Kinabalu, The City Below The Wind


“Lagi?!?” itu ucap teman saya sambil geleng kepala ketika saya keceplosan cerita tentang rencana saya akhir minggu ini. Ekspresi, yang entah heran, takjub atau tidak habis pikir, itu mungkin dikarenakan ini bearti sudah yang ketiga kalinya saya mengunjungi kota itu. Meskipun sebenarnya, perjalanan yang ketiga ini lebih dikarenakan kecelakaan kecil ketika iseng-iseng mencoba debit card baru saya. Itu sebabnya perjalanan kali ini benar-benar hanya 2 hari 1 malam di akhir pekan. Dan agenda utamanya adalah mengambil kembali pouch HP abu-abu saya yang tertinggal di sana April lalu, di kunjungan kedua saya. “Segitunya sama pouch HP?” mungkin itu yang terpikir. Masalahnya, di pouch HP itu ada EzLink card (kartu transport Singapore) yang berisi S$50. Agenda yang cukup masuk akal dong?
Gunung Kinabalu dari seberang National Park
Jesselton, atau lebih popular sekarang dengan nama Kota Kinabalu, merupakan ibukota Negara bagian Sabah, Malaysia. Terletak di tepi laut China Selatan dan sekaligus di kaki gunung Kinabalu, kota ini memberikan pengalaman 2 in 1 kepada para turis yang mengunjunginya. Tidak perlu arguing dengan saya bahwa Indonesia juga punya banyak tempat 2 in 1 seperti itu. Bahkan tidak perlu jauh-jauh, kota kelahiran saya juga terletak di tepi laut Jawa, selemparan batu dari Karimun Jawa, dan di kaki gunung Muria. Yang jadi masalah, serpihan-serpihan surga yang ditata rapi olehNya di Indonesia sangat mustahil untuk dikunjungi dalam rangka menghabiskan akhir pekan. Dan dengan budget backpacker pula. Maka Kota Kinabalu adalah tujuan penerbangan paling ideal dan masuk akal untuk menghabiskan akhir pekan memandang matahari tenggelam di pelukan laut lepas dan terbit dari rengkuh pegunungan.
How to get there
Dari Jakarta, sejak beberapa tahun yang lalu Airasia membuka rute penerbangan langsung ke Kinabalu. Sedangkan dari Singapore, terhitung semua maskapai low budget mempunyai penerbangan langsung ke Kinabalu. Sebut saja Airasia, Jetstar, dan Tiger Airways. Jika ingin pengalaman yang berbeda atau sekedar “hitung-hitungan lebih murah mana”, dari Singapore ada pilihan lain yakni terbang dari Johor Bahru. Mengapa lebih murah? Karena hanya dengan menambah MYR 8 untuk shuttle bus dari Kota Raya II terminal ke Senai Airport, kita bisa menekan harga tax bandara Changi yang luar biasa mahal itu. Tapi tentu saja sebagai gantinya kita harus menyiapkan lebih banyak waktu dan tidak bisa menikmati kemewahan Changi.
Kota Kinabalu International Airport (BKI) terletak 8 km sebelah barat pusat kota. Bandara ini mempunyai 2 terminal yang tidak terhubung satu sama lain. Jadi pastikan di terminal mana pesawat akan mendarat atau berangkat. Jarak antar terminal sendiri dengan menggunakan taksi sekitar 10-15 menit.
Terminal 1, berdasarkan Wikipedia, terletak di Kepayan area, dan bisa diakses dari jalan Kepayan, Jalan Lintas dan Jalan Puputan. Terminal ini digunakan oleh sebagian besar maskapai, termasuk Jetstar. Untuk menuju ke kota, terdapat shuttle bus dengan frekuensi keberangkatan setiap jam dengan tujuan akhir Terminal Wawasan. Masih berdasar Wikipedia, dari airport ke Kota Kinabalu bisa juga menggunakan minibus no.17 (KK-Putatan). Minibus ini bisa kita temui sepanjang jalan utama menuju bandara. Pilihan lain bisa mengunakan taksi dengan ongkos sekitar MYR 30 (as per Juli 2010). Atau pilihan lain adalah jalan kaki selama kurang lebih 1-2 jam.
Borneo Beachouse
Katanya sudah 2 kali ke KK, kenapa based on Wikipedia? Karena kesemua penerbangan saya ke Kinabalu selalu berakhir di Terminal 2. Entah menggunakan Airasia maupun Tigerairways. Terminal 2 terletak di wilayah Tanjung Aru, tepatnya di jalan Mat Saleh. Hanya berjarak 100 meter dari jalan Mat Saleh, mempermudah penumpang yang turun di terminal ini untuk mencegat minibus (KK – Tj. Aru) ke arah kota. Atau, karena minibus ini tidak beroperasi malam hari, untuk menghemat budget, menginap di area Tanjung Aru bisa menjadi pilihan. Borneo Beachouse yang terletak di jalan Mat Saleh, 8 menit jalan kaki dari gedung terminal, menjadi hostel favorit saya. Atau untuk yang berkantong lebih, bisa memilih Shangri-La's Resort and Spa yang terletak tepat di pinggir laut Tanjung Aru.
Dari Terminal Wawasan, terminal utama semua bus antar kota yang beada di sebelah barat Kinabalu, tersedia bis kota cukup nyaman yang bisa digunakan untuk berkeliling Kota Kinabalu.
Thing to do
Pusat Kota KInabalu sendiri relative kecil untuk ukuran kota besar menurut saya. Jika kita ukur dari Terminal Wawasan ke Jesselton Ferry Terminal, pusat kota ini memanjang tidak lebih dari 2 km. Sedangkan lebarnya yang hanya sekitar 500 m membuat kita bisa melihat dermaga dari bukit di sisi lainnya. Tentu saja ini hanya pusat kotanya saja, karena luas sesungguhnya dari Kota Kinabalu mencapai 351km2.
Dengan luas pusat kota yang tidak seberapa, kota ini bisa kita kelilingi dengan jalan kaki hanya dalam 1-2 jam. Berjalan kaki di kota ini cukup menyenangkan, karena selain banyak taman di tengah tengah kota, laju kendaraan juga tidak terlalu kencang, kecuali di express way yang terletak di selatan kota. Bahkan di beberapa ruas jalan, yang kebanyakan 1 arah, lebih banyak mobil parkir. Berjalan di sisi barat kota menjadi pengalaman sendiri karena jalanan akan langsung berbatasan dengan laut. Atau jika malas berjalan kaki, naik bis kota dengan tarif 50 cent bisa menjadi pilihan.
Di seputaran kota sendiri ada beberapa spot yang rencananya akan saya kunjungi kali ini:
1.  Kinabalu City Mosque
Masjid ini selalu saya lewati ketika dalam perjalanan dari dan ke Kinabalu National Park. Tapi tidak pernah berkesempatan berhenti dari kendaraan dan mengunjunginya. Terletak sekitar 3 km sebelah timur laut dari pusat kota juga yang membuat akses ke masjid ini relative cukup sulit. Keunikan masjid, yang mempunyai kubah dengan warna dominan biru, ini adalah arsitektur bangunannya yang dibangun diatas air.
2.  Signal Hill Observatory Platform
Berada di puncak bukit, Signal Hill Observatory Platform adalah point tertinggi di Kota Kinabalu. Dari sana kita bisa melihat seluruh penjuru kota dan pemandangan jajaran kepulauan di Taman Nasional Tengku Abdul Rahman. Mencapai tempat ini tidak sulit, bahkan jika kita menginap di Jalan Gaya, bukit ini terlihat dari depan penginapan.
3.  Akitson Clock Tower
Akitson clock tower merupakan menara jam yang berada di atas bukit tepat di atas Kota Kinabalu. Menara ini cukup noticeable untuk dilihat dari kejauhan. Menara jam ini memang tidak istimewa, tapi berfoto di depan menara jam ini dalam perjalanan ke Signal Hill Observatory Platform tentu tidak bisa dilewatkan.
4. Sunday Market di Jalan Gaya
Ini juga aktifitas local yang selalu terlewatkan oleh saya, pertama karena waktu itu saya camping di pulau dan tidak mungkin balik ke kota pagi-pagi, dan yang kedua kalinya karena justru saya harus mengejar pesawat pagi ke KL..
5. KK Esplanade
Pertama kali baca KK Esplanade, yang terbayang di benak saya adalah dome besar berduri-duri, yang tentu saja salah. KK Esplanade adalah anjungan di pinggir pantai yang terletak tepat di tengah-tengah kota Kinabalu. Bisa dibilang kalau ke KK kita akan selalu melewati tempat ini. Sekedar tips, tempat ini sangat tidak cocok dikunjungi siang hari karena tidak ada tempat berteduh atau sekadar pohon perindang. Menikmati sunset sambil duduk-duduk di beberapa bangku kayu yang disediakan atau berfoto dengan latar patung-patung ikan di sana bisa menjadi pilihan mengakhiri hari.
 Tempat lain yang biasanya menjadi tujuan para pelancong di KK adalah Taman Nasional Gunung Kinabalu dan Taman Nasional Tengku Abdul Rahman. Gunung Kinabalu sendiri terletak 80km sebelah tenggara KK. Untuk ke sana bisa menggunakan bus ke arah Ranau atau Kundasang dari terminal bus jarak jauh di jalan Tengku Abdul Rahman di bagian selatan kota. Perjalanan dengan tarif MYR 15-20 ini akan ditempuh selama 2 jam. 
 
