Me-Restore Hidup, eh Laptop..

                Jelas, dalam hidup ada banyak hal yang lebih menjengkelkan dari pada buffering video di internet yang putus-putus. Tapi untuk saya beberapa minggu belakangan ini, hampir tiap malam ada kejengkelan tambahan. Ya itu tadi, laptop saya satu-satunya mendadak ngambek tiap kali buffering video streaming. Video apapun. Entah itu Youtube, TV online, streaming movie, you name it. Sebetulnya sindrom-sindrom lemot dan loading lama itu sudah cukup lama saya tengarai. Hanya saja karena biasanya sindrom itu hanya terjadi setelah pukul 11 malam, which saya pikir karena kondisi bandwidth jaringan, jadi saya cuek saja. Sekalian juga saya anggap itu sebagai sinyal bahwa sudah waktunya saya tidur.
                Belakangan, sindrom itu semakin menjadi. Bukan hanya setelah jam 11 malam, namun terjadi setiap saat setiap waktu. Menit-menit awal si biasa saja, namun bisa dipastikan setelah lewat dari menit ke-5, CPU usage akan mencapai 100% dan diikuti suara dan gambar putus-putus. Dari sana saya mulai curiga, bahwa ini bukan urusan jaringan. Apalagi didukung fakta bahwa dari sinyal WIFI yang sama, koneksi dan streaming di ponsel saya baik-baik saja. Mulailah saya bergerilya di Task Manager untuk mencari sumber CPU usage yang melambung tinggi. Sayangnya kebanyakan dari high CPU usage adalah svc host dari system yang hanya developer Windows dan Tuhan saja yang tahu gunanya.
                Berpindahlah saya dari task manager ke Program management. Logikanya, jika ada pemakaian processor dalam jumlah yang significant, pasti bisa dipastikan dari salah satu program yang saya install. Jujur saya tipe orang yang kalau menginstall suatu aplikasi tidak banyak berfikir. Selama memory computer belum protes maka hajar saja. Urusan apakan aplikasi itu saya akan sering pakai atau hanya sekali itu saja, itu urusan belakangan. Celakanya, dari senarai program tadi saya baru sadar bahwa ada banyak sekali program yang terinstall yang bahkan saya tidak tahu gunanya untuk apa. Celakanya lagi, program yang saya tidak tahu gunanya tadi, ada puluhan. Mau berapa lama saya uninstall aplikasi-aplikasi itu?
                Maka sampailah saya pada satu keputusan destruktif. Mengapa saya tidak format harddisk dan install ulang Windows saja? As simple as that dan terhapuslah semua aplikasi tidak jelas itu. Untuk semua data-data personal saya, toh ada portable harddisk yang selama ini underuse? Jadilah saya malam itu mengopi semua file dari My Document ke Queenerva’s Agent, portable harddisk saya. Satu masalah selesai.
                Masalah lain muncul. Bagaimana cara format dan reinstall Windows ya? Saya adalah product mahasiswa Indonesia tahun awal 2000an di mana yang namanya install ulang OS adalah menggunakan booting disket 3.5” atau bootable CD installer Windows. Bajakan pula. Nah sekarang dengan kenyataan bahwa, *ehm* Windows 7 Home Premium di laptop saya itu original bawaan laptop tanpa CD installer, tanpa serial key, maka how we gonna do this? Silakan tertawa dan bilang saya kampungan plus gaptek. Wong memang kenyataannya seperti itu. Ayolah, bahkan untuk lulusan Ilmu Komputer, saya tidak perlu mengikuti setiap perkembangan cara install ulang OS apalagi install ulang OS setiap hari kan?
                Untungnya meskipun saya gaptek, otak saya ga cethek-cethek amat lah. Setidaknya saya ada sedikit rasa penasaran dengan Recovery Partition di laptop. Logis lah jika saya berfikir bahwa para engineer HP tidak segitu isengnya membuat Recovery Partition hanya untuk senang-senang. Maka dengan sedikit bertanya-tanya pada teman baik saya yang jago segala hal, Om Google, terjawab sudah pertanyaan saya. *kecup-kecup mesra Google*
                Jadi, untuk install ulang dalam kasus saya di mana operating system masih bisa diakses dan berfungsi dengan benar meskipun tidak dalam kondisi baik adalah melalui Recovery Manager. Atau bisa juga dilakukan jika OS dalam kondisi baik dan benar. Trus ngapain install ulang? Yah siapa tahu sedang iseng mengisi waktu luang barang sejam dua jam? *digebukin orang seinternet setanah air*
OK, fokus. Reinstall OS atau kalau dalam istilah sekarang restore PC to factory image ternyata tidak lagi seriweh dan serempong jaman jahiliyah ketika masih menjadi mahasiswa. Ya iya lah kali ya, orang bandingannya jaman dulu pakai bajakan (yak terus aja dibahas Na). So, singkat kata, inilah yang saya lakukan. Eh ya, sebelumnya note bahwa ini Windows 7 recovery dan untuk HP laptop.

  • 1.      Buka Recovery Manager Program. Dari Start menu, ketik Recovery di kotak search. Setelah pilihan program muncul, pilih Recovery Manager.Atau bisa juga dari Start à All Program à Recovery Manager à Recovery Manager.
  • 2.      Setelah aplikasi Recovery Manager muncul, pilih System Recovery seperti berikut.


  • 3.       Jangan kaget, karena setelah itu machine akan restart dan membuka kembali layar Recovery Manager.
  • 4.      Pilih kembali System Recovery. Yah, jaman sekarang bukan cuma cewek, laptop juga butuh kepastian jadi nanyanya tidak cukup sekali. Setelah itu, klik Next.
  • 5.       Kalau tidak salah layar setelah itu, akan ada pertanyaan apakah kita akan menggunakan Microsoft Restore Program? Just select No, and continue with Next. Nah, jadi mikir kan, bedanya apa? Antara Restore program punya Microsoft dengan HP Recovery Program? Jangan tanya saya, kan saya ga mungkin mencoba dua-duanya dan membuat table perbandingan.
  • 6.       Kemudian, akan muncul layar pilihan apakah kita akan ingin membackup data-data di laptop? Catatan in advance, recovery system ini akan memformat ulang atau mendelete semua data di C:/ directory. Jadi kalau semua document penting ada di directory/partisi lain, skip saja bagian ini. Apalagi kalau semua data penting ada di directory lain plus sudah dibackup di awal, bagian ini jelas-jelas silakan dilewatkan saja (it’s very obvious so kaga usah dibahas Nyet).
  • 7.      Setelah selesai membackup atau memutuskan untuk tidak membackup, pastikan semua device tidak terhubung dengan laptop, kecuali mouse, monitor, dan keyboard (mari semua pasang tampang lempeng. Iya ngerti, tapi bisa jadi kasusnya bukan di laptop.)
  • 8.      After last Next, what we can do is laid back and relax. Jangan lupa berdoa semoga langkah berikutnya bukan ke service center karena laptop tiba-tiba berasap.
That’s it. That’s all. Dan viola! Dalam waktu kurang dari sejam performance laptop balik lagi seperti baru.

