Sentosa Buskers Festival 2010







Kinabalu: Lost and Found









Perempuanku

          Perempuan di depanku tampak gelisah. Sesekali desis keluar dari bibir yang merah. Juga sergah tangan yang tak jarang mengibas anak rambut yang jatuh terlalu dekat ke mata cantiknya. Tiga empat titik keringat perlahan muncul di ujung hidung dan dahinya. 
          "Kalau kepedesan, mbok ya sudah.. ndak usah di makan lagi.." kataku sambil menyecap es jus tape yang aku pesan.
          "Pedhess.....sshhtt..tapi.." jeda sebentar karena sekali lagi rambut nakal itu menggoda lentik bulu matanya "eenakk ni.."
          Aku hanya tertawa. "Ni minum dulu.." tawarku.
          "Sik..nanggung. Nanti tambah pedes kalau minum es gitu" tolaknya sambil memonyongkan bibir yang merona kilap kuah mie ayam. Tak jarang lidahnya tampak menyapu sudut bibir sementara dia mengambil jeda mengatur nafas. Titik-titik tadi mulai bergabung mengalir menyusuri pipi, jatuh di leher jenjangnya. Menggoda.
          "Tissue ni..Sampai keringetan gitu". Dan biar hanya Tuhan dan setan yang tahu betapa aku ingin menyentuh sendiri bibir itu dan menggantikan tetes keringat yang membelai pipimu. "Damn..bawa-bawa Tuhan segala" umpatku lirih.
          "Kenapa kamu?" rupanya dia dengar juga.
          "Ga papa. Dah selesai? Cabut?"
          "Heeh." Disambarnya gelas yang tadinya berisi es teh itu. Seperti aku duga, segera sebongkah kecil es batu berpindah ke mulutnya. Kebiasaan mengulum es batu yang, entah bagaimana, aku selalu suka cara dia melakukannya.
          "Ngelamun. Ayoo.." 
          Aku kembali tersadar dari keterpukauanku ketika tangan halus itu menggenggam tanganku dan menariknya. Segera aku jajari langkahnya, sambil meremas tangannya perlahan, menuju parkiran. Sesekali aku mencuri-curi pandang dari ekor mataku ke siluet hidung mancungnya dan tirai rambut yang disirami sinar matahari senja ini. Rasanya aku bersedia nilai 3 SKS semester terakhirku yang aku ambil E semua asal waktu bisa berhenti seperti ini ketika aku dan dia berdua dalam bias jingga senja. Walah, mulai nggombal. Meski tak urung gombalan bodoh dalam otakku tadi melengkungkan senyum juga di bibirku. 
          "Lintang Prameshwari...!!! Ngelamun lagi ya? Pake senyam-senyum gitu. Kita udah 2 kali ya muterin ini parkiran. Motormu diparkir di mana siii???"