Akifitas paling popular di Gunung Kinabalu tentu saja trekking ke puncak. Diperlukan ijin dan booking penginapan di Sutera Santuary Lodge untuk bisa mendaki gunung ini. Info terakhir menyebutkan bahwa sekurang-kurangnya pendaki harus menginap 2 malam di atas yang berarti harus menghabiskan waktu 3 hari 2 malam di atas. Atau bisa juga 2 hari 1 malam dengan syarat pemesanan minimal 6 bulan sebelumnya. Pemesanan langsung di tempat ini terbilang cukup sulit, meskipun bukan tidak mungkin karena begitu tanggal pemesanan dibuka, banyak travel agent, yang tentunya mendapat porsi lebih, langsung berebut memesan. Opsi lain jika memang ingin mendaki tapi memutuskan untuk tidak menginap di atas adalah one day climbing. Di sini syarat yang ditentukan adalah pendaki harus sudah memesan sehari sebelumnya, dan berada di Kinabalu Park untuk registrasi ulang di ranger station pada sekurang-kurangnya jam 9 pagi di hari pendakian. Dan harus kembali ke ranger station pada pukul 5 sore. Biasanya pendaki yang berniat melakukan one day climbing menginap di bungalow yang banyak tersedia di sekiar nationa park. Masing-masing group pendaki akan didampingi oleh guide yang selain berfungsi sebagai penunjuk jalan, juga memastikan bahwa kita akan kembali turun sekitar pukul 1 siang baik sudah sampai di puncak maupun belum. Biaya untuk paket ini relative jauh lebih murah karena tidak perlu menginap, yaitu sekitar MYR 130, yang meliputi permit fee dan guide fee. Hanya saja paket ini masih tergantung pada ijin dari ranger, tergantung cuaca dan kondisi gunung di hari pendakian.
View dari tenda @Mamutik

 

  