                Dan jadilah saya berfikir, bukankah akan sangat menyenangkan jika mereset hidup semudah mereset operating system jaman sekarang. Kita bisa memilih untuk menyimpan kenangan mana yang akan kita simpan. Sedangkan kenangan-kenangan yang buruk biarkan saja agar terformat dari memory. Kita juga bisa mereset semua masalah dan melenyapkannya dalam hitungan menit. Yah, kalau saja mereset hidup bisa semudah itu. Tapi kalau saja semudah itu dan kita diberi pilihan untuk mereset hidup kita, menghapus memory yang tidak kita inginkan di masa lalu, apakah kita mau melakukannya? Setelah dipikir-pikir, lagi rasanya saya tidak mau. Karena buat saya, sepahit apapun kenangan, sesuram apapun masa yang telah kita lewati, masa lalu lah yang telah membentuk kita seperti apa adanya kita sekarang.
So, alih-alih berusaha mereset hidup dan menghapus semua kenangan, berdamailah saja dengan masa lalu. Toh kenyataannya, hidup kita tidak pernah lengkap tanpanya. C'est la vie, Dear.

Jateng Trip: Long Road to Heaven

Bahkan langit pun masih enggan membuka mata pagi itu ketika saya membangunkan petugas resepsionis guest house untuk check out. Jam 5 pagi. Matahari seharusnya malu dengan saya. Mendahului matahari jelas bukan ide yang menarik untuk saya, apalagi malam sebelumnya saya baru bisa memejamkan mata selepas tengah malam. Namun semangat akan perjalanan ke sebuah negeri di atas awan membuat saya tidak tertarik untuk men-snooze suara kucing kebelet kawin yang jadi alarm saya pagi itu. Satu lagi serpihan surga yang dicipratkan Tuhan untuk Indonesia. Dataran tinggi Dieng. 
Nama Dieng berasal dari bahasa Sansekerta, Di-Hyang. Di bearti tempat dan Hyang bearti Tuhan/Dewa-Dewa. Jadi Dieng diartikan sebagai tempat para Dewa. Buat saya, itu arti harfiah. Karena percayalah, nama itu tidak diberikan tanpa alasan. Dataran yang berada di ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut ini dalam peta administratif Jawa Tengah, terletak di beberapa wilayah kabupaten. Sebut saja Wonosobo, Banjarnegara, Temanggung, Batang, Pekalongan dan Kendal. Kok banyak? Bisa dimengerti karena luasnya wilayah yang disebut sebagai dataran tinggi Dieng. Namun untuk obyek-obyek wisatanya sendiri, kebanyakan berada di wilayah Wonosobo dan Banjarnegara.

The 5th And 10th. Next?

        Yeepy...sebetulnya SMS dari red cross sudah saya terima bulan lalu, tapi karena satu dan banyak hal saya baru bisa collect 2 medal ini hari ini.
        Bener, medallion ini jelas bukan apa-apa, orang cuman sekeping mainan. Tapi saya pribadi salut akan kesungguhan red cross Singapore dalam memberikan apresiasi pada para blood donor. Tidak hanya ini saja, di bulan ulang tahun, seorang donor juga kadang mendapatkan sebuah token sekadarnya atau voucher kecil-kecilan. Atau pajangan ikan-ikan kecil yang mewakili donor dengan jumlah donation 50 kali ke atas yang dipajang di ruang depan Blood Bank. Sebuah apresiasi yang, sekecil apapun, semakin mendekatkan red cross dengan para donor.
       Well, semoga bisa dicontoh PMI sebagai usaha donor rekruitment. Kan semakin kita dekat dengan PMI semakin nyaman kita-kita menjelaskan pada orang-orang yang kurang informasi kalau bertanya "PMI jual darah ya?"


 

***

Jateng Trip: Melipir Jogja – Pulang ke Kotamu

“Jadi ini mau ambil kamar standard ya? Eh mbak, itu kamar mandinya di luar lho..”, tangan yang tadinya hendak menulis check in kamar saya  itu mengantung di udara sementara empunya menatap saya dengan pandangan bertanya.
“Iya, ga papa. Saya tahu kok.”, jawab saya sambil tersenyum.

“Ow..”, kembali ditulisnya data saya di sebuah buku. “Itu isi kamarnya cuma kasur sama kipas angin lho mbak, ga ada apa-apa lagi.”, ujarnya sekali lagi seolah meyakinkan diri sendiri bahwa perempuan di depannya ini benar-benar hendak mengambil kamar paling murah di hostelnya malam itu.

“Ndak papa. Saya juga cuma mau tidur kok, bukan mau ngapa-ngapain.”, balas saya sambil cengar-cengir.

Malam itu sesuai rencana saya menginap di salah satu hostel di Jogja. Sendirian, karena teman saya menginap di tempat saudaranya. Dan sengaja tidak melakukan reservasi karena saya tahu ada banyak sekali penginapan di kota ini. Jadilah untuk menghemat waktu, malam itu selepas menonton Sendratari Ramayana saya menghubungi beberapa penginapan murah yang saya dapatkan di sini, untuk mencari tahu apakah mereka masih punya kamar kosong. Dan pencarian saya berakhir di House 140. Penginapan bergaya kos-kosan ini menawarkan kamar termurah seharga 70 ribu, cocok dengan budget saya. Sebenarnya, kalau mau, saya bisa saja berburu kamar yang lebih murah di Sosrowijayan malam itu. Tapi kombinasi jam 11 malam, ransel berat di punggung, ditambah mata ngantuk membuat saya lebih memilih yang pasti-pasti saja.


Ramayana Ballet: Ketika Sebuah Kesetiaan Dipertanyakan

Belasan laki-laki berwajah sangar tampak mengusung balok-balok kayu besar. Seorang dari mereka menyalakan api, tak lama kobaran api telah melumat balok-balok kayu kering tersebut. Di tengah-tengah mereka seekor kera putih dengan tangan terkungkung ke belakang ditarik ke arah api yang makin membesar. Tiba-tiba, kera itu memberontak lepas. Puluhan pengawal yang seharusnya memanggangnya hidup-hidup tak kuasa menahan kera yang mengamuk. Si kera putih yang menemukan kebebasannya makin tak terbendung, sambil loncat-loncat diambilnya beberapa kayu yang terbakar dan dibawanya berkeliling membakar semua yang dilewati. Api berkobar dahsyat menghanguskan atap-atap rumbia. Sengat hangat bahkan terasa dari tempat saya duduk.
Ya, itu adalah salah satu adegan dalam Sendratari Ramayana yang sempat saya saksikan awal September lalu. Pertunjukan ini digelar di panggung terbuka di belakang candi Prambanan. Untuk menuju ke sana, turun saja di terminal/pasar Prambanan, tepat di depan candi Prambanan. Dari Jogja bisa naik TransJogja dengan hanya 3500 rupiah. Dari pasar, berjalanlah kea rah barat, ke arah Jogja. Sekitar 50 meter, setelah melewati jembatan, beloklah ke kanan (ke arah utara) masuk sebuah gang. Kompleks pertunjukan ada tidak jauh dari pintu gerbang sebelah kanan jalan. Untuk jadwal pertunjukan lengkap bisa diperoleh di sini. Sayangnya, karena bulan Oktober Jawa sudah mulai memasuki musim hujan, maka setelah bulan ini pertunjukan di sana hanya akan kembali digelar tahun depan. Tapi jangan khawatir, selama musim penghujan, Sendratari Ramayana akan digelar di teater tertutup Trimurti.

