I'm Not A Caffeine Addict, Am I?


Selayaknya orang yang lahir dan dibesarkan di negeri gemah ripah loh jinawi yang terkenal dengan beragam kopi kualitas dunia, Indonesia, dari kecil saya akrab dengan bubuk hitam ini. Mulai dari kopi instan, 3 in 1, yang tinggal tuang air panas, hingga butiran utuh biji kopi. Saya ingat masa kecil saya masih menyempati menikmati harum kopi yang baru saja digongso nenek saya di dapur. Digongso dengan potongan-potongan kelapa kemudian ditumbuk di lesung sebelum terhidang di atas meja dengan wangi menggoda. 

Gelas-gelas kopi pertama saya tentu saja berasal dari gelas kopi Ayah tiap pagi dan sore. Satu dua teguk saja tentu. Tawaran Ibu untuk membuatkan kopi terpisah tidak pernah saya iyakan. Tidak ada yang lebih enak dari kopi di gelas Ayah. Saya hanya akan membuat segelas kopi untuk saya sendiri ketika masuk musim ujian. Segelas kopi pahit kental sehitam langit jam sepuluh malam, sudah menjadi kebiasaan untuk melengkapi sistem kebut semalam. 
Hanya sebatas itu saja hubungan saya dan kopi. Tidak pernah lebih jauh. Bahkan hingga akhirnya saya meninggalkan rumah untuk kuliah. Saat itu, karena tidak lagi ada gelas kopi Ayah, praktis jadwal minum kopi saya hanya ketika malam ujian. Itupun bukan dengan tujuan bersenang-senang. Well, empat sachet Nescafe Classic yang diseduh dalam secangkir kecil air panas tanpa gula memang tidak bisa dibilang sebagai cara bersantai kan? Tapi yang jelas cangkir itu efektif untuk menjaga mata dan otak saya tetap pada tempatnya semalaman.
Ketika mulai kerja, ketika hidup mulai santai, ketika begadang saya lebih sering ditemani ocehan teman-teman atau film tengah malam, kopi bukan lagi pilihan. Kehadiran kopi hanyalah pelengkap cara bersenang-senang atau sekadar ganjal mata selepas makan siang. 
Hingga dua setengah tahun lalu, ketika saya memutuskan untuk mendisiplinkan diri sarapan pagi. Dan setelah puluhan kali mencoba segala kombinasi teman sarapan, pilihan lidah saya jatuh pada segelas susu kopi. Sesendok penuh kopi, diencerkan dengan sedikit air panas, dan dilengkapi segelas penuh susu low fat high calcium cair. Kopi yang sama, susu yang sama, dan takaran yang sama untuk memulai pagi di waktu yang sama selama dua tahun. 
A lovely routine I can say. Namun karena rutin itu melibatkan kopi dan susu tertentu, saat tidak mungkin mendapat kopi dan susu yang sama, saya lebih sering memilih untuk melewatkan rutin pagi saya. Saat saya jalan-jalan ke luar kota misalnya. Kenyataan bahwa saya biasanya tetap bisa berfungsi normal ketika absen dari kopi membuat saya mengklaim diri sebagai bukan pecandu kafein. 
Hingga akhir minggu kemarin. Ketika saya pulang ke rumah orangtua untuk menghadiri pernikahan saudara.
Sebetulnya saya baru memulai perjalanan Jumat siang. Tapi karena satu dan lain hal, stok susu di kulkas sudah habis dari Kamis pagi. Karena kuatir rusak selama saya tinggal pergi, saya sengaja tidak beli susu hari itu. Jadilah saya melewatkan sarapan Jumat pagi tanpa kopi. No big deal, as usual.
Sabtu malam, setelah semua acara selesai, saya mulai merasa tidak nyaman di kepala. Bukan migraen, bukan juga karena gigi bungsu saya berulah. Dugaan pertama saya tentu saja kecapekan, setelah seharian penuh dengan kesibukan. Atau kebanyakan makan. Maklum, we got the party, Dear...
Minggu pagi, bahkan setelah tidur sekian jam lamanya, sakit kepala itu masih setia menyertai saya. Rasanya seperti ada yang sesekali mencengkeram kepala saya. Sensasinya bisa datang selama beberapa detik sampai beberapa menit. Walaupun begitu, saya masih cuek-cuek saja. Paling sesekali meringis kalau serangan cengkeraman tadi datang. Minggu malam, frekuensi sakit kepala makin menjadi. Cengkeraman yang tadinya saya anggap lucu-lucuan, jadi makin tidak lucu lagi. Yang tadinya hanya membuat saya meringis, malam itu sudah sanggup membuat saya menggeretakkan geraham sambil guling-guling di karpet depan tivi.
Saya mulai memaksakan diri mencari kemungkinan penyebab sakit kepala sialan itu. Mungkin karena apa yang  saya makan? Sup iga sapi atau bistik daging? Skip, saya tidak punya masalah dengan daging sapi. Sate kambing? Tidak mungkin, saya bahkan hanya makan satu tusuk. Mangga? Makin tidak masuk akal. Nah, kalau bukan karena makanan yang saya makan dua hari terakhir, bagaimana dengan yang tidak saya makan dua hari terakhir? Setengah tidak yakin, saya ingat bahwa saya belum minum kopi tiga hari terakhir. Masa karena lack of caffeine?

Singkat cerita, segelas kopi kental menemani saya melanjutkan acara menonton tivi malam itu. Setelah segelas tandas dan tiga puluh menit menunggu, Evanesco!, sakit kepala saya hilang dan kantukpun datang. Malam itu tubuh saya mencumbu yang dirindu, caffeine.

Dan pagi ini, berteman susu kopi dan sekerat roti gandum, saya tercenung di depan laptop. Betapa kadang kita tidak menghargai apa yang kita punya, sebelum kita kehilangan. Kali ini, caffeine untuk tubuh saya. Lain kali, mungkin, seseorang di recent call telepon genggam saya, atau senarai pesan singkat yang biasa membuka pagi saya. Or even worse, detak jantung saya. Mungkin, kejadian minggu lalu itu cara semesta untuk mengingatkan saya to slow down my phase, pay more attention of what I have and to not just take it for granted every single second of my life.


Oh ya, so kesimpulannya apa saya pecandu kafein? Hmm… nope, I’m not a caffeine addict. My body is.