Jika tidak tertarik dengan pegunungan atau dikarenakan waktu yang terbatas, maka National Marine Park Tenku Abdul Rahman (TAR) bisa menjadi pilihan. TAR yang hanya berjarak seperlima lemparan batu dari KK ini bisa ditempuh dengan boat dari Jesselton Ferry Terminal selama kurang dari 15 menit. Selain dari Jesselton, yang berada di pusat kota Kinabalu, menuju TAR juga bisa dari pelabuhan Tanjung Aru. Pelabuhan ini sebetulnya merupakan bagian dari Shangri-La's Resort and Spa namun terbuka untuk umum. Hanya saja tiket ferry pulang pergi hampir 2 kali lipat dibandingkan dengan Jesselton. Kepulauan ini terdiri dari 5 pulau, Pulau Gaya, sebagai pulau terbesar, P. Manukan, P.Mamutik, P.Sapi, dan P.Sulug. Tidak hanya untuk sunbathing, jajaran kepulauan ini juga cukup nyaman untuk snorkeling. Meskipun coral-coralnya tidak terlalu beragam, tapi ikan-ikan jinak warna-warni sebesar telapak tangan yang berenang-renang sampai ke tepian pantai menjadi hiburan tersendiri. Jika ingin mendapatkan pengalaman sedikit berbeda bisa juga memutuskan untuk camping di salah satu pulau tersebut. Ada banyak penyewaan tenda, snorkeling gear di pelabuhan maupun di pulau itu sendiri.
Senja di Fish Market
Untuk penggemar seafood, menikmati seafood segar yang baru saja dibakar di Fish Market sambil ditemani matahari senja yang masuk ke peraduan bisa juga menjadi pilihan. Pasar ikan terletak di sepanjang pantai di jalan Tun Fuad Stephen.
Sok tahu di Kinabalu
         Bicara Kinabalu adalah bicara kota yang mengingatkan saya bahwa kadang sifat sok tahu saya sudah ada di ambang batas atas toleransi. Sedikit lagi out of spec kalau orang QA bilang. Bahwa kadang saya tidak sadar kalau saya sudah sok tahu itu bukan berita baru. Seperti kala itu ketika kedua kalinya mendarat di terminal 2. Saya yang tahu persis jalan dari terminal 2 ke hostel yang kami pesan di Tanjung Aru kala itu langsung mengajak teman saya jalan kaki ke hostel. Kala itu malam sudah cukup larut, pukul 10 seingat saya. Baru beberapa meter jalan tiba-tiba sebuah mobil sedan melambat di sebelah saya. Jendela sisi penumpang terbuka menampilkan wajah seorang pemuda yang kemudian bertanya, “Maaf, tahu Beach Hotel kat mana?”
         Dengan penuh sok tahu saya memberikan direction ke arah Beach Hotel. Tiba-tiba tebersit ide gila di otak saya, karena kebetulan kami juga hendak menuju nama hotel yang sama. “Boleh tumpang tak? Saya juga nak ke sana.”. Setelah ragu beberapa saat akhirnya pengemudi mobil menyilakan kami berdua masuk ke mobil.
“Menginap di sana juga? Mahal kan ya?” tanya salah satu dari mereka.
“Ah, enggak kok. Murah tu, namanya juga backpacker hostel”
“Hah? Beach Hotel kan?”
“Iya, Beach Hotel di Tanjung Aru kan?” mulai ngerasa ada yang salah. “Nah itu yang sebelah kanan. Lurus aja trus ambil U turn di depan” sambung saya sambil menjelaskan. Karena bangunan tujuan kami memang sudah dekat. Tak lama kemudian sampailah kami di depan hostel yang kami pesan
“Oke, nah ini kan yang dimaksud Beach ..” seketika kata-kata saya menggantung demi melihat papan nama hostel kami “Borneo Beachouse”. “Sh*t”, umpat saya dalam hati, “Duh…maaf sekali…saya pikir..duhh..sorry yaa…”
Dua orang yang “terpaksa” mengantar kami sampai depan penginapan itu hanya geleng-geleng sambil mengucap “It’s OK”.
Saya yang sudah tidak bisa bilang apa-apa lagi segera keluar mobil dengan menahan malu, “Well, thanks tumpangannya anyway” dan segera mengikuti teman saya yang sudah terlebih dahulu berjalan ke dalam hostel tanpa menoleh ke belakang lagi.
              Masih soal sok tahu, masih di kunjungan kedua juga tapi sayangnnya kali ini tidak membuat keuntungan di pihak saya. Hari itu saya punya penerbangan pagi ke KL dari Kinabalu. Maka atas alasan  kepraktisan saya menginap di hostel yang sama di dekat bandara tersebut. Penerbangan saya pukul 7.45 pagi. Berbekal hitungan selama ini menginap di BorneoBeachouse, 10 menit adalah waktu paling lama yang saya butuhkan untuk mencapai counter checkin dari tempat tidur saya. Pagi itu saya putuskan berangkat lebih awal, agar benar-benar bisa menikmati udara segar pagi hari Tanjung Aru dalam perjalanan. Pukul 6.45 saya sudah meninggalkan kamar. Berjalan santai, kurang dari pukul 7 saya sudah sampai di counter check in. Counter Airasia tampak lenggang saat itu.
“Good morning, flight to Kuala Lumpur please” kataku segera kepada petugas yang sedang menjaga counter.
“Sorry Mam, it closed already”
“Hah? Not possible. It’s still more than 45 minutes. My flight is 7.45”
“No flight at that time Mam”
“But Sir, that must be a mistake, I do remember my flight is 7.45. And I still have 45 minutes” saya yang merasa benar tidak mau kalah.
“Mam, may I see your itinerary?”
“I..ok wait..” saya bukan orang yang hobi mencetak itinerary tiket penerbangan, tapi untungnya saya selalu menyimpan copi filenya dalam HP. “No way..” pikir saya demi melihat itinerary yang menyatakan bahwa penerbangan saya ternyata pukul 7.25.
“Sorry…really sorry. I thought my flight was 7.45” saya benar-benar tidak bisa berkata-kata lagi untuk membuat pembelaan diri yang lebih baik kala itu. Yang terfikir hanyalah bahwa saya ketinggalan pesawat dan harus membeli tiket lagi.
“Actually, from where you got that idea, hah?”
“Err…my head.”
”....” gantian petugasnya yang speechless dan akhirnya dengan muka putus asa mengijinkan saya check in. Yihaaa...!!! ^^'

Have you donated your blood this quarter?

       Aku edarkan pandangan di ruangan yang didominasi warna putih itu. Bau antibiotik khas rumah sakit tercium samar. Beberapa kali terlihat perawat berpakaian putih-putih itu melintas di hadapanku. Seorang bapak dan perempuan muda tampak duduk bersandar di bangku seberang. Seorang sedang berbicara dengan perawat di ruang kaca, entah apa yang mereka bicarakan. Sedang 2 orang lain aku lihat berbaring di sebuah tempat tidur. Semuanya tampak sibuk dengan urusan dan pikiran masing-masing.
       "Buat siapa Mbak?" sebuah suara tiba-tiba mengagetkanku dari pengamatan iseng ruangan ini.
       "Maaf, apa Bu?" ternyata seorang perempuan setengah baya duduk di sebelahku.
       "Mbak'e mau donor buat siapa?" ulangnya lagi.
       "Oh, ndak buat siapa-siapa. Ini rutin aja."
       "Golongan darah apa?"
       "O"
       "Oh, kalau gitu buat aku saja ya Mbak..buat anakku. Dia kena leukimia. Darah yang dibutuhkan belum cukup. Ya Mbak?" lanjutnya antusias menjelaskan tanpa aku minta.
       Tanpa pikir panjang, aku segera mengiyakan permintaannya dan memastikan ke perawat bahwa darahku nantinya akan digunakan oleh anak ibu itu.
       Pada awalnya perawat itu cukup ragu dengan keputusanku. Karena biasanya yang menjadi donor darah untuk kasus kanker darah adalah laki-laki, mengingat darah yang akan diambil lebih banyak daripada donor darah biasa. Setelah meyakinkan perawat, bahwa ini bukan pertama kalinya aku donor, akhirnya anggukan kepalanya mengembangkan senyum di bibir si ibu.
       Donor darah adalah salah satu keinginan terpendamku yang tidak pernah bisa aku realisasikan saat aku masih tinggal dengan orang tua. Keinginan yang lain adalah menjadi anggota Paresmapa (Pecinta Alam SMA 1 Pa*i), hehehe. Hingga akhirnya ketika kuliah, di saat ijin orang tua kadang bisa diminta setelah hal dilakukan, terealisasikanlah keingingan itu.
       Aku ingat donor darah pertama kali di Fakultas Kedokteran Umum kampus. Tidak ada persiapan, karena aku tahu ada kegiatan donor pun ketika melewati banner pengumuman di sebelah fakultas. Bahkan kala itu aku yang bersepeda sempat berfikir, "Setelah donor kuat naik sepeda ga ya?". Ternyata semua berjalan lancar. Tidak ada terasa pusing, berkunang-kunang, lemas, atau segala hal yang sempat aku kuatirkan. Selain Jogja, terhitung Sukoharjo, Batam dan Singapore pernah menjadi tempat donor darahku di tahun-tahun berikutnya.

Apa si donor darah?
Creative campaign of blood donation
       Donor darah merupakan proces ketika seorang yang sehat secara sukarela diambil darahnya yang kemudian digunakan dalam transfusi darah atau disimpan di bank darah guna dipakai sewaktu-waktu dibutuhkan (Wikipedia).
       Pada umumnya darah dari pendonor akan digunakan/diberikan kepada orang lain yang membutuhkan. Tapi bisa juga melakukan donor darah untuk diri sendiri. Karena, dengan berbagai alasan, bagaimanapun juga menerima darah sendiri jauh lebih baik daripada darah orang lain. Praktek ini belum umum, atau aku saja yang jarang menemukan, di Indonesia, tapi sepertinya cukup umum di Singapore. Keterangan lebih lengkap donor untuk diri sendiri ada di sini.