Jateng Trip: Di Balik Selembar Batik

Kalau ada orang yang iseng bertanya ke saya, ada apa di Solo, pasti jawaban saya melenceng jauh dari urusan traveling. Kota yang katanya unik dengan segala atribut ke-Jawa-annya ini sebetulnya kurang cukup menarik minat saya untuk mengunjunginya dengan alasan traveling. Catatan kunjungan saya ke sana tidak pernah lebih dari sekedar transit, janjian makan siang, dan ke Gramedia. Maka di kunjungan kali ini, saya percayakan saja ke teman saya untuk memilih tempat tujuan selama di Solo yang hanya 6 jam.
Jadilah, setelah perjalanan 3 jam dari Ungaran, kami memutuskan untuk mengunjungi Museum Batik Danarhadi. Turun di ujung jalan Slamet Riyadi, setelah tanya-tanya ke petugas yang berjaga di halte bis, kami naik bis Damri yang pertama melintas. Di pertigaan (atau perempatan) Purwosari, bis membawa kami mengarah ke selatan. Tak berapa lama, bis melewati sebuah gang bertuliskan Kampung Laweyan. Teman saya segera saja menyenggol tangan saya dan bertanya, “Eh, Kampung Laweyan tu, jalan di sini dulu aja po?”. Tanpa menjawab pertanyaan teman saya, segera saja saya berteriak ke kondektur bis untuk berhenti. Sebelum kami turun, kondektur sempat bertanya, “Ga jadi ke Danarhadi Mbak?” yang saya jawab dengan cengiran.

Jateng Trip: Ngafe Dengan Bau Kuda

Pagi belum lama lewat dari pukul tujuh ketika adik saya berpamitan ke kantor. Setelah pemilik kamar, yang terusir dari kamarnya sendiri malam sebelumnya, itu pergi, saya kembali ke alam mimpi. Tidak ada yang bisa mengalahkan damainya tidur seorang pengangguran ketika orang lain sibuk berkutat dengan pekerjaan *pukpuk bantal*. Dan kalau tidak ingat dengan petualangan baru yang menanti, saya dan teman saya mungkin tetap akan bergelung di atas kasur buluk milik adik saya sampai pemiliknya pulang.
Hari kedua rencananya kami akan menyusuri sebagian punggung gunung Ungaran, tepatnya ke kompleks Gedong Songo. Sekitar pukul 9, dari dekat gerbang UNDIP kami mulai perjalanan ke arah patung Pangeran Diponegoro mengendarai kuda. Heran, mengapa patung ini lebih terkenal dengan sebutan patung Kuda dari pada patung Pangeran Diponegoro? Apakah masyarakat kita jauh lebih menghargai kuda daripada pahlawan yang membela tanah air melawan penjajah? *tunjuk-tunjuk langit* Ah sudahlah, daripada saya mendapat tatapan bingung dari penduduk sekitar kalau saya menyebut patung Diponegoro, mending ikutan bilang patung Kuda. Tadinya, saya berfikir untuk jalan karena seingat saya, dari UNDIP sampai patung Kuda tidak jauh (ya lo naik mobil waktu itu Neng…molor pula!), ternyata 15 menit dalam angkot membuat saya tidak berhenti bersyukur. Apa jadinya saya tadi kalau memutuskan jalan kaki, sedangkan naik angkot saja selama itu?

Jateng Trip: Dari Angkot ke Angkot

Dari semua penghuni rumah, hanya saya yang bisa dibilang sama sekali buta kota Semarang, apalagi jalur angkutan umum di sana. Nol besar. Walhasil, karena kota tujuan pertama Semarang, malam itu saya mendapatkan kursus kilat tentang kota Semarang dan bagaimana cara berpindah dari satu titik ke titik lain di sana dari ayah saya. Maka dengan berbekal peta oret-oretan tangan ayah, pagi itu saya dan teman saya (yang sama-sama buta Semarang) memulai perjalanan.
Keluhan saya tentang perjalanan panjang ini berawal terlalu dini, di bis antar kota yang membawa saya ke Teminal Terboyo Semarang. Bisnya luar biasa penuh Saudara-Saudara! Tidak kurang dari 25 kilometer saya berdiri mendekap tas kamera sambil merutuki diri sendiri,yang begitu tololnya mencari susah. Separuh merutuk setengah bersyukur tepatnya. Toh buat saya yang notabenenya seorang turis gembel ini hanya sesekali saja naik kendaraan umum di Indonesia. Hanya sesekali terhimpit jepitan ketiak basah di tengah-tengah bis kota yang gerah. Sementara saya percaya, 90% dari penumpang bis tersebut, menjalani hal yang sama setiap harinya, tanpa pilihan.
Setelah mengkompromikan tujuan kami selama di Semarang, kami sepakat untuk mengunjungi kota Semarang lama,

Enam Hari, Lima Kota, Empat Anak Manusia

Perjalanan kali ini bisa saya bilang semacam win-win solution. Win untuk saya yang bisa menghabiskan seminggu di jalanan di tengah-tengah status saya sebagai anak pingitan. Win untuk orangtua saya yang tahu anak perempuannya hanya akan berkeliaran di “seputaran” rumah mereka. Yap, karena memang trip kali ini saya tidak akan melenceng jauh dari Jawa Tengah, propinsi di mana saya lahir dan dibesarkan. Meskipun menghabiskan 18 tahun pertama hidup saya di propinsi ini, saya cukup buta Jateng. Catatan perjalanan saya di sini tidak pernah beranjak dari rute bis antara rumah orangtua dan kos-kosan di Jogja yang saya tempuh sebulan sekali. Itu pun lebih sering saya habiskan dengan mata terpejam alias tidur.
Meskipun hanya di Jawa Tengah, saya cukup detail merancang leg demi leg perjalanan ini. Ternyata propinsi ini tidak kecil. Itinerary original saya yang meliputi Karimunjawa, Purwadadi, Semarang, Magelang, Solo, Jogja, dan Dieng menghabiskan tidak kurang dari 9 hari perjalanan. Kendala terbesar ada di transportasi, karena ada beberapa mode transportasi yang tidak regular tiap hari dan kebanyakan saya membatasi pergerakan untuk berpindah kota di siang hari.
Tadinya perjalanan ini lebih berupa single trip, meskipun di beberapa kota akan ada beberapa teman yang bergabung. Ternyata, hanya dengan satu kalimat di reuni SMA, umpan trip ini disambar oleh beberapa teman, meskipun hanya 1 yang bergabung dari awal perjalanan. Maka setelah tambal sulam itinerary, pilah-pilih tujuan dan pergantian personil, perjalanan selama enam hari dari Selasa – Minggu, mengunjungi lima kota Semarang bawah, Kab. Semarang, Solo, Jogja, Wonosobo, serta empat rekan perjalanan ini pun dimulai.
PS.   Numpang mohon didoakan supaya ga macet di tengah jalan nulisnya. ^^
PSS. Baru sekali ini catper berhari-hari travelling terlengkapi. What a record!


