. Saya,
walaupun tidak bisa merasa kalau sedang demam, tidak cukup nekat untuk
melanjutkan rencana snorkeling dengan kepala yang
sesekali berkunang-kunang yang tidak juga kunjung hilang dengan 2
dosis paracetamol. Yah, apa boleh buat, pingsan di tengah laut pas snorkeling
pasti bukan judul headline yang bagus.
A Journey to A & E
Singkat
cerita, as scheduled, walaupun molor 2 jam, sore itu kami bertolak kembali ke
daratan. Sekitar jam 10 malam, kami menginjakkan kaki di checkpoint. Dikawal
seorang teman, malam itu juga saya, yang masih gatal-gatal dan keukeuh tidak
merasa demam, bertaksi ke clinic 24 jam dekat rumah saya. Idenya, periksa,
dapat obat terus pulang. Sampai di clinic, seperti biasa sebelum sesi dengan
dokter, nurse di resepsionis mengukur suhu badan terlebih dahulu. Dan yak,
39.9°C Saudara-Saudara! Mungkin karena tidak disertai dengan pilek, pusing dan
segala macam lainnya, saya tidak terlalu merasa kalau demam. Walaupun sempat
terpikir, “Mam, termometernya ga rusak kan?”
Beberapa
menit kemudian saya pun diperiksa dokter. Diperiksa di sini hanya berupa
pertanyaan-pertanyaan yang 90% saya jawab “No”.
“Running nose? Vomit? Headache? Stomached? Diarrhea? ”
“No.”
“Recently travelled from overseas?”
“Yes,
just back from Tioman. And I just feel itchy all over my body and fever. That’s
all.”
“It can be anything. In fact, you just back from rural area. OK, I’ll give you
reference letter to A&E.”
What??! Tapi apa boleh buat, karena dokter
di klinik tidak mau memberi obat, jadilah tengah malam itu, untuk pertama
kalinya saya mengunjungi UGD dalam kapasitas sebagai pasien karena gatel-gatel.
Ga terlalu keren, huh? I know.
Dengan
pertimbangan jarak dan biaya, kami menuju salah satu government hospital di
daerah Novena. Sampai di sana, karena tidak ada dari kami berdua yang tampak
seperti orang sakit, butuh beberapa kali bertanya sebelum akhirnya bisa
registrasi. Sekitar 15-30 menit menunggu, nama saya dipanggil untuk pemeriksaan
oleh beberapa suster cantik. Pertama, kembali diukur suhu tubuh. Kali ini tepat
40°C. Well, setidaknya saya tahu satu hal, thermometer di clinic tidak rusak. K
OK,
silakan sebut saya norak, tapi to be honest, sebetulnya pagi itu saya sedikit
overexcited. Plus ngantuk si tentu saja. Karena keseluruhan pemeriksaan
baru selesai jam 4 pagi. Thanks untuk teman saya yang menemani sampai rumah,
setidaknya bikin saya ga kaya anak ilang di UGD.
Ngapain saja di A&E sampai jam 4
pagi? Pertama, menunggu test darah keluar. Karena tidak ada gejala-gejala
selain panas tinggi dan rash all over my body, dokter tidak bisa menyimpulkan
apa pun tanpa lab test. Sekitar 2 jam, hasil test darah dan ECG keluar. Semua
dalam range normal, kecuali tentu saja sel darah putih yang 4-5 kali dari
normal. Karena masih tidak jelas apa yang terjadi, dokter meminta saya untuk
X-Ray dan urine test. Maka menunggulah kami lagi sekitar 1 jam. Ketika hasil
X-Ray dan urine semuanya juga normal, bingunglah dokternya.
Akhirnya, setelah membekali saya dengan
resep dan surat pengantar ke outpatient clinic (untuk pemeriksaan lanjut 2 hari
kemudian), dokter membolehkan saya pulang. Apalagi mengingat, setelah 2 pil
paracetamol dan 2 kantung infuse, demam saya mulai turun ke 38°C.
Itulah kenapa saya bilang tadi saya
overexcited plus norak. Selain pertama kalinya saya ke UGD sebagai pasien, pagi
itu untuk pertama kalinya juga saya diinfus, ECG test, dan wandering around UGD
dengan kursi roda. What a story.
Bagian selanjutnya adalah bagian yang cukup
mendebarkan. Bayar bill. Dengan segitu banyaknya test dan penanganan tengah
malam di UGD, wajar lah kalau saya berfikir setidaknya akan merogoh dompet
sekitar 200 sampai 300 dollar. Apalagi sebelumnya, di klinik, yang hanya
memberi saya surat pengantar saja, menagih bill 60 dollar (masih tidak habis
pikir). Ternyata ketika bill keluar, saya hanya perlu membayar S$95 saja. Tidak
lebih dari Rp 700,000!