"Bisa donate ga ya?"
       "Wah..aku darah rendah." atau "Sorry Na, sepertinya gue kurang darah". Itu 2 dari sekian banyak jurus mengelak paling sering aku temui ketika mengajak orang untuk donor darah. Padahal keputusan seorang bisa donor darah atau tidak baru bisa diambil setelah serangkaian pemeriksaan sebelumnya. Tapi apa saja si batasan seorang bisa mendonor atau tidak?
       Aku ambil dari website HSA (Health Science Authority), pada dasarnya syarat untuk menjadi donatur darah tidaklah sulit, yaitu:
  • Berusia antara 16 sampai 60 tahun
  • Berat badan lebih dari 45 kg
  • Sehat atau merasa sehat
       Pada dasarnya hanya itu syarat utama seorang bisa mendonorkan darahnya, untuk kategori syarat yang bisa kita lihat tanpa pemeriksaan lebih lanjut. Begitu sampai di tempat donor darah, akan ada pemeriksaan lanjutan yaitu pemeriksaan kadar hemoglobin dan tekanan darah. Kadar hemoglobin atau zat besi dalam darah untuk menjadi donor harus  lebih dari 12.5 g/dl. Tapi tidak boleh terlalu kental juga. Batas atas yang masih diperbolehkan setahuku 16 g/dl. Sedang untuk tekanan darah yang diperbolehkan yaitu systole 110 – 160 mm Hg dan diastole 70 – 100.  
Namun perlu diperhatikan juga beberapa kondisi yang mengharuskan seseorang menunda dulu keinginannya untuk donor darah, antara lain:
  • Mempunyai gejala infeksi, seperti radang tenggorokan, diare, diharapkan menunda hingga 1 minggu setelah sembuh.
  • Demam lebih dari 38 derajat Celcius, diharapkan menunda hingga 3 minggu setelah sembuh. 
  • Setelah membersihkan karang gigi, diharapkan menunda sehari tapi kalau cabut gigi, ditunda dulu 3 hari. Khusus untuk cabut gigi geraham bungsu (wisdom tooth), harus menunda donor hingga 3 bulan.
  • Infeksi kulit ringan, diharapkan tunggu 1 minggu setelah sembuh
  • Berada di lingkungan yang terkena demam berdarah, cikungunya tapi tidak terinfeksi, ada baiknya menunggu 3 minggu. Ini sebabnya dalam pemeriksaan selalu ditanyakan apakah calon donor baru saja dari daerah rural di Indonesia atau negara-negara tropis lainnya dalam jangka waktu 3 minggu sebelumnya. Jika positif terinfeksi, maka waktu tunggu menjadi 6 bulan setelah penyembuhan.
  • Khusus untuk malaria, masa tunggu menjadi lebih lama, setidaknya 3 tahun setelah penyembuhan. Dan untuk orang yang berpergian ke daerah rural dimana malaria masih merupakan penyakit endemik, maka diharapkan menunggu hingga 6 minggu. 
  • Kontak dengan penderita Hepatitis B, diharapkan menunggu hingga 12 bulan dan telah mendapatkan imunisasi penuh Hepatitis B. 
  • Tattoo, tindik telinga atau bagian badan lainnya, akupuntur, dan tranfusi darah, diharuskan menunggu 1 tahun.
       Selain hal-hal diatas yang memaksa seseorang menunda donor darah, ada beberapa hal yang membuat seseorang tidak memungkinkan untuk mendonorkan darahnya. Syarat khusus itu adalah:
  • Penderita AIDS atau mereka yang berpotensi terpapar virus HIV seperti pengguna obat-obatan terlarang, pekerja seks komersial, seorang yang berganti-ganti pasangan seksual, pria yang melakukan hubungan homoseksual, dan siapa pun yang berhubungan seksual dengan dalam lingkungan di atas.
  • Penderita Hepatitis B
  • Penderita Syphilis 
Jadi, punya alasan yang lebih baik dong untuk menolak ajakan donor darah?

Donation process
       Ada lagi alasan yang beberapa kali aku dengar, "Ga deh, takut jarum gw". Oke, untuk alasan ini aku tidak bisa bilang apa-apa. Tapi bagaimana sebetulnya process donor darah? Semenakutkan pandangan orang ga si? Jarumnya segede apa si? Dan sakit ga si? 
       Secara garis besar, standard operation procedure untuk donor darah hampir sama antara Singapore maupun Indonesia. Pertama, kita akan diminta untuk mengisi formulis yang berisi data diri, riwayat kesehatan, aktifitas seksual, dan aktifitas mobilitas terakhir kita. Kemudian dilakukan pemeriksaan oleh dokter yang meliputi suhu tubuh, tekanan darah, dan berat badan. Untuk yang terakhir ini sepertinya tidak pernah ada yang meragukan aku *curcol*. Dokter ini juga bertugas untuk mengkonfirmasi kembali jawaban di lembar formulir yang kita isi.
       Pemeriksaan berikutnya adalah pemeriksaan hemoglobin. Pemeriksaan hemoglobin dilakukan dengan cara mengambil sedikit darah dari ujung jari menggunakan alat semacam pulpen tapi dengan ujung jarum halus. Setahun lalu, pemeriksaan hemoglobin dilakukan dengan menjatuhkan tetesan darah kita ke dalam cairan berwarna-biru-yang-aku-tidak-tahu-namanya. Jika darah mengambang, maka dianggap tidak memenuhi 12.5 g/dl yang ditentukan. Sekarang pengukuran dilakukan dengan semacam alat ukur digital yang akan menunjukan secara akurat berapa kadar hemoglobin dalam darah.
       Jika lolos, maka tahap berikutnya adalah pasrah. Maksudnya, waktunya donor darah. Kita akan diminta tiduran, walaupun beberapa teman memanfaatkannya untuk tidur beneran, dan ditanya akan mendonorkan tangan kanan atau tangan kiri. Maksudnya lagi, akan diambil darah di tangan kanan atau tangan kiri. Setelah itu, proses mencari pembuluh vena dilakukan. Pada beberapa kasus, pembuluh darah begitu kecil atau tertanam dalam, hingga sulit ditemukan. Termasuk kasus seorang teman yang mencak-mencak tidak terima setelah ditolak 2 kali karena pembuluh darahnya tidak ditemukan. 
       Setelah itu, petugas akan memberi anestesi di daerah yang akan diambil darahnya. Setelah sekitar 3 menit, maka proses pengambilan darah bisa dimulai. Prosesnya sendiri tidak memakan waktu lama, hanya sekitar 10-20 menit. Tergantung amal ibadah dan kondisi darah masing-masing. Ada tips untuk mempercepat darah keluar, yaitu melakukan gerakan meremas secara kontinyu. Biasanya akan disediakan semacam bola karet kecil yang bisa diremas untuk membantu gerakan, dan boleh dibawa pulang jika tidak malu meminta ke petugasnya.
       Setelah kantong darah penuh, biasanya petugas akan meminta kita tetap berbaring hingga beberapa saat sebelum membebatkan perban warna-warni di siku. Lengkaplah proses donor darah dan tugas kita sebagai umat manusia.
       Sebelum dan setelah donor darah ada baiknya perbanyak minum untuk mempercepat regenerasi darah, perbanyak makanan yang mengandung zat besi, cukup tidur. Khusus sehari setelah donor, usahakan jangan mengangkat barang berat dan terlalu intens berolahraga. Intinya, istirahat dulu deh sehari.