Bidadara itu tak bersayap…


            Pagi belum lagi sempurna kala telinga saya menangkap suara jeritan alarm HP yang memang sengaja saya set ke jam 4 pagi. Seperti biasa, dengan sekali sapuan jari, berhentilah suara yang mengganggu mimpi saya itu, dan kembali terlelap. Jujur, saya bukan manusia pagi. Tapi ketika teringat agenda kami hari itu, dengan terhuyung-huyung saya menyeret tubuh saya ke kamar mandi. Saya dan teman saya hari itu memang merencanakan untuk mengunjungi salah satu gunung tertinggi di pulau Kalimantan. Dan agar bisa sampai di kaki gunung yang berjarak 80 km dari tempat saya menginap malam itu, tepat waktu, mobil yang menjemput kami akan datang pukul 5 pagi.
            Untungnya penginapan ini menyediakan kamar mandi, yang meskipun terletak di luar kamar, lengkap dengan pemanas. Saya malas membayangkan menggigil mandi air dingin di pagi buta seperti ini. Setelah melakukan formalitas mandi sekadarnya saya segera masuk kamar dan kembali bergelung di dalam selimut.
            Rasanya baru saja saya kembali menutup mata, ketika mendengar suara teman saya memanggil, "Na, bangun. Mandi..dah hampir jam setengah 5 tu."
Setengah hati saya membuka setengah kelopak mata saya. "Udah kelar mandi dari tadi".
            "Oh, oke..aku mandi dulu ya.."
            "Hmm.." gumam saya dan kembali memejamkan mata.
            Baru dua detik dari suara ceklikantanda pintu tertutup, tiba-tiba pintu kembali terbuka dan terdengar suara teman saya lagi "Eh, pintu ga aku kunci lho ya.."
            "Iya.." jawab saya antara sadar dan tidak, dan kembali terlelap.
           Entah berapa lama kemudian tepatnya saya tidak tahu, ketika tiba-tiba teman saya menyerbu masuk kamar, menutup pintu dan mulai berteriak histeris.
            "Naaaa….tetangga kamar kita cakepppp bangeettttt.."
        Saya yang otaknya masih berkabut karena kantuk dan terbangun mendadak, membutuhkan waktu cukup lama untuk mencerna apa gerangan yang membuat teman saya tiba-tiba histeris seperti itu. Dan ketika sadar bahwa alasan keributan ini hanya karena cowok cakep di kamar sebelah, saya segera kembali menghempaskan tubuh ke kasur sambil mengomel panjang pendek ke teman saya, "Doh..sekali lagi aku kebangun dapet gelas cantik kamu."
           Saya bukannya tidak tertarik dengan cowok cakep. Tapi kombinasi pagi buta, udara dingin, kasur dan kantuk yang luar biasa jauh lebih mempunyai efek di otak saya daripada cowok yang-menurut-teman-saya cakep.
           Dan kembalilah saya melayang dalam mimpi, hingga entah berapa menit kemudian, tiba-tiba saya kembali terbangun. Kali ini oleh suara gedoran di pintu yang cukup keras. Hampir-hampir tidak habis pikir mengapa nasib tidur saya begitu sial pagi itu.
            "Ga dikunci …" gumam saya putus asa.
Bukannya mereda, gedoran itu semakin keras. Sambil memicingkan mata yang pedih dan kepala pusing karena berkali-kali terbangun mendadak, saya turun dari ranjang dan membuka pintu.
            "Ap.." belum lagi genap satu patah kata keluar dari bibir saya ketika saya lihat makhluk yang berdiri tepat di depan pintu di hadapan saya. Dan segera saya kehilangan kata-kata saya selanjutnya. Di hadapan saya berdiri sesosok cowok yang entah berwarganegara apa tapi yang jelas satu kata dari saya untuk menggambarkannya, indah sekali. OK, dua kata.
            "Mobil kita sudah datang", ucapnya.
            "Hah?" kali ini bukan karena kantuk yang membuat saya tidak segera memahami apa yang dikatakan makhluk indah di hadapan saya. Tapi lebih ke kombinasi takjub dan memang saya tidak mengerti apa maksud kata-katanya tadi.
            "Akan ke gunung kan? Mobil jemputan kita sudah datang. Ada di depan."
            "Oh, iya. Oke. Sebentar lagi." Akhirnya saya menemukan kembali suara dan otak saya. Segera setelah dia berlalu dari hadapan, saya menutup pintu dan duduk di tepi tempat tidur merenungi keindahan yang baru saja terjatuh di hadapan saya. "Waaawww…" ucap saya akhirnya karena tidak mampu menemukan kata-kata yang tepat dari perenungan saya.
            Tak berapa lama kemudian, pintu kamar terbuka dan teman saya yang baru selesai mandi masuk ke kamar. Sontak saya menemukan kata-kata yang tepat dan berteriak histeris "Dy……cowok tadi caaaakeeepppp bangeeettttt….."
Teman saya memutar mata dan berkata, "Told ya.."

Epilog
            Menulis ini 6 bulan setelahnya, membuat saya teringat joke tentang cara-cara menggoda cewek yang beredar di internet. Iseng-iseng saya modif sedikit, biar cocok untuk makhluk indah nun jauh di timur sana. J
Saya    : "Melihatmu aku jadi sadar satu hal"
MI    : "Apa?"
Saya    : "Ternyata kalau bidadara tak bersayap akan jatuh dari khayangan. Sakit tak masa jatuh?"

**********
Note: Ditulis atas permintaan seorang teman untuk mengabadikan potongan kenangan di utara Kalimantan.

Pertanyaan Ningsih

Pelan-pelan aku masukan buku gambar dan crayon yang aku pakai menggambar di pelajaran terakhir tadi. Bukannya aku tidak mau cepat-cepat pulang. Aku bahkan sudah membayangkan pudding coklat yang dijanjikan ibu buatku tadi pagi. Hanya saja aku malas pulang bareng teman-temanku yang terlihat masih bergerombol di depan pintu kelas itu. Mereka pasti sedang membicarakan pengambilan raport besok. Topik pembicaraan yang sedang ingin aku hindari saat ini.

“Ning, ndak mau pulang kamu? Pulang bareng yuk..” Ayu, salah seorang dari mereka akhirnya menyadari aku masih di sini.

“Iya. Ini lagi masukin buku”. Kuhela nafas panjang sambil berjalan ke arah mereka. Sepertinya aku memang tidak lagi punya alasan untuk menolak ajakan mereka, apalagi jalan pulang kami memang searah. Segera ku menyusul mereka dan mengikuti mereka dari belakang.

