Bali Series: Plan Your Dive


Saya melirik jam digital di sudut kiri bawah monitor laptop di depan saya. Pukul 2.03 AM, Selasa pagi. Kembali saya menatap putus asa Recreational Dive Planner (RDP) table dan lembaran-lembaran kertas yang sedari siang tadi bertebaran di atas kasur. Yep, saya memang sedang belajar dan menyelesaikan pra ujian teori sebagai syarat untuk mengambil license Open Water (OW). Sebenarnya, pra ujian teori ini tidak seberapa susah. Pilihan ganda dengan jawaban yang ada di buku. Open book pula. Tanpa diawasi juga. Masalahnya, menyelesaikan membaca dan memahami 250 halaman buku teori yang menjelaskan mulai dari apa fungsi mask, fin, BCD dan regulator sampai ke pada apa dan bagaimana mengatasi Nitrogen Narcosis bukan hal yang gampang untuk dilakukan dalam waktu sehari. Sementara jam 9 AM nanti saya harus menyerahkan hasil belajar saya ini ke instruktur saya untuk melihat sejauh mana kemajuan teori saya. Oke, saya mengaku saja lah, bahwa seharian ini saya lebih banyak menghabiskan waktu dengan tidur, makan, dan snorkeling. Baru menjelang Magrib saya mulai kembali membuka buku yang baru saya baca 2 bab pagi tadi. Alhasil setelah dini hari menjelang barulah saya menyelesaikan 38 dari 40 soal yang harus saya kerjakan dan menyisakan 2 soal tentang bottom time dan surface interval time yang memaksa saya berjibaku dengan RDP table.