Belakangan, dari kuitansi, saya baru tahu
ternyata seharusnya total yang harus saya bayar lebih dari 200 dollar. Tapi ada
subsidi government sekitar 60% dari tagihan. Jujur, subsidi gov tadi sedikit mengejutkan
saya, karena status saya di negara ini yang hanya sebagai orang asing pemegang
visa migrant worker, bukan permanent resident.
Setelah dari kasir, saya menuju apotik
untuk mengambil obat. Tebak apa obat yang diresepkan oleh dokter saya pagi itu?
Yap, the one and only, a bunch of paracetamol. *ngerujak paracetamol
Sakit di negeri orang
(atau negeri sendiri)
Selama tinggal di Indonesia saya bisa
dibilang cukup jarang sakit. Well, pada dasarnya saya memang cukup jarang sakit
serius. Paling sering juga flu, itu pun kondisi terberat hanya saya alami 1-2
kali setahun. Atau maag, kalau ini walaupun cukup sering, biasanya saya bisa
menanganinya sendiri dengan resep andalan dari dokter saya, minum susu.
Karena pada umumnya dari company ada
medical support untuk dokter visit dan hospitalization, saya awalnya merasa
tidak terlalu perlu khawatir kalau sakit. Biasanya saya hanya perlu ke
klinik-klinik tertentu yang ditunjuk perusahaan, menunjukkan staff ID, dan that’s
all, biaya pengobatan dan konsultasi gratis. Sementara kalau datang ke dokter
di klinik yang di luar daftar yang ditunjuk, bisa claim sebesar $20 per visit. Nah,
masalahnya sekarang, sepulang saya dari A&E, saya masih harus beberapa kali
check up ke klinik rumah sakit (tidak ada dalam list company clinic). Yang bearti
setiap kali visit hanya akan bisa saya klaim $20, padahal untuk sekali
konsultasi dokter saja, bisa mencapai 40-50 dollar. Itu hanya konsultasi
dokter, belum obat dan lab test kalau ada.
Sementara dalam kasus saya yang tidak
terlalu jelas ujung pangkalnya, saya perlu beberapa kali ke klinik dan perlu test
darah untuk beberapa sample. Kalau saya tidak salah ingat ada lebih dari
selusin test darah yang dilakukan. Harga tiap test bervariasi antara beberapa
dollar sampai beberapa ratus dollar. Yak, beberapa ratus dollar yang tidak akan
tercover company insurance.
In the end, total jendral pengeluaran selama
saya “menikmati” cuti sakit seminggu di rumah itu lebih dari S$1000. Dan hampir
90% dari angka itu saya gunakan untuk sekian banyak test lab saja, bukan
treatment (karena ketidakjelasan penyakitnya). Angka yang harus saya sebutkan untuk
menggambarkan betapa mahal ongkos sakit di negara ini. Jujur, ketika membobol
tabungan sebesar itu, pasti ada rasa rela tidak rela. Antara “Gila!!” dan “Apa
boleh buat lah..”.
Moral cerita si, jaga kesehatan baik-baik. Kita
baru akan sadar betapa berharganya hidup kita ketika kita diminta untuk
membayar tiap detik kesempatan kita bisa bernafas atau tiap degup jantung kita
berdetak. Usahakan mempunyai dana darurat yang cukup untuk keadaan-keadaan yang
tidak terduga. Well, shit happened anyway.
Dan last but not least, usahakan untuk
punya asuransi kesehatan pribadi dan tidak tergantung pada asuransi perusahaan.
Minimal asuransi untuk kecelakaan dan rumah sakit. Asuransi jiwa mungkin bisa
jadi prioritas kedua, kalau Anda merasa bertanggung jawab akan hidup
orang-orang yang Anda cintai sepeninggalan Anda. Oh, saya bukan insurance
agent, bukan juga orang yang bekerja di salah satu perusahaan asuransi. Saya hanya
orang yang merasakan leganya ketika tabungan saya kembali utuh setelah claim
asuransinya disetujui.
Yep, in the end bukan saya kok yang
membayar semua pengeluaran tadi. Semua dibayarkan kembali oleh asuransi
kesehatan saya sampai hitungan sen. Akhirnya, untuk pertama kalinya selama 1.5
tahun menjadi policy holder sebuah asuransi, saya merasakan manfaat dari apa
yang saya bayar tiap bulan.
Ngomong-ngomong, asuransi yang saya punya (dalam
kasus ini) adalah asuransi kecelakaan (accident insurance). Beberapa bulan
sebelumnya, mungkin sekitar awal tahun, saya sempat menyeletuk ke ibu saya, “Ngerasa
rugi ambil asuransi kecelakaan, orang aku ga bawa kendaraan sendiri. Kapan pakainya?”
Ibu saya langsung menyahut dengan sewot, “Mending
kamu bayar terus dan ga pernah pakai!! Orang aneh.”
Yah, so mungkin sakit kemarin itu cara
Tuhan menjawab pertanyaan saya.
***