Fun in blood
       Pernah ga ditolak donor darah? Pernah, sekali. Waktu itu tetesan darahku mengambang di pemeriksaan hemoglobin. Pernah pingsan setelah donor darah? Untungnya belum pernah, dan jangan pernah. Kata bu Guru, tidak baik menyusahkan orang lain, apalagi untuk menggotong aku yang pingsan kan?
       Pengalaman tidak terlupakan donor darah aku alami di Batam. Dengan hasrat dan semangat menggebu, akhir minggu itu aku menyambangi kantor PMI Batam yang terletak tepat di depan pusat perbelanjaan paling besar di Batam. Tak perlu waktu lama, setelah pemeriksaan dan sebagainya, proses pengambilan darah pun dimulai. Tunggu punya tunggu, pengambilan darah yang biasanya hanya memakan waktu 15 menit molor hingga lebih dari 30 menit. Penasaran dengan apa yang terjadi, petugasnya pun mengecek selang yang menghubungkan jarum di lenganku dengan kantong darah. Dan ternyata, selangnya tertekuk. Akibatnya darah yang sudah terlanjur keluar tidak lancar masuk ke kantong darah tapi membeku dan menyumbat selang. Akhirnya, kantong yang sudah berisi setengah itu terpaksa dibuang. Sedangkan nasib lenganku, meskipun tidak sakit, lebam kehijauannya tidak hilang selama seminggu penuh.
       Pengalaman lain lagi yang tidak terlupakan adalah donor darah pertama. Bukan donor darahnya sendiri yang begitu memorable, tetapi setelahnya. Seperti biasa setelah donor darah, kita akan diberi multi vitamin penambah zat besi dalam darah. Kala itu aku ingat sebotol "Sangobion" cair ukuran kecil. Entah petugasnya yang tidak menjelaskan atau aku yang sedemikian antusiasnya atas donor darah pertamaku waktu itu, sambil jalan meninggalkan meja pemeriksaan, segera aku buka botol itu dan aku minum hingga habis setengah.
       "Mbak, itu diminum nanti saja di rumah" ujar petugas PMI yang memeriksaku sebelumnya. Aku hanya tersenyum menanggapinya. Hingga akhirnya sampai di rumah terbaca olehku cara pemakaian yang tercantum di botol kecil itu.
       "Dosis anjuran: 1 sendok teh (5 ml) / hari."
        "........"

Jakarta Bogor Dalam Pelarian

  Ada ratusan pilihan jurusan penerbangan dari bandar udara terbesar se-Asia Tenggara ini. Tapi tentu bukan tanpa alasan kalau saya akhirnya memutuskan Jakarta sebagai tempat melarikan diri saya minggu lalu. Alasan yang tidak perlu lah kita bahas di ranah publik ini.
  Jarum pendek jam baru saja melewati angka 2 ketika saya melangkahkan kaki keluar dari taksi yang membawa saya dari Tampines di Changi airport. Pagi itu bandara tampak masih lenggang. Satu dua orang tampak saya lihat menyerah pada kantuk dan merebahkan diri di tempat-tempat yang mereka rasa nyaman untuk sekadar meluruskan punggung. Changi memang cukup ramah untuk para musafir kemalaman. Beberapa orang tampak asyik menekuri komputer jinjing mereka. Sebelum saya menyusul mereka menikmati wifi gratis yang ditawarkan bandara ini, saya menyempatkan diri berkeliling area keberangkatan terminal 2 itu, untuk mencari colokan listrik, mengingat baterai laptop saya yang kritis. Tidak susah sebenarnya mencari colokan listrik di sini. Di setiap pilar gedung dan di beberapa tempat di dinding ada kotak putih colokan listrik. Hanya saja, hampir semua colokan, yang jumlahnya puluhan itu, terkunci. Usaha pantang menyerah saya membuahkan hasil. Di area check in Singapore Airlines, tepat di depan gerbang utama keberangkatan terminal 2, ada semacam alat X ray untuk bagasi penumpang. Di bawah alat tersebut mencuat 2 buah colokan listrik yang saya cari-cari. Maka tanpa menghiraukan dinginnya lantai bandara, mulailah saya menjadi penguasa area itu beberapa jam ke depan sambil menunggu waktu check in.
Jakarta pagi ini
  Tidak tidur semalaman benar-benar melumpuhkan otak saya. Saya yang memutuskan untuk cepat-cepat masuk pesawat pada panggilan boarding pertama segara menutup mata begitu duduk. Saya tertidur bahkan sebelum pesawat 1/3 penuh. Saya sempat terkejut ketika tersadar pesawat melaju kencang di runway, saya pikir sudah mendarat. Ternyata pesawat baru saja akan take off. Maka lanjutlah acara tidur saya pagi itu. Begitu tersadar lagi hal pertama yang saya dengar adalah pengumuman pramugari bahwa dalam beberapa menit lagi kami akan mendarat. Pemandangan kota Jakarta tenggelam dalam kabut segera menghampar di bawah saya. Kabut yang cukup membuat miris memang. Kota di pesisir ini memang tidak seharusnya berkabut di pagi hari, apa lagi saat itu sudah lebih dari pukul 7.30. Sepertinya asap pembuangan segala hal telah betul-betul meresap di kota metropolitan ini. 
Eat and Eat
  Saya harus bilang di awal bahwa saya bukan penikmat wisata kuliner yang baik. Bukan karena saya tidak suka makan (jelas kalau itu), tapi karena buat saya makanan itu hanya ada enak dan enak sekali. Jadi entah mau wisata kuliner atau tidak, buat saya tidak ada bedanya.
  Tapi pulang ke Indonesia tanpa mengkhususkan diri mencicipi kuliner populer terakhir di sini memang kurang afdol. Maka saya langsung mengiyakan dengan antusias begitu teman saya mengajak saya makan malam di D'Cost Plaza Semanggi. Saya pertama kali mendengar nama D'Cost ketika teman-teman milis berencana mengadakan buka bersama di sana. Di Jakarta sendiri ada 34 gerai D'Cost yang tersebar di banyak mal-mal besar. Tempat makan yang mengusung line "Mutu bintang lima, harga kaki lima" ini betul-betul membuktikan janjinya. Yang paling mencolok mata adalah harga "Es Teh - Rp500,00", harga yang terakhir kali saya temui di warung makan 12 tahun lalu.
  Malam itu kami berdua memesan Kepiting Soka Saus Telur Asin, Ikan Patin Tim Kecap, Tumis Kangkung Belacan, masing-masing satu porsi. Dua porsi nasi putih. Dan 3 gelas es teh manis (tidak perlu bertanya siapa yang memesan 2 gelas). Kepiting Soka Saus Telur Asinnya, terasa menggoyang lidah. Paduan rasa manis kepiting dan masir kuning telur asin membuat saya betah berlama-lama mengulum potongan-potongan kepiting itu di mulut sebelum memerintahkan gigi saya untuk mencacahnya lebih kecil. Sedangkan tim Patin-nya yang sangat lembut, terasa lumer di mulut. Meskipun dibilang harga kaki lima, porsi yang dihidangkan cukup membuat saya dan teman saya puas kekenyangan.
  Selain makanan dan harganya, yang membuat saya cukup kagum dengan konsep restoran ini adalah pelayanannya yang sangat cepat. Dengan area seluas itu dan pengunjung yang memenuhi semua kursi (bahkan kami harus mengantri sebelum bisa mendapatkan tempat duduk), makanan bisa dihidangkan dalam waktu kurang dari 15 menit setelah kami memesan. Pramusaji di D'Cost rupanya sudah tidak lagi menggunakan pulpen dan kertas manual untuk mencatat pesanan tamu. Setiap dari mereka dibekali semacam data collector untuk mencatat dan walky-talky untuk berkomunikasi satu sama lain. Hal yang cukup efektif saya lihat untuk ruangan restoran sebesar itu. Overall, tempat ini rekomended sebagai tempat makan di Jakarta, tidak hanya dari mutu makanan dan harga, tapi juga atraksi pelayanan mereka yang juara.