***

Mount Kinabalu Climbing: Do It Yourself

Eh, fitnah! Siapa bilang saya pernah mendaki di gunung Kinabalu? Disclaimer dulu deh sebelumnya, saya belum pernah sekali pun berkesempatan mendaki gunung tertinggi di pulau Kalimantan ini. Ingat! Gunung tertinggi di pulau Kalimantan, bukan di Asia Tenggara (peluk haru puncak Carstensz Pyramid di Jayawijaya). Ini hanya catatan kecil seorang bebal nan keras kepala yang penasaran bin tertantang untuk melawatkan kakinya ke Low’s Peak. Eh ya, meskipun namanya ada Low-nya bukan bearti puncak setinggi 4.095 meter di atas permukaan laut ini rendah-rendah saja. Nama puncak gunung Kinabalu ini diambil dari nama seorang pendaki berkebangsaan British, Sir Hugh Low yang konon katanya merupakan orang pertama yang menginjakkan kaki di sana pada tahun 1858.
Untuk mendaki gunung ini terbilang gampang-gampang susah. Lebih banyak gampangnya dari pada susahnya. Tentu saja kalau saya bandingkan dengan mendaki Semeru misalnya. Pernah ke Semeru Na? Err..kaga, tapi kan tahu cara pakai Google *hopeless*. Jadi gini, berdasarkan googling saya tentang pendakian di Kinabalu selama hampir 3 tahun ini, terutama dari catatan-catatan perjalanan para pendaki gunung dari Indonesia, saya mendapatkan kesimpulan bahwa Kinabalu adalah pendakian yang cukup mudah.

Reuni SMA

Mungkin salah satu orang yang pantas mendapatkan ucapan terima kasih atas terselenggaranya reuni ini adalah Mark Elliot Zuckerberg. Anak muda Amerika berusia 27 tahun ini (njrit, saya masih ga percaya ni bocah kelahiran ’84. Wikipedia bener ga si?) benar-benar menghadirkan cara terkoneksi yang berbeda. Ini bukan mau promosi Facebook, bukan juga membesar-besarkan salah satu social media popular ini, karena saya yakin tanpa Facebook pun reuni ini akan bisa terlaksana. Tapi saya juga yakin setidaknya 30% kerjaan panitia lebih mudah dengan adanya candu satu ini. Kalau pun keyakinan saya itu salah, saya bisa pastikan 1 hal, bahwa saya sangat terbantu dengan Facebook saat reuni. Kenapa? Karena setidaknya saya cukup update berita terbaru, si A sekarang kerja di mana, si B ternyata sudah menikah dengan salah satu teman SMA kami, atau kabar terbaru si Z tentang anaknya yang lucu-lucu. Well, bisa dibilang, kombinasi update status, upload foto, dan fasilitas chatting yang terkoneksi itu sedikit banyak mengurangi kata-kata seperti, “Itu siapa?”, “Oh ya?” dan “Oh, anakmu tiga tho? Kirain belum nikah.”  terlontar dari mulut saya.
Jujur saja, pada awalnya saya tidak terlalu tertarik ide reuni ini. Jadi meskipun wacana reuni sudah dilontarkan sekitar akhir tahun lalu, saya baru mendaftar di akhir July. Bahkan, sampai menjelang hari H, saya masih berfikir untuk tidak datang di acara itu. Mengapa? Err, jadi gini, saya selalu merasa bahwa selama SMP dan SMA (ya kalau SD lain cerita lah ya, secara murid satu angkatan cuma 40 anak), saya itu cukup tidak dikenal. Tidak aktif di OSIS, tidak pernah terlibat kepanitiaan, masuk Pramuka hanya di tahun pertama, tidak pernah terlibat kebandelan-kebandelan anak SMA, tidak pernah ikuran bolos kelas tambahan (Eh, menjadi prookator teman sekelas untuk menolak wali kelas itu tidak termasuk kan ya?). Jenis-jenis murid yang kalau waktu istirahat bisa ditemukan di kelas atau di perpustakaan. Cenderung pendiam dan introvert (dengan nama Tuhan, aku berlidung dari sambitan sandal yang terkutuk). Singkat kata, saya itu bukan jenis siswa popular. Nah, males dong datang di reuni yang kemungkinan besar saya akan menerima banyak pertanyaan “Eh, siapa ya?” atau worse come worst akan jadi terdiam di sudut ruangan menjadi patung yang pandai tersenyum tanpa bisa menanggapi obrolan seru teman-teman saya (ingat! Saya itu introvert).
Satu point lagi kenapa saya setengah hati dengan reuni ini pada awalnya adalah, saya malas mengantisipasi pertanyaan “Kamu kapan nikah Na?” dengan jawaban “Eh, taplak mejanya lucu, boleh dibawa pulang ga?”.

Well, say that I’m too paranoid. Err, yes I’m. Karena kenyataannya acara reuni itu berjalan dengan menyenangkan. Bisa bertemu dengan teman-teman yang sudah 10 tahun tidak bertemu langsung (ya iya, saya sudah setua itu), bertukar cerita tentang apa saja yang sudah kami lewatkan, bergosip tentang guru-guru, bernostalgia dengan sudut-sudut sekolah yang telah banyak berubah dan bertemu kecengan jaman SMA yang ternyata masih sendiri juga (sayangnya mantan kecengan saya ga nongol kemarin). Seru. Dan lebih seru ternyata kenyataanya hanya ada satu pertanyaan tentang nikah yang saya terima. Itu pun lebih terdengar sebagai pertanyaan seorang sobat lama yang terputus kontak selama 10 tahun daripada pertanyaan intimidatif. Well, mungkin saya harus sekali lagi say thanks to Facebook untuk absennya pertanyaan-pertanyaan sejenis. Sering update status dan upload foto ada gunanya juga.

Dan satu hal lagi, di sana saya sadar, saya tidak hanya figur pelengkap dalam sebuah percakapan, saya bukan lagi seorang pendiam yang cukup menjawab sepatah kata atas pertanyaan yang diajukan ke saya untuk kemudian kembali hanyut dalam keheningan, saya menikmati percakapan teman-teman di sekeliling saya meskipun tentang seseorang yang saya tidak ingat lagi namanya. Ternyata, saya bukan lagi gadis introvert yang merasa insecure di tengah-tengah lingkungan asing.
Ah, saya masih mendengar komentar, “Lo pendiam dan introvert? Yang bener aja Na..”

