Dislaimer, saya bukan praktisi kesehatan,
saya juga bukan tukang jualan obat atau semacamnya. Tulisan ini hanya
berdasarkan pengalaman pribadi dan beberapa hasil bacaan di internet.
Trus tujuan nulis postingan ini apa? Ga ada.
Cuma pengen nulis aja, namanya juga di blog sendiri, suka-suka saya lah ya.
Tapi kalau sampai takdir membuat Anda membacanya dan jadi termotivasi, ya
anggap saja kita impas. Pageview blog saya naik dan Anda mendapatkan manfaat
dari waktu yang terbuang membaca postingan ini. Syukur-syukur manfaatnya tidak
berhenti di Anda, jadi bisa dibagikan ke orang lain gitu maksudnya. (Terus
kapan mau nulis inti postingannya? *digampar seinternet setanah air)
Saya berasal dari keluarga dengan sejarah kesehatan jantung dan kardiovaskular
yang bisa dibilang tidak cukup bagus. Setidaknya dari pihak keluarga ibu. Kakek
saya meninggal karena penyakit jantung. Nenek saya merupakan pasien tetap
dokter jantung di kota saya. Tahun lalu, Pak Dhe saya sempat opname cukup lama
karena stroke. Sampai sekarang beliau, meskipun sudah jauh lebih baik, masih
menjalani perawatan rutin di rumah.
Yang terakhir beberapa bulan lalu, Om saya
yang pergi konsultasi ke dokter dengan keluhan mudah capek dan leher kaku,
pulang dengan membawa segepok obat-obatan penurun kolesterol dan tekanan darah
plus hasil lab checkup yang mencengangkan. Saya bilang mencengangkan karena di
bilangan usianya yang masih sangat muda, pertengahan 30an, kadar kolesterol
dalam darahnya sangat tinggi. Belum lagi tekanan darah dan beberapa hasil lab
di urine (saya lupa apa saja). Hampir semua jauh di atas ambang normal. Tinggi.
Saya mulai berfikir, damn…how about me?
Apa dan bagaimana kolesterol bisa jadi
tertuding utama dalam menentukan kesehatan pembuluh darah dan jantung seseorang
si? Kolesterol adalah senyawa lemak berlilin yang
sebagian besar diproduksi tubuh di dalam liver dari makanan berlemak yang kita
makan. Kolesterol diperlukan tubuh untuk membuat selaput sel, membungkus
serabut saraf, membuat berbagai hormon dan asam tubuh. Jadi, pada jumlah yang
tepat, kolesterol sangat diperlukan oleh tubuh. Kondisi
kolesterol yang rendah, mempunyai kecenderungan menyerang kondisi
psikologis. Risiko yang bisa kita dapatkan adalah depresi, keinginan untuk
bunuh diri, masalah pada sistem syaraf dan lain sebagainya.
Karena kolesterol merupakan senyawa lemak,
dia tidak bisa serta merta begitu saja terangkut dalam darah, karena sifatnya
yang tidak larut dalam air. Untuk beredar dalam darah , kolesterol diangkut
dalam molekul “pengangkut” yang disebut lipoprotein. Ada dua jenis lipoprotein,
yaitu high density lippoprotein (HDL) dan low density
lipoprotein (LDL). Nah, kedua lipoprotein ini lah yang dijadikan patokan
seberapa tinggi/rendah tingkat kolesterol dalam darah.
Sekilas LDL dan HDL, umpamakan sebagai 2
lipoprotein ini sebagai truk pengangkut material berbahaya (tapi dibutuhkan
oleh sel). LDL adalah truk yang bertanggungjawab membawa kolesterol dari liver
ke sel. Bila terlalu banyak LDL, akibatnya kolesterol akan menumpuk di
dinding-dinding arteri dan menyebabkan sumbatan arteri (aterosklerosis).
Sedangkan HDL merupakan truk sweeper yang membawa kembali kolesterol dari sel
ke liver. Jika HDL rendah, bearti tidak ada pasukan penyapu yang bertugas di
pembuluh darah. Di dalam darah, semakin tinggi komposisi HDL semakin baik,
sedangkan LDL harus dijaga tetap rendah.
Itu mengapa kita mengenal LDL sebagai
kolesterol jahat dan HDL sebagai kolesterol baik. Padahal sebetulnya mereka
cuma bertanggungjawab pada tugasnya saja. Mereka kan ga salah apa-apa? Mengapa
harus ada sebutan itu? Ini tidak adil!! *plak*
OK, kembali ke soal kolesterol. Satu lagi komponen lemak dalam darah yang sering
digunakan sebagai patokan kesehatan kardiovaskular, trigliserida. Trigliserida
adalah sejenis lemak dalam darah Anda yang bermanfaat sebagai sumber energi.
Bila Anda makan lebih dari yang diperlukan tubuh, kelebihan kalori Anda akan
disimpan sebagai trigliserida dalam sel-sel lemak untuk penggunaan selanjutnya.
Trigliserida dalam kadar normal sangat diperlukan tubuh.
Jadi, intinya adalah, sebagai mana banyak hal
lainnya dalam hidup, tiga komponen tadi dalam jumlah tertentu sangat dibutuhkan
oleh tubuh. Tidak boleh terlalu sedikit, tidak boleh terlalu banyak. Yang sedang-sedang
saja.
Ada banyak hal yang mempengaruhi level HDL
dan LDL dalam darah. Makanan adalah salah satu factor terpenting. Selain itu,
berat badan sering kali dituding sebagai pendukung tingginya kolesterol darah.