Kebun Raya Bogor
KRB Corner

From Gate 3

  Sebetulnya, saya tidak punya agenda khusus ketika memutuskan untuk ke Jakarta. Tapi sesampainya di Jakarta, ketika teman saya bertanya, saya lantas teringat salah satu tempat yang sudah lama ingin saya kunjungi, Kebun Raya Bogor (KRB).
Kuncup

   
  Beberapa teman saya mengklaim Kebun Raya ini sedikit banyak mirip dengan Singapore Botanical Garden (SBG). Tapi saya yakin KRB seluas 80 hektar ini jauh lebih luas dan punya jauh lebih banyak koleksi tumbuhan dibandingkan SBG. Kehadiran Rafflesia Padma, yang mengukuhkan kelengkapan KRB sebagai satu-satunya botanical garden di dunia yang berhasil membudidayakan tanaman ini di luar habitatnya, menambah semarak kebun raksasa ini. Belum lagi koleksi ratusan rusa yang sengaja dipelihara di taman istana kepresidenan Bogor, yang termasuk juga dalam kompleks KRB.
Landing

 
  Meskipun kalau buat saya pribadi, tidak adil membandingkan antara KRB dan SBG. Not apple to apple. Di satu sisi, tidak bisa dipungkiri, sebagai pengunjung saya merasa sedikit tidak cukup nyaman dengan minimnya fasilitas yang tersedia di KRB. Baik itu toilet, tempat sampah, bangku taman, peta, informasi dan beberapa hal lain yang harusnya bisa lebih menambah daya tarik tempat ini. Di sisi lain, keberadaan ruang hijau sebesar ini di tengah-tengah kota Bogor dan terawat baik, dalam ukuran Indonesia, cukup diacungi jempol. 

Indonesia dalam KRL ekonomi
KRL Ekonomi
  Untuk mencapai KRB dari Jakarta tidak diperlukan waktu lama. Saya yang kebetulan bermalam di Kalibata hanya memerlukan waktu kurang dari 1.5 jam dengan KRL ekonomi dari Stasiun Kalibata. Tinggal pilih, dengan Rp 5.500,00 menggunakan KRL ekonomi AC atau Rp 2.000,00 tanpa AC. Karena satu dan lain hal, saya sempat  mencicipi keduanya. Pergi dengan AC pulang tanpa AC. 
  Meskipun sama-sama berjudul KRL ekonomi, perbedaan Rp 3.500 berbicara cukup banyak di mata saya. Mulai dari pintu kereta, tempat duduk, lantai, dan penumpang yang mengisi gerbong per gerbongnya. Jangan pernah mengharapkan pintu kereta di ekomoni non AC. Tak ada kata safety first di sana. Saya sempat tertegun sebentar melihat tempat duduk yang tampak compang-camping itu. Juga lantai dengan sampah di mana-mana bercampur dengan air hujan yang sedikit menerpa, membentuk beberapa genangan air di hampir semua tempat. Meskipun hanya berbeda Rp 3.500,00 saya bisa melihat penumpang di ekonomi non AC selalu lebih membludak dibanding berAC. 
  Tiga lembar uang seribuan dan sekeping lima ratus rupiah yang memetakan keadaan sosial masyarakat kita. Kenyataan yang membuat saya dan teman saya menelan keluhan kami. Tak pantas rasanya kami mengeluh tentang keadaan kereta itu jika hanya sekali itu kami menaikinya. 
Tak pantas saya mengeluhkan hidup saya, jika saya selalu masih punya pilihan.
Morning Life

“Dear God …”


          "Hidup jauh dari keluarga, teman-teman, orang yang kita kenal sebelumnya. Ga ada temen ngobrol, curhat, ngomongin masalah-masalah kita. Pasti kerasa sepi."
          "Kamu kan punya Tuhan."
Sebuah percakapan dengan seorang teman 5 tahun yang lalu.
          "Tapi Tuhan kan tidak akan menjawab dan berkomunikasi dua arah dengan kita seperti kalo kita ngobrol dengan temen."
          "Dia jawab. Loe aja yang ga dengar."
Sebuah percakapan lanjutan dengan teman yang berbeda, 3 bulan yang lalu.

          
Sebuah sekuel percakapan itu berdengung di kepala saya akhir-akhir ini. Yah, saya memang sudah tidak ingat kapan terakhir kali saya berdialog dengan Tuhan. Berdialog, bukan sekadar monolog doa yang lebih terkesan sebagai rutinitas yang sepertinya lebih sering saya lakukan. 
          Saya akui, saya lebih sering melarikan diri dari dunia nyata dengan menekuri laptop berselancar di dunia maya, atau menyambar passport saya dan membiarkan sebuah burung besi membawa saya terbang. Sebuah pelarian yang selalu membuat saya berakhir di pelarian yang lain namun tetap dalam kesoliteran saya.
          Mungkin ini saatnya, bukan untuk menghentikan semua kegilaan pelarian saya, tapi meminta Dia menemani saya dalam pelarian saya.
So, "Dear God, nice to meet you. Sorry to not listen you this few years."

“Could you please inform me in advance?”