Jetlag

Kata orang, jetlag itu urusan tubuh yang merajuk ketika siklus rutinnya terganggu. Ketika matamu tidak berhenti menuntut haknya untuk terpejam meskipun di luar sana matahari sedang girang-girangnya bersinar. Saat kamu lelah menghitung domba di kepala sambil menatap langit-langit kamar dengan mata nyalang pada pukul 3 pagi. Atau tubuh yang kuyup keringat dingin sewaktu panggilan alam di perut meraung-raung di tengah-tengah meeting hanya karena mematuhi jadwalnya seperti biasa. Itu kata orang, tentu saja. Karena di umurnya sudah yang lewat seperempat abad, tubuh saya toh belum pernah salah mengartikan siang dan malam. Wajarlah, sampai di bilangan passport kedua, buku sakti saya itu memang hanya dihiasi cap imigrasi dari 4 negara Asia Tenggara. Tidak lucu kalau saya mengaku pernah jetlag hanya karena perjalanan sepejaman mata dari Kinabalu ke Singapore.
Namun kadang, jetlag tidak melulu perihal garis bujur. Tak hanya bicara belahan bumi sebagai sebab musabab. Dan tak selamanya harus diikuti dengan urusan perbedaan zona waktu.
Jetlag itu, terbangun jam 7 di Senin pagi karena jeritan kucing kawin dari alarm handphone di sebelah bantal. Menyeret tubuh ke dapur dan menyadari tidak ada lagi secangkir teh yang secara ajaib terhidang di meja sebelah menyebelah dengan sepiring ubi rebus. Dan mules yang mulai melanda ketika semakin dikejar detak jam dinding sementara kamar mandi masih dipakai teman kos. Juga ketika membuka lemari pakaian dan berharap sehelai baju rapi tersetrika, namun sedetik kemudian menyadari semua baju kerja teronggok manis di keranjang baju kotor.
Jetlag itu, secangkir kopi kental yang mengantikan susu coklat di pagi hari. Setangkup roti gandum dengan selai kacang untuk sarapan dan bukannya sepiring nasi goreng dengan selembar telur ceplok. Saat saya menekuri sekotak brokoli dan salmon steam untuk makan siang sambil diam-diam merindukan pedas menggigitnya rica-rica ayam buatan ibu saya. Atau sederhana saja, sesederhana bakso di warung pinggir jalan yang tiba-tiba terasa ngangeni sewaktu saya menikmati Yellow Ginger Chicken di kungkungan interior cantik berjuluk Thai Express di bilangan Iluma.
Jetlag itu berlari menuruni escalator di MRT station memaksakan diri mengejar train yang mulai menutup pintunya meskipun saya tahu akan ada train yang lain 2 menit kemudian. Padahal di saat yang sama seminggu lalu saya sedang berbaring di sofa menatap TV berisi siaran basi infotaiment artis ibukota sambil mengelus-elus kucing yang merem-melek keenakan di sebelah saya. Atau di saat saya menatap semburat jingga rembang petang serta masirnya bulatan mentari dari balik kaca bus kota sambil berharap foreground pemandangan indah itu adalah hamparan sawah dan bukannya gedung-gedung bertingkat mewah.
Jetlag itu 500 kalori yang saya bakar di atas treadmill sambil membayangkan 5000 kalori dari beberapa lusin tusuk sate kambing yang kami sekeluarga bakar di atas bara api di sebuah sore yang tenang di akhir pekan.
Jetlag itu saat waktu menunjukkan jam 11 malam dan satu-satunya yang saya khawatirkan adalah jadwal kereta terakhir, bukannya pesan singkat dari Ayah yang menyuruh saya pulang. Juga malam-malam yang saya habiskan dalam remang-remang kamar di depan laptop menekuri Chrome yang sedang loading membuka Sim Social menggantikan riuh celotehan sepupu-sepupu saya yang memenuhi ruang keluarga dan serambi depan.
Yah, atau taruhlah seperti sekarang, saat jetlag itu bearti sekali lagi melewatkan sepenggal malam bersama rembulan dan segelas good day cappuccino. Berteman rindu. Tanpa kamu, senyummu dan percakapan kecil di sudut ruang itu. 

*Picture is private collection.

Buku-Buku Kehidupan

Ada satu waktu dalam hidup saya ketika saya suka membaca novel chicklit dari para pengarang Indonesia. Nama Alberthine Endah, Clara Ng atau Dewie Sekar pernah dan masih mengisi rak buku kaca di salah satu sudut rumah orangtua saya. Khusus untuk nama terakhir, saya punya koleksi lengkap dari semua karyanya. Sebutlah Zona @ Tsunami, Zona @ Last, Perang Bintang, Langit Penuh Daya, Alita @ First, dan Alita @ Heart. Ada keunikan sendiri dari jajaran karya Dewie Sekar ini. Meskipun terpisah dan tidak tergantung satu sama lain, namun hampir semua tokoh yang muncul dalam buku-bukunya saling terkait. Misal, dalam buku terakhirnya Alita @ Heart, meskipun tokoh dan cerita utama di novel ini tentang kisah cinta Alita, namun ada beberapa fragment nama Zona disebutkan walaupun hanya selintas. Atau di buku Zona @ Last, kemunculan Wira dan Rezia, dua tokoh utama dalam buku Perang Bintang menjadi sepupu Nora, sang tokoh perempuan utama. Buku-buku itu menghubungkan tokoh demi tokoh dari satu buku ke buku-buku yang lain dalam porsi yang wajar.
Hampir sama dengan hidup. Jika tiap keputusan yang kita ambil dalam hidup kita torehkan menjadi separagraf cerita, maka episode-episode hidup kita merupakan sebuah buku dengan kita sebagai penulisnya. Hingga kumpulan dari buku-buku itulah yang menyusun rak kehidupan kita.
Tiap buku itu akan mempunyai tokoh utama masing-masing. Terkadang, tokoh utama dalam salah satu buku akan menjadi sosok figuran di buku kita yang lain. Atau mungkin kemunculan selintas lalu satu tokoh di buku kita 10 tahun lalu, menjadi  tokoh utama pada  buku yang sedang kita tulis sekarang. Dan tak juga melulu dalam cerita yang sama, seorang bisa jadi adalah tokoh utama dalam buku romansa merah jambu. Namun di lain lini masa, seseorang itu menjadi tokoh dalam buku kehidupan kita yang paling membiru.
Sebuah buku, mungkin akan terselesaikan dalam satu waktu. Episode ketika kita bekerja di satu tempat misalnya, di mana antiklimaks terjadi seiring dengan selembar surat pengunduran diri. Namun jauh lebih banyak dari kitab kehidupan itu yang tersusun lintas waktu. Sebuah persahabatan adalah contoh riilnya, yang bisa jadi coretan dimulai dengan setting seragam merah putih dan masih terbuka hingga sekarang untuk kita tulisi. Dan pastinya saya percaya, saat ini kita punya banyak buku  terbuka untuk terus kita torehkan cerita di dalamnya. Buku-buku yang belum lagi mencapai pungkasannya.
Demikian juga saya. Termasuk juga satu buku berdebu yang teronggok di sudut meja kehidupan saya. Buku yang berdebu bukan karena terlupakan, namun hanya karena ketidaksanggupan saya untuk menjamahnya. Tujuh tahun lalu, kata pertama dalam buku itu mulai saya goreskan. Mengisinya dengan catatan merah jambu, biru dan abu. Dan mungkin untuk kebanyakan orang, buku itu harusnya sudah mencapai akhirnya 5 tahun lalu. Selesai. The end. Di saat akhirnya saya harus menutup buku itu dan menyematkannya dalam rak kehidupan saya bersama ribuan buku-buku saya yang lain.

