[A] Commitment [?]

Dua puluh menit berlalu tanpa sepatah kata pun dari kami berdua. Keheningan pekat yang mengambang di antara kami hanya sesekali pecah oleh suara obrolan pengunjung café, yang tak sedikit pun kami acuhkan. Segelas cappuccino pesanan Mayang tampak sudah jenuh berembun tanpa tersentuh. Sementara coffee latte gue hanya tersisa bongkah-bongkah es, karena meminumnya adalah satu-satunya aktifitas yang bisa gue lakukan sementara menunggu dia membisu.
Kali ini tidak perlu bantuan cenayang untuk menebak isi hati perempuan bermata almond di depan gue ini. Wajah kusut itu jelas menunjukkan empunya menyimpan banyak persoalan. Sesekali dilayangkannya pandangan kosong ke kolam di depan café atau sekadar memainkan sedotan di tangannya. Dan gue juga bukannya kekasih berintelegensi jongkok sampai tidak punya ide mengapa perempuan yang sudah gue kencani setahun belakangan ini sedemikian kalut.
“Bisa ketemu malam ini? Di café biasa. Ada yang perlu aku omongin”, itu pesan singkat Mayang sore tadi. Ini jenis SMS pembawa berita buruk kalau teman-teman gue bilang. Kalau perempuan mengirim SMS seperti itu 99% kemungkinannya ada dua, minta putus atau dia hamil. Dan jelas gue tahu pasti, Mayang tidak mungkin hamil. Oh come on, Yudhista Pratama mungkin bajingan tapi gue ga goblok.
“Tadi malam Papa telpon.”, akhirnya Mayang membuka suara juga.
“Oh...”, gue tiba-tiba paham. Jadi benar tentang ini. Sudah sebulan ini, topik kami memang tidak jauh-jauh dari keinginan orangtua Mayang yang meminta sulung mereka untuk pulang. Topik yang gue pikir tidak akan bertahan lama, ternyata lebih serius dari itu. “Mereka masih minta kamu untuk pulang?”
Mayang mengangguk lemah.
“Ya seperti aku bilang, pulang lah. Ambil cuti seminggu atau dua minggu. Toh kantormu itu ga akan tiba-tiba bangkrut hanya karena manager andalan mereka cuti sebentar kan?”
Sunyi. Mayang kembali melayangkan pandangannya ke kolam di depan café. “Masalahnya ga segampang itu Dhis.”. Mayang mengalihkan pandangan ke mata gue dan menghela nafas panjang. “Ada yang belum aku bilang ke kamu, alasan mereka memintaku pulang.”
Gue mengenyitkan kening, “Sup? You got all ears of mine.”
“Ingat, bahwa mereka tidak tahu hubungan kita?”
“Ya. Dan?”
“Mereka berfikir untuk mengenalkan aku dengan anak rekanan Papa. Dia pengusaha muda dengan beberapa usaha yang cukup sukses.”, jelas Mayang. Penjelasan tanggung yang diakhirinya dengan pandangan bertanya ke manik mata gue.
“OK, terus? Masalahnya di mana? Bukannya jadi lebih simple? Kenalan toh tidak akan makan waktu lebih dari sehari dua hari?”
Mayang menyipitkan matanya sambil menghela nafas.
“Dhista, ayolah, kita bukan anak kecil lagi. Dikenalkan bukan lagi sekedar salaman sambil nyebutin nama.”
“Kamu mau dijodohkan maksudnya?”, sambar gue yang disambut anggukan pelan Mayang.
“Kedua keluarga berharap untuk meresmikan hubungan kami segera setelah perkenalan itu. Sekaligus juga untuk menentukan tanggal pernikahan. Jadi intinya, I’ll back for good. Oh, looks betapa ironisnya istilah itu sekarang.”
Hening. Penjelasan Mayang cukup untuk menyibukkan benak kami berdua dengan serabut pemikiran dalam diam.
“Waw..”, tidak cukup cerdas memang, tapi hanya itu yang sanggup gue ucap. “Tapi kamu kan punya kehidupan juga di sini May. Dan seperti kamu bilang, kita bukan anak kecil lagi. Mereka ga bisa begitu saja meminta kamu giving up hidupmu di sini dan hidup di bawah ketiak orang yang baru kamu kenal begitu saja.”
“Hidup yang mana? Hidup sebagai manager di sebuah perusahaan yang bahkan tidak pernah kamu dengar namanya sebelumnya? Yang hidupnya dari payslip to payslip every single month? Atau hidup seorang perempuan single di awal 30an yang tinggal di studio apartment sempit di pinggiran metropolis? Dammit.” nada suara Mayang mulai meninggi.
 “Hei, kamu ga pernah mengeluhkan hidupmu sebelumnya. Dan it’s not sound that bad.”
“Aku bukan mengeluhkan hidupku Dhis. I’m proud of it. Hanya saja itu bukan hidup yang bisa aku jadikan alasan ke Papa untuk membatalkan perjodohan ini. Hidup yang bisa mereka ganti dengan gampang. Kecuali ...” sambung Mayang dengan ragu-ragu.
“Kecuali?”

Mayang menarik nafas panjang, “Temani aku pulang Dhis. Kita jelaskan pada orangtuaku tentang hubungan kita. Aku yakin mereka mengerti kalau aku sudah punya pilihanku sendiri mereka tidak akan memaksakan perjodohan itu.”
“Waw...waw...easy girl...”, gue angkat kedua tangan mendengar permintaan Mayang. “I love you Cinta, but ... well, it sounds like a huge commitment, isn’t it?”
“Hanya kenalan Dhis. Mereka toh tidak akan memintamu menikahiku saat itu juga.”
“Terdengar sama buat gue.” sahut gue pelan.
Mayang yang sepertinya tidak mendengar gumaman gue meneruskan kata-katanya “Lagipula, kita kan udah jalan setahun, mungkin memang sudah waktunya untuk hubungan yang lebih serius kan?”
“Dan setelah setahun ini, you should know that I’m not gonna in to any commitment, right?” tangan gue membentuk tanda kutip tepat di kata “commitment”.
“Terus selama ini kamu anggap hubungan kita ini apa?”
“Well, have fun?”, jawab gue sambil mengangkat bahu.
“Lu … “, lama Mayang menatap gue dengan tatapan tidak percaya. “I see. I should know that.” ujarnya. Keheningan kembali hinggap di meja kami. Kali ini sebuah keheningan yang canggung.
“So, I guess this is the end huh?” Mayang beranjak berdiri dari sofa. “Sepertinya gue bakal ambil first flight besok. Bye Dhista …”.
Kalau gue belum lama kenal Mayang, pasti gue berani bersumpah mendengar getar di suara perempuan yang sekarang sosoknya makin menghilang di kegelapan halaman cafe.
Tanpa menghiraukan peringatan dilarang merokok yang banyak bertebaran di café ini, gue cabut sebatang rokok. Sambil menikmati asap laknat itu mengisi paru-paru, jari-jari gue bergerak menyusuri senarai daftar nomor telepon di ponsel. “Hmm…”
“Hai Nanda cantik... Lagi di rumah ga? Gue lagi di sekitar tempet lu nih. How about ngopi-ngopi cantik mengisi malam?”. Sent.
Tak menunggu lama, ponsel gue memberi tanda menerima pesan. Pesan yang gue baca dengan senyum tersimpul.
Jangan salah terima guys. Gue bukan playboy, gue cuma ga mau patah hati lama-lama saja. So, ciao.. sepertinya gue punya kencan malam ini.
***
*pic taken from here