            Pagi masih muda, belum lagi genap pukul 10, ketika saya, yang tengah berdiskusi dengan seorang rekan kerja, dikagetkan suara Daniel Powter yang menyanyikan Bad Day, ringtone yang saya set hanya untuk beberapa orang termasuk bos saya. Pameo yang bilang bahwa telepon pagi hari dari bos tidak pernah berisi berita baik, terbukti juga hari itu.
            "Itu kenapa POnya masih ada perubahan?" cecarnya seketika tanpa basa-basi begitu saya bilang hallo.
          "Hah? Ga ada yang berubah kok." Saya yang tidak merasa menginstruksikan perubahan apa pun ke programmer jelas mengelak.
            Ternyata si bos mempertanyakan project yang saya pegang, yang seharusnya ready untuk dites oleh user hari ini. Development process dari project itu sendiri sebetulnya sudah selesai 2 hari sebelumnya. Kemarin adalah waktunya untuk saya melakukan unit testing. Semua sesuai procedure dan sesuai jadwal. Yang terlewat dari prediksi (dan karena ketatnya schedule) adalah ada beberapa bug yang mau tidak mau harus saya kembalikan ke programmer untuk dibetulkan, kecuali kami mau mendeliver system berkutu ke user. Jadi jelas saya tidak terima kalau dibilang saya merubah spec di menit-menit terakhir.
            Mendengar penjelasan saya, masih dengan nada sedikit tinggi, si bos akhirnya bilang, "Lain kali kalau ada apapun yang bikin project not in schedule, bilang ke gue"
            "Iya, OK.", jawab saya. Untuk yang ini saya tidak punya pembelaan. Saya memang tidak memberikan laporan apapun mengenai kemungkinan keterlambatan project ini. "Lagian, heboh amat si. Telat cuman sehari ini, toh ini project kan emang udah telat dari berbulan-bulan lalu. Nambah sehari aja apa bedanya", tentu saja bagian ini saya ucapkan di dalam hati.
            Saya pada dasarnya memang bukan tukang update, kecuali ditanya. Bahkan untuk mengupdate status helpdesk saja saya kadang terlewat. Selama sudah saya kerjakan, saya anggap kewajiban untuk melakukan closing hanyalah masalah administrasi. Jadilah tak jarang saya menjadi pemegang top scorer open helpdesk. Padahal kalau dicek satu persatu, 90% di antaranya sudah lama selesai.
            Saya tidak ingat kapan persisnya kejadian itu, tapi saya ingat betul itu kali pertama bos memberi saya teguran keras (baca: memarahi). Walaupun bukan terakhir kalinya. Dan sejak itu saya cukup rajin memberi update status kerjaan saya terutama jika menyangkut schedule project dan perubahan spec, baik melalui email atau secara lisan. Itu saya lakukan lebih karena saya malas dimarahi seperti anak kecil dari pada menjalankan sebuah kewajiban yang logis, karena saya masih belum melihat pentingnya, toh dia bisa lihat apa yang saya kerjakan di cubicle saya dan dari email-email saya ke user.
            Waktu berjalan, hidup berubah. Tuhan tahu, tapi menunggu. Hingga beberapa minggu lalu saya cukup dibuat kelimpungan dengan masalah update progress ini.
            Seharian itu saya cukup santai. Semua feedback dari user sudah saya retest, compile dan saya kirim ke programmer kemarin. Semua instruksi untuk menyelesaikan bug hari ini sudah lengkap terkirim. Beberapa feedback dari user yang perlu penjelasan sudah saya reply balik ke mereka. Belum ada feedback baru dari user dan belum ada update ataupun pertanyaan dari China, tempat rekan programmer saya berada. So bisa dibilang kerjaan saya hari itu adalah menunggu.
            Ditunggu punya ditunggu, sampai pukul 5 sore belum juga ada kabar apapun dari rekan kerja saya nun jauh di sana. Ketika saya tanyakan progress bug fixing hari itu, saya mendapatkan jawaban yang cukup mengejutkan. "Sorry, one of my colleagues is on leave. And one of the source codes is on him. I can't find it. So I'll deliver to you tomorrow." What?!?!? Ealah Mas..ngapa ndak ngomong dari tadi pagi.
            Segera saya email kepada user menjelaskan keterlambatan itu tanpa memberi tahu mereka alasannya dan menjadwal ulang testing di keesokan harinya. Untungnya user saya mengerti dan tidak keberatan dengan delay tersebut.
            Sedangkan kepada teman-teman saya di tim development, alih-alih marah, saya justru merasa "ditampar". Saya jadi bisa mengerti alasan mengapa bos saya bisa semarah itu kala itu. Ini bukan masalah ketidakmampuan kita menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, tapi ini lebih kepada ketidakmampuan kita menjaga commitment kita. Dan repotnya adalah jika miss commitment seperti ini tidak hanya melibatkan 2pihak tapi juga pihak-pihak ke 3, 4 dan seterusnya. Pemberitahuan di muka, bukan di menit-menit terakhir, akan membuat pihak-pihak yang bersangkutan bisa menjadwalulang juga aktifitas mereka dengan segera, dan bisa menghindari delay yang tidak perlu.
            Kesadaran itu seperti mengguyur kepala saya dengan air dingin, sehingga saya merasa cukup mengirim friendly email kepada mereka, "Guys, so appreciate if next time you can update me in advance if there's any possible delay."
            Maka ketika salah seorang teman mengirim pesan singkat tentang pekerjaannya yang belum bisa terselesaikan ke handphone saya, "Dia bisa lihat aku ngapain. Aku rasa ga perlu konfirmasi ke dia", saya langsung bisa jawab, "Could you please inform him in advance?"