Namun kenyataannya, buku itu masih terbuka di sana. Entah menunggu saya berbesar hati membubuhkan kata “Tamat” di halaman terakhirnya atau bernyali besar untuk kembali menorehkan cerita selanjutnya dengan taruhan kepingan hati saya.
Atau mungkin juga jauh di dalam hati saya, saya berharap tokoh utama dalam buku itulah yang menyelesaikannya untuk saya.
Tapi yang jelas untuk saat ini, jika ada orang yang iseng bertanya, mungkin saya bilang saja, takdir belum mengijinkan saya, bahkan untuk sekadar, menyentuhnya lagi.


* Picture taken from here

Kontrak, Kenapa Enggak?


Setahun lalu, tepatnya di awal Juli 2010, sebuah panggilan telepon di siang hari menyeret saya keluar dari ruangan kantor. Dari sebuah agen pekerjaan, head hunter bahasa kerennya. Dan tolong jangan diterjemahkan secara literal, ini malam Jumat Legi. Telepon itu merupakan tindak lanjut dari resume yang saya kirimkan ke website mereka sehari sebelumnya. Sebuah resume yang saya kirimkan untuk menjawab tantangan tersirat dari teman-teman saya (ironisnya, saat ini, itu satu-satunya alasan yang masih bisa saya ingat mengapa saya akhirnya memutuskan memulai keberuntungan saya tahun lalu). Singkat kata mereka ingin menginterview saya lebih lanjut untuk melihat adakah posisi yang cocok untuk criteria dan kemampuan saya.
Banyak pertanyaan dilontarkan terutama yang berkaitan dengan non-teknikal, termasuk status employment saya di perusahaan saat itu. Begitu mengetahui bahwa saat itu saya adalah karyawan permanen, mereka sedikit ragu untuk melanjutkan. Karena kemungkinan besar posisi yang akan mereka tawarkan ke saya adalah posisi kontrak. Seingat saya, setelah hari itu, mereka dua kali memastikan ke saya apakah saya yakin akan meninggalkan posisi permanen di perusahaan sekarang untuk posisi kontrak di perusahaan baru. Well, why not?

Saya baru menyadari bahwa itu adalah sebuah pertanyaan umum, logis dan bagus sebetulnya, ketika 4 dari 5 teman saya yang tahu bahwa saya give up permanent position for a contract offering, indirect contract pula, bertanya, “Kok mau si?”.
Sebetulnya, tidak semua posisi kontrak itu tidak menguntungkan untuk pihak kita sebagai karyawan. tapi jelas, ada beberapa point utama yang harus dipertimbangkan ketika memutuskan untuk mengambil kesepakatan kontrak. Yuks coba lihat per item di contract employment letter.

1. Termination
  Saya orang yang sangat menghargai commitment. Tapi, jujur saya malas terikat commitment yang tidak perlu (Ini soal kerja, bukan curcol yang lain ya..). Maka bagian yang akan mendapat perhatian saya di point awal adalah bagaimana jika saya memutuskan untuk resign, apapun alasannya, sebelum kontrak selesai. Cek berapa notice period yang harus kita berikan, lihat apa saja syarat-syarat yang diajukan perusahaan ketika kita mengajukan resign. Semakin pendek notice period dan semakin sedikit kerewelan dari company, semakin baik. Dan jika memungkinkan, tambahkan juga item benefit yang harusnya Anda dapatkan jika pihak perusahaan yang justru menghentikan kontrak sebelum waktunya.
  Penalty fee, berapa pun angkanya, adalah big no-no. Kecuali jika perusahaan yang membayarnya pada Anda. Mengapa? Jadi gini, ketika seorang memutuskan resign, itu bearti dia sudah tidak ada passion dan motivasi untuk bekerja di perusahaan sekarang. Tidak ada passion bearti not good performance. Kalau performance tidak bagus, tidak ada gunanya lagi buat perusahaan kan? Dengan resignnya dia, bearti membantu perusahaan membersihkan orang-orang yang tidak berguna kan?
   Jadi, ga masuk akal dong, masa kita sudah membantu perusahaan dengan mengajukan resign tapi masih harus bayar penalty fee? *setan mode.

2.  Medical support
   Medical support itu meliputi cuti sakit dan tunjangan berobat ke dokter. Paling bagus tentu saja jika perusahaan mau member cuti sakit dan tunjangan berobat yang tidak terbatas, tapi percayalah, impossible. Back to reality, biasanya ijin cuti sakit itu 14 hari setahun, kecuali jika harus opname di rumah sakit. Semakin lama ijin yang diberikan, semakin bagus tentu saja. Tapi ada yang perlu diperhatikan juga, bagaimana perhitungan gaji selama kita dirawat di rumah sakit?
   Untuk tunjangan berobat, pastikan hal ini akan menjadi prioritas utama jika Anda tidak punya asuransi kesehatan pribadi. Terutama jika Anda bertempat tinggal di kota dengan biaya dokter yang cukup mencekik leher.

3.  Cuti tahunan
    Penting banget buat saya, mungkin tidak untuk banyak orang lain yang memang gila kerja. Itu mengapa saya tempatkan di point nomer 3. Dan jelas, semakin banyak semakin baik.
   Tapi ingat, pemberian cuti itu juga tergantung dari kebijakan perusahaan dan ijin bos. Sama saja bohong kalau jatah cuti 45 hari setahun tapi susah diambil dengan alasan no-backup atau loading sedang banyak.
   Nah, kalau belum mulai kerja bagaimana bisa tahu kondisi tempat kerja atau mood bos dalam memberi cuti seperti apa? Yah, ini memang tebak-tebak buah manggis dan seperti membeli kucing dalam karung si. Idealnya si, Anda punya kenalan orang dalam sehingga bisa memberikan bisikan “kucing” macam apa yang ditawarkan pada Anda.

4. Cuti lain-lain
   Cuti lain-lain itu misalnya, cuti hamil, cuti nikah, cuti untuk urusan anak, cuti kematian keluarga, dan sebagainya. Percayalah, meskipun saya belum pernah sekali pun memanfaatkan jatah cuti di atas, saya yakin dengan cuti tahunan saja tidak akan bisa menutupnya.

5.  Salary package
   Kalau PNS di Indonesia mengenal gaji ke-13, atau kalau semua karyawan baik negeri maupun swasta di negeri itu kenal yang namanya Tunjangan Hari Raya, maka kota kecil ini mengenal yang namanya AWS (Annual Wage Supplement) sebesar satu bulan gaji. Biasanya AWS diberikan di akhir tahun ketika pembagian salary bulan Desember. Untuk kasus kontrak, pastikan bahwa paket salary (yang biasanya annually) sudah termasuk AWS ataukah belum. Dan jelas akan menjadi pertimbangan yang sangat bagus mengingat satu kali gaji bisa jadi bukan angka yang sedikit.
   Hmm, menulis paragraph di atas, saya baru sadar satu hal. Jadi PNS di Indonesia dapat 14 kali gaji dong? No wonder.