***

Kolesterol: Timbangan vs Gaya Hidup

Dislaimer, saya bukan praktisi kesehatan, saya juga bukan tukang jualan obat atau semacamnya. Tulisan ini hanya berdasarkan pengalaman pribadi dan beberapa hasil bacaan di internet.
Trus tujuan nulis postingan ini apa? Ga ada. Cuma pengen nulis aja, namanya juga di blog sendiri, suka-suka saya lah ya. Tapi kalau sampai takdir membuat Anda membacanya dan jadi termotivasi, ya anggap saja kita impas. Pageview blog saya naik dan Anda mendapatkan manfaat dari waktu yang terbuang membaca postingan ini. Syukur-syukur manfaatnya tidak berhenti di Anda, jadi bisa dibagikan ke orang lain gitu maksudnya. (Terus kapan mau nulis inti postingannya? *digampar seinternet setanah air)
Saya berasal dari keluarga dengan sejarah kesehatan jantung dan kardiovaskular yang bisa dibilang tidak cukup bagus. Setidaknya dari pihak keluarga ibu. Kakek saya meninggal karena penyakit jantung. Nenek saya merupakan pasien tetap dokter jantung di kota saya. Tahun lalu, Pak Dhe saya sempat opname cukup lama karena stroke. Sampai sekarang beliau, meskipun sudah jauh lebih baik, masih menjalani perawatan rutin di rumah.
Yang terakhir beberapa bulan lalu, Om saya yang pergi konsultasi ke dokter dengan keluhan mudah capek dan leher kaku, pulang dengan membawa segepok obat-obatan penurun kolesterol dan tekanan darah plus hasil lab checkup yang mencengangkan. Saya bilang mencengangkan karena di bilangan usianya yang masih sangat muda, pertengahan 30an, kadar kolesterol dalam darahnya sangat tinggi. Belum lagi tekanan darah dan beberapa hasil lab di urine (saya lupa apa saja). Hampir semua jauh di atas ambang normal. Tinggi. Saya mulai berfikir, damn…how about me?
Apa dan bagaimana kolesterol bisa jadi tertuding utama dalam menentukan kesehatan pembuluh darah dan jantung seseorang si? Kolesterol adalah senyawa lemak berlilin yang sebagian besar diproduksi tubuh di dalam liver dari makanan berlemak yang kita makan. Kolesterol diperlukan tubuh untuk membuat selaput sel, membungkus serabut saraf, membuat berbagai hormon dan asam tubuh. Jadi, pada jumlah yang tepat, kolesterol sangat diperlukan oleh tubuh. Kondisi kolesterol yang rendah, mempunyai kecenderungan menyerang kondisi psikologis. Risiko yang bisa kita dapatkan adalah depresi, keinginan untuk bunuh diri, masalah pada sistem syaraf dan lain sebagainya.
Karena kolesterol merupakan senyawa lemak, dia tidak bisa serta merta begitu saja terangkut dalam darah, karena sifatnya yang tidak larut dalam air. Untuk beredar dalam darah , kolesterol diangkut dalam molekul “pengangkut” yang disebut lipoprotein. Ada dua jenis lipoprotein, yaitu high density lippoprotein (HDL) dan low density lipoprotein (LDL). Nah, kedua lipoprotein ini lah yang dijadikan patokan seberapa tinggi/rendah tingkat kolesterol dalam darah.
Sekilas LDL dan HDL, umpamakan sebagai 2 lipoprotein ini sebagai truk pengangkut material berbahaya (tapi dibutuhkan oleh sel). LDL adalah truk yang bertanggungjawab membawa kolesterol dari liver ke sel. Bila terlalu banyak LDL, akibatnya kolesterol akan menumpuk di dinding-dinding arteri dan menyebabkan sumbatan arteri (aterosklerosis). Sedangkan HDL merupakan truk sweeper yang membawa kembali kolesterol dari sel ke liver. Jika HDL rendah, bearti tidak ada pasukan penyapu yang bertugas di pembuluh darah. Di dalam darah, semakin tinggi komposisi HDL semakin baik, sedangkan LDL harus dijaga tetap rendah.
Itu mengapa kita mengenal LDL sebagai kolesterol jahat dan HDL sebagai kolesterol baik. Padahal sebetulnya mereka cuma bertanggungjawab pada tugasnya saja. Mereka kan ga salah apa-apa? Mengapa harus ada sebutan itu? Ini tidak adil!! *plak*
OK, kembali ke soal kolesterol. Satu lagi komponen lemak dalam darah yang sering digunakan sebagai patokan kesehatan kardiovaskular, trigliserida. Trigliserida adalah sejenis lemak dalam darah Anda yang bermanfaat sebagai sumber energi. Bila Anda makan lebih dari yang diperlukan tubuh, kelebihan kalori Anda akan disimpan sebagai trigliserida dalam sel-sel lemak untuk penggunaan selanjutnya. Trigliserida dalam kadar normal sangat diperlukan tubuh.
Jadi, intinya adalah, sebagai mana banyak hal lainnya dalam hidup, tiga komponen tadi dalam jumlah tertentu sangat dibutuhkan oleh tubuh. Tidak boleh terlalu sedikit, tidak boleh terlalu banyak. Yang sedang-sedang saja. 
Ada banyak hal yang mempengaruhi level HDL dan LDL dalam darah. Makanan adalah salah satu factor terpenting. Selain itu, berat badan sering kali dituding sebagai pendukung tingginya kolesterol darah.
Nah, ini dia. Berat badan. Stereotype yang beredar dalam masyarakat kita adalah orang yang berbadan gemuk, pasti punya banyak lemak, bearti tingkat kolesterolnya tinggi, dan yang bearti kesehatan kardiovaskularnya buruk. Di satu sisi, saya senang dengan stereotype ini, karena dengan begitu, saya yang notabenenya punya berat badan di atas rata-rata perempuan (iya..iya…bilang aja gendut!) lebih aware dengan kadar kolesterol dan kesehatan pembuluh darah saya.
Tapi, di sisi lain, stereotype ini membuat orang-orang berfikir bahwa kalau kurus maka tingkat kolesterolnya rendah dan mereka aman dari penyakit kardiovaskular.
Nope, that’s wrong.
Tapi di sini saya tidak akan menulis soal bahwa orang kurus juga ada kemungkinan punya kolesterol tinggi tentu saja. Karena, siapalah saya? Wong punya tubuh kurus aja ga pernah. *menerawang ke luar jendela*
*Balik lagi ke laptop* Analoginya begini. Kolesterol itu kan komponen lemak dalam darah. LDL dan HDL itu kan lipoprotein. Semua muter-muternya di darah kan?. Keliatan dari luar? Bisa diukur dari size baju? Enggak.
Lantas apakah itu bearti orang gemuk kecil kemungkinannya untuk punya kolesterol tinggi? Saya tidak bilang seperti itu! *tendang* Saya hanya mau bilang, timbangan itu hanya salah satu indikator, bukan harga mati.
Kolesterol itu berhubungan dengan gaya hidup. Orang berukuran tubuh massive built (iya, gendut!) asalkan punya gaya hidup aktif dan menjaga pola makan sehat, bukan mustahil mempunyai tingkat kolesterol dalam darah yang jauh lebih baik dari mereka yang kurus tapi lebih sering menghabiskan waktu luang di depan tivi misalnya. Bagaimana dengan orang gemuk yang hobi nonton tivi? Err…males bahas ah…
Kenapa saya berani bilang bahwa somehow kolesterol itu tidak berhubungan dengan berat badan tapi lebih ke gaya hidup? Ya karena saya bacanya gitu di artikel-artikel kesehatan di internet lah… *ambil payung buat tameng timpukan massa*
Iya..iya serius. Jadi, saya berani bilang seperti itu karena saya menjalaninya. A few years back, saya adalah orang yang tidak peduli dengan kolesterol. Saya masih mid-duapuluhan, merasa sehat-sehat saja, tidak ada keluhan apapun. Sakit flu aja jarang, ngapain mikir kolesterol? Hingga di akhir Dec 2009, saya menjalani medical checkup, hasil check up menunjukkan bahwa tingkat kolesterol dan tekanan darah saya cukup tinggi. Hampir semua berada di borderline high or high. Terus apa saya jadi menyesal, nangis-nangis, insyaf, trus berjanji hidup sehat? Enggak. Waktu itu mah saya tetap cuek. *toyor diri sendiri*
Setahun kemudian di awal Januari 2011, karena satu dan lain hal yang tidak berhubungan dengan kesehatan apalagi kolesterol, saya sedikit merubah gaya hidup. Yang tadinya olahraga cuma jogging keliling meja makan, mulai daftar gym. Yang tadinya kalau makan ga pake liat-liat apa yang dijejalkan ke mulut, jadi mulai benar-benar pay attention dengan apa yang mau dimakan. Singkatnya si saya melakukan apa yang perempuan-perempuan di luar sana sebut sebagai diet, hanya saja dengan cara yang relatif benar. Jaga pola makan dan olahraga.
Jujur, awalnya tidak mudah. Ribet? Iya. Capek? Banget. Merasa lebih sehat? Ga tahu, perasaan si sama aja, karena dari awalnya memang tidak merasa bermasalah sama kesehatan. Kelihatan hasilnya? Dikit banget-banget. Kurus? ENGGAK. *ga santai* (._.)/|diri sendiri|
Terus kenapa saya bertahan pada gaya hidup itu setelah lebih dari 1.5 tahun kalau ga merasa ada yang berubah? Karena it become a habit dan saya percaya tidak ada yang salah dengan gaya hidup itu.
Hingga bulan lalu, saya melakukan medical checkup lagi (dibayarin kantor, ga mau rugi). Sebelum hasilnya keluar pun, dengan apa yang saya jalani sekarang (walaupun timbangan tetap teriak-teriak kalau saya naiki), saya si yakin kolesterol saya jauh lebih baik dari 2 tahun lalu. Tapi ketika hasilnya keluar, saya tetap surprised. It works. Timbangan boleh menggonggong ribut, tapi kolesterol level tetap berlalu. #apeu
Saya mungkin orang yang beruntung. Saya mengubah gaya hidup kala itu dengan sukarela. Saya tidak perlu titik balik yang ekstrim, atau tamparan keras seperti ancaman kesehatan untuk memulainya. Cukup ukuran jeans si…#eh
Saya tahu, umur sudah ada yang mengatur. Mau hidup sok sehat kaya apapun, tetap aja kalau sudah waktunya ya mati aja. Tapi setidaknya I do my part. Saya berusaha bertanggungjawab atas apa yang bisa saya ubah. Hidup hanya sekali, mati juga cuma sekali. Masa cuma sekali harus dengan cara nyusahin orang lain si? Harapannya dengan ini saya mengurangi faktor resiko yang membuat hal sekali tadi less nyusahin lah…x
Apalagi kalau Anda sudah berkeluarga dan sampai di tahapan motivasi “ingin-melihat-anak-anak-tumbuh-besar”, masih mau nunggu apa? Olahraga dan jaga pola makan yuk…