Nek aku, bapak sing ambil raport besok. Malah Bapak sudah bilang, mau beliin aku es dawet di pinggir pasar itu pas pulangnya. Kowe Yu? ” suara dari Lastri, sang juara kelas semester lalu. Seperti yang aku takutkan, mereka sedang membahas pembagian raport besok. Tiap semester, sekolah memang meminta orangtua kami untuk datang mengambil raport. Selain untuk mengambil raport anak-anaknya, waktu seperti ini kadang juga digunakan sekolah untuk bersilaturahmi dengan wali murid. Surat undangan sendiri sudah dikirim seminggu sebelumnya supaya wali murid menyiapkan diri.

“Ning? Ning…?”
“Eh dapa?” aku lihat semua mata melihat ke arahku.

Ealah, malah ngalamun ki bocah. Kesambet lho..” Ayu tertawa disambung yang lain.

“Apa tho?”
“Itu tadi Ayu nanya, mbesok raport kamu sing ngambil siapa?” Nanda, gadis ayu pendiam itu menjelaskan karena melihat ekspresi mukaku yang kebingungan.

“Ehm..ndak tau. Mungkin ibu” jawabku pelan. “Eh, aku lewat situ ya. Lupa ada yang perlu dibeli di warung mbah Narto, titipan ibu tadi pagi. Yok duluan, sampai besok.”

Segera aku berjalan menjauh dari mereka sambil menunduk. Biarlah berjalan sedikit memutar, asal ndak ada lagi pembicaraan itu. Aku bukannya ndak mau membahas pembagian raport karena nilaiku jelek atau kuatir ndak naik kelas. Aku bahkan yakin masih bisa ada di tiga besar seperti biasa bareng Lastri dan Nanda. Aku cuma malas dengan pertanyaan terakhir mereka yang selalu kembali menanyakan mengapa bapakku tidak pernah datang ke acara sekolah. Sebenarnya aku juga tidak masalah mau siapa yang mengambil raport, wong ndak ada bedanya juga. Asal ada yang ambil itu sudah cukup. Bahkan kalau ibu sibuk, kadang simbah atau Lik Nar yang ambil. Tapi kadang ya pengen seperti anak lain yang diambilkan bapaknya, sementara tiap kali aku minta ibu biar bapak saja yang ambil, jawabnya selalu saja sama.
“Assalamualaikum..”
“Waalaikum salam. Sudah pulang Ning? Ganti baju, terus zuhur sana. Ibu sudah siapkan makan siang di lemari makan. Ada juga pudding yang kamu pesen tadi pagi.” Suara ibu menjawab dari kamar.

Nggih Bu” jawabku.
Selesai solat, aku hampiri ibu yang sepertinya sibuk dengan jarum jahit dan baju di kamar. “Buk..” panggilku.
Nopo nduk? Sudah makan?” jawabnya sambil menggeser duduknya, member tempat untukku duduk.
“Besok disuruh ambil raport di sekolah Bu..”
“Iya Ibu tau. Lha ini sedang njahit kancing baju yang mau ibu pakai besok. Malah ndak tau lho klo kancingnya lepas satu. Untung tadi lihat pas nyetrika” ujarnya geli sambil kembali serius dengan jarumnya.
“Boleh ndak Bu, kalau Bapak saja yang ambil?" Ibu meletakkan baju yang dipegangnya dan memutar badannya menghadapku. "Ada apa tho?"
"Mboten nopo-nopo. Hanya pengen saja sekali-kali Bapak yang ambil."
"Kamu kan tahu Bapakmu sibuk. Ndak mungkin ke sekolahmu besok. Lagi pula ndak papa kan kalau Ibu yang ambil. Besok Ibu saja yang ambil ya?" bujuk ibu sambil mengelus puncak kepalaku. 
Lidahku kelu. Dalam diam kuanggukkan kepalaku. Sambil menunduk kutinggalkan kamar ibu ke arah dapur. Dari ekor mata aku sempat melihat ibu menyeka air matanya. 

Aku tidak pernah tega melihat kaca di mata Ibu kalau aku mulai mempertanyakan Bapak. Mungkin karena itu juga aku sudah lama berhenti menanyakan mengapa Bapak tidak bisa tinggal bersama kami setiap hari seperti bapak teman-temanku yang lain. Mengapa terkadang di hari lebaran aku dan ibu hanya pergi solat Ied berdua. Dan juga aku tidak pernah mampu bertanya pada Ibu mengapa ada bisik-bisik lirih Yu Narti, Lik Sar, dan tetangga-tetanggaku yang lain, yang bilang kalau ibu itu wanita penggoda suami orang, istri kedua. Yang aku tahu Ibu sayang sekali sama aku, dan mungkin Bapak juga. 


****************************
Note: Terlepas dari nilai agama, halal haram dan boleh tidak,  masalah poligami kerap kali tidak hanya berbentur pada kata adil dan tidak. Poligami tidak seharusnya hanya dilihat dari kacamata laki-laki dan perempuan yang melakukannya, tapi juga dari sudut pandang seorang anak yang masih belum mampu mencerna dengan logika kecilnya.