Nah, ini dia. Berat badan. Stereotype yang
beredar dalam masyarakat kita adalah orang yang berbadan gemuk, pasti punya
banyak lemak, bearti tingkat kolesterolnya tinggi, dan yang bearti kesehatan
kardiovaskularnya buruk. Di satu sisi, saya senang dengan stereotype ini,
karena dengan begitu, saya yang notabenenya punya berat badan di atas rata-rata
perempuan (iya..iya…bilang aja gendut!) lebih aware dengan kadar kolesterol dan
kesehatan pembuluh darah saya.
Tapi, di sisi lain, stereotype ini membuat
orang-orang berfikir bahwa kalau kurus maka tingkat kolesterolnya rendah dan
mereka aman dari penyakit kardiovaskular.
Nope, that’s wrong.
Tapi di sini saya tidak akan menulis soal
bahwa orang kurus juga ada kemungkinan punya kolesterol tinggi tentu saja. Karena,
siapalah saya? Wong punya tubuh kurus
aja ga pernah. *menerawang ke luar jendela*
*Balik lagi ke laptop* Analoginya begini. Kolesterol
itu kan komponen lemak dalam darah. LDL dan HDL itu kan lipoprotein. Semua muter-muternya
di darah kan?. Keliatan dari luar? Bisa diukur dari size baju? Enggak.
Lantas apakah itu bearti orang gemuk kecil
kemungkinannya untuk punya kolesterol tinggi? Saya tidak bilang seperti itu! *tendang* Saya hanya mau bilang, timbangan itu hanya salah satu indikator, bukan harga mati.
Kolesterol itu berhubungan dengan gaya hidup.
Orang berukuran tubuh massive built (iya, gendut!) asalkan punya gaya hidup
aktif dan menjaga pola makan sehat, bukan mustahil mempunyai tingkat kolesterol
dalam darah yang jauh lebih baik dari mereka yang kurus tapi lebih sering
menghabiskan waktu luang di depan tivi misalnya. Bagaimana dengan orang gemuk
yang hobi nonton tivi? Err…males bahas ah…
Kenapa saya berani bilang bahwa somehow
kolesterol itu tidak berhubungan dengan berat badan tapi lebih ke gaya hidup? Ya
karena saya bacanya gitu di artikel-artikel kesehatan di internet lah… *ambil payung
buat tameng timpukan massa*
Iya..iya serius. Jadi, saya berani bilang
seperti itu karena saya menjalaninya. A few years back, saya adalah orang yang
tidak peduli dengan kolesterol. Saya masih mid-duapuluhan, merasa sehat-sehat
saja, tidak ada keluhan apapun. Sakit flu aja jarang, ngapain mikir kolesterol?
Hingga di akhir Dec 2009, saya menjalani medical checkup, hasil check up
menunjukkan bahwa tingkat kolesterol dan tekanan darah saya cukup tinggi. Hampir
semua berada di borderline high or high. Terus apa saya jadi menyesal, nangis-nangis, insyaf, trus
berjanji hidup sehat? Enggak. Waktu itu mah saya tetap cuek. *toyor diri
sendiri*
Setahun kemudian di awal Januari 2011, karena
satu dan lain hal yang tidak berhubungan dengan kesehatan apalagi kolesterol,
saya sedikit merubah gaya hidup. Yang tadinya olahraga cuma jogging keliling meja makan, mulai daftar gym. Yang tadinya kalau makan ga pake liat-liat apa yang dijejalkan
ke mulut, jadi mulai benar-benar pay
attention dengan apa yang mau dimakan. Singkatnya si saya melakukan apa
yang perempuan-perempuan di luar sana sebut sebagai diet, hanya saja dengan
cara yang relatif benar. Jaga pola makan dan olahraga.
Jujur, awalnya tidak mudah. Ribet? Iya.
Capek? Banget. Merasa lebih sehat? Ga tahu, perasaan si sama aja, karena dari
awalnya memang tidak merasa bermasalah sama kesehatan. Kelihatan hasilnya?
Dikit banget-banget. Kurus? ENGGAK. *ga santai* (._.)/|diri sendiri|
Terus kenapa saya bertahan pada gaya hidup
itu setelah lebih dari 1.5 tahun kalau ga merasa ada yang berubah? Karena it
become a habit dan saya percaya tidak ada yang salah dengan gaya hidup itu.
Hingga bulan lalu, saya melakukan medical
checkup lagi (dibayarin kantor, ga mau rugi). Sebelum hasilnya keluar pun, dengan
apa yang saya jalani sekarang (walaupun timbangan tetap teriak-teriak kalau
saya naiki), saya si yakin kolesterol saya jauh lebih baik dari 2 tahun lalu. Tapi
ketika hasilnya keluar, saya tetap surprised. It works. Timbangan boleh menggonggong ribut, tapi kolesterol level
tetap berlalu. #apeu
Saya mungkin orang yang beruntung. Saya mengubah
gaya hidup kala itu dengan sukarela. Saya tidak perlu titik balik yang ekstrim,
atau tamparan keras seperti ancaman kesehatan untuk memulainya. Cukup ukuran
jeans si…#eh
Saya tahu, umur sudah ada yang mengatur. Mau hidup
sok sehat kaya apapun, tetap aja kalau sudah waktunya ya mati aja. Tapi setidaknya
I do my part. Saya berusaha
bertanggungjawab atas apa yang bisa saya ubah. Hidup hanya sekali, mati juga cuma
sekali. Masa cuma sekali harus dengan cara nyusahin orang lain si? Harapannya dengan
ini saya mengurangi faktor resiko yang membuat hal sekali tadi less nyusahin
lah…x
Apalagi kalau Anda sudah berkeluarga dan sampai
di tahapan motivasi “ingin-melihat-anak-anak-tumbuh-besar”, masih mau nunggu
apa? Olahraga dan jaga pola makan yuk…
****