****

MacRitchie for Jogger

Oxymoron memang kalau saya bilang saya lebih suka nature ketimbang belantara kota. Sedangkan keseharian saya tidak jauh dari beton-beton pencakar langit. Untungnya, kota kecil tempat saya mencari sebutir oat dan sesuap berlian ini cukup mengakomodir kecintaan terhadap alam bebas. Bukan sebebas-bebasnya alam seperti di negara saya tercinta tentu saja. Tapi untuk ukuran negara pulau dengan luas wilayah jauh lebih kecil daripada kabupaten asal saya, merelakan sebagian wilayah untuk ruang terbuka hijau tentu sangat bearti.

Hampir semua distrik di negara ini mempunyai taman kota. Mulai dari yang kecil di tiap-tiap block, sampai ke ukuran hektar. Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa Singapore masih menyisakan hutan seluas hampir 3000 hektar yang terletak di Central Catchment Nature Reserved. Beneran hutan dengan banyak flora dan fauna? Ya dan tidak. Kalau mengharap harimau Sumatra atau orangutan di sini ya jelas tidak mungkin. Tapi hutan ini merupakan habitat dari ratusan monyet, burung, tupai, ular dan ratusan species lainnya. Hidup harmonis berdampingan dengan makhluk-berkaki-dua-berjalan-tegak-bernama-manusia yang tinggal stone away dari mereka.
Fungsi utama dari kawasan hijau tadi tentu saja untuk daerah resapan air yang kemudian ditampung ke empat reservoir utama pulau ini, MacRitchieUpper SeletarUpper Peirce dan Lower Peirce. Selain itu, tempat ini juga merupakan semacam oase kecil akan kecintaan pada alam bagi penduduk di sini. Di tiap-tiap reservoir terdapat taman yang cukup besar lengkap sarana bermain untuk keluarga, tempat makan, toilet dan tentu saja jogging track. Khusus untuk fasilitas yang terakhir, saya bisa bilang MacRitchie merupakan reservoir dengan jogging track paling panjang.
Walaupun sebetulnya jogging di sini bisa dilakukan di mana saja mengingat pedestrian yang sangat dimanjakan, tapi jogging dengan diiringi kicauan burung, gemericik air dan riuh suara monyet tentu lebih seru dibandingkan dengan deru suara mobil. Maka tidak heran, hampir tiap akhir pekan, jam berapa saja, MacRithie selalu dipenuhi oleh para jogger dari segala usia. Jadi jika Anda merencanakan berkunjung ke Singapore, atau sudah tinggal di Singapore dan jenuh dengan segala yang berbau kota, tidak ada salahnya bertandang MacRithie. Baik itu untuk jogging, trecking, nature photography, atau sekadar melihat-lihat bagaimana usaha sebuah negara dengan kekayaan alam yang hampir nihil, mempertahankan apa yang mereka punya.