Setelah tepat sejam memelototi table sambil membolak-balik buku biru besar dan berharap ada cara membaca itu table, saya baru sadar tentang keberadaan buku putih kecil di sebelah kanan laptop. Ternyata di sanalah saya seharusnya mencari jawaban dari kebingungan saya selama sejam. Dan tepat pukul 3 pagi saya bisa bergelung masuk ke selimut dengan tenang.
27 Jam Sebelumnya
“Mbak, tadi bos nitip pesen. Ini bukunya silakan dibaca dulu, besok pagi instrukturnya datang.” kata resepsionis Matahari Tulamben Resort yang menerima saya jam 11 malam itu sambil menyerahkan sebuah bungkusan plastik yang cukup berat. Oh great, saya bahkan belum lagi melihat kamar yang akan saya tempati 4 hari ke depan.
Setelah seharian tur, saya seperti saya bilang sebelumnya, memisahkan diri dari teman-teman yang lain. Setelah kerepotan kecil mencari-cari sopir jemputan saya dan perjalanan panjang dari Kuta selama 3 jam, sampailah juga saya di Tulamben, sebuah desa kecil di timur laut pulau Bali. Boleh jadi, meskipun Bali merupakan tujuan wisata favorit di Indonesia, nama Tulamben mungkin tidak terlalu familier di telinga banyak orang. Namun desa yang terletak tepat di tepi selat Lombok ini merupakan dive site yang sangat popular di kalangan para diver. Keberadaan wreck berupa kapal perang AS USS Liberty yang ditorpedo karam oleh kapal selam Jepang 69 tahun silam merupakan daya tarik utama di perairan ini. Wreck ini menjadi jauh lebih popular karena berbeda dengan wreck kapal besar lainnya yang lebih sering ada di tengah laut, wreck ini terletak hanya beberapa meter dari garis pantai. Dengan puncak berada 5 meter di bawah air, sebenarnya dengan snorkeling saja kita bisa menikmati keindahan karang dan ikan-ikan yang berenang-renang di sekitarnya. Hanya saja, untuk menikmari keseluruhan badan kapal kita  perlu menyelam hingga kedalaman sekitar 30 meter.
Tidak hanya itu, berjarak sekitar 500 meter arah selatan dari wreck, ada satu lagi dive point yang tidak kalah populer. Kali ini berupa coral wall atau biasa dikenal sebagai Drop Off. Dinding karang ini meskipun mencapai kedalaman 60-70 meter, titik awalnya juga tidak terlalu jauh dari pantai. Sama seperti wreck, karena dimulai dari kedalaman sekitar 5-6 meter, tempat ini juga cocok untuk snorkeling. Mungkin hal yang harus diperhatikan jika snorkeling di wall, ada alasan mengapa tempat ini disebut Drop Off. Karena hanya sekitar 10 meter dari bibir pantai, itu pun jika air pasang, kontur dasar laut akan segera menurun drastis dengan komposisi dasar berupa tanah padat hitam. Untuk diver, hal tersebut bukan masalah karena dari beberapa meter sebelumnya mata sudah beradaptasi dengan berkurangnya cahaya dan juga pasti akan menyelam mengikuti kontur. Tapi untuk snorkeler, hal itu menjadi tantangan sendiri ketika tiba-tiba tidak bisa melihat dasar laut.
Satu lagi yang tidak kalah seru adalah Matahari coral garden. Disebut demikian karena taman karang ini tepat berada di depan Matahari Tulamben Resort. Di tengah-tengah antara USS Liberty dan Drop Off. Berkedalaman antara 1-10 meter, tempat ini merupakan tempat paling cocok untuk snorkeling maupun belajar diving saat-saat awal. Saat air pasang dari depan restoran Matahari Tulamben, bahkan tidak perlu menceburkan diri ke air untuk bisa melihat ikan kecil warna-warni mondar-mandir. Di ujung utara coral garden ini ada wreck kecil berbentuk pesawat terbang. Karena yang tersisa hanya rangka, tidak banyak (atau belum banyak) karang yang tumbuh.
Karena beragamnya diving spot di sinilah, dan tentu saja rekomendasi dari banyak catatan perjalanan di dunia maya, yang menjadi alasan saya memantapkan diri untuk memulai catatan dalam diving log saya di Tulamben. Dan pilihan penginapan jatuh ke Matahari Tulamben Resort, dengan pertimbangan bahwa tempat ini memiliki kolam renang sehingga memungkinkan untuk melakukan latihan Open Water terbatas di penginapan. Pilihan lain di Tulamben, bisa juga menginap di Mimpi Resort, yang terletak tepat di sebelah Matahari dan juga memiliki kolam renang. Sayangnya, beda antara budget dan tidak membuat saya menepis keinginan untuk menginap di sana. Juga dengan pertimbangan bahwa resort ini menyediakan paket lengkap untuk sertifikasi OW.
Jika ada yang bertanya sejak kapan saya jatuh hati dengan laut dan isinya, sampai akhirnya saya membulatkan tekad untuk mengambil license diving Open Water yang boleh dibilang menguras tabungan bulanan saya, jujur saya lupa kapan tepatnya. Mungkin diawali dari setahun lalu saat mendengar serunya cerita serorang teman yang bertemu Baracuda ketika diving. Mungkin juga dimulai dari pertemuan saya dengan Yellow Spotted Stingray saat snorkeling pertama saya di Tioman dua tahun lalu. Atau jauh sebelum itu, sejak ayah saya hampir tiap minggu mengajak saya berkeliling pelabuhan di kota kecil kami lebih dari 20 tahun lalu. Entahlah, yang pasti saya suka berlama-lama menatap biru yang membentang di depan saya, menunggu semburat jingga senja, mendengar debur ombak ato sekedar merasakan kecipaknya di ujung jemari saya. Bahkan, saya suka dengan aroma asin amis ikan yang kadang terhembus angin di kampung nelayan. Dan segera setelah saya mengintip bawah air di snorkeling pertama saya, saya tahu saya jatuh cinta.
Saya yang langsung terlelap kecapekan begitu menyentuh bantal di kamar, terbangun tepat pukul 6 pagi hari Senin itu. Segera setelah saya teringat di mana saya terbangun, saya segera berganti pakaian dan menyambar kamera untuk kemudian berlari ke arah pantai di bagian belakang resort. Ternyata, restoran dua lantai resort ini terletak tepat menghadap ke pantai dengan pemandangan laut lepas di sebelah timur dan Gunung Agung di sebelah barat. Jauh di tenggara, samar-samar tampak puncak gunung yang menjulang, yang saya yakin adalah Rinjani.