Tioman, The Easiest Weekend Escape


               Pernah mendengar pulau bernama Tioman sebelumnya? Kalau belum, Anda tidak sendiri. Pulau yang berada di timur Malayan Peninsula alias semenanjung Malaysia ini memang tidak popular bagi seorang Indonesia. Wajar lah, kita punya pulau-pulau yang jauh lebih banyak dan jauh lebih cantik. Kalau saya akhirnya memilih pulau ini sebagai tempat melarikan diri di akhir pekan, itu tidak lain karena letaknya yang relatif cukup dekat dengan Singapore dan akses perjalanan darat yang relatif mudah dan murah, memungkinkan saya tidak perlu memesan tiket jauh-jauh hari.
              Tioman sendiri sebetulnya masuk dalam wilayah administrasi negara bagian Pahang, Malaysia. Tapi dari Singapore, gerbang masuk paling dekat adalah melalui Mersing, negara bagian Johor. Gerbang masuk yang lain berada di Tj. Gemok yang berada lebih ke utara. Berjarak kurang lebih 57 kilometer dari Mersing, perjalanan dengan ferry ke Tioman bisa ditempuh dalam 2 jam, tergantung kampong (desa) tujuan. Bluewater adalah salah satu ferry yang melayani rute Mersing – Tioman. Ada beberapa kali jadwal keberangkatan baik dari Mersing maupun Tioman dalam sehari. Jadwal ini sendiri tidak tetap karena bergantung pada pasang surut air laut. Jadi, ada baiknya sebelum berangkat pastikan dulu jadwal keberangkatan ferry pada hari itu. Tiket bisa didapatkan di jetty maupun di beberapa travel agent di sekitar jetty. Untuk wisatawan, diharuskan membeli tiket pulang pergi seharga RMY 70. Setelah itu perlu memberitahukan jadwal kepulangan. Meskipun jika mempertimbangkan untuk tinggal sampai waktu yang belum ditentukan, hal tersebut bisa dinegosiasikan.
               Jetty atau pelabuhan ferry berada cukup jauh dari terminal maupun jalur bis antar negara bagian. Jika naik bis tujuan Mersing, bisa minta ke sopir untuk mengantar kita ke jetty, dengan biaya tambahan. Tapi kalau bis antar negara bagian, biasanya akan diturunkan di pertigaan setelah gas station. Dari sana tinggal berjalan ke arah KFC, kemudian ambil jalan lurus. Jetty ada di akhir jalan sebelah kanan, tidak sampai 1 km. 
              Dari Larkin terminal di Johor Bahru, ada banyak bis yang mengarah ke Mersing. Tiket bis bisa dibeli di loket-loket yang banyak bertebaran di terminal dengan tarif RMY 11.50. Saya pribadi lebih menyarankan untuk mengambil bis langsung ke Mersing, bukan bis antar negara bagian. Karena bis antar negara bagian sering kali menyempatkan diri mampir ke rumah makan, yang bearti akan menambah waktu perjalanan. Catatan terakhir 156 km jarak Larkin – Mersing bisa ditempuh dalam waktu 1 jam 30 menit dengan bis yang cukup nyaman. Bahkan dalam perjalanan terakhir, bis Causeway Link yang saya naiki hanya diisi oleh kurang dari 10 penumpang, termasuk saya dan 3 orang teman. Sedangkan dari Singapore ke Larkin banyak pilihan bisa diambil antara lain dengan bis SBS Transit 170 atau Causeway  Link baik dari Queen Street Terminal maupun Kranji MRT Station.

Kampong Pilihan
              Ketika membeli tiket, kita harus mencatatkan nama dan kampong tujuan, karena ferry akan menurunkan kita di desa tujuan. Ferry akan merapat di semua desa yang dituju oleh menumpang kecuali desa Juara yang terletak di sebelah timur pulau. Beberapa desa yang cukup populer sebagai tujuan wisatawan adalah, berurutan dari selatan, Mukut, Genting, Tekek, Air Batang (ABC), Panuba, dan Salang. Yang saya sebutkan terakhir merupakan desa tujuan terfavorit dari beberapa sumber yang saya baca. Sedangkan Tekek merupakan daerah administratif Tioman. Desa ini cukup ramai dan terfasilitasi dengan baik, mengingat bandara udara Tioman juga terletak di desa ini. Sedangkan Juara adalah desa yang paling sepi mengingat letaknya yang tidak dilewati ferry dari Mersing. Untuk mencapai tempat ini, selain dengan trekking menembus hutan, juga tersedia mobil penggerak 4 roda (4WD) yang biasa menawarkan  jasanya dengan RMY 30 sekali jalan per orang.  

Things to do
               Seperti island trip lain-lainnya, aktifitas yang bisa kita lakukan di Tioman tidak jauh dari air. Mulai dari sun bathing, berenang, snorkeling, sampai menyelam. Khusus untuk aktifitas terakhir saya belum punya pengalaman di sana. Jika tertarik untuk snorkeling, tidak perlu khawatir tidak punya alatnya. Karena di Tioman banyak terdapat penyewaan snorkel, mask sampai fin. Harga rata-rata RMY 15 per paket per hari. Atau jika tertarik canoeing di seputaran pantai, ada juga canoe yang bisa dipinjam dengan RMY 15 per jam. 


              Terumbu karang di daerah ini, bahkan di Salang yang merupakan tempat paling populer untuk snorkeling, tidak bisa dibilang bagus. Tidak banyak karang yang masih hidup. Kalaupun ada sepertinya karang di sini banyak mengalami coral bleaching, terlihat dari warna-warnanya yang kebanyakan kelabu kusam dan pudar. 
              Selain berbasah-basah, aktifitas lain yang bisa dilakukan adalah trekking melintasi hutan. Ada beberapa jalur trekking populer di Tioman. Salah satunya yang pernah saya lintasi adalah jalur dari desa Juara ke Tekek. Rute sejauh 7 km ini bisa ditempuh dalam 2.5 jam tergantung kemampuan mengingat rute ini didominasi tanjakan. Bahkan ada satu poin di mana kita harus melompati, atau memanjat lebih tepatnya, pohon tumbang yang cukup besar. Jalurnya sendiri tidak terlalu sulit untuk dilewati. Sebagai gambaran ketika saya melintasi rute ini, yang mana sehari sebelumnya Tioman diguyur hujan sangat deras semalam suntuk. Tapi jalur di dalam hutan sendiri masih nyaman untuk ditapak. Ditambah lagi kebanyakan tanjakan sudah berupa tangga beton. Sepanjang jalur trekking sendiri, karena benar-benar di dalam hutan, tidak ada petunjuk jalan. Satu-satunya yang bisa dijadikan pedoman hanyalah power line atau kabel listrik yang membentang dari Juara ke Tekek. Jadi saran saya sering-seringlah mendongak ke atas. 

Sleep and Eat
               Hal lain yang  bisa dilakukan di pulau kecil ini adalah tidur, bersantai dan bermalas-malasan. Baik itu di kamar maupun di pinggir-pinggir pantai. Hammock yang tergantung di depan hampir setiap penginapan menambah kenyamanan. Penginapan di pulau ini terbilang cukup sangat banyak. Jadi, kalau tidak termasuk pick season, tidak perlu pemesanan di muka. Harga kamar bervariasi, tergantung dari fasilitas dan kondisi penginapan tentunya. Mulai dari RMY 40 per kamar per malam untuk berdua sampai RMY 700 per malam untuk kelas Berjaya Tioman Resort. Kebanyakan penginapan di sana berbentuk chalet atau bungalow per kamar. Untuk mendapatkan kamar yang cukup relatif layak bagiu kebanyakan orang, berAC, kamar mandi dalam dan bonus halaman kamar langsung ke pantai, seperti yang terakhir kali saya tempati, cukup dengan merogoh kocek sebesar RMY 55 per orang permalam.
              Untuk kebutuhan makan, di Tioman memang relatif mahal dibanding dengan wilayah Malaysia yang lain. Hal yang wajar seperti halnya semua pulau di mana semua keperluan bahan makanan pokok disuplai dari pulau utama. Saya kurang memperhatikan berapa persisnya pengeluaran untuk sekali makan, tapi rata-rata sekitar RMY 10 - 15 lengkap dengan minum. Hampir setiap penginapan di Tioman mempunyai rumah makan. Jadi tinggal pilih, mau murah di warung-warung biasa, atau mempersiapkan dompet lebih tebal dengan makan di restoran. 

              Secara keseluruhan, tempat ini cukup saya rekomendasikan sebagai agenda menghabiskan akhir pekan jika dalam keseharian, Anda terjebak di Singapore. Satu hal lagi yang terlupa, sebelum menyeberang siapkan uang tunai yang cukup, karena tidak ada satu pun mesin ATM di pulau ini. 
              Bon voyage ....