Khusus untuk yang tertarik ke sana dengan tujuan jogging atau tracking, berikut adalah hal-hal yang perlu diperhatikan:

1.       Rute

MacRitchie track merupakan continues loop track yang mengitari reservoir plus beberapa hektar hutan di sekelilingnya, dengan start/finish di MacRitchie Reservoir park. Ada beberapa rute yang bisa dipilih, mulai dari yang paling ringan 3 km sampai heavy track 11 km. 
Jika memutuskan untuk mengambil rute paling panjang, pertimbangkan juga no return point. Meskipun ini bukan jalan searah, jadi selalu masih bisa puter balik kalau memang sudah tidak bisa meneruskan, tapi ada titik di mana puter balik itu sama jauhnya atau bahkan lebih jauh daripada melanjutkan. Kalau saya bilang, no return point itu pas di Jelutong Tower. Baik dengan rute searah jarum jam maupun berlawanan arah dengan jarum jam, kalau sudah sampai di Jelutong Tower, ya terima nasib aja lah, karena bearti perjalanan Anda memang harus berlanjut setidaknya 5.5 km lagi.
2.       Waktu

Khusus untuk kunjungan ke Tree Top Walk, usahakan sampai di ranger station sebelum pukul 4.30 sore. Karena jembatan gantung ini tutup di jam 4.45 PM. Perhitungkan waktu perjalanan untuk sekitar 6 km (trek clockwise) atau 5 km (trek counterclockwise). Tapi kalau tujuannya hanya untuk jogging tanpa melewati tree top, bisa jam berapa saja.
Meskipun begitu, pertimbangkan juga tingkat pencahayaan selama dalam perjalanan. Lebih dari 80% trek adalah jalur dengan canopy yang cukup rapat. Pengalaman saya kemarin, memulai jogging pukul 5.45 sore (catatan: matahari tenggelam pukul 7.05), saya menghabiskan sebagian besar trek dalam gelap. Dan kalau Anda tipe orang yang takut gelap, percayalah, hutan ketika beranjak Magrib atau sebelum matahari terbit bukan tempat yang menyenangkan untuk dilewati sendirian.
3.       Barang Bawaan
a.        Baju ganti
Jogging dengan menggendong ransel isi baju ganti? Tentu tidak nyaman. Nah, di MacRitchie Reservoir Park, ada locker otomatis yang bisa digunakan. Ga gratis tentu saja.
Ada 2 ukuran locker yang bisa dipilih. Saran saya, usahakan bawa ransel atau bag yang kecil saja, karena harga sewa locker yang besar lebih mahal.
b.       Toiletries
Setelah jogging tidak perlu kuatir dengan badan penuh keringat lengket. Setahun belakangan ini MacRitchie meningkatkan fasilitas dengan menambahkan shower room. Airnya kenceng by the way. Tapi tentu saja, hanya menyediakan shower, bukan perlengkapan mandi. Jadi jangan lupa membawa sabun, shampoo dan perlengkapan mandi lainnya jika berniat membersihkan diri sebelum pulang.
c.        Botol air minum
Kalau tidak mau repot dan berat-berat membawa air minum dari rumah, bawa saja botol kosong. Karena di MacRitchie terdapat beberapa drinking water fountain.
d.       Koin
Koin di sini maksudnya bukan untuk beli makanan atau minuman, tapi untuk menyewa locker kalau diperlukan. Locker-locker ini hanya bisa menerima koin 1 dollar, tergantung ukuran. Untuk yang kecil cukup 1 dollar, sedangkan yang besar perlu 2x1 dollar.  
4.       Maintain your phase and watch your step
     Nah, tantangan terbesar di MacRitchie adalah untuk menyelesaikan trek tersebut apapun yang terjadi. Karena tidak mungkin untuk pesan taksi di tengah jalan, atau mengambil jalan pintas. Untuk itu, usahakan menjaga phase berlari pada tingkat yang nyaman. Jangan misal karena jogging dengan teman, lantas berusaha untuk mengimbangi lari di luar kemampuan. Jadi menurut saya si, mending jogging non-stop dengan phase sedang. Apalagi kalau memang tujuannya untuk fat burning, maintain saja detak jantung pada 65% heart rate maksimal, yang bearti joggingnya santai saja.
        Meskipun trek di MacRitchie tertata dengan baik, bahkan di beberapa tempat sering kali saya menemui bekas orang menyapu, tetap saja ini adalah alam terbuka. Beberapa ruas trek memang berupa tanah datar, tapi lebih banyak yang lain adalah trek makadam. Maksudnya, jalannya diberi batu-batu gitu, dengan tujuan biar tidak becek. Nah, di trek semacam ini, apalagi ditambah otot yang mulai capek, sangat mungkin untuk terkilir. Jadi perhatikan benar-benar di mana kaki menapak. Karena terkilir di tengah hutan, apalagi kalau sedang jogging sendirian, tanpa membawa HP, well… let’s knock the wood.
5.       Hydrate yourself
    Mari ingat bahwa negara ini adalah negara tropis. Panas dan lembab Jendral. Pengalaman baik jogging maupun trekking di sini cukup membuat dehidrasi. Jadi usahakan tidak lupa membawa tempat air ke sini. Tidak perlu yang besar, cukup untuk setidaknya setengah perjalanan saja, karena di tengah jalan, tepatnya di Ranger Station, akan ada drinking water fountain. Jadi bisalah refill di sana nanti. Asal jangan keenakan karena ketemu air setelah berkeringat, terus kalap. Meneruskan jogging dengan perut penuh air itu bukan hal yang menyenangkan. Percayalah.
6.       Mind your own business and respect others
    Keep in your mind, MacRitchie adalah wild nature. We’re, human, not belong to be there. Sepanjang trek, akan sangat banyak penghuni asli wilayah ini yang bisa kita temui. Monyet ekor panjang, biawak dan tupai adalah beberapa dari banyak spesies yang paling sering saya temui di sana. Kita toh cuma mau numpang lewat, ya lewat saja lah. Memberi makan atau menggangu mereka adalah big no-no di sini. Mereka sudah membagi sedikit wilayah mereka untuk kita, so respect it.

Well, kayanya itu saja. Kalau ada yang mau menambahkan, monggo…

Btw, untuk dua orang cowok yang berpapasan dengan saya di kilometer 8 dan 9 Sabtu petang menjelang magrib dua minggu yang lalu, “Hi guys, wangi kalian enak, pake cologne apa si?”