Sayangnya, awan pagi itu tidak rela matahari terlalu dini menampakkan sinarnya. Meskipun begitu langit yang tersaput awan dengan rona jingga kelabu itu mampu membuat saya tidak beranjak dari pinggir pantai sampai akhirnya wangi omelet dan roti bakar menyadarkan saya waktu makan pagi telah tiba. Setelah menandaskan seporsi omelet, 2 roti bakar berselai strawberry dan segelas lime juice, saya kembali ke kamar untuk mulai membaca buku panduan yang tidak sempat saya buka malam sebelumnya.
Sekitar pukul 10, seseorang mengetuk pintu kamar saya. Seseorang yang tadinya saya kira instruktur saya itu menjelaskan bahwa instruktur saya tidak bisa datang hari itu. What? Terus bagaimana dengan pelajaran hari ini? Sebagai gantinya, orang yang belakangan saya tahu bernama Putu itu menyerahkan sekumpulan soal yang harus saya kerjakan dan akan dibahas besok pagi. Saya yang pada dasarnya memang tidak terlalu suka dengan metode pengajaran di mana seorang guru berbicara menerangkan sementara muridnya pasif mendengarkan, segera menyambut soal itu dengan gembira.
Tapi, belum lagi genap 10 soal saya kerjakan, ketika kombinasi antara kelelahan setelah beberapa hari serasa memaksakan diri untuk selalu aktif jalan dengan teman-teman, kurang tidur, suasana kamar yang mendukung, ditambah lagi penyakit lama saya yang kambuh kalau membaca buku non-fiksi atau pelajaran, membuat saya tanpa sadar justru merapikan bantal dan menata selimut untuk kemudian terlelap.
Lewat tengah hari ketika saya terbangun dan memutuskan untuk turun ke restoran untuk makan siang. Selepas makan siang, niat saya untuk mencoba snorkeling pertama di Tulamben terputus karena gerimis yang tiba-tiba saja datang. Ditambah lagi dengan kantuk yang belum juga hilang, saya memilih untuk kembali kepada bantal dan selimut di kamar. Pukul 5 sore, semburan hangat cahaya matahari dari balik jendela kamar mandi membangunkan saya. Melihat cuaca yang sangat mendukung, tanpa pikir panjang segera saya memakai body suit dan meraih snorkeling gear saya.
Laut tampak hangat sore itu. Di dive center, saya segera menemui Putu untuk meminjam fin. Jujur, meskipun permukaan air laut tampak tenang, tapi tetap saja gulungan-gulungan ombak yang menghantam batu-batu hitam di bibir pantai membuat nyali saya ciut untuk snorkeling tanpa fin. Perlu diketahui, buat saya pribadi, daerah Tulamben ini bukan tempat yang cocok untuk dikunjungi kecuali untuk orang yang suka snorkeling dan diving. Membentang dari Drop Off sampai Wreck adalah pantai berpasir atau berbatu hitam. Di beberapa titik yang di mana resort berada malahan air laut langsung berbatasan dengan dinding resort tanpa pantai. Kondisi seperti itu juga yang membuat saya untuk pertama kalinya menggunakan adjustable fin. Karena fin hanya bisa dipakai di dalam air dan sangat disarankan untuk menggunakan sepatu selam untuk melintasi batu-batu yang berserakan.
Mask saya baru saja menyentuh air, dan baru sekali menarik nafas ketika saya melihat puluhan ekor ikan kecil tepat di depan mata saya. Tak seberapa jauh, mulailah kumpulan karang dengan segala aktifitas ikan menyapa saya. Beberapa kali saya membaca catatan snorkeling di blog-bog tetangga yang menyebutkan bahwa ikan di Tulamben bukan sekedar ikan karang kecil, ternyata memang benar. Tidak satu dua saya lihat ikan-ikan seukuran laptop 14” melenggang di bawah saya sambil terkadang mengarahkan mukanya lengkap dengan gigi-gigi tajam itu dan memandangi saya yang berusaha untuk tetap tenang. Belakangan setelah beberapa kali turun, baru saya sadar bahwa itu adalah perilaku umum ikan di daerah ini. Bisa dibilang karena seringnya berinteraksi dengan manusia, ikan-ikan di sini sudah terbiasa dengan kehadiran makhluk lain berkaki 2 ini di sekeliling mereka.
Salah satu favorit saya ketika snorkeling adalah jika bisa menemukan sea anemone, yang bearti juga bisa menemukan keluarga clown fish yang menghuninya. Hampir tiap kali mengunjungi tempat snorkeling baru, saya sempatkan untuk bertanya pada warga local di mana tempat saya bisa menjumpai clown fish. Dan di Tulamben, saya tidak perlu melakukan itu, karena di tempat ini tidak hanya ada 1 atau 2 spot sea anemone, tapi hampir 40% coral garden tertutup sea anemone lengkap dengan puluhan clown fish segala warna. Kyaaaa….!!
Tidak hanya clown fish yang bertebaran, sekemampuan saya mengingat dan mencoba mencari nama mereka di google, ada beberapa triggerfish, another puluhan damselfish, yellow tang, parrotfish, porcupinefish (bukan pufferfish), beberapa jenis angelfish, dan tentu saja ratusan ikan lain yang tidak mungkin saya identifikasi.
Hanya sejam saya bermain-main dengan ikan-ikan atraktif ini sebelum matahari benar-benar menggelap di kaki Gunung Agung. Ketika kembali ke daratan, mata saya melayang ke arah timur dan mendapati sebayang pucat bulan telah tampak di sepenggalah sana, Satu lagi aktifitas harus dilakukan, foto-foto bulan. Sekembalinya saya dari kamar untuk mandi dan mengambil semua peralatan dan buku-buku yang harus saya baca, langit telah cukup gelap. Rembulan yang saya yakin belum purnama itu tersenyum riang di cerahnya langit. 