6. Bonus benefit
   Judul point ini namanya bonus, kalau ada bagus, kalau enggak ada baiknya diusahakan untuk dapat. Point ini sangat tergantung dari company apa yang akan Anda masuki. Perlu diingat, tidak semua company memberikan bonus, bahkan untuk karyawan tetap. Tapi meskipun bukan point utama, mengharap perhitungan bonus di contract letter bukan hal yang salah.

   
Selain point-point di atas, to be fair ada beberapa hal yang memang harus dipikirkan sebelum mengambil tawaran kontrak. Apalagi jika posisi Anda sekarang permanen dan tidak dalam kondisi terdesak untuk segera mendapatkan pekerjaan baru. Seperti banyak hal di dunia ini, posisi kontrak tentu saja banyak pro and cons. Tapi jelas pro-cons di sini sangat-sangat subyektif case by case, person by person.

Cons:

1. It’s not a good ladder for carrier
   Kalau tujuan Anda ingin jadi manajer atau mengincar posisi top perusahaan, lupakan status kontrak. Sekali dua kali masih tidak menjadi masalah, terutama di tahun-tahun awal bekerja. Tapi jangan pernah menjadikan ini sebagai hobi untuk seterusnya.

2. Bukan keputusan yang baik jika Anda punya tanggungan
   OK, sebelumnya saya harus bilang, PHK tetaplah PHK. Mau Anda permanen mau kontrak, tetap saja ada kemungkinan untuk mendapatkan surat pemecatan. Tapi untuk karyawan kontrak, selain kemungkinan pemecatan di tengah-tengah kontrak (yang biasanya tidak merugikan perusahaan), jobless di akhir kontrak itu sudah pasti. Akhir kontrak bearti akhir bekerja. Dan sayangnya, bagi hampir separo dari seluruh penduduk bumi, akhir bekerja bearti akhir pendapatan.
   Maka jika Anda punya tanggungan dan tidak terlalu jago mengatur cash flow selama Anda bekerja, lupakan opsi untuk menjadi karyawan kontrak. Masalah Anda sudah cukup banyak Bung!

Pros:
1. Annual salary review
   Selama saya menjadi permanen staff, adjustment gaji tahunan selalu menjadi keputusan sepihak perusahaan. Seorang karyawan hanya akan mendapatkan surat pemberitahuan kenaikan gaji sebesar sekian. Titik. Dan berapa dari kita yang punya nyali untuk mempermasalahkannya ke management? Karena toh company selalu akan bilang, take it or leave it.
   Untuk karyawan kontrak, dengan catatan bahwa perusahaan menawarkan perpanjangan kontrak, selalu ada option untuk menegoisasikan ulang kesepakatan tentang salary dari dua belah pihak. Tentu saja teori “lo jual, gue beli” berlaku di sini. Jika di akhir negoisasi tidak ditemukan keputusan bulat, tentu masing-masing pihak bisa mengatakan take it or leave it. Trus apa bedanya dengan perm staff dong kalau akhirnya seperti itu? Beda, karena Anda punya suara di sana. Beda, karena Anda tetap bisa memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak. Nothing to lose.

2. Sabbatical leave option
   Sabbatical leave di sini saya artikan dari freedictionary.com yaitu sebuah rentang waktu di mana seseorang absen dari pekerjaannya namun tetap terdaftar sebagai pegawai perusahaan tersebut. Popular juga dikenal sebagai gap-year di kalangan pelajar. Yang intinya adalah mengambil jeda terbebas dari rutinitas sehari-hari selama rentang waktu tertentu.
   Sebetulnya kalau ini si istilah saya saja, mengacu pada istilah yang sudah ada. Karena jika terkait dengan kontrak status adalah kita bisa menentukan kapan kontrak baru akan dimulai. Bisa dengan company baru atau company lama. Dan jelas, maksud saya di sini adalah no-pay leave. (Ehm, kalau ada company yang memberi gaji ketika kita mengambil cuti panjang, tolong kabari saya ya..)
   Ini sama saja dengan jika seorang permanen staff resign dan memutuskan untuk mengambil jeda sebelum bekerja di tempat baru. Namun karena adanya notice period yang harus kita served,dalam  prakteknya sangat sulit sekali dilakukan jika sebelumnya kita adalah permanen staff. 
  Apa bedanya dengan pengangguran? Jelas beda. Meskipun sama-sama tidak berpenghasilan, setidaknya satu hal yang pasti, setelah rentang waktu itu selesai kita tetap bisa kembali pekerjaan (ah, makin saya baca makin saya tidak yakin ini sebuah kelebihan).


   OK, sebetulnya saya menulis panjang ini pointnya hanya di item pros nomer 2 di atas. Kenapa? Karena ini adalah hari terakhir saya bekerja sebelum saya mengambil long leave, sabbatical leave, contract-gap leave, you name it, selama 3 minggu. Dua puluh tiga hari to be exact. Yah memang, jumlah yang tidak ada apa-apanya dibandingkan teman-teman saya yang bekerja lapangan di sector pertambangan, yang bisa memperoleh sebulan penuh cuti. Ah, how I envy you guys!

But well, setidaknya ini liburan terpanjang yang bisa saya harapkan saat ini. So, ready or not, let’s pack your bag! 


* Pict taken from here

So, What's Next?

             
           Sebuah percakapan tidak penting di sebuah sesi makan siang membuat saya tertantang untuk menantang diri sendiri. Bisa ga si berlari nonstop 5 kilometer selama 30 menit di kecepatan 9? Ternyata mungkin dan tidak sesulit yang saya pikir. Ayolah, di blog sendiri boleh dong menyombong sesekali. =)
Sebenarnya tantangan terbesar menyelesaikan laps diatas sebetulnya bukan pada larinya sendiri, tapi lebih pada mengatasi kebosanan akut saya memelototi Singapore Flyer ganti warna selama lebih dari 30 menit.
Oke, saya ngaku  saja. Sebetulnya itu tidak nonstop sama sekali, karena saya harus berhenti 2x15 detik untuk membetulkan tali sepatu yang entah kenapa sering sekali terlepas.

So, what's next? Additional 30 minutes? Or make it 10 kilometers in an hour may be? 
Ah, biarkan saya putuskan besok setelah bangun tidur saja lah, core muscle saya rasanya mau putus setelah menyelesaikan 13 lap di atas. Selamat tidur semua....

MYR 200

IDR 550K.
SGD 83.
Jauh lebih sedikit dari jatah transport saya selama bulan July. Kurang dari angka yang tertera di receipt pembelian dompet saya minggu lalu. Lima dollar lebih sedikit dari harga paket promo 2H1M Cameron Highland yang baru saja saya tebus kemarin.
Sebuah pesan pendek dari teman saya membuat sore yang dingin di ruangan ini terasa makin menusuk. Teman saya seorang TKI di Malaysia. Johor tepatnya. Memberitahu saya, bahwa separuh bulan uang gajinya sudah dipersiapkan oleh majikannya, jadi saya bisa ambil sewaktu-waktu ke Johor. Separuh bulan uang gaji itu rencananya akan saya bawa ke Jawa, sebagai uang lebaran untuk keluarganya di sana.
Dua ratus ringgit Malaysia. Maaf, saya masih takjub dengan angkanya. Itu gaji pertama dia setelah bekerja selama 6.5 bulan. Anda tanya kenapa? Karena para pahlawan devisa itu tidak mendapatkan gaji selama 6 bulan pertama dengan alasan sebagai biaya agent. Yap, tidak digaji. Seberat apapun pekerjaan mereka. Sedekat apapun mereka dengan maut selama bekerja.