****

Sekilas Dermagraphic dari Skin Writer

“Kamu kena ulat bulu?”
“Kenapa merah-merah gitu? Gatel-gatel?”
“Na, dahimu bentol. Kebentur?”
“Biduran?”
“Lu alergi?”

Dan seribu satu pertanyaan semacam itu pernah saya terima dari orang-orang di sekitar saya ketika mereka melihat bilur, bentol, atau ruam merah di kulit saya. Dulu, saya akan jawab dengan panjang lebar penuh rasa bangga bahwa kulit saya memang sedikit berbeda, sekaligus menunjukkannya pada mereka. OK, sekarang pun kadang saya masih melakukan itu. Tapi akhir-akhir ini lebih seringnya saya hanya tersenyum menyakinkan penanya bahwa saya baik-baik saja, dan menjelaskan kalau kulit saya memang sedikit lebih sensitive dengan gesekan/goresan.
Saya lupa kapan tepatnya menyadari bahwa kondisi kulit saya sedikit berbeda dengan orang lain. Waktu SD mungkin. Karena saya ingat saya sering iseng menggores-gores tangan saya dengan stik penunjuk yang biasa dipakai untuk membaca Al-Quran ketika ngaji. Untuk pamer ke teman-teman tentu saja. Di antara kami, hanya saya yang bisa mengukir nama dengan bentolan di tangan. Dimaklumi saja, namanya juga anak-anak.
Baru beberapa tahun belakangan saya tahu bahwa ternyata saya tidak se-special itu. Ya menurut lo Na….
Dermagraphic atau dermographic atau skin writing. Begitulah dunia menyebut alergi kulit satu ini. Dialami 4-5% populasi di dunia, jenis alergi ini tidak terlalu popular di Indonesia. Dari mana saya tahu? Ya karena sampai detik ini, belum pernah ada orang yang pertama kali melihat ruam di kulit saya dan berkata “Kulitnya dermagraphic ya?” :\
Dermagraphic ini adalah alergi terhadap gesekan atau goresan. Bahkan simply sebuah tekanan ringan bisa mencetuskan alergi ini. Dan seperti kebanyakan alergi lain, alergi ini belum ada obatnya. Obat yang ada paling hanya untuk meredakan gejala yang muncul. Satu-satunya yang bisa dilakukan ya menghindari penyebabnya. Menghindari gesekan. Ya..ya..ya..itu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan tentu saja.
Gesekan di sini bisa berupa apa saja. Sebuah gesekan kecil ketika sedang memakai baju saja bisa membuat garis kemerahan di kulit saya. Jangan tanya kalau sudah berupa goresan. Tidak jarang ada baret-baret merah panjang di garis rambut saya setelah menyisir rambut. Atau, silakan bayangkan bagaimana kalau saya menggunakan body scrub. Dan itu juga alasan kenapa saya tidak pernah memakai gelang atau kalung, selain kenyataan bahwa saya memang ga punya kalung atau gelang tentu saja.
Selain beberapa penyebab yang tidak disengaja, kasus-kasus yang parah biasanya memang karena sengaja saya garuk. Pernah merasa randomly gatal di kulit kan? Gatal yang ga jelas penyebabnya? Gatal yang ilang sendiri seperti datangnya? Nah, pada kasus saya, kalau gatal itu saya garuk, maka bekas garukan akan menyebabkan gatal yang lebih parah, akibatnya saya akan menggaruk lebih keras, dan berakhirlah dengan lingkaran setan kalau saya tidak berhenti menggaruk. Biasanya gatal-gatal random begini sering muncul kalau kulit saya kering, entah karena udara dingin atau memang lagi pengen kering aja, seperti kasus demam tinggi kemarin. Jadi sepertinya saya tahu kenapa kulit saya tiba-tiba gatel dan swollen waktudemam 2 bulan lalu, walaupun ga menjawab pertanyaan kenapa saya demam.
Tidak hanya ruam merah dan bentol, meskipun jarang, terkadang gejala yang muncul juga disertai dengan rasa hangat dan pedih. Untungnya, itu hanya pada kasus parah. Seringnya si, saya bahkan ga sadar ada bentol-bentol atau bilur-bilur aneh di kulit saya. Rata-rata, pada kasus ringan, gejala akan menghilang dengan sendirinya sekitar 20-30 menit setelah gesekan terakhir.
Pada kasus saya, meskipun semua permukaan kulit sama-sama allergic (sampai telapak kaki bahkan), tapi tingkat kesensitifannya beda-beda. Kulit muka (untungnya) termasuk yang tidak terlalu sensitif. In term tidak terlalu mencolok lah ya kalau habis melakukan aktifitas yang melibatkan gesekan di sekitar muka, facial misalnya (ga usah mikir yang iya-iya).
Terus kalau yang paling sensitif? Ah, ndak usah dibahas di sini juga si kalau yang itu. Japri aja lah ya… :\
 ***

Rasa Yang [Belum] Kedaluwarsa

Lalu, waktu menyadarkan saya. Semua punya masa kedaluwarsa. Termasuk rasa. ~Life Traveler

Saya tertegun, lebih lama dari yang diperlukan, pada sebuah baris di novel yang saya baca. Ada yang sedikit tersentil di benak membaca kalimat-kalimat di atas. Sebuah kesadaran, bahwa sepertinya saya terlupa untuk melabeli masa kedaluwarsa sebuah rasa.
Bukan rasa yang berhubungan dengan lidah tentu saja. Kalau itu, semua tahu kalau saya memang buta rasa. Ibu saya sendiri hanya bisa melihat saya dengan putus asa kalau diminta mencicipi masakannya. Jawaban saya tidak pernah lebih dari sekedar “Udah enak.” dan “Belum enak.” Jangan berharap analisa panjang untuk sebuah pertanyaan “Kurang apa?” dari saya. Jauh panggang dari api.
Bukan juga kedaluwarsa yang berhubungan dengan makanan. Walaupun tidak hanya sekali dua kali, makanan kedaluwarsa melewati kerongkongan saya. Silakan salahkan kecerobohan saya saja.
Seperti ketika, bertahun lalu, saya minum sisa kopi ayah sepulang kami dari rumah nenek. Kopi yang ibu buatkan untuk ayah sebelum kami berangkat, tiga hari hari sebelumnya. Kopi yang saya tenggak habis sebelum berkata pada ibu, “Ma, kopinya rasanya aneh.” sambil menyerahkan gelas kosong pada beliau. Reaksi ibu saya? Tepok jidat.
Atau susu kopi buatan saya sendiri beberapa waktu lalu. Susu kopi untuk sarapan yang saya minum sambil berfikir “Tumben rasanya beda.”, tapi tetap tandas tak bersisa. Pemikiran yang baru saya sadari 2 hari kemudian, ketika saya iseng membaca label di kotak susu. Sepertinya selama 2 hari saya minum susu kedaluwarsa.
Tapi bukankah tidak selamanya makanan bermasa kedaluwarsa? Bukankah, konon katanya, semakin lama wine semakin enak? Jangan tanya saya apa beda di rasa. Yang saya tahu, pasti beda di harga.

Tapi bukan. Ini bukan tentang rasa-kedaluwarsa itu. Ini tentang pe-rasa-an. Ini bukan soal lidah yang mengecap. Ini soal hati yang mengucap.
Sebuah perasaan yang seiring waktu terasa seperti sepatu lamamu. Butut dan tak akan kamu pakai ke acara hangoutmu. Tapi sepatu yang pertama kamu cari ketika akhirnya kamu lelah dengan lecet di kaki oleh sepatu barumu.
Sebuah perasaan yang kadang seperti susu, basi. Kadang seperti wine, memabukkan.
Sebuah perasaan yang, bahkan setelah sekian tahun lewat, belum saya beri label kedaluwarsa. Boleh jadi karena saya terlupa. Tapi sepertinya lebih karena hati saya yang tidak bereferensi. Mabuk oleh susu basi.

Ah, tapi siapalah saya berbicara tentang perasaan. Biarlah saja. Toh perasaan bukan sekotak susu atau sebotol wine.
***
*pic taken from here

Hunger Games: Will I Die For You?

Dua puluh empat peserta. Membunuh atau dibunuh. Hanya satu pemenang yang selamat. 


Sebentar, disclaimer, postingan ini bukan synopsis, bukan resume, dan penuh dengan spoiler. Jadi, kalau Anda belum membaca buku atau menonton film Hunger Games dan berminat membaca atau menontonnya lain waktu, saya sarankan sampai di sini saja. See you next posting…
Jadi ceritanya, setelah Amerika Serikat musnah sebagai negara, berdirilah Negara Panem. Negara ini terdiri dari Capitol (semacam ibukota) dan 12 distrik yang menjadi satelit pendukung Capitol. Dikarenakan sebuah pemberontakan di masa lalu, Capitol membuat permainan yang bertujuan untuk menghukum sekaligus sebagai pengingat bahwa 12 distrik berada di bawah kekuasaan Capitol. Dalam permainan tersebut, dipilihlah secara acak sepasang remaja dari masing-masing distrik. Mereka berdua puluh empat, akan ditempatkan di sebuah arena pertempuran, yang kali ini berupa hutan belantara. Tugas mereka hanya satu, bertahan hidup. Karena satu-satunya cara keluar dari permainan ini adalah menjadi satu-satunya yang bisa bertahan hidup. Jadi sebetulnya, inti dari cerita Hunger Games, ya itu tadi, membunuh atau dibunuh.
Sederhana? Jelas tidak. Pemilihan peserta permainan yang secara acak, jelas membuat tidak semua peserta mempunyai kemampuan bela diri dan survival yang mumpuni. Bahkan hanya mereka dengan kemampuan di atas rata-rata yang sanggup bertahan di menit-menit awal. Ditambah lagi, kenyataan bahwa peserta dari distrik yang sama juga harus saling bunuh. Beruntung jika mereka memang bermusuhan, atau setidaknya tidak saling kenal. Yang terjadi di sini Peeta, peserta dari distrik 12, harus terjun ke pertempuran bersama dengan cinta pertama dan satu-satunya, Katniss.
Lantas apakah ini hanya menjadi cerita cinta dan another Romeo and Juliet case? Nope. In fact, buku Hunger Games (bukan filmnya) ini merupakan salah satu buku paling berdarah-darah yang pernah saya baca. Sekaligus paling romantis kalau boleh saya bilang.
Ketika terpilih sebagai salah satu tribute dari distrik 12, bersama dengan Katniss, Peeta tahu bahwa satu-satunya tugasnya di dalam arena sana, bukanlah sekadar untuk bertahan hidup selama mungkin, tapi untuk memastikan keselamatan Katniss, cinta pertamanya. Dan ketika di akhir pertempuran hanya menyisakan mereka berdua, tanpa berfikir Peeta hanya berkata “Do it.” ketika meminta Katniss membunuhnya. Karena hanya dengan cara itu, Katniss bisa hidup dan keluar dari permainan Hunger Games.
Membaca buku dan menonton film Hunger Games (dua kali) membuat saya berfikir, selain keluarga, akankah saya bersedia mati demi hidup orang lain? Akankah saya rela mati agar orang lain tetap hidup?
Saya akan dengan sukarela nyebur ke kolam renang untuk menyelamatkan orang yang nyaris tenggelam, for sure. Tapi itu bukan karena saya berani mati, tapi karena saya tahu saya bisa. Ini si bukan termasuk rela mati.
Atau misalnya, ganti situasi, di tengah laut dengan ombak besar, apakah saya akan menceburkan diri untuk menolong orang, katakanlah tanpa pelampung? Nope. Itu si konyol. Karena dengan situasi seperti itu, yang ada saya hanya menambah jumlah jenasah yang mungkin ditemukan. Orang yang mau saya tolong dan saya.
Pertanyaan saya tadi terbatas kepada rela mati agar orang lain tetap hidup. Are you willing to do that? And for who? Am I? May be not, at least tidak sampai ketika saya menulis postingan ini.
Dan sampai di titik itulah perasaan seorang Peeta ke Katniss tergambarkan. Sedangkan Katniss? Baca bukunya saja lah. Kok bukan minta untuk melihat filmnya saja? Buat saya, versi film terkesan cukup terburu-buru. Seolah-olah, perasaan Peeta dan ketangguhan Katniss tidak terlalu tergambar di sana. Yah, itu hanya pendapat pribadi saya sebagai pecinta buku tentu saja.
Anyway, apapun pilihannya, Hunger Games akan selalu membuat saya bertanya, if I were Peeta, who would be my Katniss?
***

*pic taken from here


Ketika [Harus] Sakit di Negeri Orang


Sebuah pagi di sebuah pulau in the middle of nowhere
Baru beberapa menit lewat dari jam 2 pagi. Itu informasi yang saya dapatkan dari Xe, HP saya, beberapa saat setelah saya sepenuhnya sadar dari tidur. Kombinasi rasa perih dan gatal luar biasa di sekujur tubuhlah yang membuat saya tersadar sepagi itu. Penasaran dengan apa yang terjadi, dengan segera saya beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi. Pemandangan di cermin kamar mandi saat itu benar-benar membuat saya bangun. Setiap jengkal kulit saya tampak memerah dan jelas terlihat bilur-bilur bekas garukan.  Sebagai informasi, saya adalah satu dari sedikit manusia yang mempunyai kondisi kulit Dermatographic. Apa itu Dermatographic? Baca sendiri lah ya. Yang jelas, kondisi kulit merah, bilur, bengkak dan pedih bukan satu hal yang baru untuk saya. Walaupun itu pertama kalinya saya mengalami separah ini. Jadi pertanyaan besar saya malam itu sebetulnya lebih pada kenapa saya tiba-tiba saja gatal-gatal?
Mengingat penasaran di jam 2 pagi itu sama sekali tidak efektif, maka setelah menunaikan panggilan alam, saya putuskan untuk kembali tidur bersama rasa gatal tadi. Baru beberapa detik berdiri, masih di kamar mandi, saya merasa pusing, terdengar dengung statis di telinga dan diikuti dengan pandangan yang tiba-tiba menggelap. Tanda-tanda saya kalau mau pingsan. Segera saja saya berjongkok untuk menstabilkan aliran darah ke kepala. Perlu beberapa detik hingga akhirnya pandangan saya kembali normal dan pusing di kepala juga berkurang.
Pelan-pelan saya kembali berdiri dan beranjak keluar kamar mandi. Baru satu dua langkah dari pintu, kembali saya rasakan hal yang sama. Sebetulnya saya tahu kasur tinggal 2 langkah lagi, tapi daripada beneran pingsan dan bikin panik 3 teman sekamar saya malam itu, saya berusaha menetralkan blood pressure ke otak dengan kembali “melantai”. Begitu kembali normal, tanpa buang waktu saya segera saja berguling lagi di kasur sebelum “serangan” gejala pingsan tadi datang lagi.
Sambil bergelung di bawah selimut, saya berfikir apa yang terjadi. Gatal, rash skin, gejala-gejala pingsan. Apa gula darah saya turun? Lah, bangun tidur kok gula darah rendah? Gatal-gatal karena alergi? Alergi apa? Sangat tidak mungkin kalau tiba-tiba saya alergi seafood. Beberapa menit berfikir sambil menunggu kantuk kembali datang, saya baru menyadari satu hal. Ini kenapa kamar jadi dingin banget? Seolah-olah suhu ruangan tiba-tiba drop beberapa derajat. ACnya rusak? Saya layangkan pandangan ke teman di kasur sebelah  yang tampak nyaman saja tidur, bahkan di luar selimut. Well, kalau yang lain tampak tidak kedinginan, bearti tidak ada masalah dengan AC. Trus kenapa saya serasa di atas gunung? Akhirnya dengan susah payah, saya memaksakan tidur malam itu. Rentang 5 jam saya habiskan dengan menggigil, tidur, bangun, gatal-gatal, garuk-garuk, kedinginan, tidur lagi, bangun lagi.
Jam 7 pagi, masih dengan sedikit berkunang-kunang dan beberapa kali mau pingsan (walaupun “serangan”nya tidak sehebat waktu malam) saya menyiapkan sarapan, biasa roti dengan jam plus kopi susu. Ceritanya si mau menguji asumsi semalam bahwa gula darah saya drop. Siapa tahu dengan sarapan ini membantu gula darah normal lagi. Jadilah saya pagi itu menikmati sarapan di teras cottage ditemani semilir angin pantai dan suara debur santai ombak.
Cottage? Pantai? Ombak? Nah, ceritanya, sehari sebelumnya, saya dan beberapa teman iseng mengisi libur akhir minggu bertualang ke salah satu pulau di pesisir timur Malaysia. Mana lagi kalau bukan Tioman. Belum puas dengan agenda snorkeling, snorkeling dan snorkeling setengah hari di Sabtu, sebetulnya kami berencana snorkeling lagi pagi itu sebelum check out.
Sayangnya buat saya, rencana tinggal rencana. Karena sehabis sarapan, gejala puyeng masih saja terasa. Bahkan menurut teman-teman, suhu badan saya cukup tinggi. Saya, walaupun tidak bisa merasa kalau sedang demam, tidak cukup nekat untuk melanjutkan rencana snorkeling dengan kepala yang sesekali berkunang-kunang yang tidak juga kunjung hilang dengan 2 dosis paracetamol. Yah, apa boleh buat, pingsan di tengah laut pas snorkeling pasti bukan judul headline yang bagus.

A Journey to A & E
Singkat cerita, as scheduled, walaupun molor 2 jam, sore itu kami bertolak kembali ke daratan. Sekitar jam 10 malam, kami menginjakkan kaki di checkpoint. Dikawal seorang teman, malam itu juga saya, yang masih gatal-gatal dan keukeuh tidak merasa demam, bertaksi ke clinic 24 jam dekat rumah saya. Idenya, periksa, dapat obat terus pulang. Sampai di clinic, seperti biasa sebelum sesi dengan dokter, nurse di resepsionis mengukur suhu badan terlebih dahulu. Dan yak, 39.9°C Saudara-Saudara! Mungkin karena tidak disertai dengan pilek, pusing dan segala macam lainnya, saya tidak terlalu merasa kalau demam. Walaupun sempat terpikir, “Mam, termometernya ga rusak kan?”
Beberapa menit kemudian saya pun diperiksa dokter. Diperiksa di sini hanya berupa pertanyaan-pertanyaan yang 90% saya jawab “No”.
                “Running nose? Vomit? Headache? Stomached? Diarrhea? ”
“No.”
                “Recently travelled from overseas?”
“Yes, just back from Tioman. And I just feel itchy all over my body and fever. That’s all.”
                “It can be anything. In fact, you just back from rural area. OK, I’ll give you reference letter to A&E.” 
What??! Tapi apa boleh buat, karena dokter di klinik tidak mau memberi obat, jadilah tengah malam itu, untuk pertama kalinya saya mengunjungi UGD dalam kapasitas sebagai pasien karena gatel-gatel. Ga terlalu keren, huh? I know.
Dengan pertimbangan jarak dan biaya, kami menuju salah satu government hospital di daerah Novena. Sampai di sana, karena tidak ada dari kami berdua yang tampak seperti orang sakit, butuh beberapa kali bertanya sebelum akhirnya bisa registrasi. Sekitar 15-30 menit menunggu, nama saya dipanggil untuk pemeriksaan oleh beberapa suster cantik. Pertama, kembali diukur suhu tubuh. Kali ini tepat 40°C. Well, setidaknya saya tahu satu hal, thermometer di clinic tidak rusak.  K
OK, silakan sebut saya norak, tapi to be honest, sebetulnya pagi itu saya sedikit overexcited. Plus ngantuk si tentu saja. Karena keseluruhan  pemeriksaan baru selesai jam 4 pagi. Thanks untuk teman saya yang menemani sampai rumah, setidaknya bikin saya ga kaya anak ilang di UGD.
Ngapain saja di A&E sampai jam 4 pagi? Pertama, menunggu test darah keluar. Karena tidak ada gejala-gejala selain panas tinggi dan rash all over my body, dokter tidak bisa menyimpulkan apa pun tanpa lab test. Sekitar 2 jam, hasil test darah dan ECG keluar. Semua dalam range normal, kecuali tentu saja sel darah putih yang 4-5 kali dari normal. Karena masih tidak jelas apa yang terjadi, dokter meminta saya untuk X-Ray dan urine test. Maka menunggulah kami lagi sekitar 1 jam. Ketika hasil X-Ray dan urine semuanya juga normal, bingunglah dokternya.
Akhirnya, setelah membekali saya dengan resep dan surat pengantar ke outpatient clinic (untuk pemeriksaan lanjut 2 hari kemudian), dokter membolehkan saya pulang. Apalagi mengingat, setelah 2 pil paracetamol dan 2 kantung infuse, demam saya mulai turun ke 38°C.
Itulah kenapa saya bilang tadi saya overexcited plus norak. Selain pertama kalinya saya ke UGD sebagai pasien, pagi itu untuk pertama kalinya juga saya diinfus, ECG test, dan wandering around UGD dengan kursi roda. What a story.
Bagian selanjutnya adalah bagian yang cukup mendebarkan. Bayar bill. Dengan segitu banyaknya test dan penanganan tengah malam di UGD, wajar lah kalau saya berfikir setidaknya akan merogoh dompet sekitar 200 sampai 300 dollar. Apalagi sebelumnya, di klinik, yang hanya memberi saya surat pengantar saja, menagih bill 60 dollar (masih tidak habis pikir). Ternyata ketika bill keluar, saya hanya perlu membayar S$95 saja. Tidak lebih dari Rp 700,000!
Belakangan, dari kuitansi, saya baru tahu ternyata seharusnya total yang harus saya bayar lebih dari 200 dollar. Tapi ada subsidi government sekitar 60% dari tagihan. Jujur, subsidi gov tadi sedikit mengejutkan saya, karena status saya di negara ini yang hanya sebagai orang asing pemegang visa migrant worker, bukan permanent resident.
Setelah dari kasir, saya menuju apotik untuk mengambil obat. Tebak apa obat yang diresepkan oleh dokter saya pagi itu? Yap, the one and only, a bunch of paracetamol. *ngerujak paracetamol

Sakit di negeri orang (atau negeri sendiri)
Selama tinggal di Indonesia saya bisa dibilang cukup jarang sakit. Well, pada dasarnya saya memang cukup jarang sakit serius. Paling sering juga flu, itu pun kondisi terberat hanya saya alami 1-2 kali setahun. Atau maag, kalau ini walaupun cukup sering, biasanya saya bisa menanganinya sendiri dengan resep andalan dari dokter saya, minum susu.
Karena pada umumnya dari company ada medical support untuk dokter visit dan hospitalization, saya awalnya merasa tidak terlalu perlu khawatir kalau sakit. Biasanya saya hanya perlu ke klinik-klinik tertentu yang ditunjuk perusahaan, menunjukkan staff ID, dan that’s all, biaya pengobatan dan konsultasi gratis. Sementara kalau datang ke dokter di klinik yang di luar daftar yang ditunjuk, bisa claim sebesar $20 per visit. Nah, masalahnya sekarang, sepulang saya dari A&E, saya masih harus beberapa kali check up ke klinik rumah sakit (tidak ada dalam list company clinic). Yang bearti setiap kali visit hanya akan bisa saya klaim $20, padahal untuk sekali konsultasi dokter saja, bisa mencapai 40-50 dollar. Itu hanya konsultasi dokter, belum obat dan lab test kalau ada.
Sementara dalam kasus saya yang tidak terlalu jelas ujung pangkalnya, saya perlu beberapa kali ke klinik dan perlu test darah untuk beberapa sample. Kalau saya tidak salah ingat ada lebih dari selusin test darah yang dilakukan. Harga tiap test bervariasi antara beberapa dollar sampai beberapa ratus dollar. Yak, beberapa ratus dollar yang tidak akan tercover company insurance.
In the end, total jendral pengeluaran selama saya “menikmati” cuti sakit seminggu di rumah itu lebih dari S$1000. Dan hampir 90% dari angka itu saya gunakan untuk sekian banyak test lab saja, bukan treatment (karena ketidakjelasan penyakitnya). Angka yang harus saya sebutkan untuk menggambarkan betapa mahal ongkos sakit di negara ini. Jujur, ketika membobol tabungan sebesar itu, pasti ada rasa rela tidak rela. Antara “Gila!!” dan “Apa boleh buat lah..”.
Moral cerita si, jaga kesehatan baik-baik. Kita baru akan sadar betapa berharganya hidup kita ketika kita diminta untuk membayar tiap detik kesempatan kita bisa bernafas atau tiap degup jantung kita berdetak. Usahakan mempunyai dana darurat yang cukup untuk keadaan-keadaan yang tidak terduga. Well, shit happened anyway.
Dan last but not least, usahakan untuk punya asuransi kesehatan pribadi dan tidak tergantung pada asuransi perusahaan. Minimal asuransi untuk kecelakaan dan rumah sakit. Asuransi jiwa mungkin bisa jadi prioritas kedua, kalau Anda merasa bertanggung jawab akan hidup orang-orang yang Anda cintai sepeninggalan Anda. Oh, saya bukan insurance agent, bukan juga orang yang bekerja di salah satu perusahaan asuransi. Saya hanya orang yang merasakan leganya ketika tabungan saya kembali utuh setelah claim asuransinya disetujui.
Yep, in the end bukan saya kok yang membayar semua pengeluaran tadi. Semua dibayarkan kembali oleh asuransi kesehatan saya sampai hitungan sen. Akhirnya, untuk pertama kalinya selama 1.5 tahun menjadi policy holder sebuah asuransi, saya merasakan manfaat dari apa yang saya bayar tiap bulan.
Ngomong-ngomong, asuransi yang saya punya (dalam kasus ini) adalah asuransi kecelakaan (accident insurance). Beberapa bulan sebelumnya, mungkin sekitar awal tahun, saya sempat menyeletuk ke ibu saya, “Ngerasa rugi ambil asuransi kecelakaan, orang aku ga bawa kendaraan sendiri. Kapan pakainya?”
Ibu saya langsung menyahut dengan sewot, “Mending kamu bayar terus dan ga pernah pakai!! Orang aneh.”

Yah, so mungkin sakit kemarin itu cara Tuhan menjawab pertanyaan saya.

***