Hanya sebentar saya mengabadikan senyumnya, Selain karena bulan yang telah cukup tinggi menyulitkan saya mengambil angle yang bagus, saya juga ingat bahwa saya masih punya tugas membaca setidaknya 200 halaman dan menyelesaikan 30 soal lagi. 
Yah..sebelum dia menjelang, saya tahu malam itu akan menjadi malam yang panjang. 

Bali Series: Welcome Tour

“Para penumpang yang terhormat…”
Sayup suara pramugari yang memberitahukan bahwa sebentar lagi pesawat QZ 8497 akan segera mendarat di Bandara Ngurah Rai Denpasar. Saya yang sedang tidur-tidur ayam, segera terbangun dan melakukan pengecekan standard untuk pendaratan. Tidak berapa lama, telinga saya mulai terasa tidak nyaman seiring dengan turunnya ketinggian pesawat. Seperti biasa, saya mencoba menguap dan menggerak-gerakkan rahang untuk menyamakan tekanan dalam telinga. Sekali, dua kali, hingga ketidaknyamanan itu berubah menjadi denging menyakitkan, usaha saya tidak membuahkan hasil. Sebenarnya, saya sudah mengkhawatirkan hal ini dari sebelum berangkat. Karena sudah 2 minggu terakhir, saya punya masalah dengan hidung yang kadang-kadang mampet. Maka meskipun sudah melewati take off dengan baik, proses landing kali ini harus saya habiskan dengan menahan sakit di telinga sambil terus berusaha equalize. Hingga roda pesawat benar-benar telah menyentuh landasan, barulah saya merasa sedikit lega.
Landing di Bali menjelang tengah malam membuat saya dan sepasang teman tidak punya banyak pilihan selain segera memesan taksi di pool dan menuju Poppies Lane, tempat penginapan Dua Dara berada. Maklumlah, penerbangan yang kami pilih memang penerbangan budget seharga SGD 88.00 pulang pergi SIN – DPS. Dari bandara ke Poppies Lane menggunakan taksi dari pool resmi menguras kocek sebesar IDR 55K. Sekilas tentang Poppies Lane, well said that “Hari gini baru tahu Na?”, gang yang banyak disebut sebagai komplek backpacker di Bali ini ternyata tepat terletak di seberang pantai Kuta, yang tentu saja jarak pantai dan penginapan bisa ditempuh dengan jalan kaki. Jalan ini merupakan jalan searah dari arah pantai, karena memang jalan kecil ini hanya seukuran satu mobil. Sepanjang jalan banyak dijumpai toko-toko yang menawarkan segala macam mulai dari kerajinan tangan khas Bali, baju, makanan hingga tattoo. Seperti kebanyakan tempat di Kuta, makin malam atmosfer di sana terasa makin hidup. Mulai dari turis-turis yang hanya nongkrong di pinggir jalan, sampai yang menikmati malam di diskotik-diskotik yang juga banyak bertebaran. Saya tahu persis karena saya sempat keluar kamar pukul 2 pagi untuk menenangkan naga di perut saya yang mulai menuntut perhatian (di jam 2 pagi??!).
 Sedikit masuk ke dalam, mulailah terlihat jajaran penginapan. Dari beberapa phone call yang dilakukan teman saya untuk reserve kamar, harga kamar di sini bisa dibilang rata-rata sama. Dan karena kebetulan kedatangan kami bertepatan dengan peak season, rate kamar berkisar antara IDR 150K untuk fan room, dan IDR 200K untuk kamar berAC. Kondisi kamar di Dua Dara seharga IDR 150K sendiri, kalau saya pribadi bilang, so-so lah. Seperti kamar kos dengan ceiling fan, double bed, lemari pakaian, dan meja kaca Plus kamar mandi yang hanya cukup untuk berdiri satu orang.
Satu hal yang mungkin harus diperhatikan jika kebetulan menginap di area ini adalah tidak banyak penginapan yang menyediakan lahan parkir. Jadi jika berencana menyewa mobil ada baiknya ditanyakan ke pihak penginapan terlebih dahulu untuk urusan parkir. Atau jika antar jemput dengan mobil sewaan plus sopir, usahakan untuk sudah siap pada jam yang ditentukan, untuk menghindari parkir mobil yang pasti akan memakan badan jalan dan mengganggu pemakai jalan lain.
Hari pertama kami habiskan dengan berkeliling Bali menggunalan Avanza sewaan seharga IDR 350K, lengkap dengan sopir, ke arah Bedugul,mulai dari Pura Taman Ayun dan dengan rute terjauh mencapai Air Terjun Gitgit dan berakhir di Tanah Lot. Pura Taman Ayun merupakan kompleks pura terbesar di Mengwi, yang berjarak sekitar 8 KM barat daya Ubud dan 18 KM barat laut dari Denpasar. Pura yang dibangun pada tahun 1634 oleh I Gusti Agung Anom ini awalnya hanya diperuntukkan bagi kerabat kerajaan. Komplek pura yang diawali dengan sebuah jembatan menyeberangi kolam teratai ini tampak cukup terawat.