Saya migrant worker. OK, saya TKI. Yang jauh lebih beruntung daripada rekan-rekan saya yang diakui pemerintah Indonesia tercinta sebagai pahlawan devisa negara. Selama 3 tahun ini, saya kenal beberapa TKI yang bekerja di sector rumah tangga. Saya tahu betapa polosnya sebagian dari mereka. Dan betapa tidak berdayanya mereka. Ditampung di rumah penampungan. Menunggu giliran dikirim ke luar negeri tanpa tahu pasti ke mana mereka akan dipekerjakan. Dioper dari satu tangan ke tangan lain. Tanpa satu dokumen pun di tangan. Tanpa punya pilihan lagi atas hidup mereka. Dan pemerintah saya bilang mereka mengirim para pahlawan devisa? Hell ya, maaf, tapi untuk saya itu lebih terdengar seperti human trafficking.  
Oh ya, salam untuk para petinggi BNP2TKI. Boleh tahu ga Pak, alamat tempat teman saya bekerja? Semua harusnya tercatat kan ya di KTKLN, si kartu canggih ber-chip itu? Ah, pasti kartu itu tak hanya canggih, punya six sense juga mungkin? Mirip dukun gitu. Karena teman saya sendiri tidak pernah tahu hendak dipekerjakan di mana. Ah sudahlah….
Delapan puluh tiga dollar Singapura.
Saya tutup jendela browser i-banking di layar monitor. Saya sudah tak lagi berminat mengeluhkan angka rekening tabungan saya yang babak belur bulan ini. Sigh.
**********

*Picture taken from here

[Bukan] Pre Wedding BrySaf

Jujur saya bingung ketika beberapa waktu lalu seorang teman meminta saya memotret dia dan tunangannya. Kebetulan teman saya ini memang akan menikah dalam waktu dekat. Ya, singkat kata, saya didaulat untuk menjadi pre wedding photographer mereka (Kaga salah Non?). Tentu saja bukan saya sendiri, seorang teman lagi juga mendapatkan tugas yang sama. Tujuannya si saya rasa biar kami bisa saling membackup kalau-kalau salah satu dari kami ada yang baterainya habis, memory cardnya penuh, atau lensanya ketinggalan (Kami? Elu aja kali Na…!!). Idenya di sini adalah casual pre wedding, yang artinya mereka akan memakai outfit sehari-hari, tidak terlalu serius, dan mereka tetap akan punya satu lagi session pre wedding serius dengan outfit serius dan photographer serius (Oh thanks God, they’re not completely mental, dengan menyerahkan event sekali seumur hidup mereka ke kami berdua saja).
Meskipun temanya casual tapi tetap saja membuat saya bingung luar dalam. Grogi cynn… Apalagi sampai seminggu sebelum hari H belum ada ide. Jangankan ide, tempat foto saja belum terlintas. Sampai akhirnya H-3, dari hasil brainstorming saya dan seorang teman tercetuslah ide tentang balon. Yak, balon warna-warni pasti akan jadi pemanis sempurna untuk outfit hitam-putih yang mereka persiapkan. Saya bahkan sudah membayangkan post editing untuk membuat foto dengan kesan retro. Atau simply mereka duduk di rerumputan dengan tebaran balon di sekelilingnya. Cantik dan ceria pastinya.
Sepulang dari ngobrol-ngobrol itu, saya dengan semangat ’45 mampir ke warung 24 jam dekat rumah. Di salah satu sudut yang sepertinya memang dikhususkan untuk property pesta saya menemukan balon-balon warna-warni. Dengan masih semangat yang sama (maju dikit ke ’66 deh), begitu sampai di kamar saya tiup salah satu balon berwarna ungu. But wait, sepertinya ada yang salah. Kok kecil? Lonjong panjang? Transparan? Perlu meniup satu balon lagi untuk meyakinkan saya bahwa saya benar-benar telah salah memilih balon Saudara-Saudara! *Plak* Bukannya bulat seksi lucu warna-warni, setelah ditiup itu balon lebih mirip pepaya malnutrition salah cat. Seorang teman bahkan dengan tertawa ala setannya bertanya “Lu yakin yang lu beli itu balon?”. Of course lah. Lagian masa iya gue ga bisa ngebedain antara balon dengan kond… *ah sudahlah…*
Balon?
Putus asa dengan balon, kami akhirnya end up dengan property berupa setumpuk buku (akhirnya koleksi Inheritance Cycle saya keluar juga dari kantong plastiknya). Sebenarnya sempat terlontar tema piknik, namun tidak terlaksana mengingat property yang dibutuhkan cukup ribet dan mahal (ya iya lah…mo beli keranjang piknik aja di Zara, kaga sekalian nyari tiker di Miu-Miu?).
Dan hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Eh, kok tiba-tiba keinget sama Sanggar Cerita yang popular waktu SD, si narrator sering bilang seperti itu kemudian diikuti lagu sebelum masuk ke percakapan para tokoh (ketahuan deh SDnya tahun berapa..). OK, focus Na. Kembali ke urusan foto session. Pukul 7.30 setelah semua orang berkumpul, pertanyaan pertama adalah “Where’re we going?”, easy answer, breakfast of course. After that? Dunno. J
Karena kebetulan tempat makan pagi cukup dekat dengan Singapore Botanic Garden, maka suara bulat memutuskan bahwa tujuan pertama adalah mengunjungi taman seluas 74 hektar ini. Satu setengah jam terbang begitu saja selama di Botanic, padahal kami hanya sempat mengunjungi taman bonsai, kaktus, ginger, dan swan lake. 
Tujuan berikutnya adalah National Museum of Singapore dan Fort Canning Park, dengan pertimbangan bahwa 2 tempat ini back-to-back. Tidak diduga mencari tempat parkir hari itu di Fort Canning lebih susah daripada mencari BBM subsidi pas malam kenaikan harga. Tidak banyak foto di National Museum karena tidak ada seorang pun dari kami yang mau repot-repot melalukan registrasi. Sedangkan di Fort Canning Park, ide saya untuk menggunakan beberapa makam kuno dengan konsep gothic gagal karena ternyata ada acara di sana. Menjelang sore, setelah makan siang, mampir ke Koi untuk segelas bubble tea, kami menuju Changi Village, tepatnya di Boardwalk. Dan tepat sampai di sana, matahari yang tadinya bersinar cantik tiba-tiba hilang begitu saja di balik awan kelabu. Yak, mengejar sunset memang urusan rejeki, tapi sepertinya rejeki sunset memang tidak pernah saya dapatkan di kota ini. 
Anyway, yah...silakan dinikmati seadanya sambil dimaklumi bahwa tukang fotonya masih sangat amatir.


 








Firework And The City

Just a few snap from my lens point of view about an ordinary weekend at this ordinary city.
Enjoy..!