Puas foto-foto Pura Taman Ayun dengan latar belakang langit biru, kami bergerak ke utara menuju Bedugul. Seperti biasa, tidak banyak yang bisa saya ceritakan sepanjang perjalanan selama hampir 1.5 jam ini karena, meskipun matahari dengan garang menebar panasnya dari kaca depan, saya menghabiskan hampir seluruh perjalanan dengan tidur. Sesampainya di Pura Ulun Danu Bedugul, dingin udara khas pegunungan segera menyergap, jauh lebih dingin daripada AC dalam mobil tadi. Komplek pura yang terkenal dengan 2 pura di tengah danau ini, merupakan pura terpenting kedua setelah Pura Besakih di sebelah timur. Pura yang dibangun  pada tahun 1926 ini didedikasikan untuk Dewi Betari Ulun Danu, sang Dewi Air. Pada dasarnya, kompleks Pura Ulun Danu terdiri dari 9 pura. Untuk lebih lengkapnya silakan di sini. Selain scene 2 pura yang dikelilingi air tadi, keberadaan banyak sekali bunga-bunga cantik khas dataran tinggi membuat saya betah berlama-lama di sini.




Lelah berkeliling Pura Ulun Danu di Bedugul, perut yang lapar segera mengarahkan kami menuju rumah makan terdekat yang memasang tulisan “Ayam Plencing Taliwang”. Pesanan 4 porsi ayam Plencing, seporsi ayam bakar, dan seporsi sate ampela hati, plus segala pernak-pernik minuman dan sayur mengakibatkan kerusakan total IDR 200K. Perut kenyang hati riang.

Sayangnya riang hati kami tidak menular ke langit. Karena rupanya, hari itu matahari hanya menemani kami sampai di Bedugul saja. Selepas makan siang hujan turun dengan luar biasa lebat dengan jarak pandang hanya sekirat 5 meter di beberapa titik ketika kami beranjak ke utara menuju Gitgit. Kondisi tersebut terus bertahan hingga kami mencapai parkiran Air Terjun Gitgit. Berbekal payung dan jas hujan, kami membulatkan tekad untuk menuruni bukit menyusuri jalan setapak menuju ke air terjun. Treknya sendiri saya bisa bilang cukup bagus, hanya saja harus berhati-hati jika dalam kondisi basah, karena akan jauh lebih licin. Di awal, saya sempat bertanya pada Pak Sopir kami seberapa jauh trek yang harus kami tempuh, saya mendapat jawaban sekitar 200 meter. Dan ternyata, seperti biasa, jarak aktualnya berlipat 4kali. Ditambah dengan kondisi hujan yang semakin lebat, kami memutuskan hanya cukup sampa di depan air terjun, di mana kami bisa mengambil foto sebelum memutuskan untuk kembali ke parkiran. Air terjunnya sendiri cukup tinggi dengan kolam air biru kehijauan di bawah yang menjanjikan kesegaran. Sebetulnya, dengan kondisi cuaca dan waktu yang mendukung, saya tidak keberatan menghabiskan 1-2 jam untuk nongkrong di beberapa warung yang saya temui di sepanjang trek yang menyuguhkan minuman dan makanan hangat plus pemandangan yang luar biasa ke arah kota di bawah. Atau menyempatkan diri turun hingga kolam di bawah air terjun untuk sekedar sesaat berendam.


 

 Dari Gitgit, kami bergerak kembali ke selatan dengan tujuan awal Kebun Raya Bali, yang memang hanya berjarak beberapa kilo saja dari Ulun Danu. Sayangnya, hujan yang masih saja mengguyur meskipun tidak deras mengurungkan niat kami ke sana. Sebagai gantinya, dengan pertimbangan sekali jalan kembali ke Kuta, kami melipir ke barat dari rute seharusnya menuju ke Tanah Lot. Semakin ke selatan, cuaca semakin membaik meskipun matahari tidak lagi menampakkan diri. Setelah 1 jam perjalanan, akhirnya gerbang Tanah Lot pun terlihat.

Bearti “Land on the Sea” dalam bahasa Bali, Tanah Lot adalah pura yang terletak di atas tebing batu yang seharusnya berada di tengah laut ketika air pasang. Kami sampai di tempat ini ketika air surut, jadilah kami bisa berjalan ke arah pura. Sebenarnya, Tanah Lot adalah salah satu spot favorit saya jika berkunjung ke Bali. Apalagi jika menjelang senja. Siluet pura di atas tebing dengan sinar jingga matahari yang mulai bergelung di cakrawala barat adalah pemandangan yang sangat sayang untuk dilewatkan. Hanya saja, saya tidak bisa menikmati kunjungan terakhir saya. Selain karena membludaknya orang seperti cendol dan matahari tidak menampakan diri untuk mengucapkan salam perpisahan, saya juga sedang fokus menemukan cara menghubungi resort tempat saya menginap malam itu untuk memastikan mobil jemputan. Karena seperti biasa, Hero memutuskan untuk istirahat ketika saya butuh bantuan untuk menemukan nomer telpon pemilik resort. Apa mau dikata, kirim SMS ke sana-sini, mencoba telpon, menerima telpon dari beberapa orang dan memastikan banyak hal benar-benar menguji kemampuan multitasking saya. Jadilah, saya baru tersadar, tidak banyak foto yang saya ambil di tempat ini.
Tujuan kami selanjutnya setelah Tanah Lot adalah kembali pulang ke Poppies Lane. Perjalanan ke arah Kuta, bisa dibilang lancar. Cerita baru dimulai ketika kami mulai memasuki Legian. Di mana mobil mulai padat merayap, meskipun tidak macet total. Ditambah dengan road block di beberapa tempat, kami baru bisa memasuki area pantai Kuta pada pukul 7 malam lebih untuk kemudian langsung menuju ke Kuta Inn, tempat keempat teman saya menginap malam itu. Sedang saya yang memang sedari awal hanya akan bergabung di hari pertama dan memisahkan diri malam ini, masih saja berkutat di HP untuk meyakinkan sopir mobil jemputan saya bahwa ide dia untuk menunggu saya di pantai adalah ide buruk. “Err…pantai Kuta itu panjang Pak. Gimana saya bisa nemuin situ?”
Yah, bahkan sebelum dimulai, saya tahu, malam itu akan menjadi malam yang cukup melelahkan.

Before Fullmoon

Bulan yang belum lagi membulat sempurna telah sepenggalah membayang di langit timur senja itu. Dia seperti mendesak saya untuk segera mengakhiri aktifitas snorkeling saya dan berlari ke kamar untuk mengambil kamera. 
Sayangnya, seperti biasa, siapalah saya yang bisa mengabadikan senyum genit itu dari balik bias awan. Pun cantik foreground tak mampu mengangkat kemampuan fotografi saya dari titik nadir itu.
Dan saya hanya bisa menatapnya diiringi nyanyian sunyi ombak hingga ia kembali dalam peluk awan yang cemburu.


A Figurine From My Childhood

             Seingat saya, figurine ini saya dapat (meminta paksa tepatnya) dari pernikahan salah satu saudara jauh ibu, which saya sudah lupa juga yang mana. Maklum saja, pernikahan itu sendiri sudah lebih dari 20 tahun yang lalu.
Kenapa saya keukeuh sekali untuk punya figurine ini? Biarlah saya simpan alasannya untuk